Anda di halaman 1dari 142

LAPORAN MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.M DENGAN GANGGUAN SISTEM


REPRODUKSI AKIBAT ATONIA UTERI

Dosen pengampu : Ns. Dwiyanti Purbasari, S.Kep., M.Kep


Kelompok B:
Mamat Rohmat

(213.C.0002)

Mafni Yulianingsih

(213.C.0004)

Andriyan Lutfi Arip

(213.C.0006)

Ati Wulandari

(213.C.0008)

Siti Rohimah

(213.C.0013)

Lia Setiawati

(213.C.0015)

Hilman Arif Firmansyah

(213.C.0019)

Dimas Pratama

(213.C.0020)

Siti Nuraina Inayah

(213.C.0022)

Muamar

(213.C.0027)

Nuryadi

(213.C.0028)

Ely Ferdiana

(213.C.0029)

Rina Maryatiana

(213.C.0031)

Agnes Acida

(213.C.0034)

Nelly Sulvassamawati

(213.C.0036)

Wiwid Ariska Larasati

(213.C.0042)

Neng Ledy Lestary

(213.C.0043)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARDIKA CIREBON


PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN
2016

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan
laporan dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Ny.M dengan Gangguan
Sistem Reproduksi Akibat Atonia Uteri. Laporan ini disusun untuk memenuhi
salah satu tugas Mata Kuliah Sistem Reproduksi pada Program Studi S1 Ilmu
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Mahardika Cirebon.
Selama proses penyusunan laporan ini penyusun tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak yang berupa bimbingan, saran dan petunjuk baik berupa moril,
spiritual maupun materi yang berharga dalam mengatasi hambatan yang
ditemukan. Oleh karena itu, sebagai rasa syukur dengan kerendahan hati, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Ibu Ns. Dwiyanti Purbasari, S.Kep., M.Kep yang telah memberikan
bimbingan dan dorongan dalam penyusunan laporan ini sekaligus sebagai
dosen pengampu Mata Kuliah Sistem Reproduksi.
2. Ibunda dan ayahanda kami yang tercinta serta saudara dan keluarga besar
kami yang telah memberikan motivasi/dorongan dan semangat, baik berupa
moril maupun materi lainnya.
3. Sahabat dan rekan STIKes Mahardika, khususnya Program Studi S1 Ilmu
Keperawatan yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Semoga Allah SWT. membalas baik budi dari semua pihak yang telah
berpartisipasi membantu penyusun dalam menyusun laporan ini. Penyusun
menyadari bahwa laporan ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari
kata sempurna, untuk itu penyusun mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun untuk perbaikan penyusunan selanjutnya.

Penyusun berharap, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin
Wassalamualaikum wr.wb.

Cirebon, April 2016

Kelompok B

ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..........................................................................................


Daftar Isi .....................................................................................................
Daftar Tabel.................................................................................................
Daftar Gambar ............................................................................................

i
iii
iv
v

BAB I Pendahuluan
Latar Belakang ............................................................................................. 1
Rumusan Masalah ........................................................................................ 1
Tujuan .......................................................................................................... 2
Manfaat ........................................................................................................ 2
BAB II Tinjauan Teori
Definisi ......................................................................................................... 3
Anatomi fisiologi ......................................................................................... 3
Etiologi ......................................................................................................... 25
Patofisiologi ................................................................................................. 28
Manifestasi Klinik ........................................................................................ 29
Komplikasi ................................................................................................... 30
Pemeriksaan Penunjang ............................................................................... 30
Penatalaksanaan ........................................................................................... 31
Konsep Nursing Care Plan .......................................................................... 44
BAB III Pembahasan Kasus
Pengkajian .................................................................................................... 68
Analisa Data ................................................................................................. 74
Diagnosa ....................................................................................................... 81
Nursing Care Plan ....................................................................................... 81
Analisa kesenjangan teori dan kasus ............................................................ 93
BAB IV Penutup
Simpulan ...................................................................................................... 94
Saran ............................................................................................................. 95
Daftar Pustaka
Lampiran

iii

DAFTAR TABEL

Nomor

Nama Tabel

Halaman

1.
2.

Jenis uterotonika dan cara pemberiannya


Analisa Data Berdasarkan Teori

35
45

3.

Rencana asuhan keperawatan berdasarkan teori

50

4.

Analisa Data Berdasarkan Kasus

63

5.

Rencana Asuhan Keperawatan Berdasarkan Kasus

68

iv

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Nama Gambar

Halaman

1.

Genital Eksterna

2.

Genital Interna

3.

Anatomi Payudara

10

4.

Kompresi bimanual internal

32

5.

Kompresi bimanual eksternal

33

6.

Sengstaken-Blakemore tube and Bakri ballon

34

7.

P Rsch hydrostatic balloon catheter

34

8.

Bakri Postpartum Balloon

35

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat
implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. (Sarwono, 2009).
Kematian ibu dapat terjadi dalam waktu 24 jam setelah melahirkan,
sebagian besar karena terlalu banyak mengeluarkan darah. Perdarahan hebat
adalah penyebab yang paling utama dari kematian ibu di seluruh dunia.
Walaupun seorang perempuan dapat bertahan hidup setelah mengalami
perdarahan postpartum, namun akan menderita akibat kekurangan darah
yang berat (anemia berat) dan akan mengalami masalah kesehatan yang
berkepanjangan (Yanti, 2010.).
Menurut Kementerian Kesehatan RI tahun 2010, tiga faktor utama
kematian ibu melahirkan adalah perdarahan (28%), eklampsia (24%), dan
infeksi (11%). Penyebab utama terjadinya perdarahan merupakan faktor
utama kematian ibu (Depkes, 2010).
Sampai saat ini Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan belum dapat
turun seperti yang diharapkan pemerintah. Menurut laporan BKKBN pada
bulan Juli 2005, AKI masih berkisar 307 per 100.000 kelahiran
hidup. Pemerintah sebenarnya telah bertekad untuk menurunkan AKI dari
390 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI, 1994) menjadi 225 per 100.000
pada tahun 1999, dan menurunkannya lagi menjadi 125 per 100.000 pada
tahun 2010 (Prahardina, 2009).

B.

Rumusan Masalah
Dalam penyusunan laporan ini akan dibahas mengenai kasus Atonia
Uteri yang meliputi tinjauan teori, pembahasan kasus klien dengan Atonia
Uteri dan analisa kesenjangan teori dan kasus.

C.

Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui konsep teori dan kasus mengenai asuhan
keperawatan pada klien dengan Atonia Uteri serta kesenjangan antara
teori dengan kasus tersebut.
2. Tujuan khusus
a.

Untuk mengetahui definisi Atonia Uteri

b.

Untuk mengetahui etiologi Atonia Uteri

c.

Untuk mengetahui manifestasi Atonia Uteri

d.

Untuk mengetahui patofisiologi Atonia Uteri

e.

Untuk mengetahui asuhan keperawatan Atonia Uteri secara teori

f.

Untuk mengetahui asuhan keperawatan Atonia Uteri secara kasus

g.

Untuk mengetahui kesenjangan antara asuhan keperawatan teori


dengan asuhan keperawatan kasus yang di alami klien dengan
Atonia Uteri

D.

Manfaat
Manfaat penyusunan laporan ini sebagai tambahan pengetahuan
mengenai konsep teori, proses asuhan keperawatan dengan gangguan Atonia
Uteri agar dapat di aplikasikan dengan baik dilahan praktik maupun
dimasyarakat untuk kedepannya.

BAB II
TINJAUAN TEORI
`1

A.

Definisi
Atonia uteri didefinisikan sebagai kegagalan miometrium untuk
berkontraksi secara memadai setelah kelahiran. Kekuatan dan keefektifan
kontraksi miometrium sangat penting untuk menahan pendarahan. Namun
pada atonia uteri sebaliknya, rahim lunak dan lembek dengan adanya
perdarahan yang berlebihan dari saluran kelamin. (Lim, Pei Shan, 2012).
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus atau kontraksi rahim
yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari
tempat implantasi plasenta setalah bayi dan plasenta lahir, (Taber, 2010
dalam Perdana, Abduh Halim. 2013).
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat
implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir, (Sarwono, 2009).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa atonia
uteri adalah keadaan lemahnya tonus atau kontraksi rahim setelah kelahiran
sehingga uterus tidak mampu menutup perdarahan dari tempat implantasi
plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.

B.

Anatomi Fisiologis Reproduksi Wanita

Anatomi

1.

Genetalia eksterna wanita


Genetalia eksterna wanita meliputi,mons pubis,labia mayora,
labiya minora,klitoris,vestibulum,introitus atau orificium vagina, vagina
dan perineum. (Tarwato, 2009).

Gambar. 1 Genitalia Eksterna


Sumber: Syaifuddin. (2011). Atlas Berwarna Tiga Bahasa: Anatomi
Tubuh Manusia. Salemba Medika
a. Vula atau pudendum
Merupakan area genetalia eksterna wanita yang membentang
dari mons pubis sampai tepi perineum.vulva terdiri dari mons
pubis,labia mayora,labiya minora,klitoris,vestibulum,introitus atau
orificium vagina,vagina dan perinium. (Tarwato, 2009).
b. Mons pubis atau mons veneris.
Merupakan jaringan lemak subkutan dari jarimgan konektif
yang melapisi simpisis pubis. Pada setelah masa pubertas daerah ini
ditumbuhi oleh rambut halus dan dilengkapi oleh kelenjar sebasea.
(Tarwato, 2009).
c. Labiya mayora
Merupakan dua lipatan kulit melengkung yang menutupi
lemak dan jaringan ikat yang menyatu dengan mons pubis dan
berhubungan dengan perineum pada bagian bawah. Labiya mayora
sama dengan skrotum pada laki-laki yang berfungsi menutup dan
mencengah masuknya organ pada vulva. (Tarwato, 2009).
4

d. Labiya minora
Merupakan

lipatan

jaringan

tipis

dibawah

labiya

mayora,tidak mempunyai folikel rambut,membentang dari bawah


klitoris smapai dengan fourchette pada labiya minora banyak terdapt
pembuluh darah,saraf dan otot sehingga berwarna merah dan lebih
sensitif dan besifat erektil. (Tarwato, 2009).
e. Klitoris
Klitoris hormolog dengan penis dan pria, terletak pada
superior vulva, tepat dibawah arkus pubis.bentuknya pendek,silindris
dengan ukuran 6x6 mm. Termasuk organ yang sangat erektil dan
sensitif terutama pada ujung bandan klitoris. Jika wanita terangsang
seksual gland dan badan klitoris akan membesar.banyaknya
pembuluh darah dan saraf membuat klitoris sangat sensitif terhadap
sentuhan suhu maupun sensasi tekanan. (Tarwato, 2009).
f. Vestibulum
Merupakan area tertutup oleh labiya minora,terletak diantara
klitoris labiya minora dan fourchette vestibulum terdiri dari saluran
atau orificium yaitu lubang muara urethra (orificium urethra)
vagina,ductus glandula bartholini kanan dan kiri. (Tarwato, 2009).
g. Introitus atau orificium vagina
Merupkan daerah dibawha vestibulum,pada daerah disekitar
introitus vagina terdapat lipatan tipis yang tertutup mukosa,bersifat
elastis yang disebut hymen atau selaput darah.pada wanita yang
masih gadis hymen masih utuh tanpa robekan dan hymen dapt rusak
karena

trauma.pada

dinding bagian

dalam

terdapt

kelenjar

bartholins yang memproduksi secret membantu pada saat koitus.


(Tarwato, 2009).
h. Perineum
Merupakan daerah muscular yang ditutupi

kulit,terletak

antara introitus vagina dan anus. Jaringan otot ini juga menopang
panggul dan menjaga panggul tetap pada tempatnya. (Tarwato,
2009).
5

2.

Genetalia interna wanita


Genetalia interna wanita terdiri atas vagina, uterus, tuba falopi
dan ovarium. (Tarwoto, 2009).

Gambar 2. Genitalia interna


Sumber: Syaifuddin. (2011). Atlas Berwarna Tiga Bahasa: Anatomi
Tubuh Manusia. Salemba Medika

a. Vagina
Merupakan saluran muscular elastis mulai dari vestibulum
sampai dengan serviks. Terletak anatar kandung kemih,urethra dan
rectum.pada dinding vagina terdapat otot polos dan epitel skuamosa.
Keadaan dinding vagina makin menebal sesuai dengan bertambhnya
usia.pada daerah vagina tidak memiliki kelenjar,tetapi dilumasi oleh
cairan servik. Cairan vagina bersifat asam dengan PH sekitar 4,5
sehingga berfungsi mencengah pertumbuhan bakteri. Tingkat
keasaman cairan vagina dipengaruhi oleh hormon estrogen cairan
menjadi lebih asam, tetapi pada massa sebelum pubertas dan
menopause cairan vagina menjadi basa. (Tarwato, 2009)
Vagina mempunyai tiga fungsi utama yaitu sebgai tempat
pengeluaran cairan atau darah menstruasi,tempat penyaluran sperma
pada saat hubungan seks untuk masuk ke uterus dan merupakan
6

tempat jalan lahir,serta membantu mencengah infeksi karena vagina


yang asam. (Tarwato, 2009)
b. Uterus
Uterus merupkan organ muscular berbentuk kantong seperti
uag pear yang terletak dirongga pelvis antara kansung kemih dengan
rektum.posisi uterus normalnya anteflesi (menekuk dan maju
kedepan). Panjnagnya 7,5 cm dengan berat kira-kira 60 gram.
(Tarwato, 2009)
Uterus terdiri dari dua bagian yaitu badan atau korpus dsn
leher atau cerviks. Badan uteri merupakn 2/3 dari uterus dengan
panjang 4 cm, berbentuk triangular dan pada bagian apeks
berhubungan dengan cerviks.pada bagian atas disebut fundus uteri
dan berhubunagn dengan tuba uteri atau tuba fallopi . pada bagian
tepi samping uterus berhubunagn denagn tuba fallopii. Pada bagian
tepi samping uterus berhubungan dengan tuba fallopi disebut cornu.
Sedangkan pada bagian anata korpus uteri dengan servik uteri
merupakan bagain bawah utersus,pannjangnya 2,5 cm bertentuk
silindris dan bagian bawahnya berhubunagn dengan vagina.
(Tarwato, 2009)
Dindning uterus tersusun oleh tiga lapisan yaitu lapisan luar
perimetrium, lapisan tengah miomentrium dan lapisan dalam
endomesium. (Tarwato, 2009)
Endometrium tersusun dari jaringan-jaringan pembuluh darah
yang disebut stroma, yang mengandung kelenjar-kelenjar tubular.
Stroma tertutup oleh sebuah lapisan epitel kulumner bersilia dan sel
yang tidak bersilia berada dibawah stroma berbatasan dengan
miometrium membentuk kelenjar. Selama usia produksi lapisan ini
selalu berganti menurut fase dalam siklus reproduksi. Lapisan
superfisial meluruh ketika seorang wanita mengalami mensturasi dan
endometerium yang baru terbentuk dari lapisan dibawahnya (basal
layer). (Tarwoto, 2009).

Lapisan miometrium tersusun atas serat-serat otot polos yang


menimbulkan ketebalan dinding uterus. Otot tersebut membentuk
spiral dari kornu menuju serviks, memberi efek sirkuler disekeliling
tuba fallopi dan serviks serta efek oblique pada korpus uteri. Pada
keadaan hamil miometrium menjadi lebih tebal. (Tarwato, 2009).
Lapisan perimetrium adalah lapisan peritoneum yang
membungkus uterus dan tuba uterine. Dari depan perimetrium
menutupi korpus uteri menuju vesika urinaria setinggi ostium uteri
internum. (Tarwoto, 2009).
Uterus berfungsi untuk mempersiapkan penerimaan ovum
hasil

fertilisasi,

menyediakan

tempat

yang

nyaman

untuk

pertumbuhan dan perkembangan fetus selama kehamilan dan


membantu pengeluaran fetus dan plasenta saat melahirkan,
menyediakan nutrisi hasil konsepesi. (Tarwoto, 2009)
c. Tuba Uterina
Disebut juga tuba fallopi atau oviduk, merupakan saluran
tempat ovum (sel telur) berjalan menuju uterus. Ditempat ini terjadi
fertilisasi atau pembuahan antara sel telur dengan sperma. Panjang
tuba fallopi sekitar 10 cm dan diameter 0,7 cm, terletak
menggantung diantara ligament uterus. Tuba fallopi dibagi menjadi
empat

bagian

yaitu

infundibulum,

ampula,

isthumus,

dan

interstitialis. (Tarwato, 2009).


1) Infundibulum, merupakan bagian ujung tuba fallopi dan pada
bagian akhirnya berbentuk terompet dengan rumbai-rumbai
yang disebut fimbriae. Fimbriae berperan untuk mengarahkan
langsung sel telur dari ovarium ke lumen tuba fallopi. (Tarwato,
2009).
2) Ampula, merupakan saluran panjang dari tuba fallopi terletak
antara infundibulum dengan isthmus. Normalnya fertilisasi
terjadi di ampula. (Tarwato, 2009).
3) Isthmus merupakan lumen sempit diantara uterus dan ampula
tuba fallopi. (Tarwato, 2009).
8

4) Interstitialis merupakan daerah ujung akhir dari jaringan otot


uterus dengan isthmus. (Tarwato, 2009).
Fungsi

tuba

fallopi

adalah

menangkap

sel

ovum,

menyalurkan spermatozoa dan tempat konsepsi, pertumbuhan dan


perkembangan konsepsi sampai blastula. (Tarwoto, 2009)
d. Ovarium
Ovarium merupakan kelenjar berada dipermuaan posterior
ligamentum latum, didekat infundibulum. Terdiri dari 2 buah
berbentuk seperti almond, berwarna putih keruh. Memiliki panjang 4
cm, lebar 0,4cm dan berat sekitar 3 gr. Ovarium dibungkus oleh
peritoneum dan ditopang oleh ligamen mesovarium, ligamentum
latum, ligamen ovarika dan ligamen infudibulum. (Tarwoto, 2009)
Ovarium dibagi atas dua bagian yaitu bagian korteks atau
kulit dan bagian medulla. Korteks merupakan lapisan terluar, terdiri
atas stroma dan folikel ovarian yaitu unit fungsional pada ovarium
yang sangatpenting dalam proses oogenosit. Sedangkan bagian
medulla terdiri stroma, pembuluh darah, limfatik, serabut saraf dan
otot polos. Ovarium dan hubungannya dengan hormon gonadotropin
(Tarwoto, 2009).
3.

Struktur Payudara
Payudara (mammae, susu) adalah kelenjar yang terletak di
bawah

kulit,

di

atas otot dada.

Fungsi

dari

payudara adalah

memproduksi susu untuk nutrisi bayi. Manusia mempunyai sepasang


kelenjar payudara, yang beratnya kurang lebih 200 gram, saat hamil 600
gram dan saat menyusui 800 gram. (Tarwoto, 2009).
Menurut Tarwoto, 2009 ada payudara terdapat tiga bagian
utama, yaitu :

Korpus (badan), yaitu bagian yang membesar.

Areola, yaitu bagian yang kehitaman di tengah.

Papilla atau

puting,

yaitu

bagian

yang

menonjol

di puncak payudara.
9

Gambar 3. Anatomi payudara


Sumber: Syaifuddin. (2011). Atlas Berwarna Tiga Bahasa: Anatomi Tubuh
Manusia. Salemba Medika
a. Korpus
Alveolus, yaitu unit terkecil yang memproduksi susu. Bagian
dari alveolus adalah sel
sel otot polos

dan pembuluh

dari alveolus. Lobus,


menjadi

Aciner,

yaitu

15-20 lobuspada

jaringan lemak,

darah. Lobulus,

yaitu

beberapa lobulus yang


tiap payudara.

ASI

sel plasma,
kumpulan
berkumpul
dsalurkan

dari alveolus ke dalam saluran kecil (duktulus), kemudian beberapa


duktulus bergabung membentuk saluran yang lebih besar (duktus
laktiferus). (Tarwoto, 2009).
b. Areola
Sinus laktiferus, yaitu saluran di bawah areola yang besar
melebar, akhirnya memusat ke dalam puting dan bermuara ke luar.
Di dalam dinding alveolus maupun saluran-saluran terdapat otot
polos bila berkontraksi dapat memompa ASI keluar. (Tarwoto,
2009).
c. Papilla

10

Bentuk puting ada empat, yaitu bentuk yang normal, pendek/


datar, panjang dan terbenam (inverted). (Tarwoto, 2009).
Payudara tersusun dari jaringan lemak yang mengandung
kelenjar-kelenjar yang bertanggung jawab terhadap produksi susu
pada saat hamil dan setelah bersalin. Setiap payudara terdiri dari
sekitar 15-25 lobus berkelompok yang disebut lobulus, kelenjar susu,
dan sebuah bentukan seperti kantung-kantung yang menampung air
susu (alveoli). Saluran untuk mengalirkan air susu ke puting susu
disebut duktus. Sekitar 15-20 saluran akan menuju bagian gelap
yang melingkar di sekitar puting susu (areola) membentuk bagian
yang menyimpan air susu (ampullae) sebelum keluar ke permukaan.
(Tarwoto, 2009).
Kedua payudara tidak selalu mempunyai ukuran dan bentuk
yang sama. Bentuk payudara mulai terbentuk lengkap satu atau dua
tahun setelah menstruasi pertamakali.Hamil dan menyusui akan
menyebabkan payudara bertambah besar dan akan mengalami
pengecilan (atrofi) setelah menopause. (Tarwoto, 2009).
Payudara akan menutupi sebagian besar dinding dada.
Payudara dibatasi oleh tulang selangka (klavikula) dan tulang dada
(sternum). Jaringan payudara bisa mencapai ke daerah ketiak dan
otot yang berada pada punggung bawah sampai lengan atas
(latissimus dorsi). (Tarwoto, 2009).
Kelenjar getah bening terdiri dari sel darah putih yang
berguna untuk melawan penyakit. Kelenjar getah bening didrainase
oleh jaringan payudara melalui saluran limfe dan menuju nodulnodul kelenjar di sekitar payudara samapi ke ketiak dan tulang
selangka. Nodul limfe berperan penting pada penyebaran kanker
payudara terutama nodul kelenjar di daerah ketiak. (Tarwoto, 2009).

Fisiologi
11

1. Sistem Tubuh Ibu Berespon Terhadap Peningkatan Kebutuhan


Selama Kehamilan
Masa gestasi (kehamilan) adalah sekitar 38 minggu dari
konsepsi (40 minggu dari akhir haid terakhir). Selama gestasi,
mudigah/janin tumbuh dan berkembang hingga ke tahap ia mampu
meninggalkan sistem penunjang kehidupan dari ibunya. Sementara
itu, sejumlah perubahan fisik terjadi pada ibu untuk mengakomodasi
kebutuhan selama kehamilan. Perubahan yang paling nyata adalah
pembesaran uterus. Uterus mengembang dan bertambah beratnya
lebih dari 20 kali, diluar isinya. Payudara membesar dan memiliki
kemampuan untuk menghasilkan susu. Sistem-sistem tubuh di luar
sistem repsoduksi juga melakukan berbagai perubahan yang
diperlukan. Volume darah meningkat sebesar 30 persen, dan sistem
kardiovaskular berespon terhadap peningkatan kebutuhan oleh masa
plasenta yang terus tumbuh. Penambahan berat selama kehamilan
hanya sebagian yang disebabkan oleh berat janin. Sisanya terutama
disebabkan oleh peningkatan berat uterus, termasuk plasenta, dan
bertambahnya volume darah. Aktifitas pernapasan meningkat sekitar
20% untuk mengatasi kebutuhan tambahan pemakaian O2 dan
pengeluaran CO2 dari janin. Pengeluaran urin meningkat, dan ginjal
mengeluarkan zat-zat sisa tambahan dari janin. (Sherwood, 2011).
Meningkatnya kebutuhan metabolik janin yang sedang tumbuh
meningkatkan kebutuhan nutrisi bagi ibu. Secara umum, janin
mengambil apa yang diperlukan dari ibunya, meskipun hal ini
menyebabkan ibu mengalami defisit nutrisi. Sebagai contoh, hormon
plasenta Human Chronic Somatomamotropine (HCS) diperkirakan
menyebabkan penurunan pemakaian glukosa oleh ibu dan mobilisasi
asam lemak bebas dari simpanan lemak ibu, serupa dengan efek
hormon pertumbuhan. Perubahan-perubahan metabolik yang dipicu
oleh HCS menyebabkan glukosa dan asam lemak tersedia lebih
banyak untuk dialihkan ke janin. Juga, jika ibu tidak mengkonsumsi
12

cukup Ca2+ , maka hormon plasenta lainnya yang serupa dengan


hormon Paratiroid Hormon Related Peptide (PTHrp), memobilisasi
Ca2+ dari tulang ibu untuk menjamin klasifikasi tulang-tulang janin.
(Sherwood, 2011).
Hormon sangat berperan dalam sistem reproduksi baik dalam
pertumbuhan maupun perkembangan alat-alat reproduksi. Hormonehormon yang berpengaruh dalam reproduksi antara lain :
a. Melatonin, merupakan hormon yang dihasilkan oleh badan pineal
yang memiliki hubungan dengan hipothalmus melalui serabut saraf.
Hormon ini berpengaruh terhadap pengaturan sirkulut fotoneuroendrokin reproduksi dengnan cara menghambat produksi GnRH
dari hipothalamus sehingga sekresi gonadotropin menurun.
(Sherwood, 2011).
b. GnRH (Gonadotropin Relasing Hormone), hormone ini diproduksi
dihipothalamus dan berfungsi menstimulasi hipofisis anterior untuk
memproduksi dan melepaskan hormone-hormone gonadotropin
(FSH/LH). (Sherwood, 2011).
c. PRF (Prolactin Relasing Facktor), PIF (Prolactin Inhibiting Factor)
hormonr ini dihasilkan dihipothalamus dan berperan dalam
menstimuasi dan menghambat produksi susu. (Sherwood, 2011).
d. FSH (Follicle Stimulating Hormon) dihasilkan di sel-sel basal
hipofisis anterior ,sebagai respon terhadap GnRH. Berfungsi
memicu pertumbuhan dan pematangan folikel dan sel-sel granulosa
di

ovarium

wanita.

Pelepasannya

periodik

waktu

paruh

eliminasinya pendek, sering tidak ditemukan dalam darah.


Sekresinya dihambat oleh enzim inhibin dari sel-sel granulosa
ovarium, melalui mekanisme feed back negatif. (Sherwood, 2011).
e. LH ( Luteinzing Hormone)/ICSH (Interstitial Cell Stimulating
Hormone) diproduksi di sel-sel kromofob hipofisis anterior.
Bersama FSH, LH berfungsi memicu perkembangan folikel (sel-sel
teka dan sel-sel granulosa)dan juga mencetuskan terjadinya ovulasi
13

dipertengahan siklus. Selama fase ovulasi dalam menghasilkan


progesteron. Pelepasnnya juga periodik atau pulsatif, kadarnya
dalam darah berfariasi setiap fase siklus, waktu paruh eliminasinya
pendek ( sekitar 1 jam). Diproduksi disel-sel kromofob hipofisis
anterior. Bersama FSH, LH berfungsi memicu perkembangan
folikel ( sel-sel leka dan sel-sel granulosa) dan juga mencetuskan
t4erjadinya ovulasi di pertengahan siklus (LH surge).
(Sherwood, 2011).
f. Estrogen, diproduksi terutama oleh sel-sel teka interna folikel
diovarium dan dalam jumlah lebih sedikit juga diproduksi dikelnjar
adrenal melalui konversi hormon androgen. Estrogen pada masa
pubertas berperan dalam nenstimulasi penimbunan lemak jaringan
subkutan, pertumbuhan rambut aksila dan pubis, pertumbuhan
payudara dan pertumbuhan dan perkembangan uterus dan berperan
dalam siklus mensturasi. (Sherwood, 2011).
g. Selama kehamilan diproduksi juga oleh plasenta. Estrogen
berfungsi menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan pada
berbagai organ reproduksi wanita seperti proliferasi endometrium
dan miometrium,pelunakan dan penipisan serviks dan pengentalan
lendir serviks sehingga memudahkan sperma masuk ke uterus.
Pada vagina estrogen menyebabkan proliferasi epitel vagina yang
memudahkan pergerakan sperma. Pada payudara estrogen berperan
dalam menstimulasi pertumbuhan payudara dengan merangsang
perkembangan duktus dipayudara selama kehamilan. (Sherwood,
2011).
h. Progesteron secara alami diproduksi terutam dikorpus luteum
diovarium, sebagian diproduksi dikelnjar adrena, dan pada
kehamilan juga diproduksi diplasenta. Progestern menyebabkan
terjadinya proses perubahan sekretorik ( fase sekresi) pada
endomatrium uterus guna mempersiapkan endometrium uterus
berada pada keadaan yang optimal jika terjadi implantasi.
Progesteron juga berperan dalam perkembangan alveolus payudara
14

dan menghambat kontraksi uterus selam kehamilan. (Sherwood,


2011).
i. HCG (Human Chorianic Gonadotropin) diproduksi oleh sel-sel
trofoblas dari sebuah ovum yang baru dibuahi. Sekersi hormon ini
mencapai puncaknya pada 10 sampai 12 hari setelah ovulasi
kemudian menurun. Fungsi dari HCG yaitu untuk pertumbuhan
korpus luteum dalam menghasilkan progesterone. (Sherwood,
2011).
j. LTH (Lactotrophic Hormone) atau Prolactin diproduksi di hipofisis
anterior, memiliki aktifitas meningkatkan produksi dan sekresi air
susu

oleh

kelnjar

payudara.

Diovarium

prolaktin

ikut

mempengaruhi pematangan sel telur dan mempengaruhi fungsi


korpus luteum. Pada kehamilan, prolaktin juga diproduksi oleh
plasenta (HPL/Human Placental Lactogen). Fungsi laktotropik
prolaktin tampak terutama pada masa laktasi pascapersalinan.
Prolaktin juga memiliki efek inhibisi terhadap GnRH hipotalamus,
sehingga

jika

kadarnya

berlebihan

dpat

terjadi

gangguan

pematangan follikel, gangguan ovulasi dan gangguan haid berupa


amenorhea. (Sherwood, 2011).
2. Perubahan Selama Akhir Gestasi Sebagai Persiapan untuk
persalinan
Persalinan (partus, pelahiran) memrlukan (1) dilatasi kanalis
servikalis (pembukaan) untuk mengakomodasi lewatnya janin dari
uterus melalui vagina ke lingkungan luar dan (2) kontraksi miometrium
uterus yang cukup kuat untuk mengeluarkan janin. (Sherwood, 2011).
Beberapa perubahan terjadi selama masa gestasi akhir sebagai
persiapan untuk dimulainya persalinan. Selama dua trimester pertama
gestasi, uterus relatif tetap tenang, karena efek inhibitorik progesteron
kadar tinggi pada otot miometrium. Namun, selama trimester terakhir,
uterus menjadi semakin peka rangsangan sehingga kontraksi ringan
(kontraksi Braxton Hicks) dapat dialami dengan kekuatan dan frekuensi
15

yang bertambah. Kadang kontraksi ini menjadi cukup teratur sehingga


disangka sebagai awitan persalinan, suatu fenomena yang dinamai
persalianan palsu. (Sherwood, 2011).
Selama gestasi, pintu keluar uterus tetap tertutup oleh servik yang
kaku dan tertutup rapat . seiring dengan mendekatnya persalinan, serviks
mulai melunak (atau matang) akibat disosiasi serat jaringan ikatnya
yang kuat (kolagen). Karena perlunakan ini maka seviks menjadi lentur
sehingga dapat secara bertahap membuka pintu keluarnya sewaktu janin
yang secara paksa didorong menekannya saat persalinan. Perlunakan
serviks ini terutama disebabkan oleh relaksin. (Sherwood, 2011).
Sementara itu, janin bergeser ke bawah dan dalam keadaan
normal terorientasi sedemikian sehingga kepala berkontak dengan servik
sebagai porsiapan untuk keluar melalui jalan lahir. (Sherwood, 2011).
3. Tahap persalinan
Persalinan dibagi menjadi tiga tahap: (1) dilatasi serviks, (2)
pelahiran bayi, dan (3) pelahiran plasenta. Pada permulaan persalinan
atau suatu waktu pada tahap pertama, membran yang membungkus
kantung amnion, atau kantong air pecah. Cairan amnion (air ketuban)
yang keluar dari vagina membanyu melumasi jalan akhir. (Sherwood,
2011).
a. Tahap pertama
Selama tahap pertama, serviks dipaksa melebar untuk
mengakomodasi garis tengah kepala bayi, biasanya hingga maksimal
10 cm. Tahap ini adalah yang paling lama, berlangsung dari beberapa
jam sampai 24 jam pada kehamilan pertama. Jika bagian tubuh lain
janin selain kepala yang menghadap ke serviks maka bagian tersebut
biasanya kurang efektif dari pada kepala untuk membelah serviks.
Kepala memiliki garis tengah terbesar pada tubuh bayi. Jika bayi
mendekati jalan lahir dengan kaki terlebih dahulu maka kaki mungkin
tidak dapat melebar serviks cukup lebar untuk dilalui kepala. Pada
16

kasus ini, tanpa intervensi medis kepala bayi akan tersangkut


dibelakang lubang serviks yang sempit. (Sherwood, 2011).
b. Tahap kedua
Tahap kedua persalinan, pengeluaran bayi yang sebenarnya,
dimulai setelah dilatasi (pembukaan) serviks lengkap. Ketika bayi
mulai bergerak melewati serviks dan vagina, reseptor-reseptor regang
di vagina mengaktifkan suatu reflek saraf yang memicu kontraksi
dinding abdomen secara sinkron dengan kontraksi uterus. Kontraksi
abdomen ini sangat meningkatkan gaya yang mendorong bayi
melewati jalan lahir. Ibu dapat membantu mengeluarkan bayinya
dengan

cara

sengaja

mengontraksikan

otot-otot

abdomennya

bersamaan dengan kontraksi uterus (yaitu, mengejan saat timbul


nyeri persalinan). Tahap 2 biasanya jauh lebih singat dari pada tahap
pertama dan berlangsung 30 sampai 90 menit. Bayi masih melekat ke
plasenta oleh tali pusat saat lahir. Tali pusat ini diikat dan dipotong,
dengan puntung akan memicu dalam beberapa hari untuk membentuk
umbilikus (pusar). (Sherwood, 2011).
c. Tahap ketiga
Segera setelah bayi lahir, terjadi rangkaian kontraksi uterus
kedua yang memisahkan plasenta dari miometrium dan mengeluarkan
melalui vagina. Pelahiran plasenta, atau afterbirth, merupakan tahap
ketiga persalinan, biasanya merupakan tahap ketiga persalinan,
biasanya merupakan tahap peling singkat yaitu selesai dalam 15
sampai 30 m3nit setelah bayi lahir. Setelah plasenta dikeluarkan,
kontraksi miometrium yang berkelanjutan menyebabkan pembuluh
darah uterus yang mengair ketempat perlekatan plasenta terjepit untuk
mencegah perdarahan. (Sherwood, 2011).
4. Peran Hormon Dalam persalinan
a. Relaksin
Suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh korpus luteum
kehamilan dan plasenta. Faktor ini juga berperan dalam perlunakan
17

serviks ini. Relaksin juga berperan melemaskan jalan lahir dengan


melonggarkan jaringan ikat antara tulang-tulang panggul. (Sherwood,
2011)
b. Esterogen
Selama awal gestasi, kadar esterogen ibu relatif rendah tetapi
seiring dengan kemajuan kehamilan, sekresi esterogen meningkat.
Pada hari-hari tepat menjelang persalinan, terjadi lonjakan kadar
esterogen yang menyebabkan perubahan pada uterus dan serviks
untuk mempersiapkan kedua struktur ini untuk persalinan dan
pelahiran. Pertama kadar tinggi esterogen kadar tinggi mendorong
sintesis konekson dalam sel-sel otot polos uterus. Hampir sepanjang
kehamilan sel-sel miometrium ini tidak secara fungsional berkaitan.
Konekson

yang

baru

terbentuk

disisipkan

membran

plasma

miometrium untuk membentuk taut celah yang secara elektris


menyatukan sel-sel otot polos uterus sehingga mereka mampu
berkontraksi secara terkoordinasi. (Sherwood, 2011)
Secara bersamaan esterogen kadar tinggi secara drastis dan
progresif meningkatkan konsentrasi reseptor oksitosin di miometrium.
Bersama-sama, perubahan-perubahan miometrium ini menyebabkan
responsivitas uterus terhadap oksitosin meningkat yang akhirnya
memicu persalinan. (Sherwood, 2011)
Selain mempersiapkan uterus untuk persalinan, esterogen
kadar tinggi juga mendorong pembentukan prostaglandin lokal yang
berperan dalam pematangan serviks dengan meragsang enzim-enzim
serviks yang secara lokal menguraikan serat kolagen. Selain itu,
berbagai prostaglandin sendiri meningkatkan responsifitas uterus
terhadap oksitosin. (Sherwood, 2011).

c. Oksitosin
18

Oksitosin adalah suatu hormon peptida yang diproduksi oleh


hipotalamus, disimpan di hipofisis posterior dan dibebaskan ke dalam
darah dari hipofisis posterior dan dibebaskan ke dalam darah dari
hipofisis posterior, dan dibebaskan ke dalam darah dari hipofisis
posterior pada stimulasi saraf oleh hipothalamus. Oksitosin, suatu
perangsang otot uterus yang kuat, berperan kunci dalam kemajuan
persalinan. Penemuan bahwa responsitas uterus terhadap oksitosin
pada aterm adalah 100 kali dibandingkan wanita yang tidak hamil
(karena meningkatnya konsentrasi reseptor oksitosin miometrium)
menyebabkan persalinan dimulai ketika konsentrasi reseptor oksitosin
mencapai suatu ambang kritis yang memungkinkan awitan kontraksi
kuat terkoordinasi kuat sebagai respon terhadap kadar oksitosin darah
yang biasa. (Sherwood, 2011)
d. Corticotrophin- Releasing Hormone (CRH)
CRH yang dikeluarkan oleh plasenta bagian janin ke dalam
sirkulasi ibu dan janin tidak hanya mendorong pembentukan esterogen
plasenta, sehingga akhirnya menentukan saat dimulainya persalinan,
tetapi juga mendorong perubahan-perubahan di paru janin yang
dibutuhkan untuk menghirup udara. CRH dalam keadaan normal
dikeluarkan hipothalamus dan mengatur pengeluaran ACTH anterior.
Sebaliknya, ACTH merangsang pembentukan kortisol dan DHEA
oleh korteks adrenal. Pada janin banyak CRH yang berasal dari
plasenta bukan hanya dari hipotalamus janin. Sekresi kortisol
tambahan yang dirangsang oleh CRH mendorong pematangan paru
janin. Secara spesifik, kortisol merangsang sintesis surfaktan paru,
yang mempermudah ekspansi paru dan mengurangi kerja napas.
(Sherwood, 2011)
Seiring dengan kemajuan, kadar CRH dalam plasma ibu
bahkan meningkat sejak trimester pertama. Kadar yang lebih tinggi
erkaitan dengan dengan persalinan prematur, sedangkan kadar yang
19

lebih rendah daripada normal mengisyaratkan persalinan melewati


jadwal. (Sherwood, 2011)
5. Fisiologi payudara
Proses produksi, sekresi, dan pengeluaran ASI di namakan
laktasi.ketika bayi mengisap payudara, hormone yang bernama oksitosin
membuat ASI mengalir dari dalam alveoli, melalui saluran susu
(ducts/milk canals)menuju reservoir susu (sacs) yang berlokasi di
belakang areola, lalu kedalam mulut bayi. Pengaruh hormonal bekerja
mulai

dari

bulan

ketiga

kehamilan,

di

mana

tubuh

wanita

memproduksihormon yang menstimulasi munculnya ASI dalam system


payudara. (Sherwood, 2011).
Persiapan pemberian ASI di lakukan bersamaan dengan
kehamilan, payudara semakin padat karena retensi air, lemak, serta
berkembangnya kelenjar-kelenjar payudara dan dirasakan tegang dan
sakit. Segera setelah terjadi kehamilan, maka korpus luteum berkembang
terus dan mengeluarkan estrogen dan progesterone untuk mempersiapkan
payudara agar pada waktunya dapat memberikan ASI. (Sherwood, 2011).
a. Komposisi gizi dalam asi
Air susu ibu (ASI) merupakan nutrisi alamiah terbaik bagi bayi
karena mengandung nutrisi alamiah terbaik bagi bayi karena
mengandung kebutuhan energy dan zat yang dibutuhkan selama enam
bulan pertama kehidupan bayi. (Jannah, 2012).
b. Proses laktasi
Proses ini timbul setelah ari-ari atau plasenta lepas. Plasenta
mengandung hormone penghambat prolaktin (hormone plasenta) yang
menghambat pembentukan ASI. Setelah plasenta lepas, hormone
plasenta tersebut tak ada lagi, sehingga air susu pun keluar. (Tarwoto,
2009).
20

c. Pengaruh hormonal
Mulai dari bulan ketiga kehamilan, tubuh wanita memproduksi
hormone yang menstimulasi munculnya ASI dalam system payudara.
(Jannah, 2012).
Proses bekerjanya hormon dalam menghasilkan ASI adalah
sebagai berikut.
1) Saat bayi menghisap, sejumlah sel syaraf di payudara ibu
mengirimkan pesan ke hipotalamus. (Jannah, 2012).
2) Ketika menerima pesan itu, hipotalamus melepas rem penahan
prolaktin. (Jannah, 2012).
3) Untuk mulai menghasilkan ASI, prolaktin yang dihasilkan
kelenjar pituitary merangsang kelenjar-kelenjar susu dipayudara
ibu. (Jannah, 2012).
Hormon-hormon yang terlibat dalam proses pembentukan ASI
adalah sebagai berikut:
1) Progesterone: memengaruhi pertumbuhan dan ukuran alveoli.
Kadar progesterone dan estrogen menurun sesaat setelah
melahirkan. Hal ini menstimulasi produksi ASI secara besarbesaran. (Jannah, 2012).
2) Estrogen: menstimulasi system saluran ASI untuk membesar.
(Jannah, 2012).
3) Prolaktin: berperan dalam membesarnya alveoli pada masa
kehamilan. (Jannah, 2012).
4) Oksitosin: mengencangkan otot halus dalam rahim pada saat
melahirkan dan setelahnya, seperti halnya juga dalam orgasme.
(Jannah, 2012).

21

5) Human placental lactogen (HPL): sejak bulan kedua kehamilan,


plasenta mengeluarkan banyak HPL yang berperan dalam
pertumbuhan payudara, putting, dan areola sebelum melahirkan.
(Jannah, 2012).
d. Proses pembentukan laktogen
1) Laktogenesis I
Pada fase terakhir kehamilan, payudara wanita memasuki
fase Laktogenesis I. Saat itu payudara memproduksi kolostrum,
yaitu berupa cairan kental yang kekuningan. Pada saat itu, tingkat
progesterone yang tinggi mencegah produksi ASI yang sebenarnya.
Namun, hal ini bukan merupakan masalah medis. Apabila ibu
hamil mengeluarkan (bocor) kolostrum sebelum bayinya lahir, hal
ini bukan merupakan indikasi sedikit atau banyaknya prodiksi ASI
sebenarnya nanti. (Jannah, 2012).
2) Laktogenesis II
Saat melahirkan, keluarnya plasenta menyebabkan turunnya
tingkat hormon progesteron, estrogen, dan HPL secara tiba-tiba,
namun hormon prolaktin tetap tinggi. Hal ini menyebabkan
produksi ASI besar-besaran yang dikenal dengan fase Laktogenesis
II. (Jannah, 2012).
Apabila payudara dirangsang, level prolaktin dalam darah
meningkat, memuncak dalam periode 45 menit, dan kemudian
kembali ke level sebelum rangsangan tiga jam kemudian.
Keluarnay hormone prolaktin menstimulasi sel di dalam alveoli
untuk memproduksi ASI, dan hormone ini juga keluar dalam ASI
itu sendiri. Penelitian mengindikasikan bahwa jumlah prolaktin
dalm susu lebih tinggi apabila produksi ASI lebih banyak, yaitu
sekitar pukul 02.00 dini hari hingga 06.00 pagi, sedangkan jumlah
prolaktin rendah saat patudara terasa penuh. (Jannah, 2012).
22

3) Laktogenesis III
Sistem kontrol hormon endokrin mengatur produksi ASI
selama kehamilan dan beberapa hari pertama setelah melahirkan.
Ketika produksi ASI mulai stabil, sistem kontrol autokrin dimulai.
Fase ini dinamakan Laktogenesis III. (Jannah, 2012).
Pada tahap ini, apabila ASI banyak dikeluarkan, payudara
akan memproduksi ASI dengan banyak pula. Dengan demikian,
produksi ASI sangat dipengaruhi oleh seberapa sering dan seberapa
baik bayi menghisap, juga seberapa sering payudara di kosongkan.
(Jannah, 2012).
4) Proses produksi air susu
Pengeluaran ASI merupakan suatu interaksi yang sangat
kompleks antara rangsangan mekanik, saraf, dan bermacam-macam
hormone. Pengaturan hormone terhadap pengeluaran ASI dapat
dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
a. Produksi air susu ibu (prolaktin)
Dalam fisiologi laktasi, prolaktin merupakan suatu
hormone yang disekresi oleh gandula pituitary. Hormone ini
memiliki peranan penting untuk memproduksi ASI, kadar
hormone ini meningkat selama kehamilan. Kerja hormone ini
dihambat oleh hormone plasenta. Dengan lepas atau keluarnya
plasenta pada akhir proses persalinan, maka kadar estrogen dan
progesterone berangsur-angsur menurun sampai tingkat dapat
dilepaskan dan diaktifkannya prolaktin. Peningkatan kadar
prolaktin akan menghambat ovulasi, dan dengan demikian juga
mempunyai fungsi kontrasepsi. (Jannah, 2012).
Pada seorang ibu yang hamil dikenal dua reflex yang
masing-masing berperan dalam pembentukan dan pengeluaran
air susu, yaitu:
23

1. Refleks prolaktin
Menurut (Jannah, 2012) Pada ibu yang menyusui,
prolaktin akan meningkat dalam keadaan-keadaan seperti:
a. Stress atau pengaruh psikis
b. Anestesi
c. Operasi
d. Rangsangan putting susu
e. Tabungan kelamin
f. Obat-obatan trangulizer hipotalamus seperti reserpin,
klorpromazin,dan fenitiazid.
2. Refleks let down
Menurut

(Jannah,

2012)

Faktor-faktor

yang

meningkatkan reflex ini:


a. Melihat bayi
b. Mendengarkan suara bayi
c. Mencium bayi
d. Memikirkan untuk menyusui bayi
Menurut (Jannah, 2012) Beberapa refleks yang
memungkinkan bayi baru lahir untuk memperoleh ASI
adalah:
a. Refleks rooting: memungkinkan bayi baru lahir untuk
menemukanputing susu apabila ia diletakkan di
payudara.

24

b. Refleks menghisap: saat bayi mengisi mulutnya dengan


putting susu atau pengganti putting susu sampai ke
langit keras dan punggung lidah. Refleks ini melibatkan
rahang, lidah, dan pipi.
c. Refleks menelan: yaitu gerakan pipi dan gusi dalam
menekan areola, sehingga refleks ini merangsang
pembentukan rahang bayi.
b. Pengeluaran air susu ibu (oksitosin)
Apabila bayi disusui, maka gerakan menghisap yang
berirama akan menghasilkan rangsangan saraf yang terdapat
didalam glandula pituitary posterior. Akibat langsung refleks
ini adalah dikeluarkannya oksitosin dari pituitary posterior.
Hal-hal

ini

akan

menyebabkan

sel-sel

miopitel

(sel

keranjang atau sellaba-laba) di sekitar alveoli akan


berkontraksi dan mendorong air susu masuk ke dalam
pembuluh ampulae. (Jannah, 2012).
Pengeluaran oksitosin ternyata disamping dipengaruhi
oleh osapan bayi juga oleh suatu reseptor yang terletak pada
system duktus. (Jannah, 2012).
C.

Etiologi
Mengidentifikasi wanita yang berisiko atonia uteri sangat penting
untuk memungkinkan optimalisasi dan langkah-langkah pencegahan yang
harus diambil. Oleh karena itu, rencana persalinan harus diatur dengan baik
dan rujukan yang tepat harus dilakukan. Faktor risiko yang berhubungan
dengan atonia uteri tercantum sebagai berikut, (Lim, Pei Shan, 2012):
1.

Faktor yang terkait dengan uterus overdistensi:


a.

Kehamilan ganda
Kehamilan kembar adalah salah satu kehamilan dengan 2
janin lebih. Bahaya bagi ibu pada kehamilan kembar lebih besar
dari pada kehamilan tunggal, karena sering terjadi anemia, pre
25

eklamsi dan eklamsi, operasi obstetric dan pendarahan poSt


partum, (Hanifa, 2005 dalam Moedjiarto, 2011).
b.

Polihidramnion
Polihidramnion adalah suatu keadaan dimana jumlah air
ketuban lebih banyak dari normal, biasanya lebih dari 2 liter.
Polihidramnion berpotensi terjadi atonia uteri yang berakibat pada
pendarahan post partum karena peregangan uterus yang berlebihan,
(Hanifa, 2005 dalam Moedjiarto, 2011).

c.

Makrosomia janin
Bayi besar (makrosomia) adalah bayi baru lahir yang berat
badan lahir pada saat persalinan lebih dari 4000 gram. Bayi besar
ini dapat menyebabkan perdarahan post partum karena uterus
meregang berlebihan dan mengakibatkan lemahnya kontraksi
sehingga dapat terjadi perdarahan post partum. (Supa., Sofia.,
2013).

d.

Paritas
Paritas merupakan suatu istilah menunjukkan jumlah
kehamilan bagi seorang wanita yang melahirkan bayi yang dapat
hidup pada setiap kehamilan

2.

Faktor terkait persalinan


a.

Induksi persalinan
Induksi persalinan adalah upaya memulai persalinan dengan
cara-cara buatan sebelum atau sesudah kehamilan cukup bulan
dengan jalan merangsang timbulnya his. (Sinclair, 2010 dalam
Sumarni, 2014).
Komplikasi dapat ditemukan selama peaksanaan induksi
persalinan maupun setelah bayi lahir. Komplikasi yang dapat
ditemukan antara lain: antonia uteri, hiperstimulasi, fetal distres,
prolap tali pusat, rupture uteri, solutio plasenta, hiperbilirubinemia,
hponatremia, infeksi intra uterin, perdarahan post partum, kelelahan
ibu dan krisis emosional, serta dapat meningkatkan pelahiran

26

caesar pada induksi elektif. (Cunningham, 2013 dalam Sumarni,


2014).
b.

Persalinan lama
Persalinan lama dapat menyebabkan kelelahan. Bukan
hanya rahim yang lelah cenderung berkonsentrasi lemah setelah
melahirkan. Tetapi juga ibu yang keletihan kurang mampu bertahan
terhadap kehilangan darah, (Oxorn, 2003, dalam Moedjiarto, 2011).

c.

Penghapusan manual plasenta


Penghapusan manual plasenta adalah prosedur umum
dilakukan di tahap ketiga persalinan. Penghapusan manual plasenta
disarankan pada waktu antara 20 menit dan lebih dari 1 jam ke
tahap ketiga.Pilihan waktu untuk keseimbangan antara risiko
perdarahan

post-partum

meninggalkan

plasenta

disitu,

kemungkinan pengiriman spontan dalam waktu 60 menit dan


pengetahuan dari operasi caesar studi bagian bahwa penghapusan
manual itu sendiri menyebabkan perdarahan. (Moedjiarto, 2011).
3.

Faktor intrinsik
a.

Riwayat persalinan buruk sebelumnya


Riwayat persalinan di masa lampau sangat berhubungan
dengan hasil kehamilan dan persalinan berikutnya. Bila riwayat
persalinan yang lalu buruk petugas harus waspada terhadap
terjadinya komplikasi dalam persalinan yang akan berlangsung.
Riwayat persalinan buruk ini dapat berupa abortus, kematian janin,
eklampsi dan preeklamsi, sectio caesarea, persalinan sulit atau
lama, janin besar, infeksi dan pernah mengalami perdarahan
antepartum dan postpartum. (Lubis, Ismail Khairi., 2011).

b.

Usia> 35 tahun
Umur reproduksi yang optimal adalah 20-35 tahun, di
bawah dan diatas usia tersebut akan meningkatkan resiko dalam
kehamilan dan persalinan. Pada wanita usia muda organ-organ
reproduksi belum sempurna secara keseluruhan dan kejiwaan
belum bersedia menjadi ibu sehingga kehamilan sering dengan
27

komplikasi yang salah satunya adalah pendarahan. Resiko


pendarahan pada wanita hamil dan melahirkan yang berusia di
bawah 20 tahun, 2-5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang
berumur antara 20-29 tahun dan akan meningkat bagi sesudah
berusia 35 tahun. Umur diatas 35 tahun, rahim sudah tidak sebaik
umur

20-35

tahun

karena

kemungkinan

persalinan

lama,

pendarahan dan resiko cacat bawaan, (Amriadi, 2012).


D.

Patofisiologi
Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka
tersebut akan menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan
darah sehingga perdarahan akan terhenti. Adanya gangguan retraksi dan
kontraksi otot uterus, akan menghambat penutupan pembuluh darah dan
menyebabkan perdarahan yang banyak. Keadaan demikian menjadi faktor
utama penyebab perdarahan pasca persalinan. Perlukaan yang luas akan
menambah perdarahan seperti robekan servix, vagina dan perineum
(Manuaba, 2008).
Penyebab terjadinya perdarahan pasca persalinan yaitu atonia uteri
dimana myometrium tidak dapat berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah
yang keluar dari bekas tempat melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali.
Jika uterus tidak berkontraksi dengan segera setelah kelahiran plasenta,
maka ibu dapat mengalami perdarahan sekitar 350-500 cc/menit dari bekas
tempat melekatnya plasenta. Bila uterus berkontraksi maka miometrium
akan menjepit anyaman pembuluh darah yang berjalan diantara serabut otot
tadi (JNPK/ Jaringan Nasional Pelatihan Klinik, 2007).
Miometrium berkontraksi dan serat-serat ototnya memendek
(retraksi). Kontraksi dan retraksi miometrium menyebabkan penekanan dan
sumbatan perdarahan yang berasal dari arteri serta vena spiralis maternal.
Kegagalan miometrium untuk berkontraksi dan beretraksi secara adekuat
atau atonia uteri setelah persalinan menyebabkan perdarahan postpartum.
Perdarahan dari uterus dan jalan lahir pada saat kehamilan akibat trauma
atau adanya sisa plasenta menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah
28

yang lebih banyak di bandingkan saat tidak hamil. (Smith, 2012 dalam tesis
amanda, larissa).
Pada perdarahan karena atonia, uterus membesar dan lembek pada
palpasi, sedangkan pada perdarahan akibat perlukaan, uterus berkontraksi
dengan baik. Dalam hal uterus berkontraksi dengan baik perlu diperiksa
lebih lanjut tentang adanya dan dimana letaknya perlukaan dalam jalan
lahir. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan tanda-tanda syok
yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil,
ekstrimitas dingin, dan lain-lain (Wiknjosastro, 2005).
E.

Manifestasi Klinis
Menurut Lia yulianti ( 2010 ).
1. Uterus tidak berkontraksi dan lembek.
2. Perdarahan post partum.
Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan
darah tidak merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai
gumpalan, hal ini terjadi karena trombokplastin sudah tidak mampu lagi
sebagai anti pembekuan darah.
3. Konsistensi rahim lunak.
Gejala ini merupakan gejala terpenting atau khas atonia dan yang
membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.
4. Pada palpasi, meraba Fundus Uteri diserti perdarahan yang memancur
dari jalan lahir.
5. Fundus uteri naik.
6. Terdapat tanda-tanda syok
a. Nadi cepat dan lemah (110 kali/ menit atau lebih).
b. Tekanan darah sangat rendah : tekanan sistolik < 90 mmHg.
c. Pucat.
d. Keriangat/ kulit terasa dingin dan lembap.
e. Pernafasan cepat frekuensi 30 kali/ menit atau lebih.
f. Gelisah, binggung atau kehilangan kesadaran.
29

g. Urine yang sedikit ( < 30 cc/ jam ).


F.

Komplikasi
Komplikasi pada atonia uteri yaitu perdarahan post partum primer (>
500 cc) yang dapat mengakibatkan syok yang berat, dapat terjadi komplikasi
lanjutan yaitu anemia dan infeksi dalam keadaan anemia bisa berlangsung
berat sampai sepsis. Pada perdarahan yang disertai oleh pembekuan
intravaskuler merata dapat terjadi kegagalan fungsi organ-organ seperti
gagal ginjal mendadak (Lubis, 2011).

G.

Pemeriksaan Penunjang
1.

Pemeriksaan Laboratorium
a.

Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak dlm periode


antenatal. Kadar hemoglobin dibawah 10 g/dL berhubungan
dengan hasil kehamiln kehamilan yang buruk. (Bickley LS, 2009).

b.

Pemeriksaan gologan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak


periode antenatal. (Bickley LS, 2009).

c.

Perlu melakukan pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu


perdarahan dan waktu pembekuan (BT, CT,PT dan aPTT).
(Bickley LS, 2009).

d.

Coagulation laboratory studies : peningkkatan PT, aPTT dan INR


(international normalized ratio) dapat menunjkkan adanya kelainan
pembekuan darah atau koagulopi (Dyne PL,2012).

e.

Fibrinogen level : kadar fibrinogen sering meningkat sehingga 300600 mg/dl pada kehamilan. Nilai normal atau kadar yang rendah
memungkinkna sesuatu koagulopati (Dyne PL,2012 ).

f.

Pemeriksaan Elektrolit : memeriksaan apakah ada gangguan


elektrolit seperti hipolsemia, hipokalemia, dan hipomagnesia,
pemeriksaan dilakukan resusitasi cairan atau resusitasi darah (Dyne
PL,2012).

g.

BUN/Kreatinin : pemeriksaan ini dapat membantu untuk


mengidentifikasi apakah ada kegagalan pada ginjal sebagai suatu
komplikasi syok. Jika nilai BUN meningkat selama atau setelah

30

resusitasi cairan, perimbanagn suatu hemolisis yang terjadi dari


komplikasi (Dyne PL,2012 ).
2.

Pemeriksaan radiologi
a.

Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan


diagnosis dan penenganan yang tepat,resolusi biasa terjadi sebelum
pemeirksaan

laboratorium

atau

radiologi

dapat

dilakukan.

Berdasarkan pengalaman pemeriksaan USG dapat membantu untuk


melihat adanya jendela arah dan retensi sisa plasenta. (Bickley LS,
2009).
b.

Ultrasonografi
Secara umum,ultrasonografi pelvik (trans abdominal/trans
vaginal ) sangat membantu untuk melihat adanya sisa plasenta
yang besar,hematoma,atau abnormalitas intrauterin yang lainya.
Sisa plasenta dan hematoma dapat terlihat identik,namun dapat
dibedakan antara satu lainya dengan menggunakan Doppler USG
dimana hematoma tampak avaskule sedangkan pada sisa plasenta
dapat terlihat

adanya aliran darah persisten dari uterus.

Pemeriksaan abdominal FAST ( focused assessment with


sonogarphy in taruma ) dapat membantu mengidentifikasi cairan
dalam peritoneal yang dapat disebabkan oleh perdarahan (Dyne
PL, 2012
c.

CT-Scan : memperlihatkan gambaran detil terhadapt hematoma


pelvis,luka persalinan sectio caesarea, dan sisa plasenta ( Dyne PL,
2012 ) .

d.

MRI : menbantu mengidentifikasi hematoma dan abses pada


intrauterin atau ekstrauteri yang tidak dapat dilihat jelas oleh USG
atau CT-scan (Dyne PL, 2012).

H.

Penatalaksanaan
1. Non Farmakologi
Menurut Karkata (2009), banyaknya darah yang hilang akan
mempengaruhi keadaan klien. Klien bisa masih dalam keadaan sadar,
sedikit anemis, atau sampai syok hipovolemik berat. Perdarahan yang
31

lebih dari 1000 ml atau bahkan lebih dari 1500 ml (20-25% volume
darah) akan menimbulkan gangguan vaskular hingga terjadi shock
hemoragik sehingga tranfusi darah diperlukan (Ramanathan &
Arulkumaran, 2006). Tindakan pertama yang dilakukan bergantung pada
keadaan kliniknya. Pada umumnya dilakukan secara simultan (bila klien
syok) hal-hal sebagai berikut:
a. Sikap Trendelenburg, memasang venous line, dan memberikan
oksigen. (Karkata, 2009).
b. Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara :

Masase fundus uteri dan merangsang puting susu. (Karkata,


2009).

Kompresi bimanual eksternal dan/atau internal (Karkata, 2009).

Kompresi aorta abdominalis (Karkata, 2009).

Gambar. 4 Kompresi bimanual internal


(Sumber : Cunningham et al., 2005).

32

Gambar. 5 Kompresi bimanual eksternal


(Sumber : Depkes RI 2007).

c. Pemasangan tampon (packing) kassa uterovaginal.


Alternatif dari pemberian tampon selain dengan kassa, juga
dipakai beberapa cara yaitu dengan menggunakan : SengstakenBlakemore tube, Rusch urologic hydrostatic balloon catheter (Folley
catheter) atau SOS Bakri tamponade balloon catheter. Pada tahun
2003 Sayeba Akhter, dkk. mengajukan alternatif baru dengan
pemasangan kondom yang diikatkan pada kateter. Dari penelitiannya
disebutkan angka keberhasilannya 100%, kondom dilepas 24-48 jam
kemudian dan tidak didapatkan komplikasi yang berat. Cara ini
kemudian disebut dengan Metode Sayeba. Cara pemasangannya
adalah secara aseptik kondom yang telah diikatkan pada kateter
dimasukkan kedalam cavum uteri. Kondom diisi dengan cairan
garam fisiologis sebanyak 250-500 cc sesuai kebutuhan. Dilakukan
observasi perdarahan dan pengisian kondom dihentikan ketika
perdarahan sudah berkurang. Untuk menjaga kondom agar tetap di
cavum uteri, dipasang tampon kasa gulung di vagina. Bila
perdarahan berlanjut tampon kassa akan basah dan darah keluar dari
introitus vagina. Kontraktilitas uterus dijaga dengan pemberian drip
oksitosin paling tidak sampai dengan 6 jam kemudian. Diberikan
antibiotika tripel, Amoksisilin, Metronidazol dan Gentamisin.
Kondom kateter dilepas 24-48 jam kemudian, pada kasus dengan
33

perdarahan berat kondom dapat dipertahankan lebih lama (Danso D


and Reginald PW, 2006).

Gambar. 6 Sengstaken-Blakemore tube and Bakri ballon


(Sumber : Danso D and Reginald PW, 2006 ).

Gambar. 7 Rsch hydrostatic balloon catheter


(Sumber: Danso D and Reginald PW, 2006).

34

Gambar. 8 Bakri Postpartum Balloon


(Sumber : Bakri YN et al., 2001).
Bila penanganan dengan non operatif ini tidak berhasil, baru
dilakukan penanganan secara operatif ( laparotomi dengan pilihan
bedah konservatif (mempertahankan uterus) atau melakukan
histerektomi ), yaitu :
d. Laparatomi pemakaian metode B-Lynch
e. Ligasi arteri uterina, arteri hipogastrika ( iliaka interna )
Bila

dengan

cara

ini

belum

berhasil

menghentikan

perdarahan dilakukan.
f. Histerektomi supravaginal
g. Histerektomi total abdominal.
2. Farmakologi
Pemberian obat uterotonika :
a. Oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan secara intramuscular,
intravena, atau subcutan.
b. Memberikan derivat prostaglandin F2 (carboprost tromethamine)
yang kadang memberikan efek samping berupa diare, hipertensi,
mual, muntah, febris, dan takikardia.
c. Pemberian misoprostol (800 - 1.000 g) per-rektal.
Tabel. 1 Jenis uterotonika dan cara pemberiannya
Jenis dan

Oksitosin

cara

Ergometr

Misoprostol

in

Dosis dan

IV: 20 IU dalam 1liter

IM atau

Oral atau rektal

cara

larutan garam fisiologis

IV

400ug dapat

pemberian

dengan tetesan cepat

(lambat)

diulang

IM: 10 IU

0,2mg

Dosis

IV: 20 IU dalam 1 liter

Ulangi 0,2

lanjutan

larutan garam fisiologis

mg IM

dengan 40 tetes/menit

setelah 15

sampai 1200ug
400 mg 2-4
jam setelah

35

menit
Dosis

Tidak lebih dari 3 liter

Maksimal

larutan dengan

per hari

Oksitosin

Kontra

Pemberian IV secara

indikasi

cepat atau bolus

dosis awal

Total 1 mg Total 1200ug


atau 5
dosis
atau 3 dosis

Preeklamp

Nyeri kontraksi

sia,

Asma

vitium
cordis,
hipertensi
(Sumber : Departemen Kesehatan Indonesia, 2007).
Macam-macam uterotonika menurut Rukiyah (2010), antara lain:
1.

Oksitosin
Oksitosin pertama kali digunakan pada klinik oleh Sir Henry
Dale dan Sir Blair Bell pada tahun 1909, mereka juga menggambarkan
susunan efek farmakologinya, diekstraksi dar hipofisis. Pembuatan
sintesisnya pertama kali oleh Du viaugneud, Ressiar dan Trippet.
(Rukiyah, 2010).
Saat ini oksitosin digunakan secara luas sebagai peransang
uterus. Penggunaannya secara umum untuk induksi persalinan atau
perbaikan kontraksi uterus dan penanganan pendarahan pasca
persalinan. Oksitosin diproduksi dihipotalamus dan dieksresikan dari
kelenjar hipofise posterior secara pulsatif. Reseptor spesifik oksitosin
beradadi membrane sel, ditemukan pada miometrim dan payudara.
Oksitosin meransang kontraksi otot polos uterus dan kelenjar payudara.
Diduga pula oksitosin memungkinkan terjadinya persalinan dan
memegang peran penting pada ejeksi air susu. Waktu paruh 3-4 menit.
Masa kerjanya sekitar 20-30 menit, dimetabolisir dan degradasi oleh

36

enzim oksitonase kemudian komponen asam amino diredistribusi atau


dibuang melalui ginjal. (Rukiyah, 2010).

Struktur atau susunan kimia


Oksitosin

merupakan

oktapepsida

yang

disintesis

hipotalamus, didaerah nuclei yang berdekata dengan

pada
hormon

antidieuretik (ADH). Terbentuk dari berbagai gabungan precursor


yang mengandung protein pengikat spesifik, yang disebut sebagai
oxytocin-neurophysin. (Rukiyah, 2010).
Oxytocin-neurophysin mengandung

90 rantai asam amino yang

mirip posisinya seperti pada ADH-neurophisin. Proses metabolism


dan degradasi pemecah rantai asam amino dilakukan oleh enzim
oksitonase, dimana ekskresinya melalui ginjal. (Rukiyah, 2010).

Farmakokinetika oksitosin
Oksitosin yang diberikan secara parenteral diinaktifasi oleh enzim
peptidase didalam plasma. Enzim ini selama kehamilan dihasilkan
oleh plasenta dan jaringan desidua dalam bentuk oksitotosinase
yang bersifat proteolitik (Rukiyah, 2010).
Oksitosin mempunyai waktu paruh singkat yaitu dalam beberapa
menit. Beberapa hasil penelitian menunjukkan waktu paruh
oksitosin 2,5-5 menit karena itu pemberiannya harus diulang untuk
mempertahankan kadarnya didalam plasma (Rukiyah, 2010).
Pengeluaran oksitosin yang terdapat dalam plasma berlangsung
cepat yaitu melalui ginjal dan hati (Rukiyah, 2010).

Cara kerja
Oksitosin yang beredar akan berefek bila terdapat reseptor
oksitosin pada membrane sel otot polos sehingga meransang
pelepasan sel yang akan menyebabkan kontraksi uterus. Oksitosin
terikat pada reseptornya pada sel membrane sel miometrium, yang
selanjutnya terbentuk siklin adenosine monofosfat (cAMP).
Oksitosin bekerja dengan menimbulkan depolarisasi potensial
membrane sel, sehingga terjadi penurunan nilai ambang listrik
membrane sel. Dengan terikatnya oksitosin pada membrane sel,
37

maka Ca dimobilisasi dari

reticulum

sarkoplasmik untuk

mengaktivasi protein kontraktil. Oksitosin meransang frekuensi dan


kekuatan kontraksi otot polos uterus, dimana efek ini tergantung
pada konsentrasi estrogen dan progesterone. Pada konsentrasi
estrogen yang rendah, efek oksitosin terhadap uterus juga
berkurang. Dengan dominasi pengaruh estrogen, meningkay sesuai
dengan umur kehamilan, kepekaan uterus terhadap oksitosin
meningkat. Selain itu kepekaan uterus juga dipengaruhi oleh
reseptor oksitosin, yang semakin banyak dengan semakin tuanya
kehamilan. Sensitifitas maksimal oksitosin dicapai pada kehamilan
34-36 minggu. Selain itu oksitosin mempunyai efek menimbulkan
intoksikasi air terutama pada penderita yang mendapat cairan infus
dalam jumalh besar, meningkatkan permeabilitas membrane sel
terhadap natrium sehingga terjadi hiponatremia dan retensi air
(efek antidiuretka), aktivasi mioepitel kelenjar mammae sehingga
ASI masuk ke dalam sinus (efek pada payudara), dan terhadap
kardiovaskuler akan terlihat relaksasi otot polos pembuluh darah
secara langsung. Terjadi penurunan tekanan sistolik dan terutama
pembuluh darah diastolic, warna kulit menjadi merah dan aliran
darah ke ekstremitas bertambah. Secara refleks akan timbul
takikardia dan peninggian curah jantung. (Rukiyah, 2010).

Indikasi dan penggunaan


Secara umum oksitosin digunakan simulan uterus, dimana dapat
digunakan untuk induksi persalinan dan perbaikan kontraksi uterus
dalam persalinan, juga untuk profilaksi dan penanganan perdarahan
pasca persalinan. (Rukiyah, 2010).
Pemberian oksitosin 10 U IM sebagai managemen aktif kala III
persalinan berguna untuk meransang uterus berkontraksi yang juga
mempercepat pelepasan plasenta (Rukiyah, 2010).

Efek samping oksitosin


Efek samping oksitosin umunya tidak dapat ditoleransi karena
mengandung vasopressin yaitu suatu zat yang mempunyai efek
38

vasokontriksi dan mengandung protein hewan. Menurut beberapa


penelitian tentang ekstrak oksitosin dilaporkan adanya kasus-kasus
yang mengalami syok. Syok yang terjadi disebabkan oleh
kegagalan jantung, spasmus arteri koronaria atau karena syok
anafilatik. Selain itu ditemukan satu kasus kematian ibu saat
dilakukan induksi persalinan dengan menggunakan oksitosin
alamiah, kematian ini disebabkan karena terjadi spasmus arteri
koronaria yang menimbulkan hipoksia otak dan aritmia jantung.
Efek samping lain pada penggunaan oksitosin alamiah adalah nyeri
kepala frontal dan kegelisahan. (Rukiyah, 2010).
Dengan ditemukannya oksitosin sintesis, efek kardiovaskuler dapat
ditoleransi. Pemberian oksitosin secara bolus intra vena tidak
disarankan, karena menimbulkan vasodilatasi sementara, sehingga
terjadi penurunan tekanan darah. Mulai terjadinya vasodilatasi
dalam 30 detik stelah pemeberian bolus intra vena kemudian akan
dipertahankan selama 3-5 menit, dan rata-rata menurunkan darah
30%-45% dari keadaan semula. Lima sampai 10 detik setelah
terjadi penurunan tekanan darah terjadi takikardi dengan rata-rata
peningkatan denyut jantung 20 kali/menit dan meningkatkan curah
jantung sebesar 21%. (Rukiyah, 2010).
Oksitosin yang diberikan denga cara tetesan perinfus atau intra
muscular tidak banyak mempengaruhi system kardiovaskuler.
(Rukiyah, 2010).

2.

Misoprostol
Misoprostol merupakan suatu analog metilester prostaglandin E,
yang dibuat dan dipasarkan sebagai gastroprotektor. Obat ini berefek
menghambat sekresi HCL dan bersifat sitoprotektif untuk mencegah
tukak saluran cerna yang diinduksi oleh obat-obat AINS. Obat ini
memiliki 4 streoisomer, larut dalam air, dapat memberikan efek
immunosupresif, menyebabkan vasodilatasi dan bertindak sebagai
uterotonika (Rukiyah, 2010).
39

Sediaan misoprostol berupa 100 g, 200 g dan juga campuran


dengan natrium diklofenak (mengandung 200 g misoprostol) dengan
harga relative murah. (Rukiyah, 2010).

Farmakologi
Prostaglandin E, berasal dari asam dihomo-linoleat (ADHL),
sedangkan prostaglandin E berasal dari asam arakidonat (AA),
keduanya dapat menyebabkan kontraksi otot polos. Baik AA
maupun ADHL disintesis oleh enzim fosfolipase A dari fosfolipid
membrane sel. Khasiat khusus dari PGE adalah mencegah tukak
lambung (Rukiyah, 2010).
Pada saat ini misoprostol dipasarkan sebagai obat sitoprotektif
untuk mencegah tukak lambung. Selain efek sitoprotektif pada
mukosa lambung dengan meningkatkan produksi mucus dan
bikarbonat. Misoprostol juga berpengaruh kepada otot polos uterus
dan serviks (Rukiyah, 2010).

Farmakokinetika misoprostol
Misoprostol sebagai stimulan myometrium bekerja dengan
mengikat reseptor E-2 dan E-3 prostanoid. Misoprostol merupakan
tablet putih yang larut dalam air serta stabil pada temperature
ruangan. Pada penggunaan oral akan di absorpsi dengan cepat dan
habis terlarut dalam waktu 1,5 jam. Misoprostol mengalami deesterifikasi menjadi asam misoprostol (misoprostolic acid), yang
merupakan zat aktif dalam ativitas kliniknya, dimana zat ini terikat
pada albumin serum. Selanjutnya akan mengalami oksidasi dan
reduksi menjadi analog prostaglandin dan diekresi lewat urin dan
lewat feses. 73 % radioaktivitas dari pemberian secara oral
dikeluarkan dalam urine dan 15 % dalam feses pada 24 jam
pertama. Dosis maksimal dicapai dalam 30 menit dan waktu paruh
20-40 menit dengan durasi efek selama 4 jam. Kira-kira 56% dari
total radioaktivitas yang dikeluarkan melalui urin dalam 8 jam
setelah pemberian. Misoprostol tidak diakumulasi dalam sel-sel
darah merah. Misoprostol dimetabolisme oleh system oksidasi
40

asam lemak (beta dan omega oksidasi) yang terdapat pada organorgan ditubuh. Absorbsi misoprostol cepat dan dapat dideteksi pada
sirkulasi dalam 2 menit, mencapai kadar puncak 12,5-60 menit dan
akan turun pada menit ke 120 (Rukiyah, 2010).
Pada pemberian perrektal, waktu paruhnya kurang dari 30 menit
dan puncak levelnya 15 menit. Efek bertingkat untuk mencapai
kadar maksimum pada 60-120 menit tetapi pada menit ke 240,
levelnya masih 60% dari puncak level. (Rukiyah, 2010).

Cara kerja
Misoprostol memiliki efek sitoproteksi (yang merupakan indikasi
terapi) dan efek samping diare, nyeri perut dan uterutonika. Efekefek ini terjadi berdasarkan kontak dari zat aktif dengan reseptor
secara topical dan sistemik pada organ-organ yang terkait. Obat ini
dipasarkan dalam bentuk ikatan kovalen yang dapat terhidrolisa,
sehingga pelepasannya terkontrol hanya pada suasana asam.
(Rukiyah, 2010).
Misoprostol menimbulkan efek antisekresi asam lambung, dengan
kompetisi apada ikatannya dengan reseptor prostaglandin sel
parietal. Juga menimbulkan edema pada submukosa dan mukosa
lambung, dilatasi daerah kelenjar lamina propia,mempercekil
foveola lambung, vasodilatasi pembuluh darah,menurunkan tinggi
dan luas epitel permukaan,pembengkakan rongga interseluler basal
dan meningkatkan luas mukosa. (Rukiyah, 2010).
Misoprostol bersifat agonis, antagonis atau keduanya terhadap
prostaglandin endogen mencegah pelepasan sitikin perusak
jaringan dan mediator peradanagn serta menjaga homeostasis.
Misprostol dalam kadar rendah (10-6 M) menekan stimulasi
interleukin (II-I,II-6,II-8), Tromboksan B2,

y-

interferon,produksi

superoksida dan TNF, serta merangsang pembentukan 6ketoprostasiklin.cara

kerja

misoprostol

untuk

pencegahan

perdarahan pasca persalinan masih terbatas . pada pemakaian


misoprostol secara rectal, obat akan diserap melalui mukosa rectal
41

dan akan masuk ke sirkulasi darah tubuh, sehingga uterus akan


berkontraksi (target organ ) melalui peningkatan hubungan
kesenjanagn (gap junction) dan peningkatan kadar ca

++

(Rukiyah,

2010).
Intraceluler, peningkatan reseptor oksitosin, peningkatan actinmiosin sehingga terjadi kontraksi miometrium. (Rukiyah, 2010).

Indikasi dan penggunaan


Pada pembuatannya misoprostol merupakan obat gastroprotektif,
yang ditujukan untuk mencegah terjadinya ulkus peptikum pada
penggunaan AINS. Selain itu misoprostol juga memberikan efek
yang baik pada, fungsi imun, paru-paru (asma), kardiovaskuler
(penurunan kadar kolesterol, penyakit vaskuler perifer), periodontal
(proteksi mukosa), musculoskeletal (proteksi sendi, osteoporosis),
analgesia,

reaksi

alergi,

urology

(perbaikan

fungsi

pada

transplantasi ginjal, sistitis), hati (sitoprotektif untuk hepatosit).


(Rukiyah, 2010).
Dalam perkembangannya, misoprostol ternyata berguna sebagai
bahan abortifisien secara oral dan dalam kombinasi dengan
mifepriston, dan abortifum secara vaginal dengan dosis 800

setelah sebelumnya diberikan metrotrexat. Kemudian dipakai untuk


pematangan serviks serta induksi persalinan baik secara oral
maupun pervaginam dan telah banyak menimbulkan keberhasilan
tanpa menimbulkan efek samping yang berarti. Misoprostol stabil
pada suhu kamar, biasa dipakai secara oral, vaginal maupun rectal.
Efek samping yang pernah dilaporkan adalah, mual, muntah, diare,
dan efek samping ini berkorelasi dengan dosis yang dipakai
(Rukiyah, 2010).
Asam misoprostol dapat disekresi pada kolostrum dalam 1 jam
setelah pemberian misoprostol 600

g peroral. Farmakokinetika

misoprostol setelah pemberian peroral selama pasca persalinan


adalah sama dengan periode kehamilan. Level misoprostol dalam
42

kolostrum dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari terapi pada


bayi baru lahir. (Rukiyah, 2010).
Efek misoprostol

terhadap kontraksi

uterus

sama dengan

prostaglandin yang lainnya, tetapi jika prostaglandin E2 dan F2


diberikan secara peroral dengan dosis yang biasa menyebabkan
kontraksi uterus pada kehamilan muda akan menimbulkan efek
samping (Rukiyah, 2010).
Pemakaian misoprostol untuk penatalksanaan kala III juga telah
diteliti oleh beberapa ahli baik diluar negeri maupun didalam
negeri. Pada penelitian pemberian misoprostol diberikan secara
oral dengan dosis 600 g segera setelah bayi lahir (Rukiyah, 2010).

Kontra indikasi
Sampai saat ini tidak ditemukan kontraindikasi pemakaian
misoprostol, jika digunakan untuk pencegahan penanganan aktif
kala

III

persalinan

dalam

mencegah

perdarahan

pasca

persalinan(Rukiyah, 2010).
Misoprostol dapat merupakan kontraindikasi pada kehamilan
karena dapat menyebabkan abortus, hiperstimulasi pada uterus dan
dapat menyebabkan rupture uteri yang dapat menyebabkan
kematian pada bayi maupun ibu. Hal ini karena terjadi kontraksi
uterus melalui peningkatan hubungan kesenjangan (gap junction)
dan peningkatan kadar Ca intraceluler, peningkatan resptor
oksitosin, peningkatan actin myosin sehingga terjadi kontra
indikasi miometrium (Rukiyah, 2010).

Efek samping
Secara klinik efek samping yang ditimbulkan adalah diare, nyeri
perut dan uterotonika. Efek samping pada ibu berupa diare (13%),
sakit perut (7%), nausea (3,2%), flatulens (2,9%), sakit kepala
(2,4%), dispesi (2%), muntah-muntah (1,3%), konstipasi (1,1%),
vaginal spotting ( 0,7%), cramping (0,6%), menoragi (0,5%).
(Rukiyah, 2010).

3.

Metilergonovin maleat
43

Merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat menyebabkan


tetani uteri setelah 5 menit pemberian secara IM. Dapat di berikan
secara IM 0,25 mg, dapat di ulangngi setelah 5 menit sampai dosis
maksimu 1,25 mg, dapat juga di berikan secara langsung apabila di
perlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg. Obat ini di kenal dapat
menyebabkan vasopasme periver dan hipertensi,

dapat juga

menyebabkan nausea dan vornitus, obat ini tidak boleh di berikan pada
pasien dengan hipertensi. (Rukiyah, 2010).
I.

Konsep Nursing Care Plan


1. Pengkajian dan Pemeriksaan Fisik
a. Ibu
Menurut Lowdermilk., et al (2010), pengkajian post partum
meliputi :
a) Anamnesa
a) Identitas Klien
Nama klien, usia, tempat tanggal lahir, status
perkawinan, pekerjaan, pendidikan terakhir, hobby, alamat,
nomer handphone.
b) Identitas Penanggungjawab
Nama penanggungjawab, usia, tempat tanggal lahir,
status perkawinan, pekerjaan, pendidikan terakhir, alamat,
nomer handphone.

c) Keluhan Utama
Keluhan yang paling utama dirasakan oleh Klien
(focus pada salah satu hal yang menurutnya paling
mengganggu).
d) Riwayat Kesehatan Sekarang
Keluhan utama lebih lanjut dan lebih detail meliputi
sejak kapan keluhan mulai dirasakan, keluhan dirasakan
44

tiba-tiba atau sudah dirasakan sebelumnya yang hilang


timbul (onset), apa yang memperberat dan mengurangi
keluhan (palliativ), apa yang dapat mencetuskan kembali
keluhan, apakah upaya yang telah dilakukan untuk
mengurangi keluhan (provokativ), kualitas atau karakter,
kuantitas atau tingkat keparahan, dibagian mana keluhan
dirasakan,

apakah keluhan menetap

atau

menyebar

dirasakan, hingga ke bagian tubuh mana penyebarannya


(region), bagaimana gejala yang dirasakan, apakah gejala
tersebut menimbulkan keluhan menjadi lebih berat, jika
nyeri pada skala berapa (severity), pada saat apa keluhan
dirasakan dan semakin dirasakan.
e) Riwayat Kesehatan Dahulu
Penyakit infeksi (campak, gondongan, batuk rejan,
cacar air, demam rematik, difteria, polio, tuberculosis,
hepatitis, meningitis), penyakit kronik dan sistemik
(diabetes mellitus, artritis, stroke, tiroid, hipertensi,
arteriosklesosis, penyakit jantung, kanker, anemia bulan
sabit), kecelakaan dan perlukaan, operasi, pembedahan,
hospitalisasi, transfusi darah, riwayat imunisasi (BCG,
polio, DPT, hepatitis, campak MMR, varicella, influenza,
vaksin

pneumokokus,

uji

tuberkulin

TB

terakhir),

pemeriksaan skrining terakhir (tes pap, mammogram, uji


samar darah tinja, sigmoidoskopi atau kolonoskopi,
hematokrit, hemoglobin, titer rubella, urinalisis, tes
kolesterol, EKG, pemeriksaan penglihatan, gigi, dan
pendengaran).

Riwayat

infertilitas,

grand

multipara,

neonatal death, incompetent cervix, previous prolonged


labour, previous preterm labour, previous low birth weight
infant, caesarean birth, midforcep delivery, macrosemic
infant, pregnancy loss (spontaneus

or induced), mola

hidatidosa, birth injury.


45

f) Riwayat Perkawinan
Usia perkawinan, lama perkawinan, pernikahan ke- ,
jenis kelamin pasangan.
g) Riwayat Obstetri saat ini
Riwayat kehamilan, Persalinan, Abortus (Gravida,
Varitas, Abortus) GPA
h) Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Tahun kehamilan dan persalinan, tipe persalinan,
penolong persalinan, jenis kelamin, BB lahir, keadaan bayi
waktu lahir, masalah kehamilan.
i) Pengalaman Menyusui
Pengalaman menyusui atau tidak, berapa lama
menyusui.
j) Riwayat Kehamilan Saat Ini
Berapa kalo diperiksa hamil, apakah pernah
mengalami masalah kehamilan
k) Riwayat Persalinan
Jenis persalinan (spontan; letkep/letsu)/ SC a/l,
tanggal, jam, jenis kelamin bayi (L/P, BB/PB .......... gram/
......... cm,A/S), perdarahan ......... cc, masalah dalam
persalinan.
l) Riwayat Ginekologi
Apakah mempunyai masalah ginekologi, riwayat
kontrasepsi (KB; jenis, lama pemakaian, efek samping).
b) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum, kesadaran (GCS), BB/TB kg/cm, tandatanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, pernafasan), kepala,
leher, mata, hidung, mulut, telinga, masalah khusus, dada,
jantung, paru-paru, payudara, dada, putting susu, abdomen
46

(invosi uterus, fundus uterus; kontraksi, posisi), kandung


kemih, fungsi pencernaan, perineum dan genital, vagina;
integritas kulit, edema, memar, hematom, perineum; utuh /
episiotomi / ruptur.
b) Tanda REEDA
-

R: rubor : ya/tidak

E: edema: ya/tidak

E: echimosis: ya/tidak

D: discharge: serum/pus/darah/tidak ada

A: approximate: baik/tidak

c) Kebersihan, Lokia; jumlah, jenis atau warna, konsistensi,


bau, haemorrhoid, ekstremitas; ekstremitas atas, bawah.
Varises, ekstermitas (atas dan bawah); edema atau tidak,
lokasi edema dimana, varises; ada atau tidak, tanda hormon,
eliminasi; BAK dan BAB (konsistensi, jenis, warna, bau
jumlah).
d) Istirahat dan kenyamanan
Pola tidur: kebiasaan:
-

tidur....lama....jam,

frekuensi...pola tidur saat ini,

Keluhan ketidak nyaman:


-

ya/tidak, lokasi... sifat... intensitas,

Masalah khusus.

e) Mobilisasi dan latihan


-

Tingkat mobilisasasi

latihan atau senam

masalah khusus

f) Nutrisi dan cairan


Asupan nutrisi; nafsu makan:
-

baik/kurang/tidak,

Asupan cairan: cukup/kurang


47

Masalah khusus .

g) Keadaan mental
-

Adaptasi psikologis

penerimaan terhadap bayi

masalah khusus...,

kemampuan menyususi,

obat-obatan,

keadaan umum ibu,

tanda vital, jenis persalinan...,

h) Proses persalinan
-

Kala I ...jam

Indikasi .... kala II..... Menit...

Komplikasi persalinan ibu: ..... janin....

Lamanya ketuban pecah ..... kondisi ketuban....

i) Nilai APGAR
-

Denyut jantung: Tidak ada (0) kurang dari 100 (1) lebih
dari 100 (2) jumlah....

Usaha nafas: Tidak ada (0) lambat (1) menangis kuat


(2) jumlah....

Tonus otot: Lumpuh (0) ikstermitas fleksi sedikit (1)


gerakan aktif (2) jumlah...

Iritabilitas reflek: Tidak ada reaksi (0) gerakan sedikit


(1) reaksi melawan (2) jumlah.

Warna: Biru / pucat (0) tubuh kemerahan tangan dan


kaki biru (1) kemerahan (2) jumlah .....

j) Tindakan resusitasi......
k) Plasenta: berat .....
l) Tali pusat: panjang... Kelainan :....
m) Hasil pemeriksaan penunjang :

b. Bayi Baru Lahir


48

Menurut Lowdermilk., et al (2010), pengkajian bayi baru


lahir meliputi :
1) Anamnesa
a) Riwayat Persalinan
-

BB/TB ibu...............kg/........cm,

Persalinan di........................

b) Keadaan Bayi Saat Lahir


-

Lahir tanggal:...........jam:..............

jenis kelamin...................

Kelahiran : tunggal / gemeli

c) Nilai APGAR
-

Denyut jantung: Tidak ada (0) kurang dari 100 (1) lebih
dari 100 (2) jumlah....

Usaha nafas: Tidak ada (0) lambat (1) menangis kuat


(2) jumlah....

Tonus otot: Lumpuh (0) ikstermitas fleksi sedikit (1)


gerakan aktif (2) jumlah...

Iritabilitas reflek: Tidak ada reaksi (0) gerakan sedikit


(1) reaksi melawan (2) jumlah ..

Warna: Biru / pucat (0) tubuh kemerahan tangan dan


kaki biru (1) kemerahan (2) jumlah .....

d) Tindakan resusitasi......
e) Plasenta; berat .....

f) tali pusat:
-

panjang...

Ukuran.........................

jumlah pembuluh darah..........

kelaianan......

2) Pengkajian fisik
a) Umur...............hari...............jam
49

b) Berat badan......................
c) Panjang badan..................
d) Suhu....................................
e) Lingkar kepala................
f) Lingkar dada.....................
g) Lingkar perut....................
h) Kepala

Bentuk

Bulat

Kepala

lain-lain

Ubun ubun

Molding
Kaput
Cephalhematom
Besar

Mata

Kecil
Sutura
posisi ...............

Mulut

Kotoran
Perdarahan
Simetris

Hidung

Palatum mole
Paltum curum
Gigi
Lubang hidung

Leher

Keluaran
Pernafasan cuping hidung
Pergerakan leher

i) Tubuh

Warna

Pink

Pergerakan

Pucat
Sianosis
Kuning
Aktif
50

Kurang

Dada

Simetris
Asimetris
Retraksi
Seesaw

Telinga

posisi .....................
Bentuk ....................
Lubang telinga
Keluaran

Jantung dan Paru paru

Normal

Bunyi Nafas

Ngorok
Lain lain

Bunyi Nafas ............... x/menit

Denyut Jantung .......... x/menit

Perut

Lembek
Kembung
Benjolan
Bising Usus ...... x/menit

Lanugo ............

Vernix ...............

Mekonium ..........

Punggung

Keadaan Punggung

Fleksibilitas Tulang Punggung ...........

Simetris

Plonidal Dimple

Asimetris

Kelainan

51

STATUS NEUROLOGI

Tendon

Refleks (dinilai semua)

Moro
Rooting
Menghisap
Babinski
Menggenggam
Menangis
Berjalan
Tonus Leher

NUTRISI
Jenis Makanan

ASI
PASI
Lain-lain

ELIMINASI

BAB pertama ...........


BAK pertama ...........

GENETALIA
Laki-laki

Normal
Hypospadius
Epispadius
Testis ....................

Perempuan
Labia minora

Menonjol
Tertutup Labia Mayora
Keluaran .....................

Anus

Kelahiran ....................
52

EKSTREMITAS
Jari tangan

Kelainan ................

Jari Kaki

Kelainan .................

Pergerakan

Tidak aktif
Asimetris
Tremor
Rotasi paha

Nadi

Brachial
Femoral

Posisi

Kaki ..............
Tangan ............

DATA LAIN YANG MENUNJANG


(Lab, psikosal, dll)

53

1. Analisa Data
Tabel. 2 Analisa Data Berdasarkan Teori

Data
(Subjektif-Objektif)
DS :

Etiologi
ATONIA UTERI

Masalah keperawatan
Nyeri akut

Klien mengatakan, nyeri nya


muncul tidak menentu.
DO :

Insertia Uteri

HIS Inadekuat

Klien tampak meringis


Klien tidak bisa beristirahat pada

Pembentukan Segimen Bawah Uteri

waktu tidur
Skala nyeri 6 (0-10)
Tanda-tanda vital :

Serviks Membuka

Tidak Dapat Diikuti Oleh Plasenta Yang Melekat

a. TD = 150/90 mmHg
Terlepasnya Vili Plasenta Dari Desidua

54

b. Nadi= 80 x/menit
c. Respirasi = 26 x/menit

Aktivasi Mediator Kimia : PG

Stimulasi Serabut Saraf Afferen

Mencapai Kornudorsalis

Melewati Medula Oblongata

Diteruskan Ke Ruang Serebri

Dipersepsikan Nyeri

NYERI AKUT

55

DS :

Atonia uteri

Intoleransi aktivitas

Klien mengatakan, badannya lemes,


lesu, pusing, merasa tidak kuat untuk

Perdarahan Post Partum Primer

melakukan aktivitas sehari-hari.


Perdarahan Masif Secara Berkala

DO:
Keadaan umum lemah

Penurunan Volume Sekuncup

Pergerakan sendi terbatas


Klien beraktivitas dibantu oleh

Curah Jantung Menurun

keluarga.
Suplai Darah Kejaringan Menurun

Tanda-tanda vital :
a. Suhu = 36.00 C

Defisiensi Glukosa

b. TD = 150/90 mmHg
Inadekuat ATP

c. Nadi= 80 x/menit
d. Respirasi = 26 x/menit

Mengganggu Sinyal Elektis Dari Otak Ke Otot

56

Membuat Otot Lelah

Mekanisme Tubuh Mudah Lelah

INTOLERANSI AKTIVITAS

DS :

ATONIA UTERI

Perdarahan

Klien mengatakan, perutnya sakit,


merasa lemas, keluar darah banyak

Perdarahan Post Partum Primer

dari vagina.
Perdarahan Masif Secara Berkala

DO:
Klien tampak lemah

Penurunan Volume Darah Efektif

Bibir klien tampak pucat


57

Konjungtiva klien pucat

Eritrosit Menurun

Hb 7,9 mg/dg
TD 100/80 mmHg

Mukosa Pucat, Konjungtiva Anemis, Kelemahan

RESIKO PERDARAHAN

DS :

ATONIA UTERI

Risiko syok

Klien mengatakan, jika sedang


kencing terdapat darah.
DO:

Perdarahan Post Partum Primer

Perdarahan Masif Secara Berkala

Nadi cepat dan lemah (110 kali/


menit atau lebih).

Penurunan Volume Sekuncup

Tekanan darah sangat rendah :


tekanan sistolik < 90 mmHg.
Pernafasan cepat frekuensi 30

Curah Jantung Menurun

kali/ menit atau lebih.

58

Klien tampak Pucat.

Suplai Darah Kejaringan Menurun

Keringat/ kulit terasa dingin dan


lembab.
Gelisah, bingung atau kehilangan

Ketidakstabilan Vital Sign

kesadaran.
Klien terlihat perubahan tingkat

Resiko syiok

persadaran.
Urine yang sedikit (< 30 cc/ jam).
DS:

ATONIA UTERI

Defisit pengetahuan

Klien mengatakan, tidak


mengetahui tentang penyakit yang

Kurang Pajanan Informasi

dideritanya dan tidak tahu cara


penanganannya.

Tidak Adanya Tindakan

DO:
DEFISIT PENGETAHUAN

Klien tampak bingung


Klien terlihat terus bertanya-tanya
dengan pertanyaan yang sama

59

Klien tampak gelisah

2. Diagnosa Keperawatan
1.

Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (ruptur perineum).

2.

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan masalah sirkulasi.

3.

Perdarahan dengan faktor risiko komplikasi pascapartum (atonia uteri).

4.

Risiko syok berhubungan dengan hipoksia.

5.

Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang pengetahuan.

5. Nursing Care Plan


Tabel 3. Rencana asuhan keperawatan berdasarkan teori
No
1.

Diagnosa Keperawatan

NOC

NIC

Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Relaxation Therapy :


dengan

agen

cedera selama

biologis (ruptur perineum)

3 x 24 jam diharapkan

nyeri 1. Identifikasi

penurunan

tingkat

energi,

klien dapat berkurang dengan kriteria

ketidakmampuan kosentrasi dan gangguan

hasil:

kognitif untuk fokus terhadap relaksasi.


2. Beri penjelasan secara rinci tentang relaksasi

60

Pain Control :

yang dipilih fasilitasi lingkungan yang jauh

Nyeri berkurang skala 3 (1-10)

dari kebisingan dan suhu yang nyaman.

Dapat mengontrol nyeri

3. Evaluasi

dan

dokumentasikan

teknik

relaksasi.
Pain Level :

Mengontrol nyeri

Tidak meringis

Tidak ada gelisah

4. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian


obat analgetik.

Distraction
1. Instruksikan

klien

untuk

mempraktekan

teknik distraksi jika diperlukan.


2. Dukung klien menentukan teknik distraksi di
inginkan (tarik nafas dalam).
3. Anjurkan klien untuk melakukan teknik
distraksi sendiri atau memilih langkah teknik
distraksi yang lain.
4. Dokumentasikan

tindakan

keperawatan:

teknik distraksi.
2.

Intoleransi
berhubungan

aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Oxygen therapy


dengan selama 4 x 24 jam diharapkan risiko

61

masalah sirkulasi.

intoleransi aktivitas dapat teratasi.

1. Siapkan peralatan oksigen dan cek


peralatan oksigen sebelum di pasang di

Activitiy status

klien.

1. CTR normal
2. Hypotension

2. Pertahankan jalan nafas


orthostatic

dalam

batas normal.

3. Konsultasi

dengan

tenaga

kesehatan

lainnya mengenai penggunaan oksigen


selama beraktivitas atau tidur.

Ruik control
1. Dapat

4. Observasi
mengidentifikasi

faktor

tanda-tanda

gejala

hipoventilasi

resiko.
2. Dapat memonitor faktor resiko Respiratori monitoring
personal.

1. Monitor tekanan, irama, respirasi.


2. Monitor pola pernafasan
3. Monitor saturasi oksigen
4. Auskultasi suara nafas
5. Kolaborasi pemberian pengobatan seperti
nebulizer oksigen.

62

3.

Perdarahan dengan faktor

Setelah dilakukan tindakan keperawatan

Bleeding Reduction : Antepartum Uterus

risiko komplikasi

selama 3 x 24 jam diharapkan

1. Monitor tanda-tanda vital pada klien.

pascapartum (atonia uteri)

perdarahan klien dapat dapat berkurang

2. Monitor DDJ.

dengan kriteria hasil:

3. Inspeksi perineum untuk jumlah dan


karakteristik perdarahan.

Blood Loss Severity :

Tidak mengalami penurunan Hb

Tidak mengalami penurunan Ht

4. Palpasi untuk meraba kontrasi uteri.


5. Periksa berapa pembalut yang digunakan
untuk menampung perdarahan.
6. Rujuk segera pasien ke pelayanan kesehatan
yang tersedia pelayanan kegawatdaruratan
obstetri (ponek).

4.

Risiko syok berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Bleeding Precautions :


dengan hipoksia.

selama 3 x 24 jam diharapkan syok klien 1. Pantau tanda-tanda dan gejala perdarahan
dapat berkurang dengan kriteria hasil:

persisten.
2. Pertahankan istirahat selama perdarahan

Shock Savertiy Hipovolomik :

aktif.

1. Tekanan sistole meningkat

63

2. Tekanan diastole meningkat

Bleeding Reduction :

3. Akral teraba hangat

1. Identifikasi penyebab pendarahan.


2. Instruksikan klien melakukan pembatasan
aktivitas.
3. Pantau jumlah dan sifat kehilangan darah.
4. Pantau bentuk dan karakter dari perdarahan
klien.

Bleeding Reduction: Postpartum Uterus


1. Kompres dingin pada fundus uteri
2. Observasi karatkterisktik dari lochia (warna,
gumpalan dan volume)
3. Diskusikan kepada tim perawat mengenai
pengawasan tentang maternal status

5.

Defisiensi
berhubungan

pengetahuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pendidikan kesehatan ( health aducation).


dengan selama 4 x 24 jam diharapkan defisiensi

kurang pengetahuan.

pengetahuan dapat bertambah.

Bimbingan sistem kesehatan (health system


buidauce).

64

Know ledge post partum manternal


Health.

Healt education

1. Mengetahuan

perubahan

fisiologis
2. Mengetahui

perubahan

tubuh

setelah post partum.


3. Dapatkan

memilih

mengenai kontrasepsi.

pilihan

1. Mengidentifikasi faktor internal atau


eksternal yang dapat meningkatkan atau
mengurangi

motivasi

untuk perilaku

sehat.
2. Menentukan

pengetahuan

kesehatan

dengan gaya hidup saat ini perilaku dari


kelurga individu atau kelompok sasaran.
3. Merumuskan

tujuan

untuk

program

pendidikan kesehatan.
Healt system buidance.
1. Membantu pasien atau keluarga untuk
mengkoordinasikan perawatan kesehatan
dan komunikasi.
2. Menginformasikan
berbagai

jenis

pasien
fasilitas

tentang
kesehatan

65

(misalnya rumah sakit umum, rumah


sakit khusu, rumah sakit pendidikan dan
rawat jalan khusus bedah).
3. Mengidentifikasi

dan

memfasilitasi

komunikasi diantara penyedia layanan


kesehatan dan klien atau keluarga yang
sesaui.
Family planning: contraception.
1. Diskusikan metode kontrasepsi (misalnya
pil,hormonal,

IUD,

sterilisasi

atau

termasuk efek implan efek samping,


kontra indikasi dan tanda geja yang harus
dilaporkan ketenaga kesehatan ).
2. Tentukan kontrasepsi untuk klien
3. Intruksikan hubungan seksual yang aman
(Bluechek, G. M. Et al. 2014, Herdman, T. Heather. 2014, Moorhead, sue, et al. 2014)

66

67

BAB III
PEMBAHASAN KASUS

A.

Pengkajian dan Pemfis


1.

Identitas Klien
Nama

: Ny. M

Umur

: 39 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Tanggal Pengkajian

: 25 April 2016

Diagnosa Medis

: Atonia Uteri

2. Keluhan Utama
Klien mengatakan, pusing

3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengatakan, pusing kepala dan merasakan nyeri pada
genitalia dengan skala 3
b. Riwayat Kesehatan Terdahulu
Tidak terdapat dalam kasus
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tidak terdapat dalam kasus

4. Riwayat Ginekologi dan Obstetri


a. Riwayat Menstruasi
Tidak terdapat dalam kasus
b. Riwayat Obstetri
Klien mengatakan, pernah hamil dan 4 kali melahirkan
sebelumnya dengan persalinan spontan.
68

c. Riwayat Persalinan
Persalinan terakhir dipimpin pada jam 12.25 WIB dan bayi keluar
adalah laki-laki pada jam 12.35 menit, jumlah darah 450 cc,
tekanan darah

130/95 mmHg, nadi 89x/ menit, suhu 36o C,

respirasi 24 kali/menit, his teratur, robekan perineum 3 cm x 1 cm x


1 cm tak beraturan. Jumlah bayi yang dilahirkan 2 orang.
Status obstetri : P6A0
d. Riwayat Kontrasepsi
Klien mengatakan Menggunakan alat kontrasepsi suntik selama 5
tahun dari anak yang terakhir dilahirkan sebelumnya.

5. Pola Pemenuhan Aktivitas


a. Pola istirahat
Tidak terdapat dalam kasus
b. Pola Nutrisi
Tidak terdapat dalam kasus
c. Pola aktivitas
Tidak terdapat dalam kasus
d. Pola eliminasi
Tidak terdapat dalam kasus
e. Pola Personal hygiene
Tidak terdapat dalam kasus
6. Hubungan seksual
Tidak terdapat dalam kasus
7. Riwayat Psikososial, spiritual, budaya
Tidak terdapat dalam kasus
8. Pemeriksaan Fisik
-

Ibu
a. Keadaan Umum
Orientasi : Baik
69

Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)


b. Tanda-tanda Vital
TD

: 90/70 mmHg

Nadi

: 99 kali/menit

Suhu

: 36o C

RR

: 24 x/menit

c. Antropometri
Berat badan saat ini

:-

Berat badan

:-

sebelum hamil
Tinggi badan

:-

LLA

:-

d. Sistem penglihatan
Anemis pada konjungtiva
e. Sistem pernapasan
Bunyi nafas vesikuler, terpasang oksigen nasal kanul 2 liter.
f. Sistem Integumen
Terdapat striae dibagian bawah abdomen, robekan perineum 3
cm x 1 cm x 1 cm tidak beraturan ruptur perineum derajat 2,
terdapat 4 jahitan pada perineum, perineum tampak edema,
kulit berlumuran darah yang menempel pada pakaian bawah
dan perlak yang dipakainya.
g. Sistem kardiovaskular
Denyut jantung irreguler, denyut nadi irreguler, bunyi jantung
lub-dub tanpa bunyi tambahan, akral teraba dingin, berkeringat
seluruh tubuh. Hasil pemeriksaan CRT : 2 detik.
h. Sistem pencernaan
Tercium bau mulut, membran mukosa dan mulut kering.

70

i. Sistem perkemihan
Menggunakan pembalut yang berisi darah merah segar hingga
ke seluruh pakaian bawah, terdapat empat jahitan dan edema
pada perineum.
j. Sistem reproduksi
Mamae: areola kedua payudara tampak coklat kehitaman dan
datar, kedua payudara menegang tapi tidak ada sekresi
mamae.
Genitalia: terdapat pembalut yang berisi darah merah segar,
terdapat 4 jahitan pada perineum, tampak edema, anus utuh
k. Sistem persarafan
Tidak terdapat dalam kasus
l. Sistem muskuloskeletal
Akral teraba dingin, terpasang infus NaCl 0,9% sebanyak 20
tetes/menit dan RL sebanyak 16 tetes/menit di tangan kanan. 4
jari pemeriksa masuk pada bagian diatasis rektus abdominis.

Bayi (Initial assesment)


Kondisi kedua bayi:
-

Tali pusat berjumlah 2 buah dengan panjang 51 cm dan setiap


tali pusat terdapat 2 arteri serta 1 vena

Plasenta utuh dengan berat 450 gr

Terpasang oksigen kanul binasal liter/menit pada kedua bayi

1) Bayi A
-

BBL: 1950 gr

PB : 47 cm

APGAR Skor
a) Menit ke 1 : 4
b) Menit ke 5 : 8

2) Bayi B
-

BL : 2070 gr
71

PB : 45 cm

APGAR skor
a) Menit ke 1 : 4
b) Menit ke 5 : 6

9. Pemeriksaan Penunjang
Tidak terdapat dalam kasus
10. Terapi yang diberikan
Injeksi vitamin K dan Zalf mata pada kedua anaknya.

B. Penatalaksanaan
Menurut jurnal peneletian Chow seliana at al., yang berjudul The use of
nipple shields: a review, menjelaskan mengenai penatalaksanaan pada ibu
menyusui dengan payudara datar menggunakan Nipple Shield (perisai puting).
Nipple Shield ialah Perisai Puting berbahan silikon yang di tempatkan
tepat pada puting ibu sebelum menyusui. Perisai puting biasanya digunakan
pada ibu dengan puting datar ataupun kegagalan bayi dalam proses menghisap.
Selain itu digunakan pula pada puting yang sakit (karena lecet), bayi
prematuritas, asi berlebih, transisi bayi dari payudara ke botol ataupun indikasi
lain. (Chow, S., et.al, 2015).

Gambar. Penggunaan nipple shield


(Sumber: Chow, S., et.al, 2015).
Manfaatnya ialah untuk melancarkan pengeluaran asi, mengurangi stres
dan kekhawatiran ibu jika memiliki kesulitan dalam menyusui akibat bentuk
72

areola, serta meningkatkan kemampuan menghisap pada bayi baru lahir,


(Chow, S., et.al, 2015).

73

1.

Analisa Data
Tabel. 4 Analisa Data Berdasarkan Kasus
Data-data

Etiologi

Masalah Keperawatan

(Subjektif Objektif )
DS :

Atonia uteri

Risiko syok

Klien berbaring di tempat tidur dengan


mengeluh pusing.

Perdarahan post partum primer

DO :
Tanda-tanda vital

Perdarahan masif secara berkala

a. Tekanan Darah 90/70 mmHg


b. Denyut Nadi 99x/menit (Denyut

Penurunan volume sekuncup

Nadi Irreguler)
Curah jantung menurun

c. Respirasi Rate 24x/menit


d. Suhu 36oC
Jumlah

darah

yang

keluar

pada

Suplai darah ke jaringan menurun

persalinan 450 cc.


Konjungtiva Anemis

Ketidakstabilan vital sign

Membran mukosa mulut kering.


74

Klien

teraba

akral

dingin

dan

Risiko syok

berkeringat banyak.
Abdomen lunak dan datar.
Diatasis rektus abdominis.
CRT 2 detik
Klien terpasang NaCl 0,9% sebanyak
20 tetes /menit.
Klien terpasang RL 16 tetes/menit
ditangan kanan.
Klien terpasang oksigen denggan nasal
kanul 2 liter.
DS :
Klien

Atonia uteri
merasakan

nyeri

pada

Nyeri akut

bagian

genitalianya dengan skala 3 (0-10).

Insertia uteri

DO :

HIS inadekuat

Klien tampak berbaring ditempat tidur.


Klien

teraba

akral

dingin

dan

Pembentukan segmen bawah uteri


75

berkeringat banyak.
Tanda-tanda vital

Serviks membuka

a. Respirasi : 24 x/menit.
b. Nadi : 99 x/menit.

Tekanan meningkat di daerah PAP

c. TD : 90/70 mmHg
Dilatasi perineum berlebih

Ruptur perineum derajat II

Aktivasi mediator kimia (PG)

Stimulasi serabut saraf afferen

Mencapai kornu dorsalis melalui


medula oblongata

Sampai korteks serebri

Disampaikan ke otak
76

Persepsi nyeri

Nyeri akut
DS :
Klien

Atonia uteri
merasakan

nyeri

pada

Kerusakan integritas jaringan

bagian

genitalianya dengan skala 3 (0-10).

Insertia uteri

DO :
Robekan perineum 3 cm x 1 cm x 1 cm.

HIS inadekuat

Robekan perineum tak beraturan.


Terdapat

striae

di

abdomen

yang

berwarna

kehitaman.

bagian

bawah

Pembentukan segmen bawah uteri

abu-abu
Serviks membuka

Tekanan meningkat di daerah PAP

Dilatasi perineum berlebih

Ruptur perineum derajat II


77

Timbul laserasi terbuka

Kerusakan integritas jaringan


DS :

Atonia uteri

Risiko infeksi

Klien Klien merasakan nyeri pada bagian


genitalianya dengan skala 3 (0-10).
DO :
Perineum tampak edema.
Terdapat 4 jahitan pada perineum.
Tampak pembalut yang berisi darah
merah segar hingga keseluruh pakain

Ruptur perineum derajat II

Timbul laserasi terbuka

Kerusakan integritas jaringan

Defisit perawatan luka

bawah dan perlak yang dipakai klien.


Media mikroorganisme patogen

Mengganggu wound healing

Risiko infeksi
78

DS :

Atonia uteri

Risiko Intoleransi aktivitas

Klien mengeluh pusing.


Perubahan post partum primer
DO :
Klien terlihat berbaring.

Perdarahan masif secara berkala

Denyut Jantung Irreguler.


Bunyi Jantung Lub Dup (tanpa bunyi

Curah jantung menurun

tambahan).
Bunyi Nafas Vesikuler.

Suplai darah ke jaringan menurun

Tekanan Darah 90/70 mmHg


Defisiensi glukosa

Inadekuat ATP

Mengganggu sinyal elektis dari otak

Membuat otot lelah


79

Mekanisme tubuh: mudah lelah

Risiko intoleransi aktifitas


DS :

Faktor usia > 35 tahun

Ketidak efektifan pemberian ASI

Klien mengatakan, kedua payudara saya


menegang.

Ketidakseimbangan hormonal

DO :
Areola

kedua

payudara

berwarna

Penurunan stimulasi oksitosin

coklat kehitaman gelap dan datar.


Kedua payudara menegang

Akumulasi ASI di duktus laktiferus

Tidak ada sekresi ASI.


IMD telah dilakukan namun tidak ada

Penekanan ruang duktus

ASI.
Dilatasi rongga duktus

Edema mamae ibu

Ketidakefektifan pemberian asi


80

2. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko syok berhubungan dengan hipoksia.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (ruptur perineum).
3. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan ruptur perineum.
4. Risiko infeksi dengan faktor risiko perubahan integritas kulit.
5. Risiko intoleransi aktifitas berhubungan dengan masalah sirkulasi pada ibu.
6. Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan anomali payudara ibu.

d. Nursing Care Plan


Tabel 5. Rencana Asuhan Keperawatan Berdasarkan Kasus

No
1.

Diagnosa
Keperawatan
Risiko syok

Setelah dilakukan tindakan

berhubungan

keperawatan selama 3 x 24

dengan hipoksia

jam diharapkan syok klien

NOC

dapat berkurang dengan

NIC
Bleeding Precautions :
1. Pantau tanda-tanda dan
gejala perdarahan persisten.

Rasional
Bleeding Precautions :
1. Mengetahui tanda dan
gejala perdarahan yang
akan mungkin terjadi
81

kriteria hasil:

pada klien.
2. Pertahankan istirahat selama

Shock Savertiy Hipovolomik :

perdarahan aktif.

Tekanan sistole

perdarahan

lebih banyak.

Tekanan diastole
meningkat.

terjadinya

yang lebih akan terjadi

meningkat.

2. Mengantisipasi

Akral teraba hangat.

Bleeding Reduction :
1. Identifikasi penyebab
perdarahan.

Bleeding Reduction :
1. Menentukan
karakteristik,jumlah,
dan periode perdarahan.

2. Instruksikan klien

2. Mencegah terjadinya

melakukan pembatasan

keparahan perdarahan

aktivitas.

kepada klien.

3. Pantau jumlah dan sifat


kehilangan darah.
4. Pantau bentuk dan karakter
dari perdarahan klien.

3. Mengetahui jumlah dan


sifat darah yang keluar.
4. Agar klien selalu dalam
pengawasan petugas
kesehatan.

82

Bleeding Reduction: Postpartum

Bleeding Reduction:

Uterus

Postpartum Uterus

1. Kompres dingin pada fundus


uteri.

1. Mencegah

terjadinya

peregangan

yang

berlebih pada

fundus

uteri.
2. Observasi karakterisktik dari
lochia (warna, gumpalan dan
volume).

2. Mengetahui
penatalaksanaan

yang

akan

lebih

diberikan

lanjut untuk klien.


3. Diskusikan kepada tim
perawat mengenai

2.

Nyeri akut

Setelah dilakukan tindakan

berhubungan

keperawatan selama 3 x 24

dengan agen cedera jam diharapkan nyeri klien

3. Mencegah

komplikasi

pengawasan tentang

yang

maternal status

nyawa bagi klien.

Relaxation Therapy :
1. Identifikasi penurunan
tingkat energi,

mengancam

Relaxation Therapy :
1. Mengetahui
umum

dan

keadaan
keadaan
83

biologis (ruptur

dapat berkurang dengan

ketidakmampuan kosentrasi

orientasi yang terjadi

perineum)

kriteria hasil:

dan gangguan kognitif untuk

pada klien.

fokus terhadap relaksasi.


Pain Control :
Nyeri berkurang skala 3

2. Beri penjelasan secara rinci

2. Agar

tentang relaksasi yang

(1-10)

dipilih fasilitasi lingkungan

Dapat mengontrol nyeri

yang jauh dari kebisingan

klien

dapat

memahami

dan

mengetahui

tentang

relaksasi

yang

akan

dipilihnya.

dan suhu yang nyaman.


Pain Level :

3. Evaluasi dan

3. Mengetahui

sejauh

Mengontrol nyeri

dokumentasikan teknik

mana

Tidak meringis

relaksasi.

menerapkan

tekhnik

Tidak ada gelisah

relaksasinya

yang

dipilih

klien

dan

bukti

dapat

sebagai

dokumentasi

keperawatan.
4. Kolaborasi dengan dokter
untuk pemberian obat
analgetik.

4.

Sebagai anti nyeri yang


akan mengurangi nyeri
pada klien.
84

Distraction
Distraction

1. Mengetahui

apakah

1. Instruksikan klien untuk

klien dapat melakukan

mempraktekan teknik

teknik distraksi yang

distraksi jika diperlukan.

diinstrusikan
perawat

atau

oleh
tenaga

kesehatan.

2. Dukung klien menentukan


teknik distraksi yang di
inginkan (tarik nafas dalam).

2. Membantu klien agar


memilih

teknik

distraksi yan tepat.


3. Mandirikan

klien

melakukan teknik distraksi

melakukan

teknik

sendiri atau memilih

distraksi dan langkah-

langkah teknik distraksi

langkah distraksi yang

yang lain.

akan di lakukan.

3. Anjurkan klien untuk

4. Sebagai
4. Dokumentasikan tindakan

bukti

pendokumentasian
85

keperawatan: teknik

keperawatan.

distraksi.

3.

Kerusakan

Setelah dilakukan tindakan

Perineal Care

integritas jaringan

keperawatan selama 4 x 24

1. Bantu klien dalam

berhubungan

jam diharapkan integritas

dengan ruptur

jaringan dapat berkurang,

perineum

kriteria hasil:

membersihkan perineum
2. Jagalah perineum tetap kering.

3. Sediakan bantal untuk klien


jika ingin duduk.

Mengetahui pengendalian

Mengetahui faktor risiko


infeksi.

2. Memberi kenyamanan

3. Mendukung keamanan
dan kenyamanan pada

4. Sebagai
4. Kolaborasi dengen tim medis

Dapat mengetahui

pemberian analgesik untuk

kesehatan umum.

nyeri pada genetialia

Mampu mempertahankan

penyebaran infeksi

klien

infeksi

1. Mencegahterjadinya

pada klien

Risk control: infectious


process

Perineal Care

sehingga

anti

nyeri
dapat

mengurangi nyeri pada


klien

5.

lingkungan yang bersih.


Insition Site Care
86

Insition Site Care


1. Inspeksi luka jahitan dari
kemerahan dan bau.

2. Monitor proses penyembuhan

1. Mengantisipasi

terjadinya

infeksi
2. Mengetahui

komplikasi

yang akan terjdi pada luka


jahitan

luka jahitan.
3. Memberi
3. Monitor tanda dan gejala dari
infeksi pada jahitan.

lebih

penatalaksanaan

lanjut

ada.

terjadi

infeksi
4. Mengetahui

4. Catat karakteristik drainase jika

jika

cairan

pengeluaran

meliputi

jumlah,

warna, bau, konsistensi

5. Bersihkan area jahitan dengan

5. Mencegah

larutan pembersih seperti DTT

keparahan

atau normal saline.

lanjut

terjadinya
infeksi

lebih

6. Agar mempercepat proses


6. Ambil jahitan jika luka telah

pemulihan
87

membaik.
7. Ajarkan klien atau keluarga
klien cara perawatan luka

7. Agar

memandirikan

keluarga dan klien untuk


perawatan luka

jahitan, termasuk tanda dan


gejala infeksi.

4.

Risiko infeksi

Setelah dilakukan tindakan

Skin Surveiuance

Skin Surveiuance

dengan faktor

keperawatan selama 4 x 24

1. Periksa keadaan kulit seperti

1. Mengetahui adanya tanda-

risiko perubahan

jam diharapkan klien

integritas kulit.

terhindar dari infeksi, kriteria


hasil:

Internal Status: Post Partum

adanya kemerahan, edema.


2. Monitor tanda infeksi terutama
pada daerah edema.

3. Ajarkan kepada klien terkait

Warna lochia normal.

perawatan luka jahitan terhadap

Suhu tubuh 36,3 -37,6

perineum

Proses penyembuhan

Wond Care

perineum cepat

1. Pantau karakteristik luka


terutama warna, ukuran dan bau.

tanda infeksi
2. Mengetahui komplikasi dari
infeksi
3. Mandirikan

klien

untuk

merawat luka jahitan

Wond Care
1. Mengetahui

tanda-tanda

woundschine
88

Wound Healing : Primary


Intention

Tidak terdapat dranase

2. Menerapkan
2. Berikan perawatan luka dengan
normal salin yang sesuai.

Suhu tubuh tidak


meningkat.

luka

dengan

prinsip steril

purulent.

perawatan

teknik

3. Mempertahankan teknik steril

3. Mencegah

terjadinya

nosokomial

untuk perawatan luka.


4. Memandirikan

Edema perineal menurun.


4. Ajarkan klien atau anggota
keluarga tentang perawatan

klien

dan

keluarga dalam melakukan


perawatan luka

luka.
5.

Risiko intoleransi

Setelah dilakukan tindakan

Oxygen Therapy

aktifitas

keperawatan selama 4 x 24

1. Observasi

berhubungan

jam diharapkan risiko

dengan masalah

intoleransi aktivitas dapat

sirkulasi pada ibu

teratasi, kriteria hasil:

Oxygen Therapy

tanda-tanda

gejala

hipoventilasi.

dan

terjadinya

hipoventilasi
2. Ganti nasal kanul dengan face

3. Konsultasi

dengan

2. Meningkatkan

O2

yang

dibutuhkan klien

Activitiy Status
CTR normal

tanda

gejala

mask pada terapi oksigen.

1. Mengetahui

tenaga

3. Mencegah

terjadinya

89

Hypotension orthostatic

kesehatan

dalam batas normal

penggunaan

lainnya

mengenai

oksigen

selama

beraktivitas atau tidur.

6.

komplikasi

yang

menimbulkan

gangguan

pernapasan

Ketidakefektifan

Setelah dilakukan tindakan

Lactation counseling

Lactation counseling

pemberian ASI

keperawatan selama 3 x 24

1. Identifikasi kemampuan bayi

1. Mengetahui

berhubungan

jam diharapkan

dengan anomali

ketidakefektifan pemberian

payudara ibu

asi dapat teratasi, kriteria

terhadap reflek shucking.

2. Kaji keadaan puting meliputi


nyeri, warna dan pengeluaran

Breast feeding maintenance

cairan.

menghisap pada bayi baru

2. Mengetahui

adanya

ke

abnormalan pada payudara


3. Membantu

klien

agar

Payudara mampu

3. Instruksikan klien untuk

menyimpan ASI

berkonsultasi dengan

melakuakn pemberian ASI

Tidak ada tanda tanda

menentukan strategi pemberian

yang efektif

mastitis.

ASI yang sesuai.


4. Diskusikan strategi yang tepat

Knowledge: breastfreeding

kemampuan

lahir

hasil:

akan

Klien mengetahui

4. Merangsang

terjadinya

pengeluaran pada ASI

untuk pemberian ASI yang


efektif (misalnya: pompa ASI
90

manfaat ASI.

Asupan cairan ibu

atau Nipple Shields).


5. Berikan pendidikan kesehatan

5. Membantu
memahami

klien

agar

penggunaan

terpenuhi.

dan instruksikan mengenai

nipple

Terpenuhi zat dan ASI

penggunaan Nipple Shields pada

memberikan ASI eksklusif

dari ibu ke bayi.

klien saat akan menyusui.

pada bayi

Adanya tanda-tanda
pasokan susu yang

Teaching = Infont Nutrition (0-3

memadai.

month)
1. Identifikasi pengetahuan klien
tentang pemenuhan nutrisi pada
bayi.
2. Instruksikan klien dan keluarga
untuk pemberian ASI eksklusif.

3. Instruksikan klien dan keluarga


untuk membersihkan botol

shield

dalam

Teaching = Infont Nutrition (03 month)


1. Menentukan jumlah asupan
nutrisi yang akan diberikan
pada bayi
2. Memenuhi kebuthan ASI
eksklusif yang dibutuhkan
oleh bayi
3. Mencegah terjadinya
akumulasi bakteri dari sisa
cairan susu dalam botol

pemberian susu setiap selesai


dipakai dengan teknik steril.

91

(Bluechek, G. M. Et al. 2014, Herdman, T. Heather. 2014, Moorhead, sue, et al. 2014)

92

1. Analisa Kesenjangan Teori dengan Kasus


Setelah memahami makalah di atas, terdapat beberapa kesenjangan
teori

dengan

kasus,

yaitu

pada

faktor

etiologi

atonia

uteri,

Polihidramnion suatu keadaan dimana jumlah air ketuban lebih banyak


dari normal, biasanya lebih dari 2 liter, sedangkan pada kasus air
ketuban hanya berjumlah 200-300cc,
Selain itu di lihat dari manifestasi yang timbul pada teori di
jelaskan bahwa atonia uteri mengalami nadi cepat dan lemah 110 kali/
menit atau lebih, sedangkan pada kasus dari hasil pemeriksaan nadi 90
kali/menit. Perdarahan yang terjadi post partum >500cc, namun pada
kasus darah yang teridentifikasi 450cc namun belum dijumlah dengan
darah yang tertampung pada pembalut.
Pada teori, saat dilakukan inisiasi menyusui dini (IMD) akan
terjadi pengeluaran ASI, namun dalam kasus pada saat dilakukan IMD
tidak terjadi pengeluaran ASI.

93

BAB V
PENUTUP

A.

Kesimpulan
Dari analisis kasus Ny. M dengan usia 39 tahun, didapatkan bahwa
Ny. M Mengalami pusing kepala dan merasakan nyeri pada genitalia dengan
skala 3 karena robekan perineum 3 cm x 1 cm x 1 cm tidak beraturan ruptur
perineum derajat 2, terdapat 4 jahitan pada perineum, perineum tampak
edema, karena terdapat darah yang menempel pada pakaian bawah dan
perlak yang dipakainya sehingga Ny. M menggunakan pembalut yang berisi
darah merah segar hingga ke seluruh pakaian bawah.
Pada saat dilakukan pengkajian Ny. M pernah hamil dan 4 kali
melahirkan sebelumnya dengan persalinan spontan, menggunakan alat
kontrasepsi suntik selama 5 tahun dari anak yang terakhir dilahirkan
sebelumnya. Hasil pemeriksaan TTV didapatkan (90/70 mmHg, Nadi 99
x/menit, RR 36 x/menit, Suhu 360C). Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik
Ny. M konjungtivanya anemis, denyut jantung irreguler, denyut nadi
irreguler, bunyi jantung lub-dub tanpa bunyi tambahan, akral teraba dingin,
berkeringat seluruh tubuh, CRT : 2 detik, bunyi nafas vesikuler, terpasang
oksigen nasal kanul 2 liter, terpasang infus NaCl 0,9% sebanyak 20
tetes/menit dan RL sebanyak 16 tetes/menit ditangan kanan, tercium bau
mulut, membran mukosa dan mulut kering, terdapat striae dibagian bawah
abdomen, areola kedua payudara tampak coklat kehitaman dan datar, kedua
payudara menegang tapi tidak ada sekresi mamae.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Ny. M mengalami kegagalan
miometrium untuk berkontraksi secara memadai setelah kelahiran sehingga
rahim lunak dan lembek dengan adanya perdarahan yang berlebihan dari
saluran kelamin dilihat dari data-data yang terdapat pada Ny. M
memperkuat bahwa Ny. M terdiagnosis dengan atonia uteri.

94

Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus atau kontraksi rahim


setelah kelahiran sehingga uterus tidak mampu menutup perdarahan dari
tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.
.
B.

Saran
1. Bagi Masyarakat
Diharapkan bagi setiap wanita hamil agar merencanakan dan
menjaga kehamilan dengan cara menentukan jarak anak, menenentukan
umur yang tepat untuk hamil menjaga pola nitrisi selama kehamilan serta
melakukan pemeriksaan rutin terhadap kehamilan (ANC) sehingga atonia
uteri dapat diminimalisir angka kejadiannya.
2. Bagi Mahasiswa
Dapat memahami dan menganalisis kasus yang diberikan dosen
sehingga diharapkan mahasiswa mampu memberikan 5 konsep
keperawatan pada klien saat dilapangan atau dilahan praktik.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat dijadikan sebagai referensi dalam pengetahuan dalam
menganalisis kasus yang saat ini banyak masalah dalam kalangan
masyarakat mengenai kesehatannya.
4. Bagi Kesehatan
Diharapkan petugas kesehatan selalu meningkatkan pengetahuan
dan ketrampilannya sesuai dengan kemajuan IPTEK. Diharapkan juga
sebagai petugas kesehatan agar mampu dalam mengatasi masalah yang
saat ini sedang dihadapi oleh banyak masyarakat mengenai gangguan
kesehatannya.

95

DAFTAR PUSTAKA

Amanda, larissa. 2013. Hubungan antara faktor risiko perdarahan dengan kejadian
perdarahan postpartum di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2012. Tesis:
Universitas sebelas maret, http://eprints.uns.ac.id/id/eprints/21418

Amriadi. 2012. Analisis Faktor Resiko Terjadinya Perdarahan pada Ibu Bersalin di Rumah
Sakit Umum dr. Fauziah ireuen, Kabupaten Bireuen, Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam

Tahun

2003.

USU

Institutional

Repository,

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/33321 Diakses pada tanggal 4 Mei 2016.

Bakri YN, Amri A, Abdul jabbar F. 2001. Tamponade-ballon for obstetrical bleeding Int J
Gynecol Obster, 74: 139-2.

Bickley, LS. 2009. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan Edisi 8. Jakarta : EGC

Between Parity, Birth Weight Babies, And The Incidence Of Retained Placenta With Primary
Postpartum Hemorrhage. Jurnal Akbid Griya Husada, 2 (1)2013. http://jurnalgriyahusada.com/awal/images/files/Penelitian%203.pdf Diakses pada tanggal 4 Mei
2016.
Cunningham FG, et all. 2005. Obstetri Williams. Edisi 21. Jakarta, EGC.
Danso D and Reginald PW. 2006. Internal Uterine Tamponade in A Textbook of Postpartum
Hemorrhage.

Ed

C.

B-Lynch

et

al.

Sapiens

Publishing

AvailableFrom:http://www.isuogmacau2011.com/assests/Uppload/aogm/PPHFiles/PPH-Chap-28.pdf
Depkes RI. 2007. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta.
Dyne PL, Workup in: Postpartum hemorrhage in Emergency Medicine clinical
presentation,May 2012 : diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/796785workup.
Jannah, nurul. 2012. Buku Ajar Asuhan Kebidanan: kehamilan. Yogyakarta: CV Andi OF
SET

JNPK-KR. 2007. Asuhan Persalinan Normal. Jakarta : Jaringan Nasional Pelatihan KlinikKesehatan Reproduksi, Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia (JNPK-KR/POGI),
dan JHPIEGO Corporation.

Karkata, M.K. 2009. Perdarahan Pasca Persalinan Dalam : Ilmu kebidanan Edisi 4 cetakan
I. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo

Kementerian Kesehatan RI, 2010. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 20102014. Jakarta.
Lowdermilk, Deitra Leonard., Perry, Shannon E., & Cashion, Kitty. 2010. Maternity Nursing.
8thed. United States of America: Wiley-Blackwell Publishing. Diakses dari :
https://books.google.co.id/books?id=A9XsAwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=buk
u+ajar+keperawatan+maternitas&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q&f=true,
pada tanggal 12 Mei 2016.

Lim, Pei Shan. 2012. Uterine Atony: Management Strategies, Blood Transfusion in Clinical
Practice,

Dr.

Puneet

Kochhar

(Ed.)

InTech.

http://cdn.intechopen.com/pdfs-

wm/32726.pdf Diakses pada tanggal 4 Mei 2016.

Lubis, Ismail Khairi. 2011. Pengaruh Paritas Terhadap Perdarahan Postpartum Primer Di
RSUD

Dr

Pringadi

Medan

2007-2010.

USU.

http://

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26440

Moerdjiarto, Sarmini. 2011. Karakteristik Ibu yang Berhubungan dengan Perdarahan Post
Partum Di RB Medika Utama Wonokupang Balongbendo Sidoarjo Tahun 2009. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Politeknik Kesehatan Majapahit: Hospital Majapahit, 3(1)2011.
http://ejurnalp2m.poltekkesmajapahit.ac.id/index.php/HM/article/view/88/78

Diakses

pada tanggal 4 Mei 2016.

Perdana, Abduh Halim. 2013. Gambaran Kasus Perdarahan Postpartum Di RSUP Haji
Adam

Medan

Tahun

2009-2011.

USU.

http://respository.usu.ac.id/handle/123456789/37623 Diakses pada tanggal 4 Mei 2016.

Prahardina, dr. 2009. Buku Pintar Kehamilan & Persalinan. Jakarta : GM.

Ramanathan G & Arulkumaran S. Postpartum Hemorrhage. Department of Obstetrics and


Gynaecology,

St

Georges

Hospital

Medical

School,

London

UK.

2006.

http://www.ubccriticalcaremedicine.ca/academic/jc_article(Apr- 30-09).pdf.

Saifuddin. 2010. Ilmu Kebidanan, edisi.4. Jakarta: Bina Pustaka. Sarwono Prawirohardjo.

Sarwono, p. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Sarwono, P. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Sherwood, Lauralee.(2009). Fisiologi Manusia Dan Sel Ke Sistem Ahli bahasa : Brahm.U.
Jakarta : EGC.

Sumarni. 2014. Gambaran Induksi Persalinan Dan Out Come Di Rsu Muhammadiyah
Sumatera

Utara

Tahun

2013.

USU

Institutional

Repository,

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/42255 Diakses pada tanggal 4 Mei 2016.

Supa, Sofia. 2013. Hubungan Antara Paritas, Berat Bayi Lahir, Dan Retensio Plasenta
Dengan Kejadian Perdarahan Post Partum Primer Relationship.
Tarwoto. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: Trans Info
Media
Yulianti, lia. 2010. Asuhan Kebidanan IV. Jakarta: Trans Info Media
Yanti. 2010. Buku Ajar Kebidanan Persalinan. Yogyakarta : Pustaka Rihama.
Wiknjosastro, H. 2005. Dalam ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjho

Faktor Resiko

Faktor OverDistensi

Faktor

Uterus

Persalinan

Faktor Interistik

Faktor Usia >35


Tahun
Kehamilan

Multiparitas

Polihidranion

Gemeli
Aktivasi Hormon

Akumulasi

Pembesaran

OksitosinYang

Amnion

Uterus Lebih

Berlebih

Makro Semia

Indikasi

Persalinan

Janin

Persalinan

Lama
Penurunan Fungsi
Hormonal Oksitosin

Bayi >400 gr

Hiperstimulasi

Persalinan >24

Oksitosin

jam
Penurunan

Dari Normal
Peningkatan
Hiperplasia
Endomatrium

Progresif

Regangan Dinding

Merangsang Otot

Tekanan Dalam

Uterus Yang Lebih

Kelemahan

Uterus Yang Sering

dan Sekitar Uterus

Dari Normal

Kontraksi Uterus

Peningkatan
Metabolisme

Endometrium

ATP

Lebih Meregang

Penurunan
Peningkatan
Gangguan
Interaksi Aktin,

Kemunduran

Miosin

Progresif

Intertia Uteri

Uterus Tidak Mampu

GapJunction

Gapjuction Sel

Menutup Perdarahan

Penurunan ATP

Miometrium

Terbuka

Terhadap Sel

Miometrium

HIS Inadekuat

Endomatrium
Kontraksi Uterus
Penurunan

Peningkatan

Gapjuntion Sel

CAMP

Miometrium

Gangguan Siklus
Endokrin Feto
Maternal

Perdarahan Post

Stimulasi

Timbul Retraksi,

Partum Primer

Hipofisis

Pembentukan

>500cc

Menurun

Segumen Bawah
Rahim

Menurun

Kontraksi dan

Peningkatan

Relaksasi

Dilatasi Ostium

Ketidakstabilan

Uterus Tidak

Serat Otot

Banyak Jaringan

Miometrium

Uteri

Hormon Oksitosin

Mampu Menutup

Miometrium

Ikat Pada

Berlangsung Lama

Retraksi

Endometrium

Penekanan dan
Sumbatan Arteri,

Perdarahan
Serviks

Penurunan

Retraksi Kontraksi

Menimbulkan

Kontraksi Uterus

Penurunan

dan Serat Otot

Abnormal

Berlebih

Kontraksi Uterus

Miometrium

Hambatan

Penekanan Arteri

Penekanan Vena

Spinalis

Spinalis

Penutupan
Pembuluh Darah

Hambatan
Penutupan
Pembuluh Darah

Hambatan
Penutupan

Daya Regang

dan Robekan

Miometrium
Retraksi

Perdarahan Derajat
I-II

Penekanan
Pembuluh Darah

Perdarahan Post

Partum Primer
>500cc

Timbul Laserasi

Pembuluh Darah

Perdarahan Post
Perdarahan Post
Partum Primer

Perdarahan Post

Partum Primer

Hambatan

Partum Primer

>500cc

Penutupan

>500cc

Perdarahan Post
Partum Primer

Vena Spiralis
Maternal

Terbuka

Pembuluh Darah

>500cc
Perdarahan Post
Partum Primer
>500cc

>500cc

ATONIA UTERI

Insertia Uteri

Perdarahan Post

Kurang Pajanan

Partum Primer

Informasi

HIS Inadekuat
Perdarahan Masif

Penurunan Volume

Tidak Adanya

Secara Berkala

Sekuncup

Tindakan

Segimen Bawah

Penurunan Volume

Curah Jantung

Uteri

Darah Efektif

Menurun

Pembentukan

Serviks Membuka

Eritrosit Menurun

Defisiensi

Kejaringan Menurun

Glukosa

Mukosa Pucat,

Oleh Plasenta Yang

Konjungtiva Anemis,

Ketidakstabilan Vital

Melekat

Kelemahan

Sign

Plasenta Dari
Desidua

RESIKO
PERDARAHAN

PENGETAHUAN

Suplai Darah

Tidak Dapat Diikuti

Terlepasnya Vili

DEFISIT

Inadekuat ATP

Mengganggu Sinyal
RESIKO SYOK

Elektis Dari Otak Ke


Otot

Aktivasi Mediator

Membuat Otot Lelah

Kimia : PG

Mekanisme Tubuh
Stimulasi Serabut

Mudah Lelah

Saraf Afferen

INTOLERANSI
Mencapai
Kornudorsalis

Melewati Medula
Oblongata

Diteruskan Ke
Ruang Serebri

Dipersepsikan
Nyeri

NYERI AKUT

AKTIVITAS

Faktor Risiko :

FAKTOR OVER
DISTENSI
UTERUS

FAKTOR INTRINSIK

Ibu hamil dengan


faktor usia >35 tahun

Multi paritas

Penurunan stimulasi
oksitosin

Ketidakseimbangan
hormonal

Aktivasi hormon oksitosin


yang terganggu

Akumulasi ASI di
duktus Lactiferus

Penurunan fungsi
hormonal
oksitosin

Merangsang otot uterus


yang lebih sering meregang

Penekanan ruang
duktus

Dilatasi rongga
duktus

Edema mamae ibu

Penurunan progresif
endometrium

Penurunan gap junction


sel miometrium

Kontraksi uterus
mengalami penurunan

Kemunduran progresif
endometrium

Gangguan siklus
endokrin feto maternal

Peningkatan banyak jaringan


ikat pada endometrium

Kehamilan ganda

Pembesaran uterus
> normal
Hiperplasia
endometrium
Gangguan interaksi
aktin miosin

Penurunan gap junction


sel miometrium

Kontraksi dan serat otot


miometrium retraksi

KETIDAK EFEKTIFAN
PEMBERIAN ASI

Uterus tidak mampu


menutup perdarahan terbuka

Penurunan kontraksi uterus


Penekanana dan sumbatan
arteri vena spiralis maternal
Penekanan arteri spiralis

Perdarahan post partum


primer (>500 cc)

Hambatan penururnan
pembuluh darah

Hambatan penutupan
pembuluh darah

Perdarahan post partum


primer > 500 cc

Perdarahan post partum


primer > 500 cc

ATONIA UTERI

Inserta uteri

Perdarahan Post Partum

HIS inadekuat

Perdarahan masih
secara berkala

Pembentukan
segmen bawah uteri

Penurunan volume
darah efektif

Penurunan volume
sekuncup

Serviks membuka
Eritrosit munurun
Tekanan
meningkat daerah

Dilatasi perineum
berlebih

Tidak dapat diikuti oleh


plasenta yang melekat

Perdarahan post
partum

Hb menurun

Curah jantung
menurun

Suplay darah ke
jaringan menurun

Ketidak stabilan
vital sign

Ruptur perineum
derajat II

Aktivasi mediator
kimia (PG)

Stimulasi serabut
saraf afferen

Stimulasi serabut
saraf afferen

Mencapai kornu dorsalis


melewati medula spinalis

Timbul Laserasi
Terbuka

KERUSAKAN
INTEGRITAS JARINGAN

Defisit perawatan
luka
Media mikroorganisme
patogen

Defisiensi
glukosa

RESIKO SYOK
Inadekuat
ATP

Mengganggu sinyal
elektis dari otak ke otak

Otot menjadi
kelelahan

Mekanisme tubuh
mudah lelak

Mencapai kornu dorsalis


melewati medula oblongata

Sampai korteks serebri

Disampaikan ke otak

Persepsi nyeri

NYERI AKUT

Mengganggu wound
healing

RESIKO INFEKSI

RESIKO INTOLERANSI
AKTIVITAS

Review
published: 16 October 2015
doi: 10.3389/fpubh.2015.00236

The use of nipple shields: a review


Selina Chow1, Ronald Chow1, Marko Popovic1, Henry Lam2, Joav Merrick3,
Sren Ventegodt4*, Milica Milakovic1, Michael Lam2, Mila Popovic1, Edward Chow2
and Jelena Popovic1
Toronto East General Hospital, Toronto, ON, Canada, 2Sunnybrook Health Sciences Centre, Toronto, ON, Canada,
Health Services, Division for Intellectual and Developmental Disabilities, Ministry of Social Affairs, National Institute of Child
Health and Human Development, Jerusalem, Israel, 4Quality of Life Research Center, Copenhagen, Denmark

1
3

Edited by:
Frederick Robert Carrick,
Carrick Institute, USA
Reviewed by:
Susan Elizabeth Esposito,
Life University, USA
Linda Mullin Elkins,
Life University, USA
*Correspondence:
Sren Ventegodt
ventegodt@livskvalitet.org
Specialty section:
This article was submitted to Child
Health and Human Development,
a section of the
journal Frontiers in Public Health
Received: 01September2015
Accepted: 30September2015
Published: 16October2015
Citation:
ChowS, ChowR, PopovicM,
LamH, MerrickJ, VentegodtS,
MilakovicM, LamM, PopovicM,
ChowE and PopovicJ (2015) The
use of nipple shields: a review.
Front. Public Health 3:236.
doi: 10.3389/fpubh.2015.00236

Keywords: nipple shield, breastfeeding, lactation

INTRODUCTION
The immunologic and anti-infective properties of breast milk are advantageous to babies, particularly high-risk premature infants (1). Moreover, breastfeeding establishes important emotional and
bonding experiences for the motherinfant dyad (2).
Since breastfeeding confers benefits to both mothers and infants, it is necessary to promote
breastfeeding and mitigate barriers that may prevent its success and/or lead to early breastfeeding

Frontiers in Public Health|www.frontiersin.org

October 2015|Volume 3|Article 236

Chow et al.

The use of nipple shields

termination (3). For example, the reluctant or non-nursing infant


is an overwhelming challenge to a new mother (4). Many women
in this situation wean their breastfeeding efforts due to the
absence of timely help or the lack of resources/support (4). When
maternal and/or infant-related factors challenge breastfeeding,
nipple shields may preserve and facilitate breastfeeding (3).
A nipple shield is a breastfeeding aid with a nipple-shaped
shield that is positioned over the nipple and areola prior to nursing (3). Nipple shields are usually recommended to mothers for
flat nipples or in cases in which there is a failure of the baby to
effectively latch onto the breast within the first 2days postpartum.
They are also used for sore nipples, prematurity, oversupply,
transitioning infants from the bottle to the breast, and other
indications (5).
The physical design of the shield has drastically changed over
time, dating back to the sixteenth century (6). Nipple shields have
progressed from being made of lead, wax, silver, wood, pewter,
and animal skins, to rubber, thin latex, and todays silicone
models (57).
In order to use a nipple shield effectively, it should correctly
fit the mothers breast, and the infant should be latched onto
the entire areola, not just the shields tip. The shield needs to be
positioned over the center of the nipple. A series of clockwise
rotations should then guide the nipple into the shield tunnel and
stretch the shields base around the areola. Each stretch of the
shield draws more nipple tissue into the shield. The edges of the
shield circumference can be secured over the areola with a few
drops of water. If the infant is latched onto the shield properly,
each suck will show visible movements in the area of the breast
distal to the shield. In contrast, little or no breast movement is
visible with sucking if the infant is only on the tip of the nipple
shield (8).
The use of nipple shields is a controversial topic in lactation.
Its use has been an issue in the clinical literature since some
older studies discovered reduced breast milk transfer when using
nipple shields (912). Nonetheless, more recent studies have
reported successful breastfeeding outcomes following the use of
nipple shields (4, 7, 1318).
Nipple shields are not only debated among healthcare
professionals but also among mothers. The shields may act as a
solution to a problem, thus reducing the stress from breastfeeding difficulties, or it may increase stress when women aim to
breastfeed without accessories (18). To provide a foundation of
evidence for the use of nipple shields, this review was undertaken to evaluate the evidence and outcomes associated with
nipple shield use.

Ovid MEDLINE(R) and Ovid OLDMEDLINE(R) <1946 to June Week 3 2015>


#

Results
3932

2 exp Breast Feeding/

27184

3 exp Lactation/

34007

4 exp Protective Devices/

33377

5 (mexican hat or thin latex or cannon babysafe).mp.

119

6 (nipple adj3 shield*).mp.

59

7 (4 or 5) and (1 or 2 or 3)

48

8 6 or 7

78

9 limit 8 to (english language and humans)

68

FIGURE 1 | Search strategy for Ovid MEDLINE and OLDMEDLINE.

Embase Classic+Embase <1947 to 2015 Week 26>


#

Search Statement

Results

1 exp nipple/

7195

2 exp breast feeding/

38647

3 exp lactation/

44159

4 exp lactation disorder/

1740

5 exp lactation consultant/

143

6 exp protective equipment/

40250

7 (mexican hat or thin latex or cannon babysafe).mp. 175


8 (6 or 7) and (1 or 2 or 3 or 4 or 5)

132

9 (nipple adj3 shield*).mp.

77

10 8 or 9

183

11 limit 10 to (human and english language)

151

FIGURE 2 | Search strategy for EMBASE Classic and EMBASE.

EBM Reviews - Cochrane Central Register of Controlled Trials <May 2015>


#

Search Statement

Results

1 exp Nipples/ or nipple*.mp.

277

2 exp Breast Feeding/ or breast feeding.mp.

1868

3 exp Lactation/ or lactation.mp.

1045

4 exp Protective Devices/ or (protective device* or protective equipment*).mp. 2044

METHODS

5 (mexican hat or thin latex or cannon babysafe).mp.

6 (nipple adj3 shield*).mp.

7 (4 or 5) and (1 or 2 or 3)

8 6 or 7

12

9 limit 8 to english language

11

FIGURE 3 | Search strategy for Cochrane Central Register of


Controlled Trials.

A literature search was conducted in Ovid MEDLINE and


OLDMEDLINE (1946 to June Week 3 2015), EMBASE Classic
and EMBASE (1947 to 2015 Week 26), Cochrane Central Register
of Controlled Trials (up until May 2015), and CINAHL (up until
July 1, 2015). A full list of search terms is provided in Figures14.
Titles and abstracts were screened to identify if studies were relevant for full-text screening, after which full texts were included
if they met the pre-specified inclusion criteria.

Frontiers in Public Health|www.frontiersin.org

Search Statement

1 exp Nipples/

Selection Criteria

Articles were selected for full-text screening if the title or abstract


mentioned nipple shield(s). Only English language studies were
included. Duplicates of articles found in each database, as well as
non-original research, small (i.e., <5 patients) sized studies, and
2

October 2015|Volume 3|Article 236

Chow et al.

The use of nipple shields

Search
ID#

Search Terms

Search Options

Results

Last Run Via

S8

TX (nipple N3 shield*)

Limiters - English Language


Search modes - Boolean/Phrase

Interface - EBSCOhost Research Databases


Search Screen - Advanced Search
Database - CINAHL

31

S7

S6 AND (S1 OR S2 OR S3 OR S4 OR S5)

Search modes - Boolean/Phrase

Interface - EBSCOhost Research Databases


Search Screen - Advanced Search
Database - CINAHL

S6

TX (protective device OR protective


equipment OR mexican hat OR think latex
OR cannon babysafe)

Search modes - Boolean/Phrase

Interface - EBSCOhost Research Databases


Search Screen - Advanced Search
Database - CINAHL

813

S5

(MH "Lactation Disorders+")

Search modes - Boolean/Phrase

Interface - EBSCOhost Research Databases


Search Screen - Advanced Search
Database - CINAHL

536

S4

(MH "Lactation Consultants")

Search modes - Boolean/Phrase

Interface - EBSCOhost Research Databases


Search Screen - Advanced Search
Database - CINAHL

404

S3

(MH "Lactation")

Search modes - Boolean/Phrase

Interface - EBSCOhost Research Databases


Search Screen - Advanced Search
Database - CINAHL

1,660

S2

(MH "Breast Feeding+")

Search modes - Boolean/Phrase

Interface - EBSCOhost Research Databases


Search Screen - Advanced Search
Database - CINAHL

12,379

S1

(MH "Nipples")

Search modes - Boolean/Phrase

Interface - EBSCOhost Research Databases


Search Screen - Advanced Search
Database - CINAHL

459

FIGURE 4 | Search strategy for CINAHL.

research on nipple shield use for anything other than breastfeeding (e.g., delivery system for antiviral agents preventing HIV
transmission, reconstructive surgery, cancer treatment) were
excluded.

Amatayakul etal. (10) randomly assigned 50 Northern Thai


women to one of three groups: group 1 (16/50) breastfed without
a thin latex nipple shield, group 2 (16/50) breastfed with a thin
latex nipple shield, and group 3 (18/50) wore a thin latex nipple
shield but did not breastfeed. At 1 week postpartum, prolactin
and cortisol levels, infant suckling time, and milk transfer were
measured with and without a nipple shield. Based on blood samples collected before, during, and after the feeding, no significant
differences in either hormone levels were found between groups
1 and 2 (prolactinp=0.83; cortisolp>0.1). Use of the nipple shields when breastfeeding had significantly reduced milk
transfer, from a median of 47g in group 1 to a median of 27g in
group 2, which was likely due to the inhibition of oxytocin release
in group 2 mothers (10) (Table1).
Auerbach (12) also examined milk transfer with a nipple
shield. Twenty-five mothers participated in two separate pumping sessions, one for each breast, where different designs of nipple
shields were tested. The old shield was the Cannon Babysafe
(Glemsford, UK) with four small holes, and the new shield was
the modified design with one hole. Pumping without a shield
yielded larger amounts of milk, with mean volumes six times
greater than when the old shield was used and more than four
times greater than when the new shield was in place. Evidently,
the new shield seemed to reduce the milk volume slightly less
than the old shield (17% versus 12% of overall volume), although
this difference was not statistically significant (12) (Table1).
Woolridge etal. (9) compared the Mexican Hat nipple shield
and the thin latex nipple shield with 16 and 18 mother-infant
dyads, respectively, at 58days postpartum. It was found that both
nipple shields reduced milk transfer: the Mexican Hat decreased
milk supply by 58%, with a mean volume of 19.5g compared to
a mean volume of 46.4g without a shield, whereas the thin latex

Data Extraction and Endpoints

The primary endpoint was any breastfeeding outcome following


nipple shield use. Secondary endpoints included the reasons for
nipple shield use and the average/median length of use. For the
analysis, we examined the effect of nipple shield use on physiological responses, premature infants, mothers experiences, and
health professionals experiences.

RESULTS
The literature search yielded 261 articles, of which 68 were from
MEDLINE, 151 from EMBASE, 11 from Cochrane Central,
and 31 from CINAHL. Of those, 31 articles were identified for
full-text review as specified by the inclusion criteria; 17 of the 31
articles were rejected after full-text review. Some of the reasons
for exclusion were the lack/absence of relevant information
regarding breastfeeding outcomes with nipple shield use as well as
editorials and case reports. Of the 14 remaining articles (24, 7, 9,
10, 1214, 1620), three reported on physiological responses (9,
10, 12), two reported on premature infants (2, 16), eight reported
on mothers experiences (3, 4, 7, 13, 14, 1719), and one reported
on health professionals experiences (20).

Physiological Responses

Three studies reported on the physiological responses during


breastfeeding with a nipple shield (9, 10, 12).

Frontiers in Public Health|www.frontiersin.org

October 2015|Volume 3|Article 236

Chow et al.

The use of nipple shields

TABLE 1 | Physiological responses with nipple shield use.


Author

Study population

Methods

Outcomes

Amatayakul 50 Northern Thai women


etal. (10)
W
 ere patients at the delivery
wards of the University
Hospital, Chiang Mai, or from
the Mother and Child Health
Centre
Inclusion criteria
Were breastfeeding
satisfactorily
Had breastfed at least 1
previous child

Normal labor
No complications after
delivery
Baby was healthy and free
from complications

Baby weighed
30003500g

Randomly assigned to 1 of 3 groups


Group 1 (16/50) breastfed without a
nipple shield
Group 2 (16/50) breastfed with the
nipple shield
Group 3 (18/50) wore a nipple shield
but did not breastfeed
If babies were nursed in the study, they
were only fed on the left breast
Measured prolactin and cortisol levels,
infant suckling time, and milk transfer
by test weighing with and without a thin
latex nipple shield at 1week postpartum

Infant suckling time not significantly different between groups 1


and 2
Median for group 1: 11min
Median for group 2: 12min
Range of 816min for both
Highly significant change of prolactin levels over time
Cortisol levels declined slowly over time, yielding a highly
significant change
Based on blood samples collected before, during, and after the
feeding, no significant differences in prolactin and cortisol levels
between groups 1 and 2
Thin latex nipple shield had no impact in hormone release during
breastfeeding
No evidence for release of prolactin/cortisol when the shield was in
place without suckling
No significant association between time spent suckling and
prolactin levels at 5, 10, 20, or 30min
Association significant at 40, 90, and 120min, and borderline
at 60min
Significantly reduced milk transfer with nipple shield use
Median milk transfer to infants in group 1 was 47g, whereas
group 2 was 27g
Due to the likely inhibition of oxytocin release in the group 2
mothers

Auerbach
(12)

2
 5 women with wellestablished lactation courses
and thriving infants
Women who were pumping
their breasts during/in
anticipation of employmentrelated absences

E
 ach study subject participated in 2
different pumping sessions
1 session involved 3 separate
pumping periods on the right breast,
each separated by a 5-min resting
period
The same was done on the left
breast for the other session
Pumping regimens consisted of 3
consecutive 5-min periods per breast
Without nipple shield
With old design of shield
With new design of shield
Milk was pumped from the breast by a
standard size, high-quality, intermittent
electric pump

P
 umping without a shield resulted in mean volumes 6 times
greater than when the old shield was used and 4 times greater
than when the new shield was used
The new shield appeared to negatively affect milk volume slightly
less than the old shield
17 versus 12% of overall volume

Woolridge
etal. (9)

Inclusion criteria

Trouble-free lactation
Age of babies to be
58days, inclusive
Mexican Hat
16 motherinfant dyads
Thin latex
18 mother-infant dyads

M
 ilk intake was assessed from the
babys weight gain
Measured by test weighing
Sucking patterns were determined by
filming the mouth of the baby during
the feed

Mexican Hat reduced milk transfer by 58%


Mean volume of 19.5g compared to a mean volume of 46.4g
without a nipple shield
Thin latex shield reduced milk transfer by a smaller amount (22%)
Mean volume of 29.9g compared to a mean volume of 38.4g
without a nipple shield
Infant suckling patterns were significantly altered when a Mexican
Hat was in place
Mexican Hat increased sucking rate (i.e., mean inter-suck
interval was shorter) and the time spent resting (the length of
the pauses were not increased; there were just more of them)
Little difference (e.g., sucking frequency or pauses) was observed
when mothers used the thin latex nipple shield

g, grams.

shield diminished milk intake by 22% from a mean volume of


38.4g without a shield to 29.9g. Recorded videos of the babies
mouths during the feeding process revealed that infant suckling
patterns were significantly altered when a Mexican Hat was in
place. This nipple shield design increased sucking rate and the
time spent resting. In contrast, minimal differences in sucking

Frontiers in Public Health|www.frontiersin.org

frequency and pauses were observed when using the thin latex
nipple shield (9) (Table1).

Premature Infants

Two studies reported the breastfeeding outcomes with nipple


shield use for premature infants (2, 16).

October 2015|Volume 3|Article 236

Chow et al.

The use of nipple shields

Clum and Primomo (2) performed chart reviews for 15 premature infants who were neonatal intensive care unit (NICU)
patients and whose mothers intended to breastfeed. In order
to investigate the effect of nipple shield use on milk transfer,
the infants prescribed amount of feeding was compared to
their actual intake, which was measured by test weights. It was
identified that health professionals usually recommended nipple
shields if the neonate had difficulty latching for an average of
5days. The average gestational age at first nipple shield use was
34.9weeks, ranging from 33 to 39weeks. Using a nipple shield,
nine infants (60%) consumed 50% or more of the prescribed
feeding amount, and six infants consumed between 13 and 28%
of the prescribed feeding amount. Therefore, the majority of
patients obtained at least half of the prescribed feeding amount
during their first nipple shield use, which is an acceptable
amount for preterm babies transitioning from gavage to breast/
bottle-feeding (2) (see Table2).
Meier et al. (16) performed a retrospective analysis of data
for 34 premature infants who were NICU patients and whose
mothers had used nipple shields to facilitate milk intake during
and/or after each infants stay in the NICU. This study examined
the effect of nipple shields on milk transfer and total duration of
breastfeeding. The volume of milk transfer, which was measured

by infant test weights, was compared for two consecutive breastfeeding (one with and one without the use of a nipple shield). It
was found that poor infant latch [21/34 (61.8%)], infants falling
asleep soon after being positioned at the breast [10/34 (29.4%)],
and maternal nipple discomfort [3/34 (8.8%)] were all reasons for
nipple shield use. When using the shield, all infants consumed
more milk than without nipple shields. The mean transfer of milk
without a shield was 3.9mL, compared to a mean of 18.4mL with
the shield, resulting in a 14.4mL difference. These infants used the
nipple shield for a mean duration of 33days, which was a mean of
24.3% of the total breastfeeding experience (16) (Table2).

Mothers Experiences

Eight studies focused on the mothers experiences with nipple


shield use (3, 4, 7, 13, 14, 1719). Of these studies, four were prospective (3, 13, 18, 19) and four were retrospective (4, 7, 14, 17).
Chertok et al. (18) conducted a prospective two-part pilot
study. Part 1 consisted of 32 breastfeeding motherinfant dyads
that had received support from lactation consultants and had
used or were still using nipple shields. A structured telephone
survey was used to examine maternal satisfaction with nipple
shield use. The reasons for nipple shield use were for infant
reasons [16/32 (50%)], maternal reasons [12/32 (37.5%)], and

TABLE 2 | Effects of nipple shield usage on premature infants.


Author

Study population

Clum and
15 premature infants
Primomo (2) P
 atients at a NICU in South Puget
Sound
Mothers intended to breastfeed

Meier
etal. (16)

 4 premature infants
3
Were hospitalized in 1 of 2 hospitals
during a 12-month period in
19971998
Mothers had used nipple shields to
facilitate milk intake during and/or
after each infants stay in a NICU

Methods

Outcomes

Charts were reviewed to identify



Maternal parity

Gestational age

Birth weight
Age of infant at first feed
Age at introduction of nipple shield
Infant age at discharge
Prescribed amount of feeding was compared to the
actual intake by test weights
Mothers maintained their milk supply with a highquality, intermittent electric pump with a known
pressure
Were advised to pump both breasts
simultaneously for 10min, 8 times every 24h

Reasons for nipple shield use


Had difficulty latching without the shield
for an average of 5days
Infants average gestational age at first
nipple shield use: 34.9weeks (range of
3339weeks)
9 infants (60%) consumed 50% of the
prescribed feeding amount using a nipple
shield
6 infants consumed 1328% of the
prescribed feeding amount using a nipple
shield

V
 olume of milk transfer, measured by infant
test-weights, was compared for 2 consecutive
breastfeeding with and without the nipple shield
Total duration of nipple shield use and breastfeeding
were calculated
Reasons for nipple shield use were recorded

Reasons for nipple shield use


Poor latch [21/34 (61.8%)]
Slipping off the nipple during pauses
in sucking, large/flat nipples difficult for
the infant to achieve and/or sustain an
effective breastfeeding position
Correct infants falling asleep within
minutes of being positioned at the breast
[10/34 (29.4%)]
Maternal nipple discomfort [3/34 (8.8%)]
All infants consumed more milk with the shield
Mean transfer of milk without a shield was
3.9mL, compared to 18.4mL with the
shield
Mean of 14.4mL difference
Mean duration of nipple shield use: 33days
(range of 2171days)
Used for a mean of 24.3% (range of
0.6%100%) of total breastfeeding
experience

mL, milliliter; NICU, neonatal intensive care unit.

Frontiers in Public Health|www.frontiersin.org

October 2015|Volume 3|Article 236

Chow et al.

Frontiers in Public Health|www.frontiersin.org

TABLE 3 | Mothers experiences with nipple shield usage.


Methods

Outcomes

Bodley and
Powers (7)

10 mothers

Chart reviews

Reasons for nipple shield use


Inability to grasp the areola (7/10)
Due to suck difficulties or poor protractility of breast tissue
Sore nipples (1/10)

Both (2/10)
Women used the shield long-term for 2weeks to 3.5months
All study subjects tried to eliminate the shield within a few days of starting its use
Eventually all babies quit nursing through the shield
2 mothers used the shield on 1 nipple only
None of the mothers supplemented with artificial baby milk or pumped breast milk while using the nipple shield
From the first weight check at 38days to the 3-week check, all babies had an appropriate weight gain
At the 2-month check, weight gain was appropriate, if not abundant, for all 10 babies
At the 4-month check, weight gain was appropriate for all infants
9 babies were feeding directly from the breast at this time, and 1 was bottle-feeding
9 mothers were extremely positive about the use of the shield to help in their situations
The 10th mother felt the shield was inconvenient, but it was a tool which helped her achieve her goal of
breastfeeding

Brigham (14)

5
 1 clients of the Breastfeeding
Center at Evergreen Hospital
Were given a nipple shield in
1994
Infant population included
healthy, term infants, premature
infants, and infants with Down
syndrome

S
 tudy subjects were interviewed
for an average of about 10min by
telephone
The following information was
documented
Reason for nipple shield use
Age of baby at first use
Length of use
Duration of breastfeeding (total
duration and duration after shield
discontinued)
Helpfulness of the shield

Reasons for nipple shield use


Difficulty with latch [37/51 (73%)]
Flat nipples [11/37 (30%)]
Inverted nipples [6/37 (16%)]
Engorgement [5/37 (14%)]
Nipple confusion [3/37 (8%)]
Premature infant [1/37 (3%)]
Infant with Down syndrome [1/37 (3%)]
Weak infant suck [1/37 (3%)]
Infant with retracted tongue [1/37 (3%)]
Sore nipples [5/51 (10%)]
Both [9/51 (18%)]
Average age of infants when the nipple shield was initiated: 6.1days (range of 142days)
Average length of shield use: 26.7days (range of 2days4.5months)
86% (44/51) of respondents reported that the nipple shield helped them continue to breastfeed
7 women did not find the shield helpful and discontinued using it
Although breastfeeding duration was short for some, some mothers reported satisfaction that at least some
breastfeeding was possible, which they felt would not have occurred without the shield
No one identified insufficient milk supply or poor infant growth patterns with nipple shield use

October 2015|Volume 3|Article 236

(Continued)

The use of nipple shields

Study population

Author

Chow et al.

Frontiers in Public Health|www.frontiersin.org

TABLE 3 | Continued

Study population

Methods

Outcomes

Chertok etal.
(18)

Part 1
32 breastfeeding motherinfant
dyads
Received support from lactation
consultants at Evergreen
Hospital or University of
Washington Medical Center
Inclusion criteria
Healthy postpartum women
Knowledge of English
Delivered by vaginal/
cesarean delivery
Had a healthy, full-term
(3742weeks) infant
singleton


Practiced exclusive
breastfeeding (no
supplementation)
or nearly exclusive
breastfeeding (minimal fluid
supplementation)
Had used/were still using
nipple shields
Part 2
5 motherinfant dyads
Had completed Part 1
Were in the process of weaning
from the nipple shield

Part 1
A structured, 1520min, maternal
nipple shield satisfaction telephone
survey
To examine
Maternal and infant demographics

Previous breastfeeding
experience
Current breastfeeding and
pumping experience
Nipple shield use

Infant feeding
Supplementation and use of
pacifier
Infant weight gain history
Part 2
A prospective within-subject design
Used maternal and infant
physiological outcomes to examine
maternal prolactin and cortisol levels
and infant test weights during 2
breastfeeding sessions with and
without the nipple shield
Hormone levels were analyzed by
collecting 3 blood samples

Immediately before

10min
20min after breastfeeding
commenced

Part 1
Reasons for nipple shield use
Infant reasons [16/32 (50%)]
Poor suck, poor latch, tongue displacement, etc.
Maternal reasons [12/32 (37.5%)]
Nipple pain, nipple trauma, breast engorgement, inverted/flat nipples, etc.
Both [4/32 (12.5%)]
Most women [26/32 (81.3%)] reported having no nipple pain with nipple shield use
Remaining women reported nipple soreness with use of the nipple shield
62.5% (20/32) of women reported no complications with nipple shield use
37.5% (12/32) of women reported that the nipple shield complicated breastfeeding
Types of complications
Nipple shield tended to fall off the breast (5/32)
Inconvenience (3/32)
Infant dependency on the shield (2/32)
Infant swallowed too much air (2/32)
Messiness (1/32)
Average length of shield use: 7.3days (range of 313days)
If they did not use the nipple shield
6 would terminate breastfeeding
6 would pump breast milk
16 would continue trying to breastfeed
4 expressed concerns over continued infant weight loss
Part 2
Maternal prolactin and cortisol levels for breastfeeding sessions with and without the nipple shield were not
significantly different
No significant differences in the mean prolactin levels
Levels significantly increased over time for breastfeeding with and without nipple shields
No significant differences in the mean cortisol levels
No significant change over time
Levels with and without nipple shields followed similar trends over time
No significant differences in maternal hormonal levels and infant breast milk intake for breastfeeding sessions
with and without nipple shields
(Continued)

The use of nipple shields

October 2015|Volume 3|Article 236

Author

Chow et al.

Frontiers in Public Health|www.frontiersin.org

TABLE 3 | Continued
Methods

Outcomes

Chertok (3)

5
 4 motherinfant dyads
From 2 major cities in USA and
Israel
Inclusion criteria


Healthy mothers
Term, healthy infants


Experience with
breastfeeding
Experience using nipple
shields during the
postpartum period

 tudy subjects were interviewed with


S
10 questions by telephone
To examine

Lactation practices
Nipple shield use
Infant weight gain over 2months
postpartum

Maternal satisfaction
Mothers were surveyed at birth and
2weeks, 1month, and 2months
postpartum

Reasons for nipple shield use


Maternal reasons (61%)
Flat/inverted nipples, nipple pain, nipple trauma, engorgement, etc.
Infant reasons (39%)
Poor/weak latch/suck, etc.
15% (8/54) of women had complications with nipple shield use
Types of complications
Shield falls off the areola [3/54 (37.5%)]
Nipple soreness [2/54 (25%)]
Inconvenience [2/54 (25%)]
Messiness [1/54 (12.5%)]
By 2months postpartum, 65% (34/54) of women discontinued nipple shield use by the mean time of 2.96
(SD 2.1) weeks
Reasons for stopping nipple shield use
Improved breastfeeding, which ended the need for the shield [20/54 (56%)]
Cessation of lactation [6/54 (16.7%)]
Breastfeeding termination with continued pumping [6/54 (16.7%)]
Inconvenience [3/54 (8.3%)]
Recommendation of healthcare professional [1/54 (2.8%)]
Infant weight gain was similar for those using and not using nipple shields for 2weeks
89.8% of women had a positive experience with nipple shield use
67.3% of women said that the nipple shield helped prevent breastfeeding termination

Nicholson (13)

S
 tudy population was divided
into 3 groups
NS
186 mothers
Seen by the hospital lactation
consultant before discharge
Were using nipple shields
No NS
636 mothers
Seen by the hospital lactation
consultant before discharge
Were not using nipple shields
PN
349 breastfeeding postnatal
mothers
Not seen by the lactation
consultant

 ollected data from all 3 groups


C
before hospital discharge and
3months postpartum, during 1988
and 1989
A 3-month interview was carried out
by telephone or a questionnaire was
sent by mail
Following information was recorded
Feeding method at 3months
Problems (mastitis and nipple trauma)
experienced between hospital
discharge and 3months

Breastfeeding rates on discharge


NS: 95% (176/186)
No NS: 83% (530/636)
PN: 91% (318/349)
Breastfeeding continuation rates at 3months postpartum
NS: 55% (92/166)
51% exclusively (84/166)
No NS: 63% (298/473)
54% exclusively (256/473)
PN: 67% (190/282)
57% exclusively (161/282)
NS: 13 out of the 92 women breastfeeding at 3months were still using nipple shields
All of these women were breastfeeding exclusively
7 women used the nipple shield for their entire lactation
Breastfeeding problems at 3months postpartum
NS: 9% (15/166)nipple trauma; 12% (20/166)mastitis
No NS: 6% (27/473)nipple trauma; 8% (40/473)mastitis
PN: 7% (19/282)nipple trauma; 7% (19/282)mastitis

October 2015|Volume 3|Article 236

(Continued)

The use of nipple shields

Study population

Author

Chow et al.

Frontiers in Public Health|www.frontiersin.org

TABLE 3 | Continued

Author

Study population

Methods

Outcomes

Pincombe etal.
(19)

3
 17 women
Had given birth to their first
baby (at term) in a large
teaching maternity hospital
in Adelaide, South Australia,
between March and November
2003
Inclusion criteria
Women 18years of age

Primiparous

37weeks gestation
Intending to breastfeed
Able to understand and
communicate in both written
and spoken English

B
 FHI Step 9 (giving no artificial teats/
pacifiers to breastfeeding babies)
was investigated during telephone
interviews
3 separate questions relating to
the use of nipple shields, pacifiers/
dummies, and bottle-feeds at
1week, 6weeks, 3months, and
6months postpartum
Participants were asked if they were
still breastfeeding, and if they were
breastfeeding fully (breast milk only)
or partially (formula and/or solids and
breast milk)
If baby had been weaned, the mother
was asked the age of her baby (to
the nearest week) when he/she was
weaned

 4.2% of mothers used a nipple shield while in the postnatal ward, while 85.8% did not
1
Higher rate of weaning was found among mothers who used artificial nipples, including nipple shields,
compared to those who offered the breast exclusively
Breastfeeding duration was shorter for mothers who did not experience all of the BFHI practices (e.g., using no
artificial nipples including a nipple shield, feeding >1h of birth, receiving feeding assistance, giving only breast
milk to the infant, rooming-in) compared to those women who experienced all of these practices
Unadjusted hazard ratio for weaning is 2.1 times greater for babies whose mothers used nipple shields
compared with those who did not
1.6 times greater for babies offered dummies/pacifiers while in the postnatal ward
1.4 times greater for babies given a bottle feed
Increased hazard of weaning was found for mothers who were shown how to initiate breastfeeding by the
midwife
Breastfeeding on demand while in hospital had a significantly increased risk of weaning

Powers, Tapia
(17)

202 breastfeeding women


10min telephone survey assessing
Inclusion criteria
mothers perceptions regarding
use of a silicone nipple shield and
Discontinued nipple shield
its impact on their breastfeeding
use for a minimum of 1 week
experience
Data obtained were based on
subjective recall of the women
interviewed

(Continued)

The use of nipple shields

October 2015|Volume 3|Article 236

Reasons for nipple shield use


Short/flat nipples [125/202 (62%)]
Infants disorganized suck [88/202 (43%)]
Sore nipples [49/202 (23%)]
Engorgement [31/202 (15%)]
Prematurity [25/202 (12%)]
Short frenulum [4/202 (1%)]
Other reasons [3/202 (1%)]
Infant with a receding chin
Protecting burn scars on the mothers areola
A mother who believed her infants difficulty with latch were because of her infants later diagnosed
autism
46% of women gave >1 reason for using a shield
Nipple shield use began the 1st42nd day of the infants life
60% (122/202) began nipple shield use on the first or second day after delivery
97% (197/202) began within the first 2weeks postpartum
Median duration of nipple shield use: 2weeks
One third (67/202) used the nipple shield the entire time they breastfed (range of 1day15months)
92 women were given information regarding the shields for flat, inverted, or sore nipples
67% (62/92) of these women chose to wear the shields
Only 51% of these 62 women believed that wearing them helped them to succeed at breastfeeding
Those who did not believe they were helpful commented that the nipple shields were uncomfortable
This was especially true after milk onset occurred, usually the third or fourth day postpartum, and the
shields exacerbated leaking
11% (22/202) of the women reported that the infant could have nursed without the nipple shield at any time,
but they chose to use the shield for nipple pain or general comfort
5% of women used the nipple shield on only one nipple
88% (178/202) of mothers felt that the nipple shield helped them succeed at breastfeeding

The use of nipple shields

75% of mothers were already feeding with bottles (some exclusively) at consultation
Most common presenting problems
Breast refusal (69%)
Difficulty with latch (25%)
Sore nipples (6%)
50% of mothers had flat/inverted nipples
41% of mothers had breast engorgement upon presentation
Weaning of nipple shields
Initial crisis period (<6weeks) [12/32 (38%)]
After 6weeks [18/32 (56%)]
Fed human milk by bottle [2/32 (6%)]

both maternal and infant reasons [4/32 (12.5%)]. Overall, mothers were satisfied with nipple shields and attributed its use with
preventing early weaning (18) (Table3). This studys second part
used a within-subject design to evaluate maternal prolactin and
cortisol levels and infant test weights during two breastfeeding
sessions, one with and one without the nipple shield. The study
population included five maternalinfant dyads that had completed Part 1 and were in the process of weaning from nipple
shield use. Based on blood samples collected immediately before,
and 10 and 20min after breastfeeding started, maternal hormone
levels were not significantly different for breastfeeding sessions
with and without the nipple shield (prolactinp=0.88; cortisol p = 0.74). Similarly, there were no significant differences
in infant breast milk intake for breastfeeding sessions with and
without nipple shields (p=0.72). Therefore, nipple shields were
an effective intervention strategy that did not affect milk transfer
or hormone levels and could prevent early breastfeeding termination (18) (Table3).
Chertok (3) conducted another telephone survey in 2009,
which involved 54 maternalinfant dyads from the United States
of America and Israel, who had experienced nursing with and
without nipple shields during the postpartum period. Mothers
were surveyed at birth and 2 weeks, 1 month, and 2 months
postpartum in order to determine how nipple shield use affected
infant weight gain. Reasons for nipple shield use were mostly
maternally related (61%) but also sometimes infant related (39%).
Infant weight gain was similar for those using and not using nipple
shields at the 2-week survey (p=0.30 and p=0.16, respectively).
In total, 89.8% of mothers had a positive experience with nipple
shields and 67.3% credited the nipple shields for prevention of
breastfeeding discontinuation (3) (Table3).
Nicholson (13) conducted a prospective study in which the
study population was divided into three groups: NS 186
mothers who were seen by the hospital lactation consultant and
were given nipple shields; No NS636 mothers who were seen
by the hospital lactation consultant and were not given nipple
shields; PN 349 breastfeeding postnatal mothers who were
not seen by the lactation consultant. Data were collected from all
groups before hospital discharge and at 3 months postpartum.
A 3-month interview was carried out by telephone or a questionnaire was sent by mail to investigate the feeding method at
3months and problems experienced between hospital discharge
and 3 months postpartum. Although No NS mothers had a
much lower breastfeeding rate on discharge than the NS group
(p<0.001), this significant difference disappeared at 3months
postpartum. Since there were not any significant differences in
breastfeeding rates at 3months between the NS and No NS
group, nipple shield use was not considered to have negative effects
on lactation. Significantly fewer NS mothers were breastfeeding
at 3months (55%) than those in the PN group (67%) (p=0.01).
It was found that more than half of the women in each group
continued breastfeeding at 3 months, and the majority were
breastfeeding exclusively. There was a small proportion of mothers in all groups who experienced nipple trauma and mastitis at
3months; the NS group had the highest rates of breastfeeding
problems, followed by No NS and PN. Therefore, use of a nipple shield did not impede breastfeeding initiation (13) (Table3).

Frontiers in Public Health|www.frontiersin.org

BFHI, baby friendly hospital initiative; SD, standard deviation.

3
 2 women seen during a
13-month period between
December 1992 and January
1994 in a private lactation clinic
in Austin, TX, USA
Received nipple shields
Wilson-Clay (4)

Chart reviews

Study population
Author

TABLE 3 | Continued

Methods

Outcomes

Chow et al.

10

October 2015|Volume 3|Article 236

Chow et al.

The use of nipple shields

for nipple shield use included short or flat nipples [125/202


(62%)], infants disorganized suck [88/202 (43%)], and sore nipples [49/202 (23%)], with 46% of mothers giving more than one
reason for using a shield. Nipple shield use began between the
1st and 42nd day of the infants life, and the median duration of
use was 2 weeks. A total of 11% (22/202) of mothers reported
that the infant could have nursed without the nipple shield at any
time, but they chose to use the shield for nipple pain or general
comfort. Almost all of the women surveyed [178/202 (88%)] felt
that the nipple shield helped them succeed at breastfeeding (17)
(see Table3).

In a final prospective study, Pincombe etal. (19) assessed the


effects of Baby Friendly Hospital Initiative (BFHI) procedures
on breastfeeding duration. Three hundred seventeen mothers
who were intending to breastfeed and had given birth to their
first at term baby in an Australian hospital were included in the
study. BFHI Step 9, which is to restrain from giving artificial teats/
pacifiers to breastfeeding babies, was analyzed through telephone
interviews consisting of three separate questions. A total of 14.2%
of participants used a nipple shield while in the postnatal ward.
A higher rate of weaning was found among mothers who used
artificial nipples (e.g., nipple shields) compared to mothers who
offered the breast exclusively. Other factors that led to increased
risks of breastfeeding termination were breastfeeding on demand
in hospital and midwives teaching mothers how to initiate
breastfeeding. Similarly, breastfeeding duration was shorter for
women who did not experience all of the BFHI practices (19)
(see Table3).
Four retrospective studies comprised two chart reviews and
two telephone surveys (4, 7, 14, 17).
Boldey and Powers (7) conducted chart reviews for 10 mothers who used nipple shields. The reasons for nipple shield use
were the babys inability to grasp the areola (7/10), nipple soreness (1/10), and both of the aforementioned causes (2/10). The
duration of shield use ranged from 2weeks to 3.5months, and
all infants eventually quit nursing through the shield. All babies
had appropriate weight gain at the 38day, 3week, 2month, and
4 month weight check. Nine mothers were extremely positive
about using the nipple shield to help in their situations, while
one woman felt the shield was inconvenient, but she admitted that
the tool helped her breastfeed (7) (see Table3).
Wilson-Clay (4) also performed chart reviews for 32 women
who received nipple shields from a lactation clinic. The most
common problems at consultation were breast refusal (69%),
difficulty with latch (25%), and sore nipples (6%). The duration
of shield use varied among the study population. A total of 38%
of mothers (12/32) weaned nipple shield use during the initial
crisis period (<6weeks), 56% (18/32) weaned after 6weeks, and
6% (2/32) of women fed their infants human milk by bottle (4)
(see Table3).
Brigham (14) interviewed 51 clients of the Breastfeeding
Center at Evergreen Hospital, who were given a nipple shield by
telephone. The reasons for nipple shield use included difficulty
with latch [37/51 (73%)], sore nipples [5/51 (10%)], and both
of the aforementioned causes [9/51 (18%)]. The average age of
infants when the nipple shield was first used was 6.1days, ranging from 1 to 42days, and the average length of shield use was
26.7 days, ranging from 2 days to 4.5 months. The majority of
respondents [44/51 (86%)] reported that the nipple shield helped
them continue to breastfeed. None of the women surveyed identified insufficient milk supply or poor infant growth patterns with
nipple shield use (14) (see Table3).
Powers and Tapia (17) conducted a telephone survey that
assessed mothers perceptions regarding use of a nipple shield and
its impact on their breastfeeding experience. Two hundred two
women who had discontinued nipple shield use for at least 1week
at the time of the survey were included in this study. The reasons

Frontiers in Public Health|www.frontiersin.org

Health Professionals Experiences

One study reported the health professionals experiences with


nipple shield use (20). Eglash et al. (20) created a web-based
survey to collect detailed descriptive data from respondents who
work with breastfeeding mothers in diverse settings. The study
population consisted of 490 physicians and other health professionals specialized in breastfeeding management, 92% (451/490)
of whom had used nipple shields in their practices before. Their
most common reasons for recommending nipple shield use were
to help <35weeks premature infants latch and nurse, to accommodate flat or inverted nipples, and to act as a method to transition
an infant from bottles to the breast. The most common concerns
among participants about nipple shield use were the lack of
follow-up by those introducing the nipple shield, inappropriate
reasons for using nipple shields, and maternal inconvenience of
using nipple shields. Respondents reported that they hear mixed
responses from women who have used nipple shields, such as
they are helpful, the nipple shield is convenient, the nipple
shield is inconvenient, and (they) cannot wait to get rid of the
nipple shield (20) (see Table4).

DISCUSSION
There are many benefits to nipple shields. The use of a nipple shield can maintain breastfeeding, along with providing
the mother a sense of accomplishment (2, 14). This ensures
that the infant is comfortable and oriented to the breast (14).
Additionally, nipple shields can help establish a breastfeeding
relationship, contributing to overall motherinfant health (2).
Brigham has found that nipple shields tend to be the least costly
solution both financially and emotionally to families. As well,
the shield is not seen when breastfeeding, enabling mothers and
their babies to resemble any other nursing team. This appearance
can be crucial to new parents who need a simple and discreet
feeding plan (14).
Moreover, nipple shields can compensate for immature
feeding behaviors, such as short, ineffective sucking bursts and
falling asleep immediately after being positioned at the breast in
premature infants (16, 21). The design of the nipple shield seems
to compensate for weak intraoral suction pressures (16). Since the
shield creates a nipple shape in the babys mouth, it enables the
infant to draw milk through expression with minimal suction,
improving milk ejection and transfer. The firm artificial nipple
structure is maintained even during pauses in sucking bursts,

11

October 2015|Volume 3|Article 236

Chow et al.

The use of nipple shields

TABLE 4 | Health professionals experiences with nipple shield usage.


Author

Study population

Methods

Outcomes

Eglash etal. (20)

4
 90 physicians and other health
professionals specialized in
breastfeeding management
Most respondents were board
certified in lactation [412/490 (79%)]
Most prevalent occupations
Lactation consultants [270/490
(52%)]
Nurses [125/490 (24%)]
Physicians [43/490 (8%)]
La Leche League Leader [29/490
(6%)]
92% (451/490) of participants have
used nipple shields in their practices

A
 web-based anonymous survey was
advertised via internet
Remained available online for a period of
3weeks
Collected detailed descriptive data from
respondents who work with breastfeeding
mothers in diverse settings
Data from the survey were based on subjective
recall of the health prof essionals experiences
with nipple shields
Subjects were asked about
Their most common reasons for
recommending nipple shield use
Their most common concerns about nipple
shield use
What they typically hear from breastfeeding
women who have used nipple shields

Reasons for nipple shield use



To help <35weeks premature infants
latch and nurse
Flat/inverted nipples (16%)
Method to transition an infant from
bottles to breast (14%)
Concerns for nipple shield use
Lack of follow-up by those
introducing the nipple shield
Inappropriate reasons for using
nipple shields
Maternal inconvenience of using
nipple shields
Maternal responses for nipple shield use
They are helpful
The nipple shield is convenient
The nipple shield is inconvenient
Cannot wait to get rid of the nipple
shield

ensuring that the baby stays attached to the nipple and does not
slip off. Furthermore, once the shield is correctly positioned over
the nipple and the infant begins to suck, negative pressure seems
to be produced in the chamber between the maternal nipples
tip and the shields interior. These pressures may balance out the
infants weak suck and allow the milk to be accumulated in the
shield during pauses in sucking, which will then be available to
the baby immediately when sucking continues (16). Resultantly,
shield use increases both the duration of sucking bursts and
the volume of milk consumed during breastfeeding for babies
born prematurely (22). In addition, after experiencing a difficult
pregnancy which ended in a preterm birth and consequent
hospitalization and separation of the baby from the family, many
mothers of premature infants want to breastfeed (2). By helping
these mothers breastfeed their infants, perhaps with the help of a
nipple shield, they receive one expected and planned outcome of
their pregnancy (2).
However, there are widespread negative attitudes toward nipple shields. In a breastfeeding guide for healthcare professionals,
it states that Many lactation experts consider the use of a [nipple]
shield a sign of failure of proper lactation guidance (23). There
are three main reasons for discouraging nipple shield use: (1) nipple shields are thought to reduce milk transfer from the mother
to the infant and prevent complete breast emptying; (2) they are
considered addictive, such that infants may prefer the nipple
shield rather than the breast, making it difficult to terminate its
use; (3) incomplete breast emptying and an infants addiction
to nipple shields is perceived to decrease the mothers milk
yield over time, causing early unplanned weaning (16). Other
philosophical and scientific concerns include its similarities with
bottles by acting as an artificial barrier between the infant and the
breast (16); its support for an industry that makes breastfeeding
unnatural (16); poor growth patterns in infants (24); prevention
of the proper extension of the nipple back into the babys mouth,
which might interfere with learning to suckle correctly (25);
improper introduction of a shield to feed a baby before hospital

Frontiers in Public Health|www.frontiersin.org

discharge (11, 24); cause or worsening of sore nipples (11, 24);


possible nipple trauma from pinching of the nipple and areola,
especially with misuse (26); as well as reduced stimulation of the
areola, which may interfere with prolactin and oxycotin release
(24). Evidently, nipple shields remain a controversial issue in both
the literature and clinical settings.
The reasons for varying durations of nipple shield use are not
clear. It seems that a womans perception of her babys ease or
difficulty with breastfeeding plays a role in the length of use of
nipple shields. Some mothers have low tolerance for witnessing her infant struggle at the breast. Equivalently, women have
different pain tolerances and abilities to cope with stress, which
impacts how they deal with nipple soreness (7). Powers and Tapia
discovered that a womans frustration with nipple shield use tends
to be exceeded by the frustration of an infant that is unable to
latch or that causes severe nipple pain (17).
Healthcare professionals should include evaluation of mothers nipples for elasticity during pregnancy and in the postpartum
period to screen for and identify women at risk for lactation
difficulty (4). In order to prevent potential inappropriate nipple
shield use, clinical staff (e.g., nurses, neonatologists, pediatricians, lactation consultants) and parents need to be educated
about the benefits and risks of nipple shields, newborn recovery,
early breastfeeding, and elimination patterns versus genuine
breastfeeding problems. Parents should be provided with early
follow-up and resource phone numbers for breastfeeding assistance, which is especially important when in-hospital care is short
(14). Likewise, public health should implement improved postdischarge support services and/or interventions that improve
opinions toward breastfeeding in socio-cultural and economic
groups to promote and encourage longer durations of breastfeeding (19). Care providers should also include the mother in the
decision-making process, allowing her to make the choice that is
the most beneficial for her and her infant (17).
The goal of lactation management is to offer individualized
care and solutions leading to continued breastfeeding (14). For

12

October 2015|Volume 3|Article 236

Chow et al.

The use of nipple shields

each problem, several paths may result in successful breastfeeding. Follow-up is the key to any lactation strategy. When lactation tools or techniques are initiated, including nipple shields,
follow-up is necessary to assess the plans effectiveness, progress
toward resolving the problem, and motherinfant satisfaction
and comfort (14).

The findings from this review are very important in the field
of lactation in many ways. Through examining the use of nipple
shields, further insight is provided on the advantages and disadvantages of this practice, thus allowing clinicians and researchers
to address improvements on areas that will benefit mothers and
infants the most.

REFERENCES

16. Meier PP, Brown LP, Hurst NM, Spatz DL, Engstrom JL, Borucki
LC, et al. Nipple shields for preterm infants: effect of milk transfer
and duration of breastfeeding. J Hum Lact (2000) 16(2):10614.
doi:10.1177/089033440001600205
17. Powers D, Tapia VB. Womens experiences using a nipple shield. J Hum Lact
(2004) 20(3):32734. doi:10.1177/0890334404267214
18. Chertok IR, Schneider J, Blackburn S. A pilot study of maternal and term
infant outcomes associated with ultrathin nipple shield use. J Obstet Gynecol
Neonatal Nurs (2006) 35(2):26572. doi:10.1111/j.1552-6909.2006.00028.x
19. Pincombe J, Baghurts P, Antoniou G, Peat B, Henderson A, Reddin E, etal.
Baby friendly hospital initiative practices and breast feeding duration in
a cohort of first-time mothers in Adelaide, Australia. Midwifery (2008)
24:5561. doi:10.1016/j.midw.2006.06.009
20. Eglash A, Ziemer AL, McKechnie AC. Health professionals attitudes and use
of nipple shields for breastfeeding women. Breastfeed Med (2010) 5(4):14751.
doi:10.1089/bfm.2010.0006
21. Meier PP. Professional Guide to Breastfeeding Premature Infants. Columbus,
OH: Ross Laboratories (1997).
22. Spatz D. Nipple shields for preterm infants: breastfeeding outcomes. Paper
Presented at: 4th Annual Lactation Conference for Advanced Practitioners; Oak
Brook, IL: Rush College of Nursing (1998).
23. Lawrence RA, Lawrence RM. Breastfeeding: A Guide for the Medical Profession.
5th ed. St Louis, MO: Mosby (1999).
24. Walker M, Auerbach KG. Breast pumps and other technologies. In: Riordan J,
Auerbach KG, editors. Breastfeeding and Human Lactation. Boston, MA: Jones
Bartlett (1993). p. 31122.
25. Minchin M. Breastfeeding Matters. Victoria; Alma Publications (1989). 142 p.
26. Riordan J. Breastfeeding and Human Lactation. 3rd ed. Boston, MA: Jones
Bartlett (2005).

1. Cunningham AS, Jelliffe DB, Jelliffe EF. Breast-feeding and health in the 1980s:
a global epidemiologic review. J Pediatr (1991) 118:65966. doi:10.1016/
S0022-3476(05)80023-X
2. Clum D, Primomo J. Use of a silicone nipple shield with premature infants. J
Hum Lact (1996) 12(4):28790. doi:10.1177/089033449601200413
3. Chertok IRA. Reexamination of ultra-thin nipple shield use, infant
growth and maternal satisfaction. J Clin Nurs (2009) 18:294955.
doi:10.1111/j.1365-2702.2009.02912.x
4. Wilson-Clay B. Clinical use of silicone nipple shields. J Hum Lact (1996)
12(4):27985. doi:10.1177/089033449601200412
5. McKechnie AC, Eglash A. Nipple shields: a review of the literature. Breastfeed
Med (2010) 5(6):30914. doi:10.1089/bfm.2010.0003
6. Riordan J, Auerbach K. Breastfeeding and Human Lactation. Sudbury, MA:
Jones Bartlett (2009). p. 4078.
7. Bodley V, Powers D. Long-term nipple shield use: a positive perspective. J
Hum Lact (1996) 12(4):3014. doi:10.1177/089033449601200416
8. Meier PP, Furman LM, Degenhardt M. Increased lactation risk for late
preterm infants and mothers: evidence and management strategies to protect
breastfeeding. J Midwifery Womens Health (2007) 52:57987. doi:10.1016/j.
jmwh.2007.08.003
9. Woolridge MW, Baum JD, Drewett RF. Effect of a traditional and of a new
nipple shield on sucking patterns and milk flow. Early Hum Dev (1980)
4(4):35764. doi:10.1016/0378-3782(80)90040-7
10. Amatayakul K, Vutyavanich T, Tanthayaphinant O, Tovanabutra S, Yutabootr
Y, Drewett RF. Serum prolactin and cortisol levels after suckling for varying
periods of time and the effect of a nipplesShield. Acta Obstet Gynecol Scand
(1987) 66:4751. doi:10.3109/00016348709092953
11. Jackson DA, Woolridge MS, Imong SM, McLeod CN, Yutabootr Y, Wongsawat
L, etal. The automatic sampling shield: a device for sampling suckled breast
milk. Early Hum Dev (1987) 15:295306. doi:10.1016/0378-3782(87)90052-1
12. Auerbach KG. The effect of nipple shields on maternal milk volume. J Obstet
Gynecol Neonatal Nurs (1990) 19(5):41927. doi:10.1111/j.1552-6909.1990.
tb01661.x
13. Nicholson WL. The use of nipple shields by breastfeeding women. Aust Coll
Midwives Inc J (1993) 6:1824.
14. Brigham M. Mothers reports of the outcome of nipple shield use. J Hum Lact
(1996) 12(4):2917. doi:10.1177/089033449601200414
15. Elliott C. Using a silicone nipple shield to assist a baby unable to latch. J Hum
Lact (1996) 12(4):30913. doi:10.1177/089033449601200418

Frontiers in Public Health|www.frontiersin.org

Conflict of Interest Statement: The authors declare that the research was conducted in the absence of any commercial or financial relationships that could be
construed as a potential conflict of interest.
Copyright 2015 Chow, Chow, Popovic, Lam, Merrick, Ventegodt, Milakovic, Lam,
Popovic, Chow and Popovic. This is an open-access article distributed under the
terms of the Creative Commons Attribution License (CC BY). The use, distribution or
reproduction in other forums is permitted, provided the original author(s) or licensor
are credited and that the original publication in this journal is cited, in accordance
with accepted academic practice. No use, distribution or reproduction is permitted
which does not comply with these terms.

13

October 2015|Volume 3|Article 236

Atonia
Uteri
by TIM B

Atonia uteri
didefinisikan sebagai kegagalan miometrium untuk
berkontraksi secara memadai setelah kelahiran.
Kekuatan dan keefektifan kontraksi miometrium
sangat penting untuk menahan pendarahan.
Namun pada atonia uteri sebaliknya,
rahim lunak dan lembek dengan
adanya perdarahan yang berlebihan
dari saluran kelamin.

Lim, Pei Shan, 2012

Etiologi
Faktor uterus overdistensi
Kehamilan ganda
Polihidramnion
Makrosomia Janin
Paritas
Faktor terkait persalinan
Induksi persalinan
Persalinan lama
Persalinan manual plasenta
Faktor Intrinsik
Riwayat persalinan buruk
Usia > 35 tahun

Manifestasi Klinis
Uterus tidak berkontraksi dan lembek,
Konsistensi rahim lunak.
Komplikasi
Perdarahan segera setelah anak lahir (post
Komplikasi
partum
primer). pada atonia uteri yaitu
perdarahan
post partum
500
Perdarahan
pervaginam
yang primer
lebih dari(>500
cc. cc) yang dapat mengakibatkan syok
Jika perdarahan berlanjut
terdapat
yang berat
dantandaanemia
tanda syok

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan
Laboratorium
Pemeriksaan
Radiologi

Pemeriksaan laboratorium
hendaknya dilakukan sejak
masa antenatal untuk
mengetahui adanya
kelainan
pemeriksaan
USG dapat
pembekuan,untuk
golongan
darah,
membantu
melihat
adanya
arah dan
dan padajendela
masa postpartum
retensi
sisa plasenta.
untuk mengetahui
kadar
haemoglobin, dan elektrolit
hipolsemia, hipokalemia, dan
hipomagnesia.

Pengkajian

Pemeriksaan Fisik

Data-data
(Subjektif-Objektif)
DS :
Klien berbaring di tempat tidur
dengan mengeluh pusing.
DO :
TD 90/70 mmHg, N 99x/menit
(Denyut Nadi Irreguler), RR 24x/menit
T 36oC
Jumlah darah yang keluar pada
persalinan 450 cc + darah pada
pembalut.
Konjungtiva Anemis, mukosa mulut
kering, akral dingin dan berkeringat
banyak, CRT 2 detik.
Abdomen lunak dan datar.
Diatasis rektus abdominis.
Klien terpasang NaCl 0,9% sebanyak
20 tetes /menit dan RL 16
tetes/menit ditangan kanan.
Klien terpasang oksigen denggan
nasal kanul 2 liter.

Etiologi

Diagnosa Keperawatan
1. Risiko syok b.d hipovolemik
2. Nyeri akut b.d agen cedera biologis (ruptur perineum)
3. Kerusakan integritas jaringan b.d ruptur perineum
4. Risiko infeksi dengan faktor risiko perubahan integritas kulit
5. Risiko intoleransi aktifitas b.d masalah sirkulasi pada ibu
6. Ketidakefektifan pemberian ASI b.d anomali payudara ibu

Anda mungkin juga menyukai