Anda di halaman 1dari 36

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Glaukoma Neovaskular

3.1.1. Definisi dan Etiologi

Pada umumnya, glaukoma neovaskular adalah tipe glaukoma

sekunder sudut tertutup yang disebabkan oleh berbagai gangguan di retina,

iskemik retina maupun okular, atau inflamasi (tabel 3.1). Penyebab tersering

adalah retinopati diabetik (65%), oklusi vena retina sentralis (30%), dan diikuti

dengan oklusi arteri karotis (13%). Tanda khas dari penyakit ini adanya

penjalaran pembuluh darah baru pada permukaan iris, tepi pupil, dan

trabecular meshwork yang disertai membran fibrous. Kontraksi dari membran

fibrovaskular menyebabkan terjadinya sinekia pada sudut bilik mata dan

memicu glaukoma sekunder dengan sudut tertutup. Pada beberapa kasus,

membran fibrovaskular dapat muncul tanpa disertai neovaskularisasi pada

sudut. Begitu juga neovaskularisasi pada sudut (neovascularization of angle;

NVA) dapat muncul tanpa disertai neovaskularisasi pada iris

(neovascularization of iris; NVI).1,2,3

13
Tabel 3.1. Kondisi predisposisi neovaskularasasi di iris dan sudut bilik mata

(Dikutip dari: American Academy of Ophthalmology 2014-2015 : Glaucoma,

2014)

Hipoksia retina adalah patogenesis utama dari glaukoma neovaskular.

Iskemik pada retina akan memicu pelepasan faktor angiogenesis, contoh

faktor vasoproliferative meliputi vascular endothelial growth factor (VEGF),

fibroblast growth factor (FGF), dan faktor lainnya. VEGF juga terlibat dalam

neovaskularisasi di koroid. VEGF ini sendiri merupakan sel endotelial spesifik

yang disintesis oleh beberapa sel di retina. 1,2,4

3.1.2. Patogenesis dan Patofisiologi

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, ada beberapa faktor predisposisi

yang dapat menyebabkan terjadinya glaukoma neovaskular, tetapi pada

umunya penyebab utama adalah hipoksia retina. Pada kasus yang jarang,

neovaskularisasi pada segmen anterior dapat terjadi tanpa iskemik retina,


contohnya pada Fuchs heterochromic iridocyclitis dan uveitis, sindrom

eksfoliasi, melanoma iris. Interleukin-6 (IL-6) juga terlibat pada

neovaskularisasi. Chen dan kolega pada tahun 2009 menyatakan bahwa

penigkatan konsentrasi IL-6 di akuous dapat menyebabkan iskemik pada

retina. Selain itu, transforming growth factors (TGF) yang meningkat pada

akuous, memiliki keterlibatan dalam pembentukan dan kontraksi membran

neovaskular. 4

1) Retinopati diabetik

Retinopati diabetik adalah gangguan intravaskular retina karena

kondisi diabetes pada pasien, yang dipercayai bahwa paparan

hiperglikemi yang meluas hingga ke mikrovaskular dapat mengubah

biokimia dan fisiologi endotel. Perubahan kapiler retina menyebabkan

pembuluh darah kehilangan perisit dan penebalan membran basement

sehingga terjadi oklusi kapiler dan menyebabkan nonperfusi ke retina.

Iskemik pada retina ini akan menghasilkan neovascular growth factor

yang beresiko berkembangnya neovaskular pada retina itu sendiri, sudut

bilik mata serta iris.4,5

2) Oklusi vena retina sentralis


Oklusi vena retina sentralis adalah kelainan retina akibat sumbatan

akut vena retina sentral yang mengakibatkan gangguan. Penyempitan

vena retina sentralis ini menyebabkan menurunnya outflow vena dan

turbulensi pada vena yang akhirnya akan menyebabkan kerusakan pada

endotel dan gangguan permeabilitas. Kerusakan dinding vena

menyebabkan hipoksia pada jaringan sekitarnya. 4,5


3) Ocular ischaemic syndrome (OIS)
Ocular ischaemic syndrome adalah istilah untuk tanda dan gejala

okular yang bisa menjadi kronik, mengobstruksi arteri karotis, walaupun

obstruksi arteri oftalmika kronik dapat menyebabkan manifestasi klinis

yang serupa. Aterosklerosis adalah etiologi tersering, tetapi ada penyebab

lain, contohnya Eisenmenger syndrome, giant cell arteritis, dan kondisi

inflamasi lainnya. Sindrom ini dapat menyebabkan retinopati serupa yang

bermanifestasi serupa dengan oklusi vena retina sentralis, maka dari itu

awal mulanya OIS ini disebut dengan retinopati vena statis. 4,5
Gejala khas adalah hilangnya penglihatan yang terjadi pada

periode minggu bulan, nyeri yang terlokalisir pada area orbita mata

yang terkena, dan penyembuhan yang lama. Tanda-tanda di segmen

anterior termasuk neovaskularisasi di iris dan keterlibatan sudut bilik

mata. Meskipun prevalensi neovaskularisasi iris bervariasi, hanya

setengah dari mata dengan kondisi seperti ini menunjukkan peningkatan

tekanan intraokular (TIO), rendahnya atau normalnya nilai TIO pada

setengah kasus lainnya hampir sering disebabkan oleh terganggunya

produksi akuous. 4,5


4) Tumor intraokular
Tumor intraokular yang paling sering dikaitkan dengan kondisi

glaukoma neovaskular adalah melanoma koroid. Mekanisme yang

mempengaruhinya adalah peranan pelepasan faktor angiogenik,

lepasnya epitel pigmen retina, iskemik retina sekunder akibat penekanan

massa tumor dan oklusi pembuluh darah retina akibat invasi langsung

dari penekanan massa tumor, inflamasi dan radiasi. Laporan lain yang

mengenai tumor penyebab glaukoma neovaskular termasuk melanoma

siliar, retinoblastoma, adenocarcinoma siliar, dan metastase limfoma

maligna.1,2,4
5) Penyebab lain
Glaukoma neovaskular telah dilaporkan pada beberapa kasus

vakulitis retina, penyakit Eales, sarcoidosis, uveitis, ablasio retina kronik,

retinopathy of prematurity (ROP), dan kondisi sistemik seperti

cryglobulinemia, dan neurofibromatosis. Glaukoma neovaskular dapat

terjadi pada uveitis anterior, posterior atau panuveitis dan dapat terjadi

karena inflamasi itu sendiri, iskemik segmen anterior, atau penyakit dasar

seperti penyakit Crohns.1,2,4

3.1.3. Diagnosis

Riwayat detail mengenai kelainan okular dan sistemik berperan dalam

mendiagnosa baik glaukoma neovaskular maupun penyakit dasar

penyebabnya.2,4,6,7

Pemeriksaan oftalmologi yang lengkap, terutama segmen posterior,

akan membantu menemukan etiologi neovaskularisasi. Manifestasi klinis

glaukoma neovaskular serupa dengan penyakit yang mendasarinya, dapat

dibagi jadi 2 tahap: fase awal dan fase lanjut. Fase ini saling mengikuti satu

sama lain dalam perkembangannya, fase awal terbagi menjadi rubeosis iridis

dan glaucoma sekunder sudut terbuka.2,4,6,7

Fase awal (Rubeosis iridis)

Tanda awal yang tampak dari fase ini adalah neovaskularisasi kecil

pada tepi pupil (gambar 3.1). Jika pemeriksaan ini tidak dilakukan dengan

teliti fase rubeosis iridis akan terabaikan, terutama pada iris yang berwarna

gelap. Jika menggunakan gonioskopi dan penekanan cahaya pada lensa


mampu mengkolapskan pembuluh darah baru ini, menyebabkan

neovaskularisasi ini tidak terlihat. Neovaskularisasi berkembang secara radial

pada permukaan iris mengarah ke sudut, terkadang bergabung dengan

pembuluh darah lain yang berdilatasi. Pada fase ini, TIO masih normal dan

neovaskular akan teregresi spontan atau dengan terapi. Namun, neovaskular

di daerah sudut bilik mata dapat terjadi dengan atau tanpa neovaskularisasi

iris, sehingga gonioskopi yang teliti diharuskan pada semua mata yang

beresiko tinggi glaukoma neovaskular. Karena neovaskular akan terjadi

ditempat dimana terdapatnya kontak jaringan akuous terjadi, penting untuk

memeriksa jalur lain dimana akuos memasukin bilik mata.1,2,4,6,7

Gambar 3.1. Neovaskularisasi kecil pada tepi pupil (Dikutip dari

American Academy of Ophthalmology 2014-2015 : Glaucoma, 2014)

Fase awal (glaukoma sekunder sudut terbuka)

Pada fase ini, neovaskularisasi akan terus tumbuh di seluruh

permukaan iris (gambar 3.2) dan bergabung melingkar dengan arteri di badan

siliar dan menyebabkan terjadinya fibrosis di bilik mata (gambar 3.3). Ketika

pembuluh darah ini mencapat sudut bilik mata, melewati badan siliar dan
skleral spur diatas trabecular meshwork. Neovaskularisasi pada sudut yang

hampir menutupi seluruh bagian trabecular meshwork dapat meningkatkan

tekanan intraokular dan menyebabkan bentuk sekunder dari glaukoma sudut

terbuka.1,2,4,6,7

Gambar 3.2. Neovaskularisasi yang meluas ke seluruh permukaan iris

dan sudut bilik mata (Dikutip dari American Academy of Ophthalmology

2014-2015 : Glaucoma, 2014)

Gambar 3.3. Membran fibrovaskular pada fase secondary opan angle

neovascular glaucoma (Dikutip dari American Academy of

Ophthalmology 2014-2015 : Glaucoma, 2014)

Fase lanjut
Membran fibrovaskular cenderung mengalami kontraksi yang

menyebabkan terjadinya peripheral anterior synechiae (PAS). PAS di seluruh

sudut yang menyatu ini akan menyebabkan penutupan sudut (gambar 3.4).

Gambaran klinis dari fase ini pasien mengalami nyeri, kabur, peningkatan

tekanan intraokular yang sangat tinggi, edema kornea, rubeosis iridis yang

berat, distorsi pupil dan ektropion uvea kontraksi dari jaringan fibrovaskular.

Sewajarnya, jika pemeriksa mendapatkan ektropion uvea pada glaukoma

neovaskular, dapat dipastikan juga ditemukan sudut tertutup pada meridian

yang sama.1,2,4,6,7

Gambar 3.4. Fase secondary angle closure neovascular glaucoma

(Dikutip dari American Academy of Ophthalmology 2014-2015 : Glaucoma,

2014)

3.1.4. Tatalaksana

Awalnya, ketika diagnosis glaukoma neovaskular sudah ditegakkan,

rencana pengobatan dan prognosis perlu didiskusikan dengan pasien dan


keluarga. Kesehatan pasien dan penyebab glaukoma neovaskular perlu

dipertimbangkan demi perkembangan rencana pengobatan. Mata pasien

mungkin saja tidak meiliki harapan untuk penglihatan dan menjadi buta serta

nyeri. Rencana terapi juga berbeda pada pasien dengan kesehatan baik dan

mampul dilakukan tindakan laser awal untuk pencegahan progresitivitas

penyakit.4,6,10

Untuk memutuskan terapi inisial, pertama kali yang harus ditentukan

adalah apakah segmen posterior dapat divisualisasikan. Jika jernih dan bisa

dievaluasi dapat dilakukan tindakan panretinal fotokoagulasi. Jika tindakan ini

tidak memungkinkan, dimana terjadi pada pasien dengan glaukoma

neovaskular fase lanjut, yang paling penting cari penyakit penyebabnya. Pada

kasus penyebab glaukoma neovaskularnya adalah tumor, tindakan yang

dilakukan akan berbeda. Kasus seperti melanoma uveal, retinoblastoma, dan

penyakit metastase lainnya, enukleasi dapat menjadi terapi pilihan terbaik,

walaupun radiasi, kemoterapi atau plak radioaktif bisa menjadi pilihan. 4,6,7,10

1. Panretinal fotokoagulasi1,2,6,7
Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga menurunkan kebutuhan

oksigen di retina dan mengurangi produksi pertumbuhan neovaskular.

Panretinal fotokoagulasi dapat digunakan untuk:


a. Profilaksis
Panretinal fotokoagulasi digunakan pada tahap rubeosis iridis dengan

oklusi vena retina sentralis, walaupun tidak sepenuhnya mencegah

neovaskularisasi di iris dan bilik mata depan.


b. Pengobatan
Untuk menurunkan tekanan intraokular pada tahap glaukoma

sekunder sudut terbuka dan mengurangi neovaskularisasi pada

segmen anterior sebelum tindakan bedah.


2. Panretinal krioterapi1,2,6,7
Bila kekeruhan media menghalangi untuk melakukan panretinal

fotokoagulasi, panretinal krioterapi dapat digunakan untuk mengontrol

tekanan intraokular dan menghilangkan neovaskularisasi.

3. Gonioskopi fotokoagulasi1,2,4,7
Teknik ini menggunakan pemakaian langsung terapi laser terhadap

pembuluh darah di sudut bilik mata, cara ini efektif bila digunakan pada

stadium awal dari penyakit untuk mencegah progresifitas perubahan

sudut yang akhirnya menyebabkan glaukoma neovaskular yang menetap.

Cara ini digunakan dengan menggabungkan terapi laser dengan

panretinal fotokoagulasi, terutama dianjurkan untuk pasien-pasien yang

tidak berhasil dengan panretinal fotokoagulasi atau sebelum tindakan

opertaif.
4. Medikamentosa1,2,6,10
a. Obat-obat yang efektif diberikan pada pasien dengan neovaskular

glaukoma adalah golongan -blocker, carbonic anhydrase inhibitor, dan

prostaglandin analog. Golongan adrenergic agonist dan

parasympathomimetic tidak dianjurkan karena dapat memicu inflamasi.


b. Kortikosteroid topikal dapat diberikan untuk mengontrol inflamasi, tetapi

pasien pemberian kortikosteroid topikal pada pasien harus dikontrol

secara ketat karena ditakutkan malah memicu steroids induced

glaucoma.
c. Golongan hiperosmotik seperti manitol dapat digunakan untuk terapi

glaukoma dengan tanda-tanda akut, tetapi penggunaannya juga harus

hati-hati pada pasien dengan penyakit kelainan jantung dan ginjal.


d. Anti VEGF intravitreal diberikan untuk menhan dan mencegah

pertumbuhan proliferasi sel endotel vaskular dan menyebabkan regresi

vaskular karena peningkatan kematian sel.


5. Terapi pembedahan1,2,4,6,10
Jika tekanan intraokular tidak dapat diturunkan dengan terapi

medikamentosa dan terdapatnya ancaman ablasio retina maka

pembedahan adalah pilihan terapi berikutnya


a. Trabekulektomi
Tujuan dari tindakan ini adalah membuat saluran baru serta rongga

penampungan bagi akuous yang terbendung agar TIO yang tinggi akan

turun. Jika tindakan tetap dilakukan walaupun kondisi okular tampak

tenang, sebaiknya sebelum tindakan diberikan terapi antikoagulan

terlebih dahulu untuk mencegah perdarahan yang biasanya terjadi

intraoperatif. Selain itu neovaskularisasi yang aktif dapat

menggagalkan pembentukkan bleb. Penggunaan antifibrotik dapat

ditambahkan meskipun memiliki hasil bervariasi.


b. Cyclocryotherapy
Pada fase akhir, dimana terdapatnya sinekia di seluruh sudut bilik mata

dan visus yang tidak bisa dipertahankan, tindakan bedah bukan

merupakan pilihan karena memiliki banyak komplikasi daripada tingkat

keefektifitasannya. Tindakan yang yang dipilih adalah cyclocryotherapy

yaitu suatu prosedur untuk mendestruksi badan siliar sehingga tidak

bisa memproduksi akuous humor dan terjadinya penurunan TIO.


c. Valve implant surgery
Jika tindakan trabekulektomi tidak memungkinkan untuk dilakukan,

pilihan terapi lainnya adalah insersi implan drainase. Pada terapi ini,

tidak dilakukannya manipulasi ke iris sehingga dapat mencegah

perdarahan intraokular berlebihan post operatif. Penggunaan terapi

jenis ini tidak disarankan untuk jangka waktu oanjang karena dapat

mengobstruksi fistula interna pada glaukoma neovaskular oleh aliran

darah intraokular dan membran fibrovaskular. Jika terjadi kondisi ini,


terapi kombinasi laser argon dan Nd:YAG merupakan pilihan iridotomi

atau membuang membran untuk mebuka saluran.

3.2. Oklusi Vena Retina

3.2.1 Definisi Oklusi Vena retina

Oklusi vena retina adalah blokade dari vena kecil yang membawa darah

keluar dari retina. Oklusi vena retina diklasifikasikan berdasarkan lokasi di

mana obstruksi terjadi. Obstruksi vena retina pada saraf optik diklasifikasikan

sebagai oklusi vena retina sentral, dan obstruksi pada cabang vena retina

diklasifikasikan sebagai oklusi vena retina cabang. Dua klasifikasi ini memiliki

perbedaan dan kemiripan pada patogenesis dan manifestasi klinis.

Sementara itu, oklusi vena retina secara umum dibagi lagi menjadi tipe

iskemik dan noniskemik.13

Klasifikasi anatomis dari oklusi vena retina dibagi berdasarkan

gambaran funduskopi pada mata dan termasuk ke dalam tiga grup utama

tergantung letak lokasi oklusi vena, yakni: oklusi vena retina cabang (BRVO),

oklusi vena retina sentral (CRVO), dan oklusi vena hemiretinal (HRVO).

BRVO terjadi ketika vena pada bagian distal sistem vena retina mengalami

oklusi, yang menyebabkan terjadinya perdarahan di sepanjang distribusi

pembuluh darah kecil pada retina. CRVO terjadi akibat adanya trombus di

dalam vena retina sentral pada bagian lamina cribrosa pada saraf optik, yang

menyebabkan keterlibatan seluruh retina. HRVO terjadi ketika blokade dari

vena yang mengalirkan darah dari hemiretina superior maupun inferior, yang

mempengaruhi setengah bagian dari retina.14


Oklusi vena retina sentral lebih banyak ditemukan pada pasien laki-

laki, sementara pada oklusi vena retina cabang tidak ada perbedaan yang

bermakna antara laki-laki dan perempuan. 2

3.2.2 Etiologi

Penyebab lokal dari oklusi vena retina adalah trauma, glaukoma, dan

lesi struktur orbita. Akan tetap sangat penyebab lokal ini sangat jarang terjadi

pada oklusi vena retina cabang. Perlu diperkirakan adanya toxoplasmosis,

Behet syndrome, sarcoidosis okuli, dan macroaneurysm jika hal ini tampak

pada oklusi vena retina cabang.2

Proses sistemik juga dapat menyebabkan oklusi vena retina, di

antaranya adalah hipertensi, atherosklerosis, diabetes mellitus, glaukoma,

penuaan, puasa, hypercholesterolemia, hyperhomocysteinemia, SLE,

sarcoidosis, tuberculosis, syphilis, resistensi protein C (factor V Leiden),

defisiensi protein C dan S, penyakit antibodi antiphospholipid, multiple

myeloma, cryoglobulinemia, leukemia, lymphoma, Waldenstrom

macroglobulinemia, polisitemia vera, dan sickle cell disease.2

3.2.3 Patogenesis

Patogenesis dari oklusi vena retina dipercaya mengikuti prinsip dari trias

trombogenesis Virchow, yakni adanya kerusakan pembuluh darah, stasis, dan

hiperkoagulabilitas. Kerusakan dari dinding pembuluh darah retina akibat

arterioklerosis mengubah komposisi dari aliran darah pada vena yang

berdekatan, yang menimbulkan stasis, trombosis, dan oklusi. (new england).

Oklusi vena retina sentral terjadi akibat adanya bekuan darah pada vena

utama yang menyalurkan darah dari mata. Ketika vena mengalami hambatan,
aliran balik menyebabkan darah tersebut bocor ke retina, yang akhirnya

menyebabkan malfungsi dari retina dan penurunan ketajaman penglihatan. 9

Penyakit inflamasi juga dapat menyebabkan adanya oklusi vena retina

dengan mekanisme tersebut. Akan tetapi, bukti dari adanya

hiperkoagulabilitas pada pasien oklusi vena retina sangat tidak konsisten.

Walaupun penelitian individual telah melaporkan adanya hubungan antara

oklusi vena retina dan hyperhomocysteinemia, mutasi faktor V Leiden,

defisiensi dari protein C atau S, mutasi gen prothrombin, dan antibodi

anticardiolipin, sebuah penelitian meta-analysis dari 26 penelitian

mengusulkan bahwa hanya hyperhomocysteinemia dan antibodi

anticardiolipin yang memiliki hubungan independen yang signifikan dengan

oklusi vena retina.9

3.2.4 Faktor risiko

Faktor risiko dari oklusi vena retina antara lain: 13

Atherosclerosis

Diabetes Mellitus

Hipertensi

Penyakit mata lainnya, seperti glaukoma, edema makula, maupun

perdarahan vitreous

Faktor risiko terkuat dari oklusi vena retina cabang adalah hipertensi,

namun pada beberapa penelitian, oklusi vena retina dihubungkan juga

dengan diabetes mellitus, dyslipidemia, merokok, dan penyakit ginjal. Untuk

oklusi vena retina sentral, faktor risiko tambahan adalah glaukoma atau

peningkatan tekanan intraokular, yang dapat mengganggu pengaliran vena


retina. Sebuah studi kasus-kontrol mengidentifikasi kelainan berikut ini

sebagai faktor risiko terjadinya BRVO:

- Riwayat hipertensi arteri sistemik

- Penyakit kardiovaskuler

- Peningkatan BMI pada usia 20 tahun

- Riwayat glaukoma

Diabetes mellitus bukanlah faktor risiko independen yang terutama pada

oklusi vena retina cabang.15

3.2.5 Penegakan diagnosis

Pasien datang dengan penurunan penglihatan mendadak tanpa nyeri.

Gambaran klinisnya bervariasi dari perdarahan retina kecil-kecil yang tersebar

dan bercak cotton-wool sampai gambaran perdarahan hebat dengan

perdarahan retina superfisial dan dalam, yang kadang-kadang dapat pecah

ke dalam rongga vitreous. Pasien biasanya berusia lebih dari 50 tahun, dan

lebih dari separuhnya mengidap penyakit-penyakit yang berhubungan dengan

kardiovaskuler. Glaukoma sudut terbuka kronik harus selalu disingkirkan. Dua

komplikasi utama yang berkaitan dengan oklusi vena retina adalah penurunan

penglihatan akibat edema makula dan glaukoma neovaskuler akibat

neovaskularisasi iris.16

Oklusi vena retina cabang

Temuan oftalmoskopi pada oklusi vena retina cabang akut (BRVO)

adalah perdarahan superfisial, edema retina, dan sering kali terjadi gambaran

cotton-wool spot pada salah satu sektor di retina yang diinervasi oleh vena

yang rusak. Oklusi vena cabang umumnya terjadi pada persilangan arteri dan
vena. Kerusakan makula menentukan derajat penurunan penglihatan. Jika

oklusi tidak terjadi pada persilangan arteri dan vena, harus dipertimbangkan

kemungkinan adanya peradangan. Usia rata-rata pasien yang menderita

oklusi vena cabang ini adalah 60-an tahun.16

A. Oklusi vena retina cabang superotemporal. B. Angiogram fluorescent

menunjukkan adanya nonperfusi kapiler pada retina yang diinervasi oleh vena

yang mengalami obstruksi.

Sumber: American Academy of Ophthalmology 2011

A. Oklusi vena retina hemisferik. Gambar menunjukkan adanya keterlibatan

superior dengan perdarahan intraretina. B. Angiografi fluorescent

menunjukkan adanya blokade dari area yang mendasari pada daerah yang
mengalami perdarahan: kemungkinan iskemia minimal. Catatan: zona

avaskuler fovea intak.

Sumber: American Academy of Ophthalmology 2015

Vena yang mengalami obstruksi berdilatasi dan berkelok-kelok, dan

seiring dengan berjalannya waktu, arteri yang bersesuaian dapat mengalami

penyempitan dan terselubungi. Kuadran superotemporal adalah kuadran yang

paling sering mengalami kerusakan, yakni sekitar 63%, sementara oklusi

nasal jarang terdeteksi secara klinis. Variasi BRVO didasari oleh adanya

variasi kongenital pada anatomi vena sental yang dapat melibatkan baik

setengah bagian superior maupun setengah bagian inferior retina (oklusi vena

retina hemisferik atau hemisentral).16

Temuan histologi menunjukkan bahwa tunica adventitia menjepit arteri

dan vena pada persilangan arteri dan vena. Penebalan dari dinding arteri

akan menekan vena sehingga mengakibatkan terjadinya turbulensi aliran

darah, kerusakan sel endotel, dan oklusi trombosis, trombus ini dapat meluas

ke kapiler. Arteri sering mengalami penyempitan sekunder pada daerah yang

mengalami oklusi.16

Oklusi vena retina sentral

Suatu penelitian histologis menyimpulkan bahwa pada CRVO terdapat

mekanisme yang paling sering, yakni: trombosis dari vena retina sentral dan

posteriornya hingga lamina cribrosa. Pada beberapa kasus, arteri retina

sentral yang mengalami atherosklerosis dapat bergeseran dengan vena retina

sentral, menyebabkan adanya turbulensi, kerusakan endotel, dan

pembentukan trombus.16
CRVO ringan (non iskemia) dicirikan dengan baiknya ketajaman

penglihatan penderita, afferent pupillary defect ringan, dan penurunan lapang

pandang ringan. Funduskopi menunjukkan adanya dilatasi ringan dan adanya

gambaran cabang-cabang vena retina yang berliku-liku branches dan

terdapat perdarahan dot dan flame pada seluruh kuadran retina. Edema

makula dengan adanya penurunan tajam penglihatan dan pembengkakan

discus opticus bisa saja muncul. Jika edema discus terlihat jelas pada pasien

yang lebih muda, kemungkinan terdapat kombinasi inflamasi dan mekanisme

oklusi yang disebut juga papillophlebitis. Fluorescein angiography biasanya

menunjukkan adanya perpanjangan dari waktu sirkulasi retina dengan

kerusakan dari permeabilitas kapiler namun dengan area nonperfusi yang

minimal. Neovaskularisasi segmen anterior jarang terjadi pada CRVO

ringan.16

CRVO berat (iskemik) biasanya dihubungkan dengan penglihatan yang

buruk, afferent pupillary defect, dan central scotoma yang tebal. Dilatasi

vena yang menyolok; perdarahan 4 kuadran yang lebih ekstensif, edema

retina, dan sejumlah cotton-wool spot dapat ditemukan pada kasus ini.

Perdarahan dapat saja terjadi pada vitreous hemorrhage, ablasio retina juga

dapat terjadi pada kasus iskemia berat. Fluorescein angiography secara

khas menunjukkan adanya nonperfusi kapiler yang tersebar luas. 16


A. CRVO ringan, noniskemia, terperfusi, pada mata dengan visus 20/40.

Dilatasi vena retina dan perdarahan retina terlihat jelas. B. Fluorescein

angiogram menunjukkan adanya perfusi pada pembuluh kapiler retina.

Sumber: American Academy of Ophthalmology 2011

Gambar. A. CRVO berat, iskemia pada mata dengan visus 1/300. Vena

dilatasi dan terdapat perdarahan retina. Terlihat edema retina menyebabkan

corakan warna kuning pada dasar penampakan fundus dan mengaburkan

refleks fovea. B. Fluorescein angiogram menunjukkan adanya nonperfusi

kapiler, yang menyebabkan pembesaran pembuluh darah retina.

Sumber: American Academy of Ophthalmology 2015

3.2.6 Penatalaksanaan

Kebanyakan pasien dapat mengalami perbaikan, walaupun tanpa

pengobatan. Akan tetapi, ketajaman penglihatan jarang kembali ke nilai

normal. Tidak ada cara untuk membuka kembali atau membalik blokade.

Akan tetapi terapi dibutuhkan untuk mencegah terjadinya pembentukan

blokade lain di mata sebelahnya.10

Manajemen diabetes mellitus, tekanan darah tinggi, dan kadar kolesterol

yang tinggi perlu dilakukan. Beberapa pasien boleh diberikan aspirin maupun

obat pengencer darah lainnya.10


Tatalaksana dari komplikasi oklusi vena retina antara lain: 10

- Pengobatan menggunakan laser fokal, jika terdapat edema makula

- Injeksi obat anti-vascular endothelial growth factor (anti-VEGF) ke

mata. Obat ini dapat menghambat pembentukan pembuluh darah baru

yang dapat menyebabkan glaukoma. Obat ini masih dalam tahap

penelitian.

- Pengobatan dengan menggunakan laser untuk mencegah

pertumbuhan dari pembuluh darah baru yang abnormal, yang juga

dapat menyebabkan glaukoma

Sheathotomy, teknik bedah untuk memisahkan pembuluh darah yang

berdekatan pada persimpangan arteri dan vena telah dikembangkan untuk

mengatasi edema makula dalam usaha untuk meningkatkan tajam

penglihatan. Diseksi dari tunika adventitia dengan pemisahan arteri dari vena

pada persimpangan tersebut di mana oklusi vena retina cabang terjadi dapat

mengembalikan aliran darah vena disertai penurunan edema makula.

Arteriovenous sheathotomy menimbulkan adanya perbaikan sementara dari

aliran darah retina dan cukup efektif dalam menurunkan edema makula.

Pembuluh kolateral pada oklusi vena retina cabang memiliki efek yang positif

pada prognosis visual pasien. Argon-laser-photocoagulation dapat mencegah

berkembangnya oklusi dan mengatasi neo-vaskularisasi. 17

Penggunaan dari triamcinolone acetonide intravitreous telah banyak

digunakan untuk penanganan edema makula yang tidak responsif dengan

laser. Dua hingga empat miligram (0.05 atau 0.1 ml) dari triamcinolone

acetonide (Kenalog, Bristol-Myers Squibb) diinjeksi melalui pars plana inferior

di bawah kondisi steril pada pasien rawat jalan. Terapi trombolitik yang
diberikan secara terbatas penggunaannya sehubungan dengan adanya efek

samping yang serius, akan tetapi dapat membantu bila dilakukan injeksi

intraokuler.17

3.2.7 Komplikasi

Blokade dari vena retina dapat menyebabkan terjadinya gangguan mata

lainnya, yakni:13

- Glaucoma, yang disebabkan oleh adanya pembuluh darah baru yang

abnormal, yang tumbuh di bagian depan mata

3.2.8 Prognosis

Morbiditas penglihatan dan kebutaan pada oklusi vena retina

berhubungan dengan edema makula, iskemia makula, dan glaukoma

neovaskuler. Pada gambaran patologis, didapati adanya pembentukan

trombus intralumen, yang dapat dihubungkan dengan kelainan pada aliran

darah, unsur-unsur penyusunnya, dan pembuluh darah yang bersesuaian

dengan trias Virchow. Oklusi vena retina sentral telah disamakan dengan

sindrom kompartemen neurovaskuler pada situs lamina cribrosa maupun

akhir dari ujung vena retina yang terletak pada saraf optik. CRVO tipe

noniskemik terdapat pada 75-80% pasien dengan oklusi vena retina. 16

3.3 Diabetik retinopati

3.3.1 Definisi Diabetik retinopati

Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai

oleh kerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh halus, meliputi arteriol

prekapiler retina, kapiler-kapiler dan vena-vena. Retinopati diabetik

merupakan penyebab kebutaan yang paling sering di jumpai, terutama di


negara barat. Kira-kira 1 dari 900 orang berusia 25 tahun mengidap diabetes

dan kira-kira 1 dari 25 orang berusia 60 tahun adalah penyandang diabetes.

Prevalensi retinopati diabetik proliferatif pada diabetes tipe 1 dengan lama

penyakit 15 tahun adalah 50%. Retinopati diabetik jarang ditemukan pada

anak-anak dibawah umur 10 tahun tanpa memperhatikan lamanya diabetes.

Resiko berkembangnya retinopati meningkat setelah pubertas.

3.3.2 Etiologi

Penyebab pasti retinopati diabetik belum diketahui. Tetapi diyakini

bahwa lamanya terpapar pada hiperglikemia ( kronis ) menyebabkan

perubahan fisiologi dan biokimia yang akhirnya menyebabkan kerusakan

endotel pembuluh darah. Hal ini didukung oleh hasil pengamatan bahwa tidak

terjadi retinopati pada orang muda dengan diabetes tipe 1 paling sedikit 3-5

tahun setelah awitan penyakit ini. Hasil serupa telah diperoleh pada diabetes

tipe 2, tetapi pada pasien ini onset dan lama penyakit lebih sulit ditentukan

secara tepat.

Perubahan abnormalitas sebagian besar hematologi dan biokimia telah

dihubungkan dengan prevalensi dan beratnya retinopati antara lain :

Adhesif platelet yang meningkat.

Agregasi eritrosit yang meningkat.

Abnormalitas lipid serum.

Fibrinolisis yang tidak sempurna.

Abnormalitas dari sekresi growth hormon

Abnormalitas serum dan viskositas darah.


3.3.3 Klasifikasi

Berkaitan dengan prognosis dan pengobatan, maka retinopati diabetik

dibagi menjadi :

1. Retinopati Diabetik Non Proliferatif, atau dikenal juga dengan

retinopati diabetik dasar ( Background Diabetic Retinopathy ).

2. Retinopati Diabetik Proliferatif.

Merupakan penyulit mata yang paling parah pada Diabetes Melitus. Pada

jenis ini iskemia retina yang progresif akhirnya merangsang pembentukan

pembuluh- pembuluh halus ( neovaskularisasi ) yang sering terletak pada

permukaan diskus dan di tepi posterior zona perifer disamping itu

neovaskularisasi iris atau rubeosis iridis juga dapat terjadi. Pembuluh-

pembuluh baru yang rapuh berproliferasi dan menjadi meninggi apabila

korpus vitreum mulai berkontraksi menjauhi retina dan darah keluar dari

pembuluh tersebut maka akan terjadi perdarahan massif dan dapat timbul

penurunan penglihatan mendadak.

Disamping itu jaringan neovaskularisasi yang meninggi ini dapat mengalami

fibrosis dan membentuk pita-pita fibrovaskular rapat yang menarik retina dan

menimbulkan kontaksi terus-menerus pada korpus vitreum. Ini dapat

menyebabkan pelepasan retina akibat traksi progresif atau apabila terjadi

robekan retina, terjadi ablasio retina regmatogenosa. Pelepasan retina dapat

didahului atau ditutupi oleh perdarahan korpus vitreum. Apabila kontraksi

korpus vitreum telah sempurna dimata tersebut, maka retinopati proliferatif


cenderung masuk ke stadium involusional atau burnet-out.

3.3.4 Penatalaksanaan

Untuk retinopati diabetik proliferatif biasanya diindikasikan pengobatan

dengan fotokoagulasi panretina laser argon, yang secara bermakna

menurunkan kemungkinan perdarahan massif korpus vitreum dan pelepasan

retina dengan cara menimbulkan regresi dan pada sebagian kasus dapat

menghilangkan pembuluh- pembuluh baru tersebut, Kemungkinan

fotokoagulasi panretina laser argon ini bekerja dengan mengurangi stimulus

angiogenik dari retina yang mengalami iskemik. Tekniknya berupa

pembentukan luka-luka bakar laser dalam jumlah sampai ribuan yang

tersebar berjarak teratur diseluruh retina, tidak mengenai bagian sentral yang

dibatasi oleh diskus dan pembuluh vascular temporal utama.

Untuk penatalaksanaan konservatif penglihatan monokular yang disebabkan

oleh perdarahan korpus vitreum diabetes pada pasien binokular adalah

dengan membiarkan terjadinya resolusi spontan dalam beberapa

bulan.Disamping itu peran bedah vitreoretina untuk retinopati diabetik

proliferatif masih tetap berkembang, sebagai cara untuk mempertahankan

atau memulihkan penglihatan yang baik.

3.4 Siklokriodestruktif pada Glaukoma Absolut

3.4.1 Prosedur siklokriodestruktif Pada Glaukoma Absolut


Tindakan Destruksi badan siliar pada glaukoma telah diperkenalkan

sejak abad ke 20 dengan menggunakan banyak tehnik. Prosedur

siklodestruktif biasanya ditunjukkan pada pasien dengan glaukoma stadium

akhir dan glaucoma refrakter sebagai pilihan pengobatan terakhir. Prosedur

siklodestruktif bertujuan untuk menurunkan TIO dengan mengurangi produksi

humor akuos oleh badan siliaris.7,9

3.4.2 Siklokrioterapi

Siklokrioterapi (CCT) adalah prosedur terapi dengan pembekuan yang

menggunakan suhu serendah 112 (-80) untuk mendestruksi badan siliar,

organ bagian dalam di belakang bilik mata depan. hasil pembekuan yang

menghasilkan kristal es cepat dalam intraseluler dengan pencairan yang

lambat sehingga kristal es dapat merusak epitel badan siliar. Mekanisme

tepat dari destruksi belum sepenuhnya dipahami, meskipun beberapa

menyebutkan kemungkinan adanya kerusakan mikrosirkulasi yang

menyebabkan iskemik dalam jaringan beku. Studi histologi siklokrioterapi

dimata manusia dan primata menunjukan destruksi epitel dan komponen

kapiler pada badan siliar dengan terbentuknya scar dan kerusakan sawar

darah akuos. Pada awalnya terjadi kerusakan pada epitel nonpigmentasi lalu

kerusakan kolateral (trabekular meswork) sehingga memperlambat aliran

akuos dan dengan regenerasi epitel silia mengurangi beberapa efek dalam

jangka panjang sehingga sering menyebabkan pengulangan terapi.

Pengobatan ini diduga juga menyebabkan hilangnya fungsi saraf sensori

pada kornea sehingga beberapa pasien dengan mata yang nyeri menjadi

nyaman dan bebas dari TIO yang tinggi.7,8,19-21


Prosedur atau teknis pelaksanaan

Pasien disiapkan di meja operasi dengan posisi supine

Pasien diperiksa tekanan bola mata sebelum tindakan siklokrioterapi,

kemudian dilakukan anestesi dengan injeksi peribulbar ataupun

retrobulbar obat 2-2,5 ml bupivacain 0,75% dan 2-2,5 ml lidokain. Bius

umum pada pasien yang memiliki tingkat kecemasan tinggi dan

tindakan yang dilakukan pada kedua bola mata

Dilakukan persiapan krio dan probe

Dilakukan tindakan dan antiseptik dengan betadin pada lapang

operasi, duk mata dipasang

Pasang blefarostat

Krio di aplikasikan pada suhu -800C dan exposuretime 45 detik

Aplikasi dengan menginjak footpedal dan probe diletakkan pada titik

yang akan dilakukan krioterapi yaitu 2-4 kuadran bola mata ( 180-

3600 ), sebanyak 3-4 spot setiap kuadran dengan probe diletakkan di

konjungtiva sejauh 1-2 mm dari limbus. Aplikasi krio dihindari pada

arah jam 12,3,6, dan 9

Prosedur selesai

Pengobatan yang diberikan setelah prosedur selesai adalah obat tetes

kombinasi antibiotik-anti inflamasi ( steroid ataupun non steroid ), dan

antibiotik. Analgetik dapat diberikan untuk mengatasi nyeri pasca

tindakan siklokrioterapi.20-21
Gambar 3 ; A. pertama kali kelopak mata pasien ditarik dengan blefarostat.

B. Krioprobe diletakkan diluar bola mata didaerah sekitar iris. C. Probe

membekukan badan siliaris di 45-60 detik. Probe diaplikasikan di setengah

lingkaran sekitar iris dalam satu kali

treatment.

Dikutip dari : Br J Ophthalmol19

Gambaran siklokrioterapi

Prosedur tindakan Siklokrioterapi : pasien sadar dengan posisi supine.

Sebelum melakukan CCT dokter menyuntikan obat anestesi kebagian

posterior mata, CCT dapat dilakukan dengan anestesi umum untuk dewasa
dan anak-anak yang memiliki tingkat kecemasan tinggi. Dalam melakukan

prosedur ahli bedah melokalisasi badan siliar dengan probe yang menyala

dan kemudian mengaplikasikan cryoprobe denagn suhu -112 (- 80) ke

sklera mata. Probe diaplikasikan beberapa kali dengan cara searah jarum jam

menggunakan tekanan sedang dan menghindari daerah otot-otot ekstraokuler

yang mengontrol pergerakan mata. Setiap aplikasi dengan menggunakan

probe berlangsung 50-60 detik dan biasanya dilakukan hanya setengah

bagian dari mata dalam upaya awal. Pasien yang lebih tua yang memiliki

respon baik terhadap pengobatan ini hanya di lakukan seperempat dari mata.

Segera setelah operasi disuntikan steroid ke mata untuk mengurangi

peradangan dan tetes mata atau salep seperti atropin diberikan untuk

mempertahankan pelebaran mata. Beberapa ahli bedah menyuntikan obat

bius kedalam mata sehingga mematikan seluruh fungsi mata termasuk otot

ekstraokuler. Injeksi ini memiliki resiko yang terkait dengan ptosis (dropy

eyelid ) dan peningkatan resiko ulkus kornea. 18-21


Gambar 4 : prosedur menghilangkan rasa nyeri pada siklokriodestruktif

Dikutip dari : Br J Ophthalmol19

Terapi postoperatif

Setelah proses selesai, mata ditutup selama 6-8 jam

Analgetik oral dan anti inflamasi

Pasien disarankan untuk melanjutkan terapi anti glaukoma dan

dihentikan secara bertahap sampai timbul efek dari siklokrioterapi

Tambahan obat antiglaukoma oral mungkin diperlukan pada periode

pasca operasi segera untuk mengatasi peningkatan TIO pasca operasi

yang disebabkan karna inflamasi

Steroid topikal (prednisolon asetat tetes mata 1%) 4 kali sehari selama

seminggu dan diturunkan bertahap setelah lebih dari 2 minggu

tergantung pada respon inflamasi okular.

Penggunaan sikloplegik topikal (atropin 1% tetes mata 3 kali sehari)

dapat mengurangi rasa nyeri pasca operasi.7,8,18,19


Hasil terapi siklokrioterapi ditentukan dalam hal :

Tingkat keberhasilan didefenisikan sebagai presentase dari mata

mencapai TIO antara 5-21 mmhg dengan atau tanpa obat topikal dengan

penghentian oral carbonat anhidrase inhibitor dalam follow up terakhir pada

terapi.

Tingkat respon didefenisikan sebagai presentase pasien yang

mencapai penurunan 30% dari IOP awal dengan penghentian penggunaan

carbonic anhydrase inhibitor oral. Termasuk mata yang menjadi hipotoni (TIO

< 5 mmHg).

Tingkat kegagalan didefenisikan sebagai presentase pasien yang

timbul hipotoni ( TIO <5mmHg ) atau pthisis atau mereka yang TIO < 30% dari

TIO awal (baseline).18-21

Tingkat keberhasilan tergantung dari jenis glaukoma, memerlukan lebih

dari satu kali pengobatan untuk mengontrol tekanan yang adekuat dan

prosedur harus diulang. Pereda nyeri umumnya baik Setelah operasi tekanan

intra okuler dan jumlah obat anti glaukoma akan turun. Kriteria keberhasilan

termasuk tekanan intraokuler ( TIO ) dari 21 mmHg atau kurang tanpa

komplikasi atau membutuhkan operasi glaukoma lanjutan. Dalam prosedur

operasi mungkin akan sangat nyeri sehingga pasien harus diberikan analgetik

yang adekuat termasuk golongan narkotika selama periode pasca operasi.

Siklokrioterapi mungkin berhubungan dengan hipotoni yang berkepanjangan,

nyeri, peradangan, edem makula cystoid, perdarahan, dan bahkan pthisis

bulbi. Oftalmia simpatis merupakan komplikasi yang jarang namun serius.

Komplikasi serius yang jarang terjadi termasuk luka bakar konjungtiva, uveitis

kronis, hyphema, penipisan sklera dan ablasi retina atau koroid. Namun
karena tujuan dari prosedur ini menghilangkan rasa nyeri maka siklokrioterapi

tetap menjadi salah satu pilihan terapi pada glaukoma absolut. 7,8,18-21

3.4.3 Faktor Resiko Kegagalan Pengobatan

3.4.3.1 Usia

Telah dilaporkan oleh beberapa peneliti bahwa pasien dengan

pengulangan siklokrio secara signifikan berhasil dengan 1x tindakan pada

usia relative muda. Tingkat keberhasilan secara signifikan lebih baik pada

pasien di atas usia 50 tahun dibandingkan pada pasien di bawah usia 50

tahun.17

Alasan hubungan antara usia dan keberhasilan siklodestruktif tidak

jelas. Usia tergantung perubahan struktur dan fungsi badan siliar epitelium

dan stroma mungkin menjelaskan mengapa epitel silia tampaknya lebih

rentan terhadap siklodestruktif pada orang tua. Selain itu, peningkatan TIO

yang berlangsung lama pada glaukoma kronis menyebabkan atrofi yang jelas

pada struktur badan siliar, yang mungkin mempredisposisi kerusakan lebih

lanjut.16,17

3.4.3.2 Afakia dan Operasi Okular Lain Sebelumnya

Operasi mata sebelumnya dapat menjadi faktor risiko untuk kegagalan

pada glaukoma primer serta glaukoma sekunder. Aphakia, merupakan faktor

risiko yang signifikan terhadap kegagalan prosedur siklodestruktif. 17

3.4.3.3 Glaukoma Sudut Tertutup Sekunder

Glaukoma sudut tertutup sekunder subtotal atau total sebagai akibat

dari sinekia anterior perifer merupakan faktor risiko khusus terhadap gagalnya
prosedur siklodestruktif, karena besarnya jumlah kerusakan subtotal dari

badan siliar epitelium yang harus dicapai untuk menurunkan TIO secara

efisien. Tingkat kegagalan dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi dari

hypotonia dan phthisis bulbi. 15-17

3.4.4 Pendekatan prosedur siklokrioterapi

3.4.4.1 Anestesia

Pada siklokrio digunakan anestesi peribulbar atau retrobulbar. Anestesi

subkonjuntiva menggunakan kokain, lidokain 2%, atau mepivacaine 2% yang

juga efektif. Dalam subkonjuntiva anestesi adalah sederhana namun efektif

dan metode anestesi yang sangat aman.19,21

Oxybuprocaine (atau anestesi tetes mata topikal lain), sekitar 4-6 tetes,

diteteskan di mata. Kemudian, 1-1,5 ml 2% mepivacaine / 2% lidokain

ditempatkan di bawah konjungtiva. Jarum secara hati-hati ditempatkan 6-8

mm dari limbus untuk menghindari perdarahan di tempat suntikan. Mata

ditutup selama 10 menit dengan balutan bertekanan rendah. Secara umum,

tidak ada sedasi oral atau intravena yang diperlukan. Anestesi umum mungkin

diperlukan pada anak-anak atau orang dewasa yang tidak patuh, atau mata

dengan risiko tinggi perforasi oleh parabulbar atau anestesi subkonjungtiva

(misalnya, scleral staphyloma).7,8,19,21


Gambar 7. Anestesi subkonjungtiva menggunakan scandicaine 2%.

Perdarahan konjungtiva harus dihindari oleh aplikasi dan limbal jarak 6 mm

atau lebih. (Dikutip dari Becker MD, Davis JL)18

3.4.4.2 Indikasi siklokriodestruktif

Semua glaukoma refraktor

Menghilangkan nyeri pada mata dengan visus 0, jika nyeri disebabkan

karena TIO yang tinggi

Glaukoma neovaskular

Glaukoma sekunder termasuk :

- Glaukoma pasca trauma

- Glaukoma Post penetrating keratoplasti

- Post operasi vitreoretina dan silicon oil yang menyebabkan

glaukoma inflamatori

Glaukoma terkait jaringan parut konjungtiva yang berat

Kegagalan trabekulektomi dan implan drainase

Glaukoma kongenital dengan kegagalam multiple tindakan bedah


Kondisi medis yang menghalangi tindakan operasi invasif atau pasien

yang menolak operasi.

Kondisi berikut memerukan perawatan ekstra dan hati-hati dalam titrasi

energi yang digunakan dan merupakan kontra indikasi relatif :

Glaukoma postkeratoplasti : untuk mencegah dekompensasi kornea

Glaukoma post implan drainase : untuk mencegah hipotoni

Sclera yang tipis atau psien dengan gangguan vascular kolagen :

untuk mengurangi resiko skleral nekrosis dan perforasi

Pigmentasi konjungtiva : untuk mencegah luka bakar.7,8

3.4.4.3 Komplikasi dan Manajemen

Komplikasi umum

Luka bakar pada permukaan, mulai dari luka bakar permukaan

konjungtiva sampai perforasi sklera dengan prolaps uvea

Inflamasi postoperatif mulai dari inflamasi ringan sampai berat (uveitis)

Atonic pupil

Hifem dan perdarahan vitreus lebih sering terlihat dengan mata NVG

Hipotoni, mulai dari hipotoni ringan sampai pthisis bulbi

Komplikasi yang jarang terjadi

Kerusakan lensa dan zonular

Fibrosis kapsul posterior pada pseudoafakia

Penipisan sklera dan staphyloma

Mengurangi akomodasi
Komplikasi yang sangat jarang terjadi

Sklerotomy yang tidak sengaja terjadi

Malignan glaukoma


Oftalmia simpatis 7,8

Komplikasi berat setelah prosedur siklodestruktif relatif jarang. Namun,

komplikasi awal seperti iridosiklitis berat dan dekompensasi TIO dapat terjadi

dan menyebabkan nyeri. Oleh karena itu, sering tindak lanjut dari semua

pasien adalah wajib dalam tahap pasca operasi awal. peningkatan pasca

operasi awal TIO dapat diobati dengan penggunaan jangka pendek dari

acetazolamide dan jarang dengan pemberian zat osmotik. 7,8,19,20

Suatu efek steroid-responsif tidak terjadi dalam hari pertama

pengobatan, sehingga pengurangan kortikosteroid topikal mungkin tidak

membantu dalam mengelola peningkatan awal tekanan intraokular. Iritis awal

terlihat pada hampir 50-100% dari semua pasien setelah perawatan

siklodestruktif dalam beberapa hari pertama setelah perawatan. reaksi

inflamasi sementara dan harus diterapi dengan topikal prednisolon asetat 1%

3-5 kali sehari selama 1-2 minggu pasca operasi. Suatu iritis terkait dengan

reaksi fibrinous dan nyeri dapat terjadi, paling sering beberapa hari setelah

pengobatan siklodestruktif yang telah dilakukan. Sebuah perawatan yang

lebih intensif menggunakan prednisolon asetat 1% setiap jam selama

beberapa hari dan kadang-kadang dosis tinggi pengobatan steroid sistemik

mungkin perlu untuk mengontrol peradangan. 19-21

Perforasi sklera adalah komplikasi yang sangat jarang terjadi setelah

transkleral siklodestruktif dan dapat dihindari dengan pengurangan parameter

aplikasi pada pasien dengan penipisan scleral pra operasi. Jika perforasi
scleral terjadi, patch skleral diindikasikan untuk menghindari hypotonia dan

endophthalmitis.20,21

Hipotoni dan phthisis bulbi merupakan komplikasi lambat dan langka

setelah siklokrioterapi. Dalam kasus hipotonus kronis, pilihan terapi terbatas.

Suatu cyclodialysis cleft tanpa gejala harus dipertimbangkan. Terapi topikal

steroid intensif, penghentian semua obat yang mengurangi TIO, dan kadang-

kadang injeksi zat viskoelastik ke ruang anterior mungkin membantu untuk

mendorong pemulihan TIO.19-21

Anda mungkin juga menyukai