Anda di halaman 1dari 4

Ringkasan Makalah

A. Kelompok I: Pengaruh Konvensi Konvensi Stockhlom 1972 terhadap


perkembangan lingkungan hidup di Indonesia
Konvensi Stockholm
Konvensi Internasional Lingkungan Hidup di Stockholm, Swedia pada tahun 1972, adalah konferensi
yang sangat bersejarah, karena merupakan konferensi pertama tentang lingkungan hidup yang
diprakarsai oleh PBB. Diselenggarakan pada tanggal 5 sampai 16 Juni 1972. Dengan peserta 113
negara, 21 organisasi PBB, 16 IGO dan 258 NGO. Konvensi Stockholm adalah Perjanjian
internasional pertama yang difokuskan pada perlindungan lingkungan dan kesehatan manusia dari
bahan kimia beracun. Pada tahun 2001, konvensi diadopsi dan mulai berlaku pada tahun 2004. Setelah
diadakan pembahasan dalam waktu yang sudah ditentukan, konferensi ini mendapatkan hasil, hasilnya
antara lain yaitu:
1. Deklarasi Stockholm, menyepakati 26 Asas, dan
2. 109 Rekomendasi

Pengaruh Konvensi Konvensi Stockhlom 1972 terhadap perkembangan lingkungan hidup di


Indonesia
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982
Sejak era 1980an, berkembang tuntutan yang meluas agar kebijakan-kebijakan resmi Negara
yang pro lingkungan dapat tercermin dalam bentuk perundang-undangan untuk ditaati oleh semua
pemangku kepentingan.
Oleh Karena itu, Indonesia menyusun dan akhirnya menetapkan berlakunya Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH
1982). Lahirnya UULH 1982 dipandang sebagai pangkal tolak hukum lingkungan nasional.
UULH 1982 merupakan sumber hukum formal tingkat undang-undang yang pertama dalam
konteks hukum lingkungan modern di Indonesia. UULH 1982 memuat ketentuan-ketentuan hukum
yang menandai lahirnya suatu bidang hukum baru, yakni hukum lingkungan karena ketentuan-
ketentuan itu mengandung konsep-konsep yang sebelumnya tidak dikenal dalam bidang hukum. Di
samping itu, ketentuan-ketentuan UULH 1982 memberikan landasan bagi kebijakan pengelolaan
lingkungan hidup.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997


Sejak pengundangan UULH 1982 kualitas lingkungan hidup di Indonesia ternyata tidak semakin
baik dan banyak kasus hukum lingkungan tidak dapat diselesaikan dengan baik. Oleh sebab itu, perlu
dilakukan perubahan terhadap UULH 1982, setelah selama dua tahun dipersiapkan, yaitu dari sejak
naskah akademis hingga RUU, maka pada tanggal 19 September 1997 pemerintah mengundangkan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH 1997).
Didalam UU No. 23 tahun 1997 juga membahas hal-hal seperti: pelestarian lingkungan,daya
tampung, kriteria baku ,limbah, bahan berbahaya, sengketa lingkungan dan audit terhadap lingkungan.

Undang-undang Nomor 32 tahun 2009


Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah digantikan
kegunaannya dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Perbedaan mendasar dari Undang-undang No. 23 tahun 1997 dengan Undang-Undang No. 32
tahun 2009 adalah adanya penegasan yang terdapat dalam Undang-undang No. 32 tahun 2009
mengenai prinsip-prinsip dalam melindungi dan mengelola lingkungan hidup yang berdasarkan pada
pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan
instrumen pencegahan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan
penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan
keadilan.
Undang-Undang No. 32 tahun 2009 memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Menteri
Lingkungan Hidup untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup untuk bekerja sama dengan instasi-instasi lainnya dalam
melaksanakan tugasnya.

Dari beberapa hal yang diperluas tersebut maka UU tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup mengalami perkembangan untuk mekonversikan berbagai maslah yang semakin kompleks
terkait dengan lingkungan yang mana nantinya perkembangan ini dapat menjamin suatu kepastian
hukum terhadap lingkungan hidup. Atas dasar tersebut, dapat dikatakan bahwa Indonesia telah
menerapkan asas-asas yang tercantum dalam Deklarasi Stockholm 1972.

B. Kelompok II: Persyaratan Izin Lingkungan dalam Konteks Reklamasi Pantai


Aspek peraturan perizinan reklamasi
Peraturan yang seharusnya dipakai adalah Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang
Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang merupakan turunan dari Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Dalam Perpres itu disebutkan bahwa kewenangan gubernur untuk mengurus perizinan pulau di
wilayah pesisir telah dicabut karena area tersebut telah masuk menjadi kawasan strategis nasional di
mana menjadi kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Sementara untuk urusan AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) telah menjadi kewenangan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dari pada Badan Pengelola Lingkungan Hidup
Daerah (BPLHD).

Aspek Perizinan cq.Izin Lingkungan terkait Reklamasi:


Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada orang yang akan melakukan usaha atau kegiatan
yang pemberiannya dilandaskan pada pertimbangan lingkungan hidup. Agar bisa mendapatkan izin
lingkungan, seseorang yang akan memulai usaha harus memenuhi persyaratan AMDAL serta Upaya
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL).

Setelah surat keputusan kelayakan lingkungan dan surat rekomendasi UKL-UPL-nya selesai diproses,
izin lingkungan akan diterbitkan oleh bupati, walikota, gubernur, dan menteri.

Kasus Pembatalan Proyek Reklamasi Pulau G di Pantura Jakarta


izin lingkungan dalam konteks reklamasi pantai yang menyoroti polemik dan kasus diseputar proyek
pembangunan reklamasi pantai ataupun apa yang bisa disebut sebagai offshore development suatu
pembangunan pulau-pulau baru - di Pantura Jakarta. Yang kemudian berkembang dilematis bahkan
dikotomis antara Pemda DKI vis a vis Pemerintah Pusat.

Masalah yang terjadi pada kasus tersebut adalah Gubernur DKI Jakarta yaitu, Ahok yang bersih keras
agar reklamasi agar dilanjutkan karena Ia berdasar pada Keputusan Presiden No.52 Tahun 1995
tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Peraturan yang seharusnya dipakai adalah Peraturan Presiden
Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang merupakan
turunan dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007. Dalam Perpres itu disebutkan bahwa
kewenangan gubernur untuk mengurus perizinan pulau di wilayah pesisir telah dicabut karena area
tersebut telah masuk menjadi kawasan strategis nasional.

Sebenarnya kasus tersebut bias saja diselesaikan dengan Undang-undang lingkungan, dengan
dokumen AMDAL sebagai acuannya. Jadi perlu adanya ketegasan sikap dari pemimpin negara,
seluruh politisi dan masyarakat sipil untuk melakukan konstitusionalisasi norma hukum lingkungan
ke kategori yang lebih tinggi (more greener) sehingga mampu mendorong adanya perubahan
paradigma dan perilaku penentu kebijakan dalam memandang pembangunan dan ekosistem sumber
daya alam.
C. Kelompok III: Dokumen Lingkungan yang Diperlukan untuk Kegiatan yang
Diduga Menimbulkan Dampak Lingkungan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan,
terdapat beberapa dokumen terkait pemenuhan kewajiban lingkungan yang diperlukan untuk
pelaksanaan kegiatan yang disinyalir berdampak lingkungan. Dokumen-dokumen tersebut adalah
sebagai berikut:

1. Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
2. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah
kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
3. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup, yang
selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau
kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi
proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
4. Analisis Dampak Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut Andal, adalah telaahan secara
cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
5. Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut RKL, adalah upaya
penanganan dampak terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha
dan/atau kegiatan.
6. Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup adalah keputusan yang menyatakan kelayakan
lingkungan hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan
Amdal.
7. Rekomendasi UKL-UPL adalah surat persetujuan terhadap suatu usaha dan/atau kegiatan
yang wajib UKL-UPL.

Amdal dan UKL-UPL juga merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan Izin Lingkungan.
Pada dasarnya proses penilaian Amdal atau permeriksaan UKL-UPL merupakan satu kesatuan dengan
proses permohonan dan penerbitkan Izin Lingkungan. Dengan dimasukkannya Amdal dan UKL-UPL
dalam proses perencanaan usaha dan/atau kegiatan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya mendapatkan informasi yang luas dan mendalam terkait dengan dampak
lingkungan yang mungkin terjadi dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dan langkah-
langkah pengendaliannya, baik dari aspek teknologi, sosial, dan kelembagaan.

Anda mungkin juga menyukai