PENDAHULUAN
1
Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan
pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang OJK. OJK
melalui fungsi yang diamanatkan dalam UU OJK, diharapkan dapat menyelesaikan berbagai
permasalahan yang timbul dari dinamika sistem keuangan di Indonesia.
Lahirnya Otoritas Jasa Keuangan ikut mengalihkan Peran Bank Indonesia sebagai
pengawas perbankan, namun Bank Indonesia akan tetap menjalankan fungsinya dalam
pembentukan regulasi dibidang moneter. Pengalihan tugas ini juga tidak sepenuhnya
melepaskan pengawasan Bank Indonesia terhadap industri perbankan di Indonesia.
Koordinasi antara OJK dan Bank Indonesia tetap dibangun guna menjamin tercapainya
tujuan masing-masing lembaga serta tercapainya stabilitas sistem keuangan.
2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis akan merumuskan pokok permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan dan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan sebagai Lembaga
Pengatur dan Pengawas Perbankan di Indonesia?
2. Bagaimana mekanisme koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank
Indonesia dalam hal pengaturan dan pengawasan bank?
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kedudukan dan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan sebagai Lembaga Pengatur
dan Pengawas Perbankan di Indonesia
Bank Indonesia sebagai Bank Sentral memiliki tugas yang utama untuk mengatur,
menjaga, serta memelihara kestabilan nilai rupiah, sebagaimana diatur pada Pasal 7 Undang-
Undang Bank Indonesia. Pada Pasal 8 Undang-Undang Bank Indonesia, mengatur tentang
tiga tugas Bank Indonesia untuk mencapai tujuannya, yakni menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter, mengatur dan mengawasi sistem pembayaran, serta mengatur dan
mengawasi bank. Setelah dibentuknya OJK, tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia
menjadi berkurang. Tugas pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan menjadi
tanggung jawab OJK, sedangkan kebijakan moneter dan sistem pembayaran tetap
dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral. Fungsi pengawasan perbankan yang
dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan diharapkan dapat meningkatkan fokus Bank
Indonesia dalam menjalankan wewenangnya sebagai otoritas moneter dan sistem pembayaran
dengan menggunakan instrumen-instrumen yang dimilikinya.
Otoritas Jasa Keuangan lahir sebagai amanat Pasal 34 Undang-undang Bank Indonesia
yang berdasarkan atas prinsip-prinsip reformasi keuangan yaitu Independensi, terintegrasi,
serta menghindari benturan kepentingan. Pasal 1 ayat (1) UU OJK disebutkan bahwa Otoritas
Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain,
yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang OJK ini. OJK menjalankan
tugasnya memiliki kedudukan diluar pemerintah dan memiliki kewajiban untuk
menyampaikan laporan kepada DPR RI dan BPK RI. Kelembagaan OJK yang berada diluar
Pemerintah menunjukan bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah.
Tujuan OJK seperti tercantum di dalam UU OJK adalah agar keseluruhan kegiatan di
dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; serta
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, yang diwujudkan melalui adanya
sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam
sektor jasa keuangan. OJK, dalam mencapai tujuannya tersebut, melaksanakan fungsinya
dengan menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap
seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Fungsi pengaturan dan pengawasan tersebut
4
dilakukan di sektor perbankan, pasar modal, dan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) yang
meliputi perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan
lainnya. Dalam bertugas dan melaksanakan wewenangnya, Otoritas Jasa Keuangan
berlandaskan tata kelola dan asas, yang meliputi independensi, kepastian hukum, kepentingan
umum, keterbukaan, profesionalitas, dan integritas.
Peralihan keseluruhan tugas, fungsi, dan wewenang pengaturan dan pengawasan
Perbankan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan tercermin dalam Pasal 7
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Bank Indonesia, dalam hal ini, masih
tetap memiliki wewenang dalam mengatur dan mengawasi sektor perbankan, yaitu dalam
rangka perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter dan sistem pembayaran Bank
Indonesia menjalankan wewenangnya dalam kebijakan moneter dengan menetapkan jumlah
uang beredar atau tingkat suku bunga, dengan tujuan menjaga sasaran laju inflasi yang
ditetapkan oleh pemerintah menggunakan sejumlah instrumen, antara lain operasi pasar
terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto,
penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Selain itu, BI
juga berperan dalam menciptakan efisiensi sistem pembayaran, kesetaraan akses, dan
perlindungan konsumen.
Pasal 39 UU OJK mengatur bahwa OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam
membuat peraturan pengawasan di bidang perbankan meliputi: kewajiban pemenuhan modal
minimum bank, sistem informasi perbankan yang terpadu, kebijakan penerimaan dana dari
luar negeri, penerimaan dana valuta asing dan pinjaman komersial luar negeri, produk
perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya dan penentuan institusi bank yang
masuk kategori systemically important bank serta data lain yang dikecualikan dari ketentuan
kerahasiaan informasi.
Dalam Pasal 40 dan Pasal 41 UU OJK disebutkan bahwa BI dapat melakukan
pemeriksaan langsung terhadap bank dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
terlebih dahulu kepada OJK, tetapi dalam pemeriksaan tersebut BI tidak dapat memberikan
penilaian terhadap tingkat kesehatan bank. Laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan
oleh BI tersebut disampaikan kepada OJK, kemudian OJK menginformasikan kepada
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya
penyehatan oleh OJK. Apabila bank tersebut mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi
kesehatannya semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke BI untuk melakukan
langkah-langkah sesuai dengan kewenangan BI sebagai bank sentral.
Dinamika perkembangan sektor keuangan menuntut OJK untuk melakukan pengawasan
secara terintegrasi dengan tujuan untuk meningkatkan efektivitas pengawasan atas lembaga
5
jasa keuangan secara terintegrasi antar subsektor jasa keuangan. Pelaksanaan pengawasan
terintegrasi diharapkan dapat menurunkan potensi risiko sistemik kelompok jasa keuangan,
mengurangi potensi moral hazard, mengoptimalkan perlindungan konsumen jasa keuangan,
serta mewujudkan stabilitas sistem keuangan.
Pasal 2 UU OJK menyebutkan bahwa OJK adalah lembaga yang independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk
hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang- undang. Independensi OJK tercermin dari
kepemimpinan OJK, dimana secara perseorangan, pimpinan OJK memiliki kepastian masa
jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang diatur dalam Undang-
undang. Namun demikian, OJK harus memberikan laporan kepada DPR dan Presiden, serta
harus memperoleh persetujuan dari DPR terkait anggaran dalam melaksanakan kegiatannya.
Undang-undang mengatur bahwa tidak ditutup kemungkinan adanya unsur-unsur
perwakilan Pemerintah / Bank Indonesia di OJK karena pada hakikatnya OJK memiliki relasi
dan keterkaitan kuat dengan otoritas lain terutama otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena
itu, dalam melaksanakan tugasnya OJK melakukan koordinasi dengan Pemerintah, Bank
Indonesia, maupun LPS. Protokol koordinasi ini diatur dalam bentuk Forum Koordinasi
Stabilitas Sistem Keuangan yang keanggotaannya terdiri dari Kementrian Keuangan, Bank
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan LPS.
Dalam kondisi stabilitas keuangan yang normal, FKSSK wajib melakukan pemantauan
dan evaluasi stabilitas sistem keuangan. Pertemuan FKSSK paling sedikit dilakukan 1 kali
dalam 3 bulan dan disusun rekomendasi kepada setiap anggota untuk melakukan tindakan
dan / atau membuat kebijakan dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan. Selain
itu dalam pertemuan juga dilakukan pertukaran informasi antar lembaga.
Dalam kondisi stabilitas keuangan yang tidak normal, maka untuk pencegahan dan
penanganan krisis, Menteri keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner OJK dan/atau
ketua Dewan Komisioner LPS yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi
krisis pada sistem keuangan dapat mengajukan ke FKSSK agar segera dilakukan rapat untuk
memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis tersebut. Dalam kondisi
ini, FKSSK melakukan penetapan dan pelaksanaan kebijakan yang diperlukan bagi masing-
masing institusi sesuai kewenangan yang diberikan bagi masing- masing institusi tersebut.
Dalam konteks pengawasan FKSSK, sebagaimana diatur dalam Pasal 46 UU OJK,
kebijakan FKSSK yang terkait dengan keuangan negara wajib diajukan untuk mendapat
persetujuan DPR. Saat ini, dasar yang digunakan mengenai Forum Koordinasi Stabilitas
Sistem Keuangan (FKSSK) adalah Nota Kesepahaman (MoU) antara Kemenkeu, BI, OJK
6
dan LPS yang ditandatangani tanggal 1 Oktober 2012 untuk menjaga koordinasi antar
lembaga dalam mengantisipasi krisis.
Salah satu sektor jasa keuangan yang diatur dan diawasi oleh OJK adalah sektor
perbankan. Pengawasan perbankan terbagi menjadi dua, yaitu macro-prudential supervision
dan micro-prudential supervision. Kedua jenis pengawasan tersebut harus dijalankan secara
selaras agar sasarannya dapat tercapai dengan baik.
Melalui pengawasan macro-prudential, bank diharapkan dapat mengambil peran dalam
pencapaian sasaran ekonomi makro melalui instrumen yang ditetapkan oleh Bank Indonesia,
meliputi kebijakan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, neraca
pembayaran yang mencapai kemantapan, lapangan pekerjaan yang semakin luas, kestabilan
sistem moneter, serta pemerataan pendapatan dan kesempatan kerja. Sedangkan, pengawasan
micro-prudential, bank diharapkan dapat menjaga kinerja dan tingkat kesehatan secara
individual menurut ukuran dan ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, yang
pada akhirnya dapat menjaga sehatnya industri perbankan secara keseluruhan dan melindungi
kepentingan konsumen. Dengan diberlakukannya UU OJK, maka konteks macro-prudential
merupakan ranah Bank Indonesia, sedangkan konteks micro-prudential menjadi tugas dan
wewenang OJK. Dalam melaksanakan fungsinya, kedua lembaga ini bersifat independen,
namun koordinasi antar keduanya tetap dijalin karena pengawasan secara mikro ikut
mempengaruhi kinerja perekonomian secara makro, khususnya bank-bank besar yang
memiliki dampak sistemik terhadap perekonomian. OJK perlu melakukan pengawasan
langsung terhadap bank untuk memastikan adanya mitigasi risiko yang matang dilakukan
oleh setiap bank, khususnya bank yang memiliki dampak sistemik dan dengan demikian
dapat mencegah kegagalan bank yang dapat mengakibatkan gagalnya sistem perekonomian.
Sebelum dibentuknya OJK, pengaturan dan pengawasan perbankan merupakan tugas dan
tanggung jawab Bank Indonesia. Peran dan tugas dari Bank Indonesia menurut UU BI yaitu
mencakup tiga sub sistem: moneter, perbankan, dan pembayaran. Pelaksanaan dan penentuan
kebijakan pada ketiga sub-sistem tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan BI, yaitu
memelihara kestabilan nilai rupiah, yaitu stabilnya nilai rupiah terhadap barang dan jasa serta
terhadap mata uang negara lain, dan hal ini penting dalam mendukung pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan serta dalam mendukung peningkatan kesejahteraan rakyat.
Setelah tugas pengawasan perbankan beralih dari BI kepada OJK, maka kewenangan
yang dimiliki oleh BI terhadap bank juga ikut beralih kepada OJK. Otoritas Jasa Keuangan
kemudian memiliki wewenang dalam pengaturan dan pengawasan bank dalam hal member
dan mencabut izin kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu bank, menetapkan peraturan-
peraturan, melaksanakan pengawasan bank, serta mengenakan sanksi terhadap bank dengan
7
tujuan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia demi terciptanya sistem perbankan
yang sehat secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan
masyarakat dengan baik, berkembang dengan wajar serta bermanfaat bagi perekonomian
nasional.
Kewenangan pengaturan dan pengawasan bank yang dimiliki oleh Otoritas Jasa
Keuangan, adalah Kewenangan memberikan izin (right to license); Kewenangan untuk
mengatur (right to regulate); Kewenangan untuk mengawasi (right to control); Kewenangan
untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction); serta Kewenangan untuk melakukan
penyidikan (right to investigate). Dalam pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan,
OJK memiliki sejumlah kewajiban, terutama terkait pemberian informasi dan pelaporan
pertanggungjawaban pelaksanaan tugasnya yang diuraikan sebagai berikut:
1. OJK harus memberikan informasi yang lengkap dan terbaru keuangan kepada Bank
Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan tugas dan kebutuhan masing-
masing lembaga tersebut guna mendukung penyelenggaraan fungsi kedua lembaga
tersebut dengan baik.
2. Dalam melakukan analisis mengenai stabilitas keuangan, OJK wajib melakukan
pertukaran informasi dengan Bank Indonesia yang melaksanakan pengawasan macro-
prudential;
3. Dalam menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan tingkat kesehatan bank, OJK
harus selalu bekerjasama dengan BI;
4. OJK wajib melaporkan tingkat kesehatan dan efisiensi bank kepada Menteri Keuangan
dalam bentuk laporan berkala;
5. OJK menyusun mekanisme yang mengatur kerjasama antara OJK, BI, LPS, dan
Kementerian Keuangan sebagai bentuk pencegahan akan terjadinya gangguan pada
stabilitas perekonomian secara nasional yang diakibatkan oleh buruknya kinerja suatu
bank tertentu.
8
2.2 Mekanisme koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia
dalam hal pengaturan dan pengawasan bank
Adapun koordinasi antara OJK dengan BI telah diatur dalam Pasal 39 UU OJK, dimana
bentuk koordinasinya adalah dalam penentuan peraturan untuk pelaksanaan pengawasan
atas bank, yang meliputi:
1. Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum Bank (KPMM)
KPMM merupakan indikator pengukuran dalam pengawasan bank secara individual
atau masuk dalam bentuk micro-prudential, namun penyediaan modal minimum ini
juga terkait dengan pengaturan Basel Core Principles dan BI merupakan salah satu
anggota dari BIS (Bank for International Settlement), oleh sebab itu, OJK tetap harus
berkoordinasi dengan BI dalam penetapan KPMM.
3. Kebijakan Penerimaan Dana dari Luar Negeri, Penerimaan Dana Valuta Asing, dan
Pinjaman Komersial Luar Negeri.
Koordinasi antara OJK dan BI dilakukan penyusunan peraturan tentang penerimaan
dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar
negeri, serta membuat tata cara pelaksanaannya. Penerimaan dana ini adalah pelengkap
pembiayaan APBN dan pembangunan, selain sumber pembiayaan dalam negeri berupa
hasil perdagangan luar negeri dan penerimaan pajak, serta tabungan, baik tabungan
masyarakat maupun sektor swasta.
9
5. Penentuan Institusi Bank yang Masuk Kategori Systemically Important Bank
Systematically Important Bank adalah suatu bank yang ukuran asset, modal, dan
kewajiban, luas jaringan, atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan serta
keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau
keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun
finansial, apabila bank tersebut mengalami gangguan atau gagal Kegagalan bank ini
dapat berdampak secara makro, maka diperlukan koordinasi BI dan OJK untuk
mengelompokkan bank mana yang masuk kategori ini dan bank yang memerlukan
perhatian lebih.
10
1. OJK dan BI melakukan kerjasama dan koordinasi dalam pelaksanaan tugas sesuai
kewenangan masing-masing;
2. OJK dan BI melakukan pertukaran informasi mengenai Lembaga Jasa Keuangan serta
melakukan pengelolaan sistem pelaporan bank dan perusahaan pembiayaan;
3. OJK dan BI menetapkan penggunaan kekayaan dan dokumen yang dimiliki dan/atau
digunakan oleh kedua lembaga tersebut; dan
4. OJK dan BI melakukan kerjasama dan koordinasi dalam hal pengelolaan pejabat dan
pegawai Bank Indonesia yang dialihkan atau dipekerjakan pada Otoritas Jasa
Keuangan.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga Pengatur dan Pengawas Perbankan
di Indonesia didasarkan pada Pasal 1 ayat (1) UU OJK yang menyebutkan bahwa
Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan
pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang OJK ini.
Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga Pengatur dan Pengawas Perbankan
di Indonesia didasarkan pada amanat Pasal 34 Undang-undang Bank Indonesia. Otoritas
Jasa Keuangan dibentuk dengan fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan
pengawasan yang terintegrasi terhadap seluruh kegiatan sektor jasa keuangan. Tugas
pelaksanaan pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan pada lembaga keuangan
bank, serta lembaga keuangan non bank (Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya) menjadi ranah kerja Otoritas
Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengawasan dalam rangka
perlindungan konsumen pada sektor Perbankan, Pasar Modal, dan lembaga keuangan
non bank lainnya, memberikan dan/ mencabut izin usaha, menyetujui atau menetapkan
pembubaran, memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan
menunjuk pengelola Statuter, serta OJK berwenang menetapkan sanksi administrasif.
2. Mekanisme koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia dalam
pengaturan dan pengawasan bank dilakukan dalam hal pembuatan peraturan dan
pengawasan perbankan, diantaranya mengenai kewajiban pemenuhan modal minimum
bank (KPMM), sistem informasi perbankan yang terpadu, kebijakan penerimaan dana
dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri,
produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya, dan dalam
menentukan institusi bank yang termasuk dalam kategori systemically important bank,
serta data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.
Selain itu, pemeriksaan secara langsung terhadap bank dapat dilakukan oleh Bank
Indonesia dengan menyampaikan terlebih dahulu pemberitahuan tertulis kepada Otoritas
Jasa keuangan. Dalam hal suatu bank terindikasi mengalami kesulitan likuiditas dan/atau
12
bahkan kondisi kesehatan bank tersebut semakin memburuk, maka Otoritas Jasa
Keuangan menyampaikan informasi terkait hal tersebut kepada Bank Indonesia. Bank
Indonesia sebagai Bank Sentral kemudian dapat menentukan langkah-langkah
penanganan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, yaitu dengan memberikan
fasilitas pembiayaan jangka pendek dan pembiayaan darurat dalam fungsinya sebagai
lender of the last resort (LoLR).
3.2 Saran
Pengaturan dan pengawasan yang baik tentunya dapat mendorong stabilitas sistem
keuangan yang semakin baik. Koordinasi yang baik antara Bank Indonesia dengan Otoritas
Jasa Keuangan diharapkan dapat berjalan dengan baik, oleh sebab itu, peneliti memberi saran
sebagai berikut:
1. OJK bersama DPR perlu mengamandemen Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan dengan menambahkan pasal untuk menguatkan
Independensi Otoritas Jasa Keuangan terkait political intervention, serta campur tangan
dari pihak lain yang berkepentingan. Undang-Undang Bank Indonesia mengatur tentang
sanksi pidana atas campur tangan terhadap Bank Indonesia, namun pada Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan ternyata tidak diatur tentang
larangan intervensi dan sanksinya. Pada undang-undang ini hanya diatur tentang Otoritas
Jasa Keuangan yang independen.
2. Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin
Simpanan, bersama DPR perlu merumuskan peraturan perundang-undangan terkait
koordinasi antara dua lembaga, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, serta
koordinasi 4 lembaga yang tergabung dalam FKSSK. Rumusan peraturan perundang-
undangan dalam bentuk mekanisme pengaman sistem keuangan dari krisis yang
mencakup pencegahan dan penanganan krisis. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka
menghadapi ancaman krisis keuangan. Diperlukan landasan hukum yang kuat untuk
mengoptimalkan dan melancarkan kerjasama dan koordinasi antara Otoritas Jasa
Keuangan, Bank Indonesia, LPS, dan Kementerian Keuangan.
13
DAFTAR PUSTAKA
14