Anda di halaman 1dari 8

I.

LATAR BELAKANG

Kekuasaan memiliki arti penting bagi hukum, sebab kekuasaan tidak saja merupakan
instrumen pembentukan hukum (law making), tetapi juga merupakan instrumen penegakan
hukum (law enforcement) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hukum
juga memiliki arti penting bagi kekuasaan karena hukum dapat berperan sebagai sarana
legalisasi bagi kekuasaan formal lembaga-lembaga negara dan unit-unit pemerintahan, serta
pejabat negara dan pemerintahan. Legalisasi kekuasaan itu dilakukan melalui penetapan
landasan hukum bagi kekuasaan melalui aturan-aturan hukum, di samping hukum dapat pula
berperan mengontrol kekuasaan sehingga pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum. Dalam penegakan hokum asas negara hukum menghendaki kekuasaan kehakiman
yang merdeka terlepas dari pengaruh pemerintah atau kekuasaan lain.
Negara Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam
konstitusinya, yaitu Pasal 1 ayat (3) UndangUndang Dasar Tahun 1945, tentunya
memerlukan sebuah perangkat atau sistem penegakan hukum yang menjamin terwujudnya
rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam upaya mewujudkan itu, kebebasan
kekuasaan kehakiman menjadi faktor penting agar dapat terbebas dari segala interfensi dan
atau tekanan baik oleh pemerintah maupun oleh hal lainnya.
Kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka
yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan. Sebagai implementasi Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, Mahkamah
Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung,
seperti dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, dibentuk berdasarkan
Undang-undang Nomor 24 tahun 2004, tentang Mahkamah Konstitusi.
II. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang tersebut maka rumusan masalah yang akan dibahas yaitu prinsip-
prinsip dalam kekuasaan kehakiman.

III. TINJAUAN PUSTAKA

Di antara aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan


penegakan hukum ialah hakim. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap
suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap nilai-nilai
keadilan.
1. Pengertian Hakim
Pengertian hakim terdapat dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP yang menyebutkan
bahwa:
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-
Undang untuk mengadili.
Selain di dalam KUHAP, pengertian hakim juga terdapat dalam Pasal 1 ayat (5)
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam pasal
tersebut disebutkan bahwa:
Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan
peradilan tersebut.

2. Pengertian Kekuasaan Kehakiman


Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, seperti yang dinyatakan
dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yaitu bahwa:
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim
ditetapkan dengan undang-undang.
Hal ini berarti bahwa kedudukan para hakim harus dijamin oleh Undang-Undang.
Salah satu ciri dari Negara hukum adalah terdapat suatu kemerdekaan hakim yang
bebas, tidak memihak dan tidak dipengaruhi oleh Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif.
Kebebasan hakim tersebut tidak dapat diartikan bahwa hakim dapat melakukan tindakan
sewenang-wenang terhadap suatu perkara yang sedang ditanganinya, akan tetapi hakim
tetap terikat pada peraturan hukum yang ada.
Fungsi kekuasaan kehakiman diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang nomor
48 tahun 2009 yang berbunyi:
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hokum dankeadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya negara Hukum Republik Indonesia.

Keberadaan kekuasaan kehakiman tersirat dalam Montesquieu yang membagi


kekuasaan negara ke dalam tiga jenis kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif (Judisial). Kekuasaan kehakiman adalah salah satu
bagian dari kekuasaan negara yang harus bebas dan mandiri agar dapat
mengontrol kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif. Dengan demikian
kekuasaan kehakiman akan dapat menyatakan secara hukum sah atau tidaknya
tindakan pemerintah demi perlindungan terhadap hak-hak masyarakat.
IV. PEMBAHASAN

Sejak awal kemerdekaan, the founding fathers (para pendiri) negara kesatuan Republik
Indonesia, telah memiliki komitmen kuat mewujudkan kekuasaan kehakiman yang bebas
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Komitmen ini secara tegas tercantum dalam
penjelasan pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan, kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan
yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Begitupun dalam
penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang
menyebutkan bahwa Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung
pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan
ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana di sebut dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan dalam melaksanakan
wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakan hukum
dan keadlian berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan

rakyat Indonesia. Komitmen tersebut merupakan perwujudan tekad para pendiri negara
untuk menjadikan Indonesia sebagai negara hukum modern, yang menganut kaedah-kaedah
paham negara modern yang konstitusional.
Seorang hakim mengetahui prinsip-prinsip peradilan yang ada dalam peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan dunia peradilan, dalam hal ini Undang-Undang
Dasar 1945 Amandemen I sampai IV, Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Dari peraturan perundang-undangan tersebut di atas dapat ditemukan beberapa
prinsip sebagai berikut:
a) Putusan pengadilan adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
serta memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Prinsip ini diambil dari alinea keempat Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 yang berisi lima dasar negara yang disebut Pancasila. Prinsip ini
merupakan landasan filosofis setiap hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu
perkara.
b) Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Asas atau prinsip ini terdapat dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.
48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dalam penjelasannya dinyatakan
sesuai dengan pasal 29 Undang-Undang Dasar tahun 1945 Amandemen 1 sampai 4.
Dalam prakteknya kalimat Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
harus dijadikan kepala putusan (irah-irah) dalam setiap putusan Pengadilan, jika tidak
maka putusan tersebut tidak mempunyai daya eksekutorial. Irah-irah itu adalah suatu
rumusan sumpah, yaitu sumpah para hakim bahwa keadilan yang diucapkan
mengatasnamakan Tuhan kecuali menjadikan ia wakil Tuhan, juga sekaligus ia bertindak
dan berbuat dan bersumpah atas nama Tuhan.

c) Prinsip Kemandirian Hakim.


1) Prinsip ini tertuang dalam pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar tahun
1945 jo. Pasal 1 dan Undang-Undang. No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Dalam pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal
1 Undang-Undang No. 48 tahun 2009 ditegaskan bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka. Kekuasaan kehakiman yang
merdeka dimaksudkan untuk menjamin kebebasan hakim dari berbagai
kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu putusan atau ketetapan hukum yang
dibuat. Kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim bertindak
obejektif, jujur, dan tidak berpihak.
2) Dalam penjelasan terhadap pasal 1 tersebut disebutkan bahwa
kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan
extra judisial kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Dasar
tahun 1945, sedangkan pasal 3 Undang-Undang No. 48 tahun 2009,
menegaskan hakim harus bersikap mandiri. Dalam hal ini hakim dalam
menentukan keadilan terhadap orang tidak memihak pada siapapun dan bebas
namun berlandaskan pada hukum yang berlaku sehingga keadilan dapat dicapai
dengan baik

d) Prinsip pengadilan tidak boleh menolak perkara.


Prinsip ini tertuang dalam pasal 10 ayat (1) yang menyatakan bahwa pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya.

e) Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Prinsip tersebut di atas dimaksudkan agar putusan hakim dapat sesuai dengan hukum
dan rasa keadilan bagi masyarakat berkaitan dengan prinsip putusan yang bersifat
keadilan restoratif. Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga, pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait
untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
V. KESIMPULAN
Di Indonesia, prinsip kekuasaan kehakiman, sejak awak kemerdekaan telah
diniatkan sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dari lembaga-lembaga politik lainnya.
Niatan tersebut kemudian dirumuskan dan dituangkan dalam Pasal 24 (1) UUD 1945.
Kemudian Pasal 3 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
telah mengamanatkan kepada hakim untuk menjaga kemandirian lembaga peradilan
dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan. Prinsip
kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim, dapat dimaknai
bahwa hakim dalam menjalankan tugas kekuasaan kehakiman tidak boleh terikat dengan
apa pun dan/ atau tertekan oleh siapa pun, tetapi leluasa untuk berbuat apa pun namun
namun berlandaskan pada hukum yang berlaku sehingga keadilan dapat dicapai dengan
baik

SARAN
Di harapkan kedepannya semua hakim selalu memegang semua prinsip tersebut dalam
menangani semua perkara di peradilan agar bisa terwujudnya keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Manan, Bagir, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung: LPPM-
UNISBA1995.

Hadjon, Philipus M.Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press, Cetekan kedelapan, 2002.

MD, Moh. Mahfud. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi Politik dan
Kehidupan Ketatanegaraan, Yogyakarta: Liberty, 1993.

Anda mungkin juga menyukai