Anda di halaman 1dari 6

SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

A. Alquran Sebagai Sumber Hukum Islam

Allah menurunkan Al-Quran kepada umat manusia melalui nabi


Muhammad SAW sebagai kitab suci terakhir untuk dijadikan pedoman
hidup. Al-Quran yang tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya
mengandung petunjuk-petunjuk yang dapat menyinari seluruh isi alam ini.

Sebagai kitab suci sepanjang zaman, Al-Quran memuat informasi dasar


berbagai masalah termasuk informasi mengenai hukum, etika, science,
antariksa, kedokteran dan sebagainya. Hal ini merupakan salah satu bukti
bahwa kandungan Al-Quran bersifat luas dan luwes.

Mayoritas kandungan Al-Quran merupakan dasar-dasar hukum dan


pengetahuan, manusialah yang berperan sekaligus bertugas menganalisa,
merinci, dan membuat garis besar kebenaran Al-Quran agar dapat
dijadikan sumber penyelesaian masalah kehidupan manusia.

Pada zaman Rasulullah, sumber hukum Islam ada dua yaitu Al-Quran dan
As-Sunnah. Rasulullah selalu menunggu wahyu untuk menjelaskan sebuah
kasus tertentu, namum apabila wahyu tidak turun, maka beliau
menetapkan hukum tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal
dengan Hadits.

Sebagai sumber hukum Islam pertama dan utama, Al-Quran berperan


penting dalam rangka penetapan hukum Islam terutama setelah
meninggalnya Rasulullah SAW. Seperti kita ketahui bahwa Al-Quran
merupakan buku petunjuk (hidayah) bagi orang-orang yang bertakwa
yaitu orang-orang yang percaya kepada hal ghaib, yang mendirikan
shalat, yang menginfakkan sebagain rizki mereka, dan yang meyakini
adanya akhirat. Satu hal yang juga disepakati oleh seluruh ummat Islam
dan menjadi pembahasan pokok makalahini ialah kedudukan Al-Quran
sebagai sumber hukum Islam kapanpun dan dimanapun termasuk
seharusnya di Indonesia.

B. Al- Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam

1. PENGERTIAN AL-SUNNAH
Al-Sunnah secara etimologi berarti:


Jalan yang lurus dan berkesinambungan yang baik atau yang buruk[1]
Secara terminologis, para ulama berbeda pendapat dalam memberikan al-Sunnah sesuai
dengan perbedaan dengan keahlian masing-masing. Para ulama Hadits mengatakan bahwa al-
Sunnah adalah:

Setiap apa yang ditinggalkan (diterima) dari Rasul saw berupa perkataan, perbuatan,
ketetapan, akhlak atau kehidupan, baik sebelum beliau diangkat menjadi Rasul maupun
sesudahnya, seperti tahanuts (berdiam diri) yang dilakukan di gua Hira atau sesudah kerasulan
beliau[2]
Para ulama Hadits memberikan pengertian yang luas terhadap al-Sunnah disebabkan
pandangan mereka terhadap Nabi Muhammad saw sebagai contoh yang baik bagi umat
manusia, bukan sebagai sumber hukum. Oleh karena itu, ulama Hadits menerima dan
meriwayatkan al-Sunnah secara utuh atas segala berita yang diterima tentang diri Nabi saw
tanpa membedakan apa-yang diberitakan itu-isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara
ataupun tidak, juga menyebutkan bahwa perbuatan yang dilakukan Nabi sebelum atau
sesudah beliau diangkat menjadi Rasul sebagai Sunnah.

Sedangkan ulama ushul fiqh menjadikan al-Sunnah secara terminology yaitu: Setiap yang
datang dari Rasul saw selain al-Quran, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan
yang dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara.[3]

Melalui definisi diatas dapat disimpulakn bahwa segala sifat, prilaku, dan segalanya yang
bersumber dari Nabi saw dan tidak ada relevansinya dengan hukum syara tidak dapat
dijadikan sebagai al-Sunnah. Karenanya, jumlah al-Sunnah dalam pandangan ulama ushul
sangat terbatas.
Adapu ulama ushul fiqh Syiah menganggap bahwa al-Sunnah berarti ucapan, tindakan,
ketatapan Nabi saw dan para imam. Merujuk kepada Hadits versi mereka: Aku tinggalkan
setelah kepergianku dua hal yang amat berharga kepada kalian untuk merujuk dan Allah
melarangmu jika kalian tidak merujuk kepadanya yaitu Kitab Allah dan Ahlul baitku.[4]
Sunnah dikalangan dilakalangan Syiah bukan hanya dari Rasul (al-Hadits al-nabawi) juga
berasal dari 12 imam mereka (al-Hadits al malawi). Seperti diungkapkan oleh imam ke 6
mereka, Jafar al-Shadiq:

Hadistku adalah Hadits ayahku (Muhammad bin al-Baqir) dan Hadits ayahku adalah Hadits
kakekku (Ali ibn Husein ibn Ali ibn Abi Thalib), dan Hadits kakekku adalah Hadits Husein
(Husein ibn Ali ibn Abi Thalib) dan Hadits Husein adalah Hadits Hasan (Hasan ibn Abi
Thalib) dan Hadits Hasan adalah Hadits Amirul Mukminin (Ali ibn Abi Thalib) dan Hadits
Amirul Mukminin adalah Hadits rasulullah saw, dan Hadits Rasuullah saw pada hakikatnya
berasal dari Allah swt.[5]

C. Ijmak Sebagai Sumber Hukum Islam

1. Pengertian Ijma
Ijma menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut
istilah Kebulatan pendapat semua ulama ijtihad Umat Nabi Muhammd Saw, sesudah
wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum).
Pada masa Rasulullah Saw. masih hidup, tidak pernah dikatakan Ijma dalam
menetapkan suatu hukum, kerena segala persoalan dikembalikan kepada beliau, apabila ada
hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.
Ijma itu dapat terwujud apabila ada empat unsur berikut:
o Ada sejumlah mujtahid ketika suatu kejadian, karena kesepakatan (Ijma) tidak mungkin
ada kalau tidak ada sejumlah ulama mujtahid, yang masing-masing mengemukakan
pendapat yang ada penyelesaian pandangan.
o Bila ada kesepakatan para ulama mujtahid umat islam terhadap hukum syara tentang suatu
masalah atau kejadian pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri, kebangsaan atau
kelompok mereka.
Jadi, kalau ulama mujtahid Makkah, Madihan, Irak, Hijaz saja umpamanya yang
sepakat terhadap suatu hukum syara tidak dapat dikatakan Ijma menurut syara kalau
bersifat regional. Tetapi harus bertahap internasional. Masalah mungkin terjadi Ijma atau
tidak, lain lagi persoalannya, karena ada diantara ulama yang mengatakan mungkin dan
ada pula yang mengatakan tidak mungkin.
o Kesepakatan semua ulama mujtahid itu dapat diwujudakan dalam suatu hukum tidak dapat
dianggapIjma kalau hanya berdasarkan pendapat mayoritas, jika mayoritas setuju,
sedangkan minoritas tidak setuju. Berarti tetap ada perbedaan pendapat.
o Kesepakatan para ulama mujtahid itu terjadi setelah ada tukar menukar pendapat lebih
dahulu, sehinga diyakini betul putusan yang akan ditetapkan.

3. Macam-Macam Ijma
1) Ijma ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
Ijma Sharih; Yaitu para ulama mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap
suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing ulamamujtahid
mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yangmencerminkan
pendapatnya.

Ijma Sukuti: Sebagian ulama mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara
jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum. Dan sebagian yang lain
diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidaknya terhadap pendapat yang
telah dikemukakan.

2) Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu Ijma, terbagi menjadi dua, yaitu:
Ijma qathi, yaitu hukum yang dihasilkan Ijma itu adalah qathi dan diyakini benar
terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang
telah ditetapka berbeda dengan hasil Ijma yang dilakukan pada waktu yang lain.
Ijma dzanni, yaitu hukum yang dihasilkan Ijma, itu adalah dzanni, masih ada kemungkinan
lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil
ijtihad orang lain atau dengan hasil Ijma yang dilakukan pada waktu yang lain.

3) Ditinjau dari segi masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakan terbagi
menjadi lima, yaitu:
Ijma sahabat, yaitu Ijma yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah Saw
Ijma khulafaurrasyidin, yaitu Ijma yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar, Umar,
Utsman, dan Ali bin Abi Thalib
Ijma shaikhan, yaitu Ijma yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar Ibn Khattab
Ijma ahli Madinah, yaitu Ijma yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijmaini
merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut mazhab Maliki, tetapi tidak menurut
mazhab Syafii
Ijma ulama Kuffah, yaitu Ijma yang dilakukan oleh ulama-ulama Kuffah. Mazhab Hanafi
menjadikan Ijma ini sebagai salah satu sumber dalam hukum Islam.

D. Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam

Sumber hukum islam yang ke empat adalah Qiyas yang artinya "Mengukur sesuatu dengan
lainya dan mempersamakanya" adapun Qiyas menurut istilah adalah "Menetapkan sesuatu
perbutan yang belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan sesuatu hukum yang sudah
ditentukan oleh Nash, disebabkan adanya persamaan di antara keduanya".
Kedudukan Qiyas dalam sumber hukum islam
Qiyas menurut para ulama adalah hujjah syariyah yang ke empat setelah Al quran, Hadist
dan Ijma dan para ulama berpegang pada :
1. firman Allah yang artinya : Hendaklah kamu mengambil itibar (ibarat=pelajaran) hai
orang-orang yang berfikiran (QS. Hasyr : ayat2) Karena Itibar artinya
Qiyasusysyaii bisysyai membanding dengan sesuatu yang lain.
2. Berdasarkan hadist yang di riwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dan Turmudzi
sebagai berikut yang arttinya : Sabda Nabi SAW ketika beliau mengutus muadz ra.
Ke yaman,maka Nabi bertanya kepadanya : Dengan apa kamu menetapkan perkara
yang datang kepadamu?. Kata Muadz :Saya memberi keputusan dengan kitab
Allah Nabi bersabda : Kalau kamu tidak mendapatkan pada kitab Allah Muadz
menjawab : Dengan sunah Rasul Nabi bertanya lagi : Kalau pada kitab Allah dan
sunah Rasul tidak kau dapati? Muadz menjawab : Saya berijtihad dengan pendapat
saya dan saya tidak akan kembali.
Kemudian Rasulullah menepuk dadanya (bergirang hati) sambil bersabda :
Alhamdulillah Allah telah memberi taufiq kepada pesuruh Rasulullah sesuai dengan
keridhaan Rasulullah. (HR.Ahmad, Abu Dawud, Turmudzi, yang mereka nyatakan,
bahwa Qiyas itu masuk ijtihad Rayu juga).
3. Sumber hukum islam yang ke empat adalah Qiyas adapun rukun-rukunya adalah :
4. Rukun Qiyas ada empat :
a. Ashal (pangkal) yang menjadi ukuran/tempat menyerupakan (musyabbah
bih=tempat menyerupakan).
b. Farun (cabang),yang di ukur (musyabbah=yang di serupakan).
c. Illat, yaitu sifat yang menghubungkan pangkal dan cabang.
d. Hukum, yang ditetapkan pada Fari sesudah tetap Ashal.

Anda mungkin juga menyukai