(DEF 4274T)
SEMESTER GENAP
ANGGOTA :
TA 2015/2016
SHOCK
1. DEFINISI
Shock merupakan suatu keadaan patofisiologis yang terjadi bila
oxygen delivery (DO2) ke mitokondria sel di seluruh tubuh manusia tidak
mampu memenuhi kebutuhan oxygen consumption (VO2). Sebagai respon
terhadap pasokan oksigen yang tidak cukup ini, metabolisme energi sel
menjadi anaerobik. Shock kardiogenik adalah shock yang terjadi akibat
tidak berfungsinya jantung untuk mengalirkan darah ke jaringan yang
mengakibatkan curah jantung menjadi kecil atau berhenti. Tanda-tanda
klinis dari shock kardiogenik meliputi hipotensi, takikardia, oliguria dan
bagian ekstermitas dingin (Putri, 2014).
2. EPIDEMIOLOGI
Kerjadian shock kardiogenik ini terjadi antara 5 10 % pada pasien yang
mengalami miokard infark akut (MI). Berdasarkan studi dari Worcester
Heart Attack diketahui insiden terjadinya shock kardiogenik ialah 7, 5 %.
Berdasarkan data lain dari Nationwide Inpatient Sample (NIS) diketahui
sebanyak 7, 9 % pasien dengan ST-stegmen Elevation MI atau (STEMI)
mengalami shock kardiogenik. Dimana, kerjadian shock kardiogenik pada
penderita stemi ini paling tinggi terjadi pada STEMI di dinding anterior
jantung 42, 3 %; 38,6 % dinding inferior; dan 19,1 % pada lokasi lainnya.
Sedangkan hanya 3 % pasien dengan non-ST segment elevation
(NONSTEMI) mengalami shock kardiogenik (Roffi et al, 2015).
Di eropa kejadian shock kardiogenik akibat MI terjadi sebanyak
7%, sedangkan di asia dan australia memiliki resiko shock kardiogenik
lebih tinggi yaitu sebesar 11,4 % dibandingkan pasien kulih putih (eropa) 8
%; kulit hitam 6,9 % dan hispanik 8,6 % (Kolte et al, 2014).
Shock kardiogenik umumnya lebih tinggi terjadi pada laki laki
dibanding wanita, akibat peningkatan resiko coronary artery disease
(CAD) pada pria. Berdasarkan data NIS diketahui kejadian shock
kardiogenik pada waita sebesar 8, 5 % dan pada pria sebesar 76 % (Kolte
et al, 2014).
Shock kardiogenik terjadi rata rata pada usia 65 66 tahun, pada
anak shock kardiogenik umunya terjadi akibat miokarditis atau penyakit
jantung kongenital. Berdasarkan data NIS diketahui pasien berusia > 75
tahun lebih berisiko mengalami shock kardiogenik dibanding < 75 tahun
(Kolte et al, 2014).
3. ETIOLOGI
CO = HR x SV
Gambar 4.1.
Hubungan antara preload dengan fungsi ventricular (Smith, 2013).
5. TERAPI NON-FARMAKOLOGI
Terapi mekanik yang digunakan dalam shock kardiogenik meliputi
IABP dan LVAD. IABP lebih tidak invasive jika dibandingkan dengan
LVAD, dan dapat ditempatkan pada katerisasi kardiak laboratorium atau
pada bedside. IABP memiliki keuntungan dengan meningkatkan aliran
koroner, menurunkan after load dan, meningkakan perfusi ginjal tanpa
meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, umumnya pada pasien dengan
CAD. Komplikasi utama pada IABP adalah iskemia limd dan pendarahan.
Penerapan LVAD alternatif utama pada pasien yang sedang menunggu
transplantasi tapi tidak dapat menggunakan terapi yang sudah tersedia.
Banyak bentuk dari LVAD yang tersedia. Pada penatalaksanaan akut,
impella device dan extracorporeal life support menunjukan efektivitas
pada pasien dengan univentricular failure dan biventricular failure atau
kombinasi antara respiratory dan circulatory failure (Baliga and Garrie,
2015).
Untuk mengatasi keterbatasan inotropik dan vasopressor dengan
efek terbatas untuk mempertahankan perfusi yang memadai, mencegah
dan membalikan MODS dukungan sirkulasi untuk meningkatkan
hemodinamik dan hasil pengobatan. Active percutaneous left ventricular
assis devices (LAVD) digunakan pada pasien yang tidak yang tidak
menanggapi pengobatan standar termasuk katekolamin, cairan, intraaortic
balloon pumping (IABP) dan juga mungkin memainkan peran sebagai
pengobatan lini pertama (Thiele et al, 2015).
Intraaortic balloon pumping (IABP) adalah perangkat yang paling
banyak digunakan untuk dukungan mekanik dengan tingkat implantasi
stabil 2007-2011 50 000 per tahun berdasarkan survei nasional di USA.42.
intraaortic balloon pumping (IABP) meningkatkan diastolik dan
menurunkan tekanan endsystolic tanpa mempengaruhi tekanan darah rata-
rata. Berdasarkan studi meta analisis rekomendasi ini merubakan IIb B
pada guideline ESC dan Iia B pada guideline amerika 2013 (Thiele et al,
2015).
Intraaortic balloon pumping (IABP) dapat meningkatkan perfusi
arteri koroner sekaligus menurunkan after load tanpa meningkatkan
konsumsi oksigen miokard sehingga dapat digunakan untuk menstabilkan
pasien dengan shock kardiogenik.kontraindikasi pada penyisipan IABP
adalah pasien dengan Aortic reirgotatopm dan memiliki penyakit
pembuluh darah perifer yang parah (Thiele et al, 2015).
6. TERAPI FARMAKOLOGI
6.1. Inotropik dan Vasopresor
Agen inotropik dan vasopressor akan meningkatkan kontraktilitas
miokardial dan mengubah denyut pembuluh darah dengan mengaktivasi
jalur adrenergik. Agen-agen tersebut antara lain (Nicolau et al., 2014):
a. Dobutamin
Merupakan agonis 1-adrenergik, dengan aktivitas lemah pada 2 dan 1.
Pada pasien yang memiliki gagal jantung, dobutamin akan meningkatkan
detak jantung, stroke volume dan cardiac output (CO) dengan menurunkan
tekanan pengisian pada ventrikel kiri, akan mengurangi tekanan darah, dan
systemic vascular resistance (SVR). Manfaat menggunakan dobutamin
adalah meningkatkan detak jantung kebutuhan konsumsi oksigen di
miokard. Namun memiliki efek takiaritmia, memburuknya miokard infark
dan bisa meningkatkan risiko kematian. Rekomendai dosisnya sebesar 2
hingga 15 g/kg/min dan tidak memerlukan adjustment dosis.
b. Milrinone
Obat ini merupakan golongan inhibitor fosfodiesterase-3 yang mencegah
degradasi cyclic adenosine monophosphate (cAMP). Pada miokard,
peningkatan level cAMP akan mengaktivasi protein kinase A yang akan
memfosforilasi kanal kalsium dan meningkatkan influx kalsium ke dalam
kardiomiosit sehingga meningkatkan kontraktilitas. Milrinone
meningkatkan kebutuhan oksigen miokard tetapi lebih rendah
dibandingkan dobutamine. Dosis yang direkomendasikan sebesar 0,375-
0,75 g/kg/min.
c. Epinefrin
Epinefrin merupakan agonis kuat pada reseptor dan . Agen ini akan
meningkatkan tekanan sistemik dengan efek inotropik posotif, efek
kronotropik positif, dan vasokonstriksi. Epinefrin meningkatkan stroke
volume dan CO serta emenutunkan SVR dengan menstimulasi reseptor 2
pada otor polos skeletal. Selain itu dapat meningkatkan afterloas ventrikel
kanan. Rekomendasi dosis sebesar 0,01-0,03 g/kg/min; dan maksimum
dosis 0,1-0,3 g/kg/min.
d. Norepinefrin
Norepinefrin dan epinefrin perbedaannya pada substitusi metil pada grup
asam amino. Agen ini poten untuk reseptor , dan menstimulasi reseptor
1. Norepinefrin akan meningkatkan tekanan sistemik, pulse pressure,
tahanan perifer, dan stroke volume. Pada praktik klinik, penggunaan
norepinefrin dijadikan lini pertama untuk pasien hipotensi. Dosis yang
direkomendasikan sebesar 0,01-0,03 g/kg/min., dengan dosis maksimun
sebesar 0,1 g/kg/min.
e. Dopamine
Pada dosis rendah (<2 g/kg) menyebabkan vasodilatasi dengan
menstimulasi reseptor dopaminergic pada otot polos dan dengan
menstimulasi reseptor D2, dimana dominan pada splanik dan arteri ginjal;.
Pada dosis sedang (2-5 g/kg/min), akan menstimulasi resptor pada
jantung dan neuron simpatetik di pembuluh darah. Sedangkan pada dosis
tinggi (5-15 g/kg/min), stimulasi dari alfa adrenergic muncul, dengan
arteri perifer dan vena mengalami konstriksi. Efek dari dopamine pada
shock meliputi peningkatan detak jantung (+11%), CO (+40%), stroke
volume (+30%), tekanan ventrikel kiri dan diastole (+2,4 mmHg), dengan
menurunkan SVR (-20%).
f. Fenilefrin
Fenilefrin sedikit berbeda dengan epinefrin pada struktur kimia tetapi
selektif pada reseptor 1. Fenilefrin akan meningkatkan tahanan perifer
dan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah akan mestimulasi
baroreseptor dengan mengaktivasi reflex fagal dengan bradikardi yang
signifikan. Rekomendasi dosisnya sebesar 40-60 g/min.
g. Vasopresin
Pada dosis tinggi akan mengaktifkan otot polos pada pembuluh darah dan
resptor oksitosin, yang akan menyebabkan vasokonstriksi. Agen ini lebih
sering digunakan untuk shock sepsis. Vasopressin dapat mengatasi
hipotensi. Kombinasi dari vasopressin dan milrinone dapat meningkatkan
efek vasodilatasi dari milrinone. Dosis yang direkomendasikan sebesar
0,01-0,04 unit/menit.
6.2. Kombinasi Albumin dengan Furosemid (Lasix)
Pada kondisi pasien dengan keadaan hipoalbuminuria, sering
mengalami resistensi pada furosemide, karena furosemide terikat pada
protein maka akan terjadi penurunan respin terhadap furosemide. Sehingga
untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan rekonstitusi antara albumin
dengan furosemide untuk meningkatkan respon terhadap furosemide.
Kombinasi keduanya kan menginduksi diuresis dan natriuresis pada pasien
edema ataupun hipoalbuminuria. Beberapa studi menyatakan bahwa
penggunaan infus albumin saja akan menginduksi diuresis dan natriuresis
dengan meningkatkan volume intravascular dan neurohormonal teraktivasi
serta system renin angiotensin. Dosis diuretic saja atau kombinasi dengan
diuretic lainnya akan menyebabkan efek metabolic hingga ototoksisitas.
Sehingga adanya alas an ini, maka para klinisi mengkombinasi dosis
sedang diuretic dengan albumin untuk menginduksi diuresis, natriuresis,
dan penurunan berat badan. Pada penelitian retrospektif, dengan subjek
sebanyak 21 orang menerima kombinasi furosemide 1,5 mg/kg dan
albumin 25% mengalami penurunan berat badan 1,2%. Selain itu
penelitian prospektif dengan subjek 14 orang menerima furosemide 2
mg/kg dengan albumin 0,5 g/kg 20% mengalami penurunanan berat badan
dan nyeri abdomen (Duffy et al., 2015).
7. KASUS PRAKTEK FARMAKOTERAPI
PROFIL PENDERITA
Perjalanan penyakit :
Riwayat penyakit :
S : Anamnesa
O : ECHO
TR : Sedang
A. D/ Etiologi HT (+)
D/ anatomi : Cardiomegali
D/ Tambahan : Hiperkalemia.
P. ~ DMK 7
Diagnosa :
Data Klinik :
Suhu oC 36-37 38,5 36,5 36,2 36 37 36,5 36,5 36,1 36,8 37 36,3
RR x/mnt 32?? 24 20 24 20 28 28 20 20 20 20 20
GCS 456 345 345 456 456 456 456 456 456 456 456 456
26/4
RR x/mnt 32 20
GCS 456 456
Data Laboratorium
PTT
PPT 14-18 25,0 39,2
Kontrol +/-2 dtk dari 16,5 16,5
INR 1,64 2,48
APTT
APTT 27-39 33,8 50,4
Kontrol +/-7 dtk dari 33,2 32
K
SGOT U/l L<37, P<31 52
SGPT U/l L<40, P<31
Gula darah acak mg/dl < 200 91 144 66
Kolesterol total mg/dl < 250 - - 116
Asam Urat mg/dl L=3,6-8,5 ; 6,6
P=2,5-7,5
HDL - - -
LDL - - 57
Trigliserida - - 167
Albumin g/dl 3,8 4,4 - - 2,9
BUN mg/dl L=10-20 18 23,2
P=8-23
Kreatinin serum mg/dl L<1,52P<1, 1,1 1,4 1,5
2
Kalium mEq/l 3,8-5,0 5,8 4,1
Natrium mEq/l 136-144 145 134
Klorida mmol/l 97-103 91
Analisa Kimia
Berat jenis 1,0101,025 1,020 1,02
Ph 4,6 8,0 5 5
Leukosit Negatif ++ ++
Nitrit Negatif Positip Negatif
Protein Negatif +++ +++
Glukosa Normal Norma Norma
l l
Keton Negatif NegatifNegatif
Urobilinogen Normal Negatif Norma Norma
l l
Billirubin Negatif Negatif NegatifNegatif
Eritrosit Negatif ++++ ++++
Mikroskopik
Eritrosit 12 / Lpl 56 24 12
Leukosit 12 / Lpl 23 12 01
Epitel 12 / Lpl 12 4-5
Kristal Negatif Negatif
Silindris Negatif Negatif
Haemoglobin Negatif Positif
Sedimen :
Sel darah merah 8-10
Sel darah putih 0-1
Bakteri ++
Widal
Type O/H/A/B Negatif -/-/-/-
Bakteri /jamur Negatif Negatif
Data Laboratorium
8.3 ASSESSMENT
1. Captopril dengan spironolakton termasuk obat dg hemat kalium,
sedangkan pasien pada tanggal 15 nilai kalium nya tinggi sejak tgl 15, bisa
juga karena kedua obat ini yang menyebabkan kadar kaliumnya tinggi .
Tetapi pada penggunaan selanjutanya untuk Captopril dan spironolakton
sudah dihentikan. Hiperkalemianya juga sudah terartasi yang ditunjukkan
bahwa hasil lab nilai K nya sudah normal.
2. Pasien menggunakan warfarin dengan antibiotik quinolon
Ciprofloxacin & Ceftriaxone dapat meningkatkan efek anti koagulannya.
Obat ini termasuk kategori C sehingga harus dimonitoring, kalau waktu
penggunaannya lama dapat mengekibatkan perdarahan memanjang dan
jika pemberiannya kurang juga mengakibatkan efek pengobatannya tidak
bisa tercapai masih terdapat trombus.
3. Simvastatin dan warfarin juga dapat meningkatkan efek anti
koagulan dari vitamin K antagonis warfarin, dan masuk kedalam kategori
C sehingga harus dipantau INR nya.
4. Ketidak sesuaian waktu pemberian obat, yaitu tanggal 17 pasien
mengalami batuk, tetapi baru dikasih fluimucil pada tanggal 18.
Seharusnya diberikan pada tanggal 17. Selain itu ketidak tepatan
pembverian obat Fluimucil untuk batuk pada kondisi pasien ini. Karena
Fluimucil digunakan mukolitik sedangkan pasien mengalami batuk karena
efeksamping dari kaptopril yaitu batuk kering.Jika memang batuk karena
pemberian captopril maka dipantau terlebih dahulu perkembangan batuk
pasien setelah dihentikannya captopril, jika masih batuk maka bia
disarankan Dexometorphan untuk mengatasi batuknya.
5. Ketidak sesuaian waktu pemberian dobutamin. Pada pasien
dobutamin hanya diberikan dua hari, seharusnya pemberian efektif
dobutamin ini selama tiga hari. Fungsinya sebagai vasopressor. Maka
untuk mengetahui efektivitasnya dapat dimonitoring dengan melihat
tekanan darah pasien. Alasan lebih memilih Dobutamin karena jika
dibandingkan dengan obat lain dobutamin memiliki efeksamping
takikardia yang lebih minimal.
6. Shock cardiogenik itu tidak selalu diberikan langsung dobutamin
jika pasien tidak mengalami gagal jantung, sehingga bisa disarankan untuk
makan daging untuk meningkatkan tekanan darah secara alami.
7. Perlu diberikan antibiotik. Karena pada pasien ada proses
pengambilan urin. Tetapi tidak diketahui pengambilan urin itu
menggunakan cateter atau tidak. Jika menggunakan cateter maka ada
kemungkinan terjadi infeksi disaluran kemihnya. Oleh sebab itu
dibutuhkan untuk meminimallkan adanya infeksi karena penggunaan
cateter itu lokal. Untuk pemberian Ceftriaxone bisa saja digunakan untuk
infeksi bakteri gram negatif dan positis, kemudian ciprofloxacin
digunakan untuk infeksi khusus terhadap bakteri gram negatif. Tetapi
disini tidak ada tindak lanjut lagi mengenai kebenaran bakteri apakah gram
positif atau negatif tetapi langsung diganti dari ceftriaxone ke
ciprofloxacine tanpa diketahui pasien benar-benar memakai akteter atau
tidak untuk penampungan urinnya.
8. Tata laksana pemberian albumin kenapa diberikan laxic dalam
bentuk cairan. Sebelum diberikaannya albumin, maka diberikan medikasi
lasix terlebih dahulu. Dimana pemberian lasix ini bertujuan untuk
mencegah adanya fluktuasi cairan yang dapat mengakibatkan udema.
Lasix atau Furosemide merupakan obat yang digunakan untuk membuang
cairan berlebih di dalam tubuh. Cairan berlebih yang menumpuk di dalam
tubuh dapat menyebabkan sesak napas, lelah, kaki dan pergelangan kaki
membengkak. Kondisi ini juga dikenal dengan sebutan edema dan bisa
disebabkan oleh penyakit gagal jantung, penyakit hati dan penyakit ginjal.
9. Pada pemberian Losartan bisa menggantikan captopril selain
sebagai anti hipertensi juga sebagai antiremodelling. Pada literatur yang
ditemukan bahwa antagonis aldosteron memiliki efek reversive
remodelling dengan penggunaan monoterapi candersatan, ataupun terapi
kombinasi candersatan dengan spironolakton.
Antagonis Aldosteron Aldosteron terkait dalam respons vaskular terhadap
radikal bebas, TNF-alfa, dan produksi sitokin lainnya, sementara antagonis
reseptor aldosteron mampu menghambat efek tersebut. Ada peningkatan
prokolagen pro peptida tipe 1 pada sampel darah dari sinus koroner, yang
merupakan fi brosis marker pada penyakit jantung hipertensif. Duprez et al
menemukan korelasi antara indeks ketebalan ventrikel kiri dengan level
serum aldosteron. Setelah infark miokard akut, awal proses remodeling
dapat dihambat dengan penggunaan antagonis reseptor aldosteron sedini
mungkin. Antagonis aldosteron merupakan agen dengan efek antifi brotik
kuat, namun efek antihipertensinya lebih lemah, mampu memperbaiki
fungsi miokard pada pasien dengan disfungsi diastolik. Pasien gagal
jantung yang diterapi dengan ACE inhibitor/antagonis aldosteron, dan beta
blocker, memiliki efek antihipertensi serta terjadi reduksi signifi kan
ketebalan septum interventrikel. Pasien yang diterapi dengan
spironolakton menunjukkan efek blokade renin angiotensin aldosteron
yang paling signifi kan sehingga memperbaiki struktur miokard dan fungsi
dari pasien gagal jantung.Sebuah studi mendapatkan kombinasi
spironolakton dan kandesartan berfungsi reverse remodeling pada pasien
gagal jantung. Blokade oleh dua agen menghasilkan reduksi ukuran
ventrikel kiri secara signifi kan, perbaikan fungsi sistolik, dan mengurangi
hipertrofi ventrikel kiri. Mekanisme kardioprotektif melalui reduksi fi
brosis miokard dan reverse remodeling. Kombinasi terapi spironolakton
dan candesartan pada penelitian binatang juga dapat menurunkan volume
ventrikel kiri dan fi brosis miokard. Selain itu, kombinasi terapi ini
memberikan inhibisi komplit terhadap sistem renin angiotensin aldosteron
(RAAS). Terjadi supresi RAAS dengan terapi jangka panjang beta blocker,
ACE inhibitor, atau ARB namun tidak berlangsung lama. Penggunaan
kombinasi antagonis aldosteron ketika ARB digunakan sebagai
monoterapi terhadap pasien gagal jantung untuk mendapatkan efek reverse
remodeling yang optimal. Monoterapi antagonis aldosteron mampu
menurunkan dimensi akhir diastolik ventrikel kiri dan volume akhir
diastolik ventrikel kiri, sementara terapi kombinasi memberikan efek yang
lebih signifi kan dan memperbaiki fungsi ventrikel kiri. Peningkatan
ekspresi gen tipe I dan III kolagen dapat dihambat oleh keduanya.
Antagonis aldosteron terbukti memperbaiki remodeling ventrikel.
Kombinasi dengan candesartan meningkatkan efek pencegahan fi brosis
ventirikel, hipertrofi , dan perubahan molekuler (Darmadi,2013).
8.4 PLAN
1. Hari pertama masuk rumah sakit suhu badan pasien tinggi 38,5
oleh karenanya dapat di berikan paracetamol
2. Nilai MCV sedikit tinggi menunjukan adanya anemia makrositik.
Sehingga perlu penambahan suplemen penambah darah
3. Nilai GDA yang dibawah 70 dapat ditambahkan infuse dextrose
4. Pemantauan fungsi ginjal karena terjadi peningkatan SGOT dan
nilai BUN
5. Penghentian pemberian antibiotik karena indikasinya kurang sesuai
6. Monitoring penggunaan dobutamin sebagai antihipertensi dan
edukasi penggunaan garam setelah pasien keluar rumah sakit
7. Di beritahukan kepada keluarga ataupun perawat jika penggunaan
simvastatin digunakan pada malam hari
8. Batuk kering yang terjadi pada pasien disebabkan karena
penggunaan ACEI sehingga perlu pemberian obat untuk mengurangi efek
batuk kering, namun penggunaan flumusil kurang sesuai karena flumusil
merupakan agen mukolitik untuk batuk berdahak sedangkan pasien batuk
kering. Penggantian dengan dextrometofan mungkin dapat disarankan.
Namun dextrometofan tunggal sudah tidak ada sehingga mungkin dapat
disarankan penggunaan sediaan panadol yang mengandung dextrometofan.
9. Tatalaksana dan terapetik Albumin dan Diuretik
Albumin sering digunakan untuk meningkatkan respons terhadap diuretik
pada pasien sirosis dengan komplikasi asites. Studi untuk mempelajari
mekanisme ini dilakukan pada mencit dengan analbuminemik yang
menunjukkan volume distribusi furosemid 10 kali lipat dibanding mencit
normal. Penelitian pertama pada pasien sirosis hati dilakukan oleh
Wilkinson dan Sherlock dan dilaporkan dalam jurnal Lanchet tahun 1962
disebutkan bahwa pemberian labumin dan diuretik memberikan perbaikan
keluhan subjektif. Setekah itu terdapat enam penelitian lain yang berkaitan
dengan manfaat pemberian albumin bersama diuretik (Chalasani N,2001).
Cara pemberian albumin (Konsesus FKUI,2003)
Beberapa yang perlu diperhatikan pada pemberian albumin adalah:
1. Kecepatan infus
- Pada infus albumin 20% kecepatan maksimal adalah 1ml/menit
- Pada infus albumin 5% kecepatan maksimal adalah 2-4 ml/menit
2. Pada tindakan parasentesis volume besar (>5 liter)
- Dosis albumin yang diberikan adalah 6-8 gram per 1 liter cairan asites
yang dikeluarkan.
- Cara pemberian adalah 50% albumin diberikan dalam 1 jam pertama
(maksimal 170 ml/jam) dan sisanya diberikan dalam waktu 6 jam
berikutnya
3. Sindrom hepatorenal tipe 1
- Pada keadaan ini albumin diberikan bersama-sama dengan obat-obat
vasoaktif seperti noradrenalin, oktreotid, terlipressin atau ornipressin
- Cara pemberiannya adalah: hari pertama 1 gram albumin/kg BB. Hari
ke dua dan seterusnya: 20-40 gram/hari kemudian dihentikan bila CVP
(Central Venous Pressure)>18 cm H20.
4. Peritonitis bakterialis spontan
- Pada keadaan ini, infus albumin diberikan pada dosis 1,5 g/kg/BB
dengan disertai pemberian antibiotik yang sesuai
- Cara pemberian: infus labumin diberikan pada saat diagnosis PBS
dibuat dan diberikan dalam waktu 6 jam. Pada hari ke tiga infus
albumin diberikan dengan dosis 1 gram/kg BB.
DAFTAR PUSTAKA
Aehlert BJ. 2011. Paramedic Practice Today: Above and Beyond, Volume 1. Jones
& Bartlett Learning LCC. Amerika.
Baliga, R.R. and Garrie J.H., 2015. Management of Heart Failure Volume 1
Second Edition. Springer. London
Chalasani N, Gorski JC, Horlander JC, Craven R, Hoen H, et al.2001. Effect Of
Albumin/Forosemide Mixtures On Responses To Furosemide In
Hypoalbuminemic Patients.J Am Soc Nephrol.12:1010-16.
Darmadi.2013.Patofisiologi dan Tata Laksana Remodeling Kardiak. CDK-208/
vol. 40 no. 9, th.
Duffy, Margaret, Shashank Jain, and Harrell Nicholas. Albumin and Furosemide
Combination for Management of Edema in Nephrotic Syndrome: A
Review of Clinical Studies. Cells. 2015, 4: 622-630.
Ellen LC, Kirkhorn C, Banasik JL. 2013. Pathophysiology. Elsevier Saunders.
Kanada.
Kolte D, Khera S, Aronow WS, et al. Trends in incidence, management, and
outcomes of cardiogenic shock complicating ST-elevation myocardial
infarction in the United States. J Am Heart Assoc. 2014 Jan 13. 3
(1):e000590.
Konsesus FKUI-PPHI.2003.Pemberian Albumin Pada Sirosis Hati.Unit
PPKB/CME FKUI.P.1-6.
Morgan C, Wheeler DS. 2013. Obstructive Shock. The Open Pediatric Medicine
Journal. Vol 7, Hal 35-37.
http://benthamopen.com/contents/pdf/TOPEDJ/ TOPEDJ-7-35.pdf.
Nicolau, Jose nativi, Craig Selzman, and Josef Stehlik. Pharmacologic therapies
for acute cardiogenic shock. Co-cardiology. 2014, 29 (3): 250-257.
Putri, C.P., 2014, Tingkat Pengetahuan dan Sikap Dokter Gigi Terhadap Pasien
Kegawatdaruratan Medis di Praktek Dokter Gigi Kota Medan, Tugas
akhir. Tidak diterbitkan, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Roffi M, Patrono C, Collet JP, et al, for the European Society of Cardiology Task
Force. 2015 ESC Guidelines for the management of acute coronary
syndromes in patients presenting without persistent ST-segment
elevation: Task Force for the Management of Acute Coronary
Syndromes in Patients Presenting without Persistent ST-Segment
Elevation of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J.
2015 Aug 29.
Smith, Kristen A. Cardiogenic Shock. The Open Pediatric Medicine Journal.
2013, 7: 19-27.
Thiele, Holger., E. Magnus O., Steffen D., Ingo E., 2015. European Heart Journal
: Clinical Update : Management of Cardiogenic Shock. University of
Heart Centre Luebeck.USA.
Urden LD, Stacy KM, Loug ME. 2016. Priorities in Critical Care
Nursing.Elsevier Mosby. Kanada.