Anda di halaman 1dari 11

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Histologi Konjungtiva

Konjungtiva berasal dari epitel mukosa ektoderm, merupakan perkembangan/ perluasan dari
daerah mukokutaneus pinggir kelopak mata dengan limbus. Area permukaan konjungtiva
lebih besar dari permukaan kelopak mata dan bola mata serta membentuk lipatan-lipatan.
Lipatan-lipatan tersebut pada fornik dan plika semilunaris. Caruncle adalah jaringan tebal
seperti daging berisi rambut dan kelenjar sebasea terdapat pada bagian medial plika
semilunaris. Kongjungtiva tarsal adalah tempat konjungtiva melekat erat di bawah tarsus
(Budiono Sjamsu, Saleh Taib dkk, 2013).

Konjungtiva adalah membran mukosa yang trasparan dan tipis yang membungkus
permukaan posterior kelopak mata (konjungtivas palpebralis) dan permukaan anterior sklera
(konjungtiva bulbaris). Konjungtiva palpebra melekat erat ke tarsus, ditepi superior dan
inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan
membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbi (Wanudyahati C, Muslimah R,
Dewi G, Ilhamiyati, 2013).

Lapisan epitel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel silindris
veringkatm superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva didekat limbus, diatas caruncula,
dan didekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel
skuamosa bertingkat. Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet yang mensekresi
mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata prekornea secara merata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat
dibandingkan sel-sel superfisial dna didekat limbus dapat mengandung pigmen (Wanudyahati
C, Muslimah R, Dewi G, Ilhamiyati, 2013).

Stroma konjungtiva dibagi menjadi lapisan adenoid (superfisial) dan lapisan fibrosa
(profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan dibeberapa tempat dapat
mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak
berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa
konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papilar bukan folikular dan mengapa kemudian
menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada
lempengan tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiller pada radang konjungtivitis.
Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata (Wanudyahati C, Muslimah R, Dewi G,
Ilhamiyati, 2013).

Kelenjar lakrimal asesoris (kelenjar krause dan wolfring) yang struktur dan fungsinya
mirip kelenjar lakrimal, terletak didalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di
forniks atas, sisanya ada diforniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi atas tarsus atas
(Wanudyahati C, Muslimah R, Dewi G, Ilhamiyati, 2013).

Struktur histologis konjungtiva berbentuk kolumnar bertingkat atau kuboid non


keratinized. Bentuk kolumnar pada umumnya terdapat di tarsus,sedangkan kuboid pada
konjungtiva palpebra dan bulbi. Ketebalan epitel bervariasi dari 2-3 lapis pada tarsus dan
forniks serta 6-9 lapis pada konjungtiva bulbi. Epitel terdiri atas 10% sel goblet yang
memproduksi musin serta kaya karbohidrat. Sel goblet terbanyak pada daerah inferonasal
konjungtiva bulbi dan tarsus konjungtiva. Substantia propia yaitu jaringan fibrovaskuler
terikat longgar di bawah epitel dan membran dasar (basement) pada konjungtiva. CALT
(Conjunctiva associated lymphoid tissue) yaitu matriks ekstraseluler mukosa yang berisi
limfosit dan leukosit lainnya terutama pada forniks. Kelenjar lakrimal asesorius Krause
terletak di stroma berjumlah 40-45 buah pada forniks superior dan 6-8 buah pada forniks
inferior (Budiono Sjamsu, Saleh Taib dkk, 2013).

Konjungtiva bulbi dipasok oleh arteri siliaris anterior yang merupakan cabang dari
arteri oftalmika. Inervasi sensoris dikendalikan oleh cabang-cabang lakrimalis, supraorbita,
supratrokhlear, dan infraorbita dari nervus kranialis V (Budiono Sjamsu, Saleh Taib dkk,
2013).
2.2 Fisiologi Konjungtiva

Sel goblet epitel konjungtiva memproduksi musin yang berbentuk lapisan air mata
bersama akuos dan lipis yang penting untuk stabilitas lapisan air mata dan trasparansi kornea
sebagai prasyarat untuk penglihatan yang bai dan lubrikasi permukaan bola mata. Pada
defisiensi nutrisi, respon konjungtiva meningkatkan sekresi mukus. Konjungtiva mempunyai
potensi yang sangat besar untuk melawan infeksi karena lapisan yang kaya vaskuler,
memiliki berbagai tipe sel yang berperan dalam reaksi pertahanan terhadap keradangan,
memiliki banyak sel imunokompeten yang menghasilkan imunoglobulin, memiliki aktivitas
mikrovili dan enzimatis untuk menetralisasi organisme termasuk virus

Pada keadaan defisiensi nutrisi atau pada keradangan ringan, konjungtiva merespons
dengan meningkatkan sekresi mukos, sedangkan pada keradangan kronis, konjungtiva
mengalami proses skuamous metaplasia yang ditandai dengan keratinisasi yang
menyebabkan jejas pada permukaan mata dan hilangnya sel goblet yang memproduksi mukus
sehingga lapisan air mata tidak stabil. Keduanya menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada
konjungtiva dan sel goblet. Pada keradangan yang parah konjungtiva menjadi ireversibel
selanjutnya terjadi jaringan parut yang menyebabkan pemendekan forniks, simblefaron,
hambatan bola mata, lagoftalmos (Budiono Sjamsu, Saleh Taib dkk, 2013).

2.3 Konjungtivitis

Konjungtivitis adalah suatu keradangan konjungtiva yang disebabkaln oleh bakteri,


virus, jamur, klamidia, alergi atau iritasi dengan bahan-bahan kimia. Penyakit mata ini paling
banyak dijumpai dengan gejala yang bervariasi mulai dari hiperemi ringan dengan mata
berair sampai konjungtivitis berat dengan sekret purulen kental (Wanudyahati C, Muslimah
R, Dewi G, Ilhamiyati, 2013).

2.4 Patofisologi

Konjungtiva selalu berhubungan dengan dunia luar. Kemungkinan terinfeksi dengan


dunia luar sangat besar. Pertahanan konjungtiva terutama oleg tear film yang berfungsi untuk
melarutkan kotoran-kotoran dan bahan-bahan yang toksik kemudian mengalirkan melalui
saluran lakrimalis ke meatus nasi inferior. Selain itu tear film juga mengandung beta lysine,
lysizym, IgA, IgG yang berfungsi untuk menghambat pertmbuhan kuman. Apabila ada
mikroorganisme patogen yang dapat menembus pertahanan tersebut dapat terjadi infeksi
konjungtiva (konjungtivitis) (Wanudyahati C, Muslimah R, Dewi G, Ilhamiyati, 2013).
2.5 Gejala

Keluhan utama dapat berupa mata berair, sensasi benda asing, sensasi terbakar atau
tergores, gatal dan fotofobia dan mata merah. Sensasi benda asing, sensasi terbakar atau
tergores dapat disebabkan karena edema dan hipertrofi papil yang biasanya menyertai
hiperemi konjungtiva (Wanudyahati C, Muslimah R, Dewi G, Ilhamiyati, 2013).

2.6 Tanda- tanda konjungtivitis

Tanda-tanda konjungtivitis adalah hiperemi, mata berair, eksudasi, pseudoptosis,


hipertrofi papilar, kemosis, folikel, pseudomembran dan membran, granuloma dan adenopati
pre-aurikular (Wanudyahati C, Muslimah R, Dewi G, Ilhamiyati, 2013).

2.7 Jenis-jenis Konjungtivitis

Tabel 2.1 Pembedaan jenis-jenis konjungtivitis

Temuan klinis & Virus Bakteri Klamidia Alergi


sitologis
Rasa gatal Minimal Minimal Minimal Minimal
Hiperemia Generalisata Generalisata Generalisata Generalisata
Epifora Banyak Sedang Sedang Minimal
Eksudasi Minimal Banyak Banyak Minimal
Adenopati Sering Jarang Hanya sering Tidak ada
preaurikular pada
konjungtivitis
inklusi
Pewarnaan Monosit Bakteria, PMN PMN, badan Eosinofil
kerokan & inklusi sel
eksudat plasma
Radang Kadang-kadang Kadang-kadang Tidak pernah Tidak pernah
tenggorok &
demam
(Suhardjo dan Hartono, 2012)

2.8 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksan secara langsung dari kerokan atau getah mata setelah bahan tersebut
dibuat sediaan yang dicat dengan pengecatan Gram atau Giemsa dapat dijumpai sel-sel
radang polimorfonuklear, sel-sel mononuklear, juga bakteri atau jamur penyebab
konjungtivitis dapat diidentifikasi dari pengecatan ini. Pada konjungtivitis yang disebabkan
alergi pada pengecatan dengan Giemsa akan didapatkan sel-sel Eosinofil (Yuwono Riyadi S,
2006).

2.4 Konjungtivitis Bakteri

Terdapat dua bentuk konjungtivitis bakteri yaitu akut (termasuk hiperakut dan
subakut) dan kronis. Konjungtivitis bakteri akut biasanya ringan dan dapat sembuh sendiri,
berlangsung selama 10-14 hari (Wanudyahati C, Muslimah R, Dewi G, Ilhamiyati, 2013).

Terdapat dua bentuk konjungtivitis kateri : akut (termasuk hiperakut dan subakut)dan
kronik. Konjungtivitis bakteri akut biasanya jinak dan dapat sembuh sendiri, berlangsung 10-
14 hari. Pengobatan dengan salah satu obat antibakteri yang tersedia biasanya
menyembuhkan dalam beberapa hari. Sebaliknya konjungtivitis hiperakut (purulen) yang
disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae atau N. Meningitidis dapat menimbulkan komplikasi
mata berat bila tidak diobati sejak dini. Konjungtivitis kronik biasanya sekunder terhadap
penyakit palpebra atau obtruksi ductus nasolacrimalis (Eva Riordan R, Whitcher P.J, 2012).

2.4.1 Definisi

Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh bakteri. Pada
konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan mata merah, sekret pada mata dan
iritasi mata ( James Bruce, Chew C et al, 2005).

2.4.2 Epidemiologi

2.4.3 Etiologi

Kuman penyebab terbanyak adalah S. Pneumoniae, S. Aureus, H. Influenza


dan Moraxella catarrhalis. Dapt juga disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae yang dapat
menembus epitel kornea yang intak dan menimbulkan manifestasi yang berat di mata.
Pengobatan dengan salah satu obat antibakteri yang tersedia biasanya sembuh dalam
beberapa hari (Wanudyahati C, Muslimah R, Dewi G, Ilhamiyati, 2013).
Pada Bakteri Hiperakut : penyebab Neisseria gonorrhoeae, N. Meningitidis, N.
Gonorrhoeae subspesies kochii. Pada Bakteri Akut : Pneumococcus (Streptococcus
pneumoniae), Haemophilus aegyptius (basil Koch-Weeks), Pada Bakteri Subakut :
Haemophilus influenza, Pada Bakteri Kronik : Staphylococcus aureus, blefarokonjungtivitis.
Jenis jarang pada bakteri subakut, kronik Streptococci, Proteus, Moraxella (Yuwono Riyadi
S, 2006).

Organisme penyebab tersering Staphylococcus, Streptococcus, Pneumococcus,


dan Haemophilus ( James Bruce, Chew C et al, 2005).

Organisme penyebab tersering adalah :

Konjungtivitis bakteri ( biasanya Gram positif)


Neisseria gonorrhoea. Pada kasus berat dapat menyebabkan perforasi kornea.
Penisilin topikal dan sistemik masing-masing diberikan untuk mengobati penyakit
lokal dan sistemik
Herpes simpleks, yang dapat menyebabkan parut kornea. Antivirus topikal digunakan
untuk mengobati keadaan ini
Klamidia. Penyakit ini dapat menyebabkan konjungtiva kronis dan parut kornea yang
dapat mengancam penglihatan. Salep tetrasiklin topikal dan eritromisin sistemik
masing-masing digunakan untuk mengobati penyakit lokal dan sistemik
( James Bruce, Chew C et al, 2005).
Penyebab antara lain Staphylococcus epidemidis, Staphylococcus aureus, dan
Streptococcus pneumoniae (Suhardjo dan Hartono, 2012).
2.4.4 Patofisiologi Konjungtivitis Bakteri

Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal seperti


streptococci, staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan pada mekanisme
pertahanan tubuh ataupun pada jumlah koloni flora normal tersebut dapat
menyebabkan infeksi klinis. Perubahan pada flora normal dapat terjadi karena adanya
kontaminasi eksternal, penyebaran dari organ sekitar ataupun melalui aliran darah.
Penggunaan antibiotik topikal jangka panjang merupakan salah satu penyebab
perubahan flora normal pada jaringan mata, serta resistensi terhadap antibiotik.
Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang meliputi
konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya adalah sistem imun yang
berasal dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan imunoglobulin yang terdapat pada
lapisan air mata, mekanisme pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya
gangguan atau kerusakan pada mekanisme pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi
pada konjungtiva (Suhardjo dan Hartono, 2012).

2.4.5 Klasifikasi Konjungtivitis Bakteri

Course of Onset Severity Common Organisms


Slow (days to Mild-moderate Staphylococcus aureus
weeks) Moraxella lacunata
Proteus spp
Enterobacteriaceae
Pseudomonas
Acute or subacute Moderate-severe Haemophilus influenza
(hours to days) biotype 111*
Haemophilus influenza
Streptococcus pneumoniae
Stapylococcus aureus
Hyperacute << 24 Severa Neiseria gonorrhoeae
hours Neiseria meningitidis
(Wanudyahati C, Muslimah R, Dewi G, Ilhamiyati, 2013).

2.4.4.1 Konjungtiva Bakteri Akut

Konjungtiva bakteri akut sering dijumpai dan biasanya sembuh dengan


sendirinya. Penyebab tersering adalah H. Influenza, S. Pneumonia, S.aureus dan
moraxell (Budiono Sjamsu, Saleh Taib dkk, 2013).

Pada konjungtivitis ini sering terdapat dalam bentuk epidmik dan disebut
mata merah (pinkeye) oleh kebanyakan orang awam. Penyakit ini ditandai dengan
hiperemi konjungtiva akut dan sekret mukopurulen berjumlah sedang (Eva Riordan R,
Whitcher P.J, 2012).

Gejala : mata merah, ngeres, rasa panas, dan keluar sekret biasanya bilateral,
salah satu mata terkena 1-2 hari sebelumnya. Gambaran Klinis : injeksi konjungtiva
dan reaksi papil pada tarsus, sekret awalnya cair seperti virus, kemudian menjadi
mukopurulen, erosi korna bentuk pungtat banyak terjadi (Budiono Sjamsu, Saleh Taib
dkk, 2013).
Penatalaksanaan : kira-kira 60% kasus membaik dalam lima hari tanpa terapi,
antibiotika sering diberian untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah reinfeksi
(Budiono Sjamsu, Saleh Taib dkk, 2013).

2.4.4.2 Konjungtiva Bakteri Hiperakut

Konjungtiva bakteri hiperakut disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae


yang dapat menginvasi yang intak (Budiono Sjamsu, Saleh Taib dkk, 2013).

Gambaran klinis : edema palpebra dan hiperemi konjungtiva hebat,


eksudat purulen profus membran/pseudomembran, limfodenopati preaurikuler.
Laboratorium pewarnaan gram menunjukkan diplokokus Gram negatif
(Budiono Sjamsu, Saleh Taib dkk, 2013).

Penatalaksanaan : rawat inap bila korna terkena, Topikal gentamicin,


bacitracin, ciprofloxacin tiap jam. Sistemik ceftriaxone 1 g i.m (pasien rawat
jalan), 2x 1 g i.v selama 3 hari untuk pasien rawat inap. Irigasi normal salin
pasa sakus konjungtiva pada kasus berat untuk menghilangkan sel-sel radang
dan debris (Budiono Sjamsu, Saleh Taib dkk, 2013).

2.4.4.3 Konjungtivitis subakut

Paling sering disebabkan oleh H.influenza dan terkadang oleh E.coli


dan spesies proteus. Infeksi H influenza ditandai dengan eksudat tipis, berair,
dan berawan (Eva Riordan R, Whitcher P.J, 2012).

2.4.4.4 Konjungtiva Bakteri Kronis

Konjungtiva bakteri kronis terjadi pada pasien dengan obstruksi duktus


lakrimalis dan dakriosistitis kronis, biasanya unilateral. Juga dapat terjadi pada
blefaritis kronis atau disfungsi kelenjar Meibom (Budiono Sjamsu, Saleh Taib
dkk, 2013).

Konjungtivitis kronis jarang ditemukan pada kasus-kasus.


Konjungtivitis ini disebabkan oeh Maraxella catarrhalis, basil coiform,
proteus dll (Eva Riordan R, Whitcher P.J, 2012).
2.4.6 Manifestasi Klinis

Kejadiannya akut, terdapat hipermia, sensasi benda asing, sensasi terbakar dan sekret
mukopurulen. Fotofobia muncul bila kornea terlibat. Saat bangun tidur mata terasa lengket.
Kejadiaannya bilateral walaupun kedua mata terinfeksi bersamaan. Visus tidak terganggu
pada konjungtivitis (Suhardjo dan Hartono, 2012).

Manifestasi klinis konjungtivitis bakteri berupa hiperemi bilateral, eksudat purulen


dengan palpebra saling melekat saat bagun tidur, kadang-kadang edema palpebra. Infeksi
biasanya mulai pada satu mata dan melalui tangan menular ke mata satunya atau menular ke
orang lain melalui benda yang dapat menyebarkan kuman (Wanudyahati C, Muslimah R,
Dewi G, Ilhamiyati, 2013).

Umumnya bermanifestasi dalam bentuk iritasi dan pelebaran pembuluh darah


(injeksi) bilateral, eksudat purulen dengan palpebra saling melengket saat bagun pagi dan
kadang-kadang edema palpebra. Infeksi biasanya mulai pada satu mata dan melalui tangan
menular ke sebelahnya.

2.4.7 Pemeriksaan Laboratorium

Pada kebanyakan kasus konjungtivitis bakteri, organisme penyebab dapat


diidentifikasi dengan pemeriksaan mikroskopik kerokan konjungtiva atau getah mata yang
dipulas dengan pengecatan Gram atau Giemsa. Pemeriksaan ini menampilkan banyak netrofil
polimorfonuklear (Wanudyahati C, Muslimah R, Dewi G, Ilhamiyati, 2013).

Kerokan konjungtiva untuk semua kasus dan diharuskan jika penyakitnya purulen,
bermembran atau berpseudomembran. Studi sensitivitas antibiotik juga diperlukan, tetapi
terapi antibiotik empiris harus dimulai. Bila hasil uji sensitivitas antibiotik sudah didapatkan,
terapi dengaan antibiotik spesifik dapat diberikan (Eva Riordan R, Whitcher P.J, 2012).s
2.4.8 Diagnosis

2.4.9 Penatalaksanaan

Terapi antibiotik awal biasanya menggunakan tetes mata kloramfenikol (0,5% - 1%) 6
kali sehari minimal diberikan selama 3 hari, atau dapat juga diberikan tetes mata antibiotik
berspektrum luas 6 kali sehari (Suhardjo dan Hartono, 2012).

Pengobatan konjungtivitis bakteri diberikan antibiotik topikal 4-6 kali sehari sampai 1
minggu. Obat yang dapat diberikan antara lain golongan aminoglycosides (gentamicin dan
neomycin), quinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, levofloxacin), polymyxin B, fucidic acid dan
bacitracin. Untuk kasus konjungtivitis gonorrhea diberikan golongan quinolone atau
gentamicin setiap 1-2 jam ditambah dengan antibiotikasistemik (ceftriaxone) (Wanudyahati
C, Muslimah R, Dewi G, Ilhamiyati, 2013).

Pengobatan spesifik tergantung dari identifikasi penyebab. Dua penyebab klasik


konjungtivitis bakteri akut adalah Streptococcus pneumoni dan Haemophyllus aegypticus.
(Wanudyahati C, Muslimah R, Dewi G, Ilhamiyati, 2013).

Pada umumnya konjungtivitis karena bakteri dapat diobati dengan sulfonamide


(sulfacetamide 15%) atau antibiotik (Gentamycin 0,3% Chloramfenikol 0,5%, Polimixin).
Gentamycin dan Tobramycin sering disertai reaksi hipersensitivitas lokal. Penggunaan
aminogliklosida seperti gentamycin yang tidak teratur dan adekuat menyebabkan resistensi
organisme Gram negatif (Yuwono Riyadi S, 2006).

2.4.10 Komplikasi

Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis bateri, kecuali pada pasien
yang sangat muda yang bukan sasaran blefaritis. Parut di konjungtiva paling sering terjadi
dan dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan menghilangkan duktulus kelenjar
lakrimal. Hal ini dapat mengurangi komponen akueosa dalam film air mata prakornea secara
drastis dan juga komponen mukosa karena kehilangan sebagian sel goblet. Luka parut juga
dapat mengubah bentuk palpebra superior dan menyebabkan trikiasis dan entropion sehingga
bulu mata dapat menggesek kornea dan menyebabkan ulserasi, infeksi dan parut pada
kornea(Eva Riordan R, Whitcher P.J, 2012).

2.4.11 Prognosis
Konjungtivitis pada umumnya self limited disease. Artinya dapat sembuh dengan
sendirinya. Tanpa pengobatan biasanya sembuh dalam 10-14 hari. Bila diobati sembuh dalam
1-3 hari. Konjungtivitis karena stafilokokus sering kali menjadi kronis (Yuwono Riyadi S,
2006).

Anda mungkin juga menyukai