Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Makan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk mempertahankan


kelangsungan hidup. Tanpa makan manusia tidak akan dapat memenuhi
kebutuhan gizinya. Motivasi untuk makan timbul apabila terjadi defisit simpanan
nutrisi di tubuh dan akan terpuaskan oleh makanan yang mengisi kembali defisit
simpanan nutrisi yang terjadi (Kurnia, 2008).
Menurut American Psychiatric Association (2005) dalam sebuah artikelnya
yang berjudul Lets Talk Facts About Eating Disorders, dikatakan bahwa
penyimpangan perilaku makan adalah sebuah penyakit dimana si penderita
mengalami gangguan dalam perilaku makan mereka terkait pikiran dan emosinya.
Mereka yang mengalami penyimpangan perilaku makan biasanya sangat
memperhatikan makanan dan berat badannya.
Gangguan makan hadir ketika seseorang mengalami gangguan parah dalam
tingkah laku makan, seperti mengurangi kadar makanan dengan ekstrem atau
makan terlalu banyak yang ekstrem, atau perasaan menderita atau keprihatinan
tentang berat atau bentuk tubuh yang ekstrem. Seseorang dengan gangguan makan
mungkin berawal dari mengkonsumsi makanan yang lebih sedikit atau lebih
banyak daripada biasa, tetapi pada tahap tertentu, keinginan untuk makan lebih
sedikit atau lebih banyak terus menerus di luar keinginan. (American Psychiatric
Association [APA], 2005).
Berbagai penelitian mengenai gangguan makan telah banyak dilakukan dan
menunjukkan hasil yang tidak bisa dianggap sebagai hal yang biasa. Berdasarkan
studi longitudinal yang dilakukan oleh McKnight (2003) di Arizona dan
California diperoleh hasil sebanyak 32 remaja putri (29%) mengalami gangguan
makan (eating disorders). Sebuah studi dalam ANRED (2005) menunjukkan
bahwa sekitar 1% remaja putri menderita anorexia nervosa, artinya sekitar satu
dari setiap seratus remaja putri antara 10 dan 20 melaparkan diri mereka sendiri
bahkan kadang-kadang sampai mati. Sekitar 4% remaja putri menderita bulimia
nervosa, artinya 4 dari seratus remaja putri memuntahkan makanan mereka
dengan sengaja dan sekitar 50% remaja yang menderita anorexia nervosa
berkembang menjadi bulimia nervosa. Disamping itu sekitar 10% remaja putra
menderita anorexia dan bulimia nervosa.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan beberapa pembahasan
mengenai gangguan makan karena beberapa klasifikasi dari gangguan makan
berkaitan dengan perjalanan penyakit serta prognosis pasien. Pembagian
klasifikasi gangguan makan ini memungkinkan pendekatan psikiatrik yang
berbeda pada masing-masing jenisnya, sehingga dapat diberikan terapi yang lebih
efektif dan efisien bagi pasien itu sendiri.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Makan


Gangguan makan adalah suatu penyakit mental yang dapat
menjadikan ancaman serius bagi pola diet seseorang sehari-hari,
seperti makan dalam jumlah yang sangat sedikit atau makan
secara berlebihan (National Institute of Mental Health, 2011).
Kondisi ini dapat dimulai dari hanya makan terlalu sedikit atau
terlalu banyak tetapi memiliki obsesi pada makanan selama
kehidupan seseorang yang mengarah pada perubahan yang
parah. Selain pola makan abnormal yang berbahaya dan adanya
kekhawatiran tentang berat badan atau bentuk tubuh, gangguan
ini seringkali terjadi bersama dengan penyakit mental lainnya
seperti depresi, penyalahgunaan zat, atau gangguan kecemasan
(National Institute of Mental Health, 2011).
Dalam Diagnostic and Statistical Mental Disorders-IV (DSM-
IV) terdapat tiga jenis gangguan makan yang memiliki kriteria dan
ciri khusus yaitu anorexia nervosa, bulimia nervosa, dan binge
eating disorders. Namun ada satu lagi kondisi dimana terlihat
sangat mirip dengan ketiga jenis gangguan makan di atas tapi
secara keseluruhan tidak memenuhi kriteria yang ada, gangguan
makan ini dinamakan Eating Disorders Not Otherwise Specified
(EDNOS) (Sigman, 2003 dalam Erdianto, 2009). Gangguan makan
sering muncul selama masa remaja atau dewasa muda tetapi juga
bisa muncul selama masa kanak-kanak. Terdapat 2 tipe gangguan
makan yang sangat umum dan sering terjadi di kalangan remaja
yakni anorexia nervosa dan bulimia nervosa.
2.2 Anoreksia Nervosa
2.2.1 Definisi
Davison et al., (2010) menjelaskan anorexia nervosa
berasal dari istilah anorexia yang berarti hilangnya selera
makan, dan nervosa yang berarti hilangnya selera makan
tersebut dengan memiliki sebab emosional. Istilah tersebut
tidak tepat karena sebagian besar penderita anorexia
nervosa secara aktual tidak kehilangan selera makan. Secara
kontras, seraya melaparkan diri, sebagian besar penderita
menjadi sibuk dengan urusan makanan, mereka dapat
membaca buku-buku masakan secara konstan dan
menyiapkan aneka makanan untuk keluarga mereka.
Krummel dan Penny (1996) menjelaskan istilah Anorexia
berasal dari bahasa Yunani, a kata depan untuk negasi dan
orexis nafsu makan sehingga anorexia berarti hilangnya
atau tidak adanya nafsu makan. Anorexia nervosa adalah
sindrom dimana seseorang dengan sengaja melaparkan
dirinya untuk menjadi kurus, dan mengalami penurunan
berat badan yang sangat drastis (Davison et al., 2010).
Anorexia nervosa juga merupakan sindrom dimana
seseorang mempertahankan berat badannya agar tetap
rendah dan biasanya mereka takut akan mengalami
kegemukan dan cenderung mempertahankan berat badan
agar tetap kurus. Pada penderita anorexia nervosa, berat
badan dipertahankan setidaknya 15% dibawah berat badan
normal dan pada dewasa dengan IMT dibawah 17,5 kg/m 2
(National Collaboration Centre for Mental Health, 2004).
Anorexia nervosa adalah gangguan makan yang berkaitan
erat dengan terganggunya keadaan kejiwaan seseorang
(Syafiq dan Tantiani, 2013). Sedangkan Berk (2005) dalam
buku nya menyebutkan anorexia nervosa adalah gangguan
makan yang tragis dimana anak-anak muda sengaja
melaparkan diri mereka karena takut akan
mengalami kegemukan.
Menurut DSM-IV, anorexia nervosa (AN) dimaksudkan dengan
keengganan untuk menetapkan berat badan kira-kira 85% dari yang
diprediksi, ketakutan yang berlebihan untuk menaikkan berat badan,
dan tidak mengalami menstruasi selama 3 siklus berturut-turut.
(American Psychiatric Association (APA), 1994).
AN terbagi kepada dua jenis. Dalam jenis restricting-tye
anorexia, individu tersebut menurunkan berat badan dengan berdiet
sahaja tanpa makan berlebihan (binge eating) atau muntah kembali
(purging). Mereka terlalu mengurangi konsumsi karbohidrat dan
makanan mengandung lemak. Manakala pada tipe binge-
eating/purging, individu tersebut makan secara berlebihan kemudian
memuntahkannya kembali secara segaja (Duvvuri dan Kaye, 2009).
Menurut Turnbull et al. (1996) dalam Lewinsohn et al. (2000)
kejadian tertinggi AN terjadi pada wanita berusia 10 sampai dengan
19 tahun karena pada usia ini, mereka rentan terhadap perubahan dan
lebih terpapar dengan dunia luar.
2.2.2 Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi AN tidaklah diketahui tetapi kemungkinan melibatkan
kombinasi psikologis, biologis dan faktor risiko kultural. Faktor risiko
seperti penderaan seksual atau fisik, dan riwayat keluarga yang
mengalami gangguan mood, adalah salah satu faktor risiko
nonspesifik yang meningkatkan kecenderungan kepada gangguan
psikiatris, termasuklah AN (Walsh, 2008). Menurut Nicholls (2005),
bagi sesetengah orang muda, perilaku makan seperti berdiet yang
dilakukan semasa usia remaja dapat menyebabkan masalah makan
yang lebih serius.
2.2.3 Gambaran klinis
Apabila memeriksa pasien dengan AN, adalah sangat penting
untuk memperoleh informasi tentang tanda vital seperti denyut
jantung dalam posisi tidur dan berdiri, tekanan darah dan suhu tubuh,
memeriksa kekeringan kulit dan ekstremitas, informasi sirkulasi
termasuklah adanya bradikardia dan aritmia, informasi mengenai
kesehatan pencernaan, dan informasi tentang sistem saraf pusat yang
boleh menyebabkan penurunan berat badan dan muntah (Tsuboi,
2005). Komplikasi fisik termasuklah gangguan pada setiap sistem
organ, yang kebanyakannya dikenal sebagai akibat malnutrisi berat
atau fluktuasi cepat dalam elektrolit semasa kelaparan, dan muntah.
Individu tersebut juga mungkin mengalami palpitasi, pusing, sesak
nafas dan nyeri dada (Abraham dan Stafford, 2004). Mengenai efek
AN pada sistem kardiovaskular, menurut Crooke dan Chambers
(1995) dalam Tsuboi (2005), AN menyebabkan prolaps katup mitral,
interval QT yang memanjang, dan gagal jantung. Rambut yang halus
kadang-kadang dapat terjadi, dan alopesia juga kelihatan. Motilitas
gastrointestinal menurun, menyebabkan perlambatan pengosongan
lambung dan konstipasi (Walsh, 2008). Menurut Mehler (2001) dalam
Tsuboi (2005), lebih dari 90% pasien dengan AN mengalami
amenorrea sekunder akibat malnutrisi kronis.
Sebagai akibat dari nutrisi buruk, gangguan endokrin yang
melibatkan aksis hipotalamus-pituitari-gonad timbul, bermanifestasi
pada wanita yaitu amenorrea dan pada laki-laki yaitu kurangnya minat
berseksual dan kurangnya kesuburan. Pada anak-anak yang
prapubertas, terjadi pubertasnya yang terlambat dan perkembangan
dan pertumbuhan fisiknya terganggu (National Collaborating Centre
for Mental Health (NCCMH), 2004). Gejala metabolik lainnya,
seperti lelah dan intoleransi terhadap kedinginan juga disebabkan oleh
gangguan aksis hipotalamus-pituitari-gonad (Abraham dan Stafford,
2004). Selain itu, resiko untuk mengalami fraktur tulang berkaitan
juga dengan pasien dengan AN karena besar dan densitas mineral
tulang yang berkurang (Karlsson et al.,2000).
Kadar serum leptin dalam AN yang tidak ditangani adalah
rendah (Eckert et. al 1998). Pada AN juga dijumpai peningkatan kadar
kortisol dan kegagalan deksametason untuk mensupresinya. Kadar
thyroid-stimulating hormone (TSH) adalah normal, tetapi kadar
tiroksin dan triiodotironin adalah rendah (Abraham dan Stafford,
2004). Growth hormone meningkat, tetapi insulin-like growth factor 1
(IGF-1) yang diproduksi oleh hati, menurun.
Pada pasien dengan tipe tertentu AN, sering dilihat terjadi
peningkatan kadar serotonin otaknya. Hal ini menyokong hipotesis
bahwa kadar serotonin otak yang tinggi dapat menyebabkan perbuatan
kompulsif, atau mungkin menginhibisi pusat selera (Tsuboi, 2005).
2.2.4 Diagnosis
Diagnosa AN adalah berdasarkan karakteristik perilaku,
psikologis dan fisiknya. Kriteria diagnostik yang digunakan secara
meluas ialah dari American Psychiatry Association (APA, 2004),
melalui DSM-IV. Kriteria ini termasuklah :
1. Ketakutan berlebihan untuk meningkatkan berat badan atau
menjadi gemuk.
2. Keengganan untuk menetapkan berat badan pada atau di atas
berat normal yang minimal sesuai umur dan ketinggian
tubuhnya.
3. Distorsi pandangan tubuh (merasakan dirinya terlalu gemuk
walaupun dirinya telah underweight).
4. Tidak mengalami menstruasi (amenorrea) selama sekurang-
kurangnya 3 siklus berturut-turut.
2.2.5 Dampak
Sekalipun gangguan makan bersifat kejiwaan namun
dampaknya sangat kuat berhubungan dengan gizi. Tanda
pertama pada penderita anorexia nervosa adalah terjadinya
penurunan beruntun berat badan, simpanan lemak dan otot,
proses pertumbuhan, laju metabolisme, suhu tubuh, dan
pengeluaran energi. Penurunan lemak tubuh akan
menyebabkan menurunnya suhu tubuh dan akhirnya
intoleran terhadap dingin (Grosvenor, 2002 dalam Syafiq dan
Tantiani, 2013).
Terdapat banyak dampak negatif bagi penderita
anorexia nervosa. Depresi adalah diagnosis komorbiditas
umum pada penderita anorexia nervosa sebesar 63 persen
di beberapa studi (Herzog et al., 1992 dalam National
Collaboration Centre for Mental Health , 2004), sedangkan
ditemukan gangguan obsesif-kompulsif (OCD) sebesar 35
persen pada penderita anorexia nervosa (Rastam, 1992
dalam National Collaboration Centre for Mental Health ,
2004). Anorexia nervosa memiliki dampak diantaranya
dehidrasi, depresi, hiponatremia, otot mengalami atrofi,
penyakit jantung, bradikardia, kerusakan otak, dan lebih
parah nya dapat mengalami kematian (Eating Disorders
Venture, 2006).
Anorexia nervosa merupakan sebuah gangguan yang
mengancam jiwa, angka kematian sepuluh kali lebih besar
pada para pasien yang menderita gangguan tersebut
dibanding pada populasi umum dan dua kali lebih besar
dibanding pada para pasien yang menderita berbagai
gangguan psikologis lain. Kematian paling sering disebabkan
oleh komplikasi fisik penyakit tersebut, contohnya sesak
nafas karena gagal ginjal dan bunuh diri (Herzog dkk., 2000;
Sullivan, 1995 dalam Davison et al., 2010). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Scott et al (2009) angka
kematian kasar untuk anorexia nervosa sebesar 4% dan
untuk bulimia nervosa sebesar 3,9% serta untuk Eating
Disorder Not Otherwise Specified (EDNOS) sebesar 5,2%.
2.2.6 Terapi
Terdapat beberapa indikasi pasien dengan AN yang perlu
dirawat inap di rumah sakit, antara lain ialah berat badan kurang
daripada 75% daripada berat badan ideal, walaupun pemeriksaan
darah rutin dalam batas normal. Untuk pasien yang berat badannya
sangat kurang, kalori yang cukup (kira-kira 1200-1800 kkal/hari)
perlu diberi dalam hidangan sehari-hari dalam bentuk makanan atau
suplemen cairan untuk meningkatkan berat badan dan menstabilkan
keseimbangan cairan dan elektrolit (Walsh, 2008).
Konseling gizi juga membantu untuk menetapkan berat badan
sehat dan memperlengkapkan pasien dan keluarga tentang diet sehat
dan risiko jangka pendek dan jangka panjang akibat gangguan makan
(Abraham dan Stafford, 2004).
Keterlibatan keluarga dalam penatalaksanaan AN pada remaja
telah menjadi komponen standar, walaupun pengobatan utamanya
lebih kepada mengembalikan nutrisi di rumah sakit dan psikoterapi
individu atau konseling. Walaupun sebagian besar pasien dengan AN
perlu dirawat inap, peran keluarga juga memainkan peranan penting
dalam pengobatan yang efektif (Eisler, et al., 2005).
Pengobatan dengan olanzapin ternyata meningkatkan berat
badan dan selera makan pada pasien AN, dan mengubah persepsi diri
tentang gambaran tubuhnya. Mereka akan memikirkan bahwa mereka
lebih normal dan matang (Jensen dan Mejlhede, 2000).
2.2.7 Prognosis
Mortalitas merupakan risiko pada pasien dengan AN,
disebabkan oleh percobaan bunuh diri atau komplikasi dari gangguan
makan yang kronis. Risiko mortalitas telah menurun sepanjang 25
tahun ini dengan pengobatan dan identifikasi dini AN. Kira-kira 25%
tetap simptomatik. Proses penyembuhan berlangsung lama, bisa 2
tahun dari onset AN (Abraham dan Stafford, 2004).
Terdapat juga pasien dengan AN beralih kepada jenis gangguan
makan lain, seperti bulimia nervosa dan binge-eating disorder,
menunjukkan terdapat hubungan antara gangguan makan tersebut
(NCCMH, 2004).
Gangguan makan dapat berakibat fatal akibat dari defisiensi
nutrisi yang berkelanjutan. Pasien dengan gangguan makan kadang
kala mencoba untuk membunuh diri atau menghindari kegiatan
sosialnya. Perlu ditekankan bahawa gangguan ini tidak hanya
mengganggu perilaku makan, tetapi juga mendatangkan akibat pada
fisik, psikologis dan aspek sosial pasien (Tsuboi, 2005).

2.3 Bulimia Nervosa


2.3.1 Definisi
Bulimia nervosa adalah gangguan makan yang
berhubungan erat dengan anorexia nervosa dan hadir
dengan serangkaian perilaku yang cukup mengganggu
penderitanya. Berbeda dari penderita anorexia nervosa yang
umumnya memiliki berat badan jauh dibawah normal,
penderita bulimia nervosa memiliki berat badan yang normal
bahkan sampai berlebih (Read, 1997 dalam Syafiq dan
Tantiani, 2013).
Davison et al., (2010) menjelaskan bulimia berasal dari
bahasa Yunani yang berarti lapar seperti sapi jantan.
Gangguan ini mencakup episode konsumsi sejumlah besar
makanan secara cepat, diikuti dengan perilaku
kompensatori, seperti muntah, puasa atau olahraga
berlebihan, untuk mencegah bertambahnya berat badan.
DSM mendefinisikan makan berlebihan sebagai makan
makanan dalam jumlah yang sangat banyak dalam waktu
kurang dari 2 jam.
Pada penderita bulimia nervosa cenderung tidak
mengungkapkan perilaku mereka untuk mencari pengobatan
namun lebih cenderung melakukannya dibanding penderita
anorexia nervosa (National Collaboration Centre for Mental
Health, 2004). Pada penderita bulimia nervosa, makan
berlebihan biasanya dilakukan secara diam-diam, dapat
dipicu oleh stress dan berbagai emosi negatif yang
ditimbulkannya dan terus berlangsung hingga orang yang
bersangkutan merasa sangat kekenyangan (Grillo, Shiffman,
& Carter-Campbell, 1994 dalam Davison et al., 2010).
Setelah selesai makan berlebihan, rasa jijik, rasa tidak
nyaman, dan takut bila berat badan bertambah memicu
tahap kedua bulimia nervosa, pengurasan untuk
menghilangkan efek asupan kalori karena makan berlebihan.
Paling sering dengan cara memasukkan jari-jari mereka ke
tenggorokan agar tersedak, namun setelah satu waktu
banyak yang dapat muntah bila menghendakinya tanpa
harus membuat diri mereka tersedak. Penyalahgunaan obat-
obat pencahar dan diuretik (yang tidak banyak membantu
menurunkan berat badan) serta berpuasa dan olahraga
berlebihan juga dilakukan untuk mencegah penambahan
berat badan (Davison et al., 2010).
Bulimia nervosa (BN) ditandai dengan episode berulang makan
berlebihan (binge eating) dan kemudian dengan perlakuan
kompensatori (muntah, berpuasa, beriadah, atau kombinasinya).
Makan berlebihan disertai dengan perasaan subjektif kehilangan
kawalan ketika makan. Muntah yang dilakukan secara sengaja, dan
beraktifitas secara berlebihan, serta penyalahgunaan pencahar,
diuretik, amfetamin dan tiroksin juga boleh terjadi (NCCMH, 2004).
DSM-IV mengklasifikasikan BN kepada dua bentuk yaitu
purging dan nonpurging. Pada tipe purging, individu tersebut
memuntahkan kembali makanan secara sengaja atau
menyalahgunakan obat pencahar, diuretik atau enema. Pada tipe
nonpurging, individu tersebut menggunakan cara lain selain cara yang
digunakan pada tipe purging, seperti berpuasa atau beriadah secara
berlebihan (APA, 1994).
2.3.2 Etiologi dan Faktor Resiko
Faktor risiko untuk terjadinya BN antara lain ialah faktor
familial seperti obesitas pada orang tua, gangguan afek, dan kritikan
dari keluarga tentang berat badan atau kebiasaan makan. Terdapat juga
kerentanan genetik pada anak kembar untuk mengalami BN tetapi
bagaimana hal ini terjadi tidak begitu jelas (Abraham dan Stafford,
2004).
2.3.3 Gambaran Klinis
Komplikasi fisik BN termasuk kelelahan sebagai akibat
dehidrasi, gangguan pencernaan yang disebabkan oleh muntah dan
penyalahgunaan pencahar, menstruasi yang tidak teratur dan masalah
gangguan kesuburan, dan masalah jantung yang diakibatkan oleh
penyalahgunan ipecac (Abraham dan Stafford, 2004). Perlu diberi
perhatian jika terdapat pembengkakan kelenjar liur yang disebakan
oleh muntah-muntah dan erosi enamel yang diakibatkan oleh
regurgitasi asam lambung (Tsuboi, 2005).
Disebabkan oleh perbuatan muntah yang berulang, individu
tersebut mengalami ketidakseimbangan elektrolit seperti, hipokalemia,
hipokloremia, dan hiponatremia, dan juga boleh menyebabkan
alkalosis. Penggunaan pencahar yang berulang boleh menyebabkan
asidosis metabolik yang ringan (Walsh, 2008).
Gangguan mood adalah sering pada pasien dengan BN.
Kecemasan (anxiety) dan tegang (tension) sering dialami (NCCMH,
2004). Kebanyakan pasien dengan BN mengalami depresi ringan dana
sesetengah mengalami gangguan mood dan perilaku yang serius
seperti cobaan membunuh diri dan penyalahgunaan alkohol dan obat-
obatan terlarang. Biasanya, pasien dengan BN merasa malu dengan
perbuatannya sendiri dan cenderung untuk merahasiakannya daripada
keluarga dan teman-teman. (Walsh, 2008).
2.3.4 Diagnosis
Diagnosis BN menggunakan kriteria diagnostik yang
dikemukakan oleh DSM-IV. Kriteria diagnostik BN ialah;
1. Episode makan berlebihan yang berulang yang
dikarakteristikkan dengan konsumsi sejumlah besar makanan
dalam waktu yang singkat (selalunya kurang daripada 2 jam)
dan perasaan untuk makan tidak terkontrol.
2. Perilaku kompensasi makan berlebihan yang berulang, seperti
memuntahkan kembali, penggunaan pencahar, berdiet keras atau
berpuasa secara berlebihan sebagai melawan perbuatan makan
berlebihan.
3. Perbuatan 1 dan 2 telah berlangsung sebanyak sekurang-
kurangnya 2 kali/minggu selama sekurang-kurangnya 3 bulan.
4. Perhatian yang berlebihan terhadap bentuk dan berat badan.
2.3.5 Dampak
Bulimia nervosa biasanya terjadi pada akhir masa
remaja atau awal masa dewasa. Sekitar 90% kasus terjadi
pada perempuan dan prevalensi pada kaum perempuan
diperkirakan sekitar 1- 2% dari populasi (Gotesdam & Agras,
1995 dalam Davison et al., 2010). Bulimia nervosa memiliki
dampak bagi tubuh seperti dijelaskan dalam sebuah studi
bahwa subyek dengan riwayat bulimia nervosa memiliki
penurunan yang signifikan terhadap suasana hati (mood),
peningkatan kepedulian terhadap citra tubuh dan kehilangan
kontrol makan setelah campuran tryptophan bebas (Fairburn
et al., 1999).
Dampak bulimia nervosa bervariasi menurut tingkat
keparahan kondisi dan perilaku pederita. Dampak umum
yang biasanya terjadi diantaranya yaitu (McClain, 1993
dalam Syafiq dan Tantiani, 2013) :
1. Depresi, kondisi ini dihubungkan dengan bulimia
nervosa walaupun perilaku ini bukanlah satu-satunya
penyebab.
2. Lemah, terjadi akibat ketidakcukupan atau pola makan
yang tidak teratur atau dehidrasi atau
ketidakseimbangan asam lambung karena seringnya
muntah atau penyalahgunaan pencahar.
3. Dehidrasi atau ketidakseimbangan asam lambung,
terjadi karena penderita muntah secara terus-menerus
atau sebagai hasil dari diare
4. karena penggunaan laksatif secara berlebihan.
2.3.6 Terapi
Untuk mengurangi dan mengeliminasi perilaku makan/muntah,
individu tersebut perlu menjalani kaunseling gizi dan psikoterapi,
terutama terapi perilaku kognitif (cognitive behavioral therapy (CBT))
atau diberi pengobatan seperti antidepresan seperti fluoksetin, yang
merupakan satu-satunya obat yang dibenarkan oleh Food and Drug
Administration untuk mengobati BN (NCCMH, 2004).
CBT merupakan pengobatan psikologis jangka pendek (4-6
bulan) yang berfokus pada perhatian berlebihan pada bentuk dan berat
badan, diet yang persisten dan perilaku makan/muntah yang
menggambarkan gangguan ini (Walsh, 2008).
2.3.7 Prognosis
Prognosis BN lebih baik daripada prognosis AN. Mortalitas
yang rendah, dan penyembuhan sempurna bisa terjadi pada 50%
dalam masa 10 tahun. Kira-kira 25% pasien mengalami simptom BN
yang persisten dan ada yang beralih dari BN menjadi AN.

2.4 Binge-eating Disorder


2.4.1 Definisi
Binge eating artinya mengkonsumsi makanan yang
banyak dalam periode waktu yang singkat. Episode binge
sering timbul pada waktu yang sama setiap hari atau timbul
sebagai akibat rangsangan emosional seperti depresi, jemu,
atau marah dan kemudian diikuti oleh periode puasa
berkepanjangan (Soetjiningsih, 2004).
Menurut DSM-IV, kriteria binge-eating disorder (BED)
memerlukan komponen episode makan berlebihan, sama seperti BN,
tetapi yang membedakan BED dengan BN ialah BED tidak
melibatkan perbuatan untuk melawan perilaku makan berlebihan,
seperti memuntahkan kembali makanan, penggunaan pencahar dan
beriadah berlebihan (APA, 1994).
2.4.2 Etiologi dan Faktor Resiko
Obesitas semasa kecil dan orang tua yang mengalami obesitas
merupakan faktor risiko spesifik untuk terjadinya BED, dan BED
berkaitan dengan kelainan genetik yang sangat jarang, yaitu mutasi
pada gen untuk reseptor melanokortin 4 (Abraham dan Stafford,
2004).
2.4.3 Gambaran Klinis
Komplikasi fisik BED termasuk peningkatan berat badan, dan
ruptur lambung (jarang) (Abraham dan Stafford, 2004). Individu
dengan BED juga mengalami rasa bersalah, malu dan tertekan akan
perilaku makannya, yang dapat mengakibatkan keadaan perilaku
makannya lebih buruk (NCCMH, 2007).
2.4.4 Diagnosis
Diagnosis BED menggunakan kriteria diagnostik yang
dikemukakan oleh DSM-IV. Kriteria BED termasuk:
1. Episode makan berlebihan yang berulang, seperti BN.
2. Episode makan berlebihan yang lebih cepat daripada biasa,
makan hingga perut terasa terlalu penuh, makan sejumlah besar
makanan walaupun tidak merasa lapar, makan sendirian karena
merasa malu dengan jumlah makanan yang dikonsumsinya,
dan/atau merasa jelek terhadap diri sendiri, depresi, dan rasa
bersalah selepas makan.
3. Rasa tertekan terhadap perbuatan makan yang berlebihan.
4. Perilaku makan tersebut berlaku sekurang-kurangnya 2
hari/minggu selama 6 bulan.
5. Perilaku makan tersebut tidak diikuti dengan perbuatan
kompensatori untuk melawan balik perilaku makan itu (APA,
1994).
2.4.5 Dampak
Penderita binge eating disorder cenderung mengalami
overweight. Hal ini akan menyebabkan komplikasi bagi
kesehatan tubuhnya. Seperti terjadinya depresi, kecemasan,
kepanikan, penyalahgunaan obat-obatan, tekanan darah
tinggi, diabetes tingkat II, penyakit jantung, stroke, dll
(Proverawati, 2010 dalam Santi, 2012). Binge eating disorder
dapat menyebabkan terjadiya rupture gastric atau
esophagus dan obesitas (Ung,
2005 dalam Hapsari, 2009)
2.4.6 Terapi
Tujuan terapi pada pasien dengan BED ialah untuk megurangi
perilaku makan berlebihan tersebut, memperbaiki simptom gangguan
mood dan rasa cemas yang berkaitan dengan ED, dan mengurangi
berat badan pada individu yang juga mengalami obesitas. Terapi
psikologis seperti cognitive behavioral therapy dan farmakologis
bukan saja efektif mengobati BN tetapi berguna untuk mengurangi
frekuensi makan padan pasien dengan BED dan memperbaiki
gangguan mood (Kay dan Tasman, 2006).
2.4.7 Prognosis
BED mempunyai kadar remisi yang tinggi, walaupun tanpa
pengobatan. Juga tidak ada kecenderungan untuk BED beralih ke tipe
gangguan makan yang lain (Abraham dan Stafford, 2004).

2.5Eating Disorders Not Otherwise Specified (EDNOS)


2.5.1 Definisi
Eating Disorders Not Otherwise Specified (EDNOS)
merupakan kategori gangguan makan yang sangat luas
dimana penderitanya hanya memiliki sebagian sindrom dari
kriteria anorexia nervosa atau bulimia nervosa. Sekitar 50%
penderita gangguan makan masuk kedalam kategori
EDNOS (Wardlaw&Hampl, 2007 dalam Erdianto 2009)
2.5.2 Etiologi dan Faktor Resiko
2.5.3 Gambaran Klinis

Karakteristik EDNOS menurut Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders IV (DSM-IV) (McComb,2001) adalah :
1. Pada wanita, semua kriteria anorexia nervosa kecuali wanita yang masih
mengalami menstruasi secara teratur.
2. Orang yang mengalami semua kriteria anorexia nervosa meskipun berat
badannya turun drastis namun masih dalam batas yang normal.
3. Orang yang memenuhi kriteria bulimia nervosa kecuali orang yang frekuensi
binge eating dan mekanisme pengkompensasiannya pada frekuensi kurang
dari 2 kali dalam seminggu atau selama durasi kurang dari 3
bulan.

Melakukan pengkompensasian setelah memakan sedikit makanan ( contoh:


tidak melakukan binge eating (makan dalam jumlah besar) namun melakukan
pemuntahan. Hal ini biasa dilakukan pada individu dengan berat badan yang
normal.
5. Mengunyah dan menikmati rasa makanan dalam jumlah besar namun tidak
menelannya.

Ada hal yang perlu diingat yaitu karakteristik penderita EDNOS dapat
menjadi sangat subjektif, tergantung dengan kondisi yang sebenarnya. Contoh,
jika seseorang mengalami episode bingeing dan purging sesuai dengan ambang
batas yang ditetapkan DSM-IV namun tidak memiliki perhatian yang berlebihan
terhadap berat badan dan bentuk tubuh (berat badan dan bentuk tubuh bukan
merupakan alat evaluasi diri) maka ia lebih cocok digolongkan dalam EDNOS
bukan bulimia nervosa (Tiemeyer, 2007).

2.5.4 Diagnosis
Menurut DSM-IV terdapat beberapa kriteria diagnosis
penderita EDNOS yaitu (Wardlaw&Hampl, 2007 dalam
Erdianto 2009) :
1. Seorang perempuan yang memenuhi semua kriteria
anorexia nervosa tetapi masih mengalami menstruasi
secara normal.
2. Seorang perempuan yang memenuhi kriteria anorexia
nervosa tetapi berat badannya masih dalam ambang
batas normal (85% berat badan orang dengan usia dan
tinggi badan yang sama).
3. Seseorang yang memenuhi semua kriteria bulimia
nervosa tetapi episode binge-eating dan perilaku
kompensasinya :
a. Kurang dari 3 bulan
b. Kurang dari 2 kali per minggu
4. Melakukan perilaku kompensasi setelah makan dalam
jumlah yang normal atau sedikit (tidak ada episode
binge-eating).
5. Terus-menerus mengunyah dan meludahkan sebagian
besar makanan tanpa menelannya.
6. Binge-eating disorder (BED)
2.5.5 Dampak
Eating Disorders Not Otherwise Specified (EDNOS)
memiliki kesamaan dengan sindrom anorexia nervosa dan
bulimia nervosa sehingga bahaya fisik dan gangguan
psikososial pun sangat mirip dengan kondisi diagnostik dari
anorexia nervosa dan bulimia nervosa. Penderita Eating
Disorders Not Otherwise Specified (EDNOS) yang obesitas
memiliki resiko cacat psikologis dan fisik seperti harga diri
rendah, memiliki resiko diabetes, penyakit jantung,
hipertensi dan stroke. (National Collaboration Centre for
Mental Health, 2004).
2.5.6 Terapi
2.5.7 Prognosis

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Makan


Seperti dalam berbagai psikopatologi lain, satu faktor tunggal tidak
mungkin menjadi penyebab gangguan makan. Beberapa bidang penelitian dewasa
ini-genetik, peran otak, tekanan sosiokultural untuk menjadi langsing,
kepribadian, peran keluarga dan peran stress lingkungan-menunjukkan bahwa
gangguan makan terjadi bila beberapa faktor yang berpengaruh terjadi dalam
kehidupan seseorang (Davison et al., 2010). Beberapa para ahli menyatakan
bahwa gangguan makan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah :
2.4.1 Genetik
Beberapa penelitian menunjukkan adanya kemungkinan hubungan
antara faktor genetik dengan terjadinya gangguan makan. Penelitian
dilakukan pada kelompok kembar identik dan kembar yang tidak identi.
Secara umum penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok kembar identik
memiliki insiden mengalami gangguan makan yang lebih tinggi daripada
mereka yang kembar identik. Diperkirakan hal ini terjadi karena kembar
identik memiliki DNA yang sama (Wardlaw, 2002 dalam Syafiq dan
Tantiani, 2013).
Anorexia nervosa dan bulimia nervosa dapat terjadi dalam satu
keluarga. Kerabat tingkat pertama dari perempuan muda yang menderita
anorexia nervosa memiliki kemungkinan sepuluh kali lebih besar
dibanding rata-rata untuk menderita gangguan tersebut (a.l. Strober dkk.,
2000 dalam Davison et al., 2010). Hasil yang sama juga ditemukan terkait
bulimia nervosa, dimana kerabat tingkat pertama dari perempuan muda
yang menderita bulimia nervosa memiliki kemungkinan sekitar empat kali
29
lebih besar dibanding rata-rata untuk menderita gangguan tersebut (a.l.
Kasset dkk., 1987; Strober dkk., 2000 dalam Davison et al., 2010).
2.4.2 Usia
WHO (2012) menyebutkan batasan usia remaja adalah 10-19
tahun. Dengan mempertimbangkan konteks sosio-historis maka masa
remaja (adolescence) didefinisikan sebagai periode transisi perkembangan
antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan
perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional (Santrock,
2007). Pada masa remaja juga merupakan sebuah fase usia yang rentan
untuk mengalami gangguan makan. Rata- rata penderita anorexia nervosa
mulai menahan diri untuk tidak makan sejak usia 17 tahun. Beberapa data
menunjukkan gangguan makan mulai terjadi pada usia 13-18 tahun.
Sebagaimana dijelaskan pada penelitian Lee et al., (2005) dalam Erdianto
(2009) bahwa kasus anorexia nervosa di Singapura menunjukkan hasil
rerata usia onset gejala anorexia nervosa pada usia 15,5 tahun dengan
standar deviasi sebesar 3,85.
Gangguan makan sering terjadi pada usia remaja dikarenakan
jumlah stressor yang sangat fantastis yang dihadapi pada usia tersebut
terutama pada remaja putri. Pada awal fase remaja terjadi perubahan
bentuk tubuh sehingga bagi orang yang merasa tertekan oleh kebutuhan
untuk bertambah dewasa ini kadang menggunakan anorexia untuk
memperthankan tubuhnya agar tetap kecil. Bahkan pertumbuhan tinggi
badan menjadi berhenti karena kekurangan nutrisi dan remaja remaja
30
biasanya tidak menyadarinya jika ditanyakan mengenai persoalan ini
(Tiemeyer, 2007 dalam Aini, 2009).
McComb (2001) dalam Syafiq dan Tantiani (2013) menjelaskan
bahwa kelompok remaja dan dewasa muda merupakan kelompok yang
paking berisiko. Hal ini dikarenakan terjadinya perubahan fisik dan mental
pada saat puber juga perubahan diri dan lingkungan pada saat pergantian
masa anak-anak menjadi dewasa. Persepsi diri dan lingkungan tentang
tubuh yang kurus dibarengi dengan penambahan berat badan dan lapisan
lemak tubuh karena pertumbuhan normal, akan menambah rasa tertekan
dari penderita.
2.4.3 Jenis Kelamin
Seiring semakin sadarnya masyarakat terhadap kesehatan dan
kegemukan, pengaturan makan untuk menurunkan berat badan menjadi
suatu hal umum, jumlah orang-orang yang menjalani pengaturan makan
meningkat dari 7% pada laki-laki dan 14% pada perempuan. Pada tahun
1990 meningkat menjadi 29% pada laki-laki dan 44% pada perempuan
(Serdula dkk., 1999 dalam Davison et al., 2010). Berdasarkan hasil
tersebut diperoleh informasi bahwa gangguan makan seperti anorexia
nervosa dan bulimia nervosa lebih umum terjadi pada perempuan
dibanding pada laki-laki.
Salah satu alasan utama atas prevalensi gangguan makan yang
lebih besar pada perempuan kemungkinan adalah fakta bahwa standar
budaya masyarakat Barat menguatkan keinginan untuk menjadi kurus pada
31
perempuan dibanding laki-laki (Davison et al., 2010). Selain itu, nilai-nilai
sosiokultural mendorong objektivikasi tubuh perempuan, sedangkan kaum
laki-laki dihargai berdasarkan berbagai keberhasilan mereka. Risiko
gangguan makan pada kelompok perempuan yang sangat peduli terhadap
berat badan, misalnya para model, penari, dan pesenam, sangat tinggi
(Garner dkk., 1980 dalam Davison et al., 2010). Gangguan makan banyak
diderita oleh perempuan yakni sekitar 90% dialami oleh perempuan dan
dilaporkan bahwa perempuan memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk
mengalami gangguan makan dibanding laki-laki (ANRED, 2005).
Penderita gangguan makan lebih banyak pada perempuan dimana 9
dari 10 penderita anorexia nervosa dan bulimia nervosa adalah
perempuan. Kemungkinan hal tersebut terjadi karena lebih tingginya
tuntutan masyarakat terhadap perempuan untuk menjadi kurus. Baru pada
beberapa tahun belakangan ini pria penderita gangguan makan mulai
mendapat perhatian (Bowman, 2000 dalam Syafiq dan Tantiani, 2013).
Syafiq (2013) dalam bukunya menjelaskan bahwa tuntutan media terhadap
perempuan adalah untuk memiliki tubuh yang kurus dan menarik. Hal ini
akan menambah tekanan pada perempuanuntuk tetap memiliki tubuh
sesuai dengan tuntutan massa. Secara genetik perempuan memang
dirancang memiliki persentase lemak yang lebih besar dibandingkan pria.
Karena tuntutan yang mengharuskan perempuan tetap menjadi kurus
sementara lemak tubuh mereka yang lebih besar daripada pria maka
perempuan lebih berisiko menderita gangguan makan (Syafiq dan
Tantiani, 2013).
32
2.4.4 Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan
tentang kesehatan dan nilai kesehatan pribadi secara tidak langsung
berpengaruh terhadap terjadinya gangguan makan (Krummel dan Penny,
1996). Pengetahuan tentang kesehatan yang dimiliki seseorang akan
mempengaruhi gaya hidup nya dan secara tidak langsung akan
berpengaruh terhadap perilaku makan seseorang tersebut.
2.4.5 Rasa Percaya Diri
Rasa percaya diri berkaitan dengan citra tubuh. Rasa percaya diri
yang rendah berkontribusi pada terjadinya penyimpangan citra tubuh dan
citra tubuh yang keliru tidak dapat sepenuhnya dikoreksi sebelum masalah
percaya diri dibereskan. Rasa percaya diri yang rendah dapat
menyebabkan permasalahan dalam persahabatan, stress, kecemasan,
depresi dan dapat berpengaruh terhadap perilaku makan seseorang.
Rasa percaya diri yang rendah juga salah satu karakteristik dari
perempuan yang mengalami gangguan makan. Penelitian cross-sectional
yang dilakukan oleh Neumark-Sztainer dan Peter (2000) menjelaskan
bahwa tingkat percaya diri yang rendah memiliki hubungan yang
signifikan dengan diet dan gangguan makan. Orang dengan rasa percaya
diri yang rendah memiliki kemungkinan 3,74 kali lebih besar untuk berdiet
dan 5,95 kali untuk mengalami gangguan makan.
33
Rasa percaya diri dan perfeksionis akan menyebabkan seseorang
melakukan tindakan yang mengarah pada gangguan makan. Gangguan
makan akan meningkatkan rasa kerapuhan pada diri penderita sehingga
akan menyebabkan makin turunnya rasa percaya diri dan meningkatnya
keperfeksionisan penderita. Hal tersebut akan terus berulang dan
menghasilkan suatu siklus yang terus-menerus terjadi (McCombs, 2001
dalam Syafiq dan Tantiani, 2013).
2.4.6 Citra Tubuh
Citra tubuh pada umumnya lebih berhubungan dengan remaja putri
dari pada remaja putra. Citra tubuh adalah sebuah istilah yang mengacu
kepada persepsi seseorang mengenai bentuk dan tampilan fisik tubuhnya.
Remaja putri cenderung memperhatikan penampilan fisik. Penampilan
fisik yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan remaja, dapat
menyebabkan remaja tidak puas terhadap tubuhnya sendiri. Berbagai studi
menemukan bahwa IMT tinggi dan ketidakpuasan dengan bentuk tubuh
merupakan faktor risiko terjadinya gangguan makan (Fairburn dkk., 1997;
Killen dkk., 1996 dalam Davison et al., 2010). Ketidakpuasan dengan
bentuk tubuh meningkat dan merupakan prediktor kuat perkembangan
gangguan makan di kalangan remaja perempuan (Garner, 1997 dalam
Davison et al., 2010). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Field et al.,
(1999) dilaporkan pada beberapa kasus, perasaan negatif seseorang tentang
tubuhnya dapat menimbulkan kelainan mental seperti depresi atau
gangguan makan.
34
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fairburn (1999) dalam Aini
(2009) menjelaskan bahwa orang dengan evaluasi diri yang negatif
memiliki risiko 4,4 kali lebih besar untuk mengalami gangguan makan dan
memiliki risiko 8,2 kali lebih besar untuk mengalami anorexia nervosa.
Selanjutnya sebuah penelitian menyebutkan bahwa keinginan untuk
memiliki bentuk tubuh yang kurus berhubungan signifikan dengan onset
gangguan makan (The McKnight Investrigators, 2003). Aini (2009)
menjelaskan bahwa responden yang merasa gemuk mempunyai peluang
7,8 kali untuk mengalami gangguan makan dibandingkan dengan
responden yang tidak merasa gemuk.
2.4.7 Riwayat Diet
Diet merupakan salah satu faktor risiko terjadinya gangguan makan
yang paling berisiko. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa sekitar 40%
wanita mulai menjalankan program diet ketika memasuki masa remaja
(Nicholls &Viner, 2005 dalam Erdianto, 2009). Dalam studi case control
yang dilakukan oleh Fairburn et al., (1999) dilaporkan bahwa riwayat diet
berpengaruh terhadap terjadinya gangguan makan yang dilakukan pada 67
wanita dengan anorexia nervosa dan 102 wanita dengan bulimia nervosa.
Hasil menunjukkan bahwa perilaku diet lebih berpengaruh terhadap
kejadian bulimia nervosa dibandingkan anorexia nervosa.
Penelitian selanjutnya juga melaporkan bahwa sering berdiet
memiliki pengaruh terhadap terjadinya binge eating disorders pada wanita
muda maupun tua (Field et al., 2008). Penelitian yang dilakukan oleh
35
Krowchuk (1998) dalam Aini (2009) menjelaskan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara riwayat diet dengan perilaku muntah
yang disengaja atau penggunaan laksatif untuk menurunkan berat badan.
Kemudian sebuah studi menjelaskan bahwa responden yang pernah berdiet
memiliki peluang sebesar 9,143 kali untuk mangalami gangguan makan
dibandingkan dengan responden yang tidak pernah berdiet (Aini, 2009).
McDuffie dan Kirkley dalam Krummel dan Penny (1996)
menjelaskan bahwa pembatasan asupan yang berlebihan akan
menimbulkan kekurangan energi dan kelaparan. Hal tersebut jika
dikombinasikan dengan tambahan stress, depresi, kecemasan dan perasaan
tidak sabar karena program diet yang dijalani tidak berjalan secepat yang
diharapkan akan memicu kepada frustasi dan kenginaan makan yang
sangat besar serta makan secara berlebihan. Pada orang yang mengalami
gangguan makan maka akan merasa bersalah dan merasa cemas akan
kenaikan berat badan setelah makan secara berlebihan. Reaksi dari rasa
takut dan cemas tersebut bisa saja berupa berhenti berdiet dan menjadi
obesitas atau berdiet kronis yang diikuti dengan puasa atau perilaku
purging.
2.4.8 Pengaruh Keluarga
Pengaruh keluarga dan pendekatan orang tua kepada anak
merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan makan. Dimana
orang tua yang selalu menekan anak mereka agar memiliki bentuk tubuh
yang sesuai dengan keinginan mereka dapat menjadi faktor risiko
36
terjadinya gangguan makan pada anak tersebut. Penelitian yang dilakukan
oleh Field et al., (2008) menjelaskan bahwa pengaruh keluarga dalam hal
ini ayah yang memberikan komentar negatif tentang berat badan diprediksi
dapat menjadikan remaja laki-laki mengalami binge eating disorders
sedikitnya seminggu sekali. Selain itu pada ibu yang memiliki riwayat
gangguan makan merupakan faktor resiko bagi remaja perempuan untuk
mengalami gangguan makan juga.
Penelitian yang dilakukan oleh Minuchin (1978) dalam Krummel
dan Penny (1996) menjelaskan terdapat beberapa karakteristik khas pada
keluarga penderita anorexia nervosa. Karakteristik tersebut diantaranya
terlalu protektif, kaku, terlalu membatasi, tidak adanya usaha
menyelesaikan konflik keluarga dan atmosfir keluarga yang hanya
mengizinkan sedikit privasi. Pola ini akan mengakibatkan
ketidakseimbangan hirarki dan adanya halangan pada unit keluarga.
Krummel dan Penny (1996) menjelaskan bahwa seorang anak perempuan
dan ibunya dapat menjadi teman dekat dimana ibu menggunakan anak
untuk kepercayaan dirinya, mencegah anak membangun hubungan dengan
teman-teman sebayanya.
2.4.9 Pengaruh Teman Sebaya
Masa remaja merupakan masa dimana meraka mencari jati diri.
Posisi remaja menjadi kurang jelas karena mereka bukan lagi anak-anak
yang harus diawasi oleh kedua orang tuanya namun mereka juga belum
pantas untuk dikatakan dewasa. Dalam masa pencarian jati diri atau
37
identitas diri remaja cepat sekali terpengaruh oleh lingkungannya. Remaja
cenderung lebih dekat dengan teman sebaya karena sepaham dan bisa
saling memberi serta mendapat dukungan mental (Brown, 2005 dalam
Hapsari, 2009). Gaya hidup dan pola pikir remaja sangat dipegaruhi oleh
teman sebaya nya. Namun ketidaksamaan dengan teman dalam berbagai
hal termasuk perbedaan fisik dikhawatirkan menyebabkan dirinya terkucil
dan merusak percaya diri (Arisman, 2004).
Menurut Krummel dan Penny (1996), teman sebaya juga dapat
memberikan banyak tekanan pada remaja putri dengan standar mereka
karena jika berlawanan remaja tersebut akan dikucilkan, disindir dan
dibicarakan. Teman sebaya pun dapat memberikan pengaruh yang negatif
yaitu seperti melakukan upaya penurunan berat badan dan kebiasaan
makan yang salah dan timbulnya persaingan sekaligus tekanan untuk
menjadi terkurus dan terkecil (Davis, 1999 dalam Hapsari, 2009). Field et
al., (2001) dalam Hapsari (2009) menjelaskan bahwa tekanan dari teman
sebaya untuk mengontrol berat badan dapat meningkatkan terjadinya
resiko gangguan makan pada remaja.
Sebuah penelitian menjelaskan bahwa teman sebaya juga dapat
menyebabkan kejadian gangguan makan. Penerimaan oleh teman menjadi
penting khususnya pada saat remaja dan dewasa muda. Dimana untuk
menghindari ketidaknyamanan karena ditolak oleh teman, maka penderita
akan menerima begitu saja peraturan dari teman-temannya termasuk untuk
memiliki penampilan yang menarik dan bertubuh kurus. Sebanyak 25%
remaja percaya bahwa dengan tubuh yang lebih kurus akan memudahkan
38
mereka mencari pasangan dan teman (McComb, 2001 dalam Syafiq dan
Tantiani, 2013).Wajar bila sebagian dari mereka kemudian melakukan
kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan gaya hidup gangguan makan
agar diterima lingkungan teman sebaya (Syafiq dan Tantiani, 2013).
2.4.10 Bullying oleh Teman Sebaya
Sebuah penelitian menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara bullying oleh teman sebaya dengan kejadian gangguan
makan pada perempuan kulit hitam dan putih (Moore et al., 2002). Moore
et al,. (2002) juga menjelaskan bahwa perempuan kulit hitam yang
mengalami bullying oleh teman sebaya secara signifikan lebih tinggi untuk
mengalami binge eating disorders dibandingkan dengan perempuan yang
sehat. Perempuan kulit putih yang pernah mengalami bullying oleh teman
sebayanya berisiko 2,3 kali untuk mengalami binge eating disorders
sedangkan perempuan kulit hitam yang pernah mengalami bullying oleh
teman sebayanya berisiko 3,3 kali untuk menderita gangguan makan.
Fairburn (1998) menyebutkan bahwa remaja perempuan yang
pernah mengalami bullying oleh teman sebayanya berisiko 5,5 kali untuk
menderita gangguan makan dibandingkan dengan remaja yang tidak
pernah mengalami bullying oleh teman sebayanya.
2.4.11 Ejekan Seputar Berat Badan atau Bentuk Tubuh
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Haines et al., (2006) dalam
Putra (2008) melaporkan bahwa ejekan seputar berat badan atau bentuk
39
tubuh merupakan prediktor terhadap kejadian binge eating disorders
dengan hilang kendali diantara remaja perempuan dan laki-laki pada 5
tahun masa tindak lanjut setelah disesuaikan dengan umur, ras/etnis dan
status sosial ekonomi. Selanjutnya sebuah studi menjelaskan bahwa
terdapat hubungan antara ejekan seputar berat badan dengan kejadian
gangguan makan (Aini, 2009).
Dalam studi yang dilakukan oleh Fairburn (1998) dalam Aini
(2009) mengenai faktor risiko terjadinya gangguan makan dapat diketahui
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kritik dari anggota
keluarga dan ejekan/hinaan tentang bentuk tubuh, berat badan atau
perilaku makan dengan kejadian gangguan makan. Perempuan yang
pernah dikritik oleh anggota kelurganya tentang bentuk tubuh, berat badan
atau perilaku makan berisiko 3,7 kali untuk mengalami gangguan makan
sedangkan perempuan yang pernah diejek/dihina tentang bentuk tubuh,
berat badan atau perilaku makan berisiko 2,4 kali untuk mengalami
gangguan makan.
2.4.12 Kekerasan Fisik
Penelitian yang dilakukan Moore et al., (2002) menjelaskan bahwa
para perempuan kulit putih dan kulit hitam penderita binge eating
disorders mengalami kekerasan fisik lebih tinggi dibandingkan perempuan
yang sehat. Studi yang dilakukan oleh Fairburn et al (1999) menjelaskan
bahwa perempuan yang mengalami kekerasan fisik akan berisiko 4,9 kali
lebih besar untuk mengalami anorexia nervosa. Selanjutnya Fairburn et al
40
(1999) menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara kekerasan fisik
dengan kejadian gangguan makan. Perempuan yang mengalami kekerasan
fisik yang parah berulang kali memiliki risiko 10 kali lebih tinggi untuk
mengalami gangguan makan (Fairburn et al,. 1999).
Sebuah studi menemukan bahwa angka kekerasan emosional dan
fisik lebih tinggi secara signifikan diantara perempuan yang didiagnosis
sebagai penderita bulimia nervosa dibandingkan dengan perempuan yang
tidak memiliki riwayat gangguan makan. Sebagai tambahan mereka juga
menemukan bahwa perempuan yang didiagnosis menderita bulimia
nervosa lebih banyak yang melaporkan pengalaman berbagai bentuk
kekerasan/pelecehan di masa kecilnya dibandingkan dengan yang tidak
mengalami gangguan makan (Rorty, et al ., 1994 dalam Aini, 2009).
2.4.13 Pelecehan Seksual
Para ahli psikoanalisis melihat adanya hubungan antara seksualitas
dan gangguan makan pada kelompok remaja dan dewasa muda.
Pengalaman klinik menunjukkan tingginya angka pelecehan seksual pada
penderita gangguan makan. Mereka yang mengalami pelecehan seksual
kemudian tumbuh menjadi seseorang yang takut terhadap seks dan merasa
dirinya kotor dan penuh dengan dosa. Hal ini kemudian akan dapat
menjadi pemicu munculnya gangguan makan (McCombs, 2001 dalam
Syafiq dan Tantiani, 2013).
French (1995) dalam Aini (2009) menyebutkan dalam studinya
bahwa perempuan yang pernah mengalami pelecehan seksual berisiko 1,6
41
kali untuk mengadopsi perilaku purging. Studi yang dilakukan oleh
Fairburn et al (1999) menjelaskan bahwa perempuan yang pernah
mengalami pelecehan seksual berisiko 3,4 kali untuk mengalami anorexia
nervosa dibandingkan dengan yang tidak pernah mengalami pelecehan
seksual. Jika pelecehan seksual yang dialaminya parah dan dilakukan
berulang kali maka risiko perempuan tersebut mengalami anorexia
nervosa meningkat drastis menjadi 15,3 kali. Selanjutnya sebuah studi
yang dilakukan pada perempuan berkulit hitam dan putih penderita binge
eating disorders menjelaskan bahwa kedua perempuan tersebut mengalami
pelecehan seksual (Moore et al., 2002).
2.4.14 Pengaruh Media Massa
Media massa diduga berpengaruh terhadap kejadian gangguan
makan. Media massa memberikan kesan bahwa tubuh ideal adalah tubuh
yang kurus dan rata-rata remaja telah terpapar oleh media terutama dari
iklan TV maupun majalah sehingga tidak sedikit remaja yang bergaya
seperti idola nya di media. Remaja yang tidak memiliki latar belakang
pengetahuan yang cukup terhadap kesehatan akan menerima informasi
secara mentah. Oleh karenanya, remaja memerlukan pendidikan
menghadapi informasi dari media massa secara kritis (Krummel dan
Penny, 1996).
Setiap orang menerima informasi dari media secara terus-menerus
setiap harinya. Informasinya bisa berupa apa yang harus dilakukan,
bagaimana caranya, produk apa yang harus digunakan, dan bagaimana
42
seharusnya seseorang berpenampilan. Walaupun tidak ditunjukkan secara
terang-terangan, gambar-gambar yang digunakan pada media massa
menunjukkan bentuk tubuh yang diterima oleh masyarakat. Gambaran ini
yang menimbulkan tekanan pada masyarakat yang kemudian memiliki
peran penting dalam mempengaruhi kejadian gangguan makan
(McCombs, 2001 dalam Syafiq dan Tantiani, 2013).
Sebuah studi menjelaskan bahwa terdapat asosiasi linear positif
antara frekuensi membaca majalah wanita dengan prevalensi berdiet untuk
menurunkan berat badan karena artikel di majalah, memulai program
latihan fisik karena artikel di majalah, ingin menurunkan berat badan
karena gambar yang ada di majalah tersebut mempengaruhi ide mereka
tentang bentuk tubuh yang ideal. Media memegang peranan dalam
perkembangan dari perhatian terhadap berat badan dan kejadian gangguan
makan (Field, 1999). Selanjutnya berdasarkan studi kohort prospektif yang
dilakukan oleh Field et al., (2008) menjelaskan bahwa baik remaja lakilaki
maupun perempuan ingin terlihat atau tampil sama seperti model yang
ada di media berpengaruh terhadap kejadian binge eating disorders.
2.4.15 Sosiokultural
Davison et al., (2010) menjelaskan bahwa sepanjang sejarah
berbagai standar telah ditetapkan masyarakat mengenai tubuh yang ideal,
terutama tubuh perempuan ideal sangat bervariasi. Pada masa-masa
terakhir standar ideal dalam budaya Amerika bergerak ke arah peningkatan
langsing. Sebuah studi menghitung IMT para model utama majalah
43
Playboy dari tahun 1985-1997 (Owen & Laurel-Seller, 2000 dalam
Davison et al., 2010). Kecuali satu orang, seluruh model Playboy tersebut
memiliki IMT kurang dari 20, yang berarti berat badan kurang dan hampir
separuh dari model tersebut memiliki IMT kurang dari 18 yang berarti
berat badannya sangat kurang. Studi ini mengindikasikan bahwa tubuh
kurus pada kalangan perempuan masih digemari. Hal tersebut berbeda
bagi laki-laki dimana IMT para model laki-laki meningkat sepanjang
periode tersebut.
Pengaruh budaya memegang peranan yang penting bagi penderita
gangguan makan. Perempuan pada masa kini terperangkap antara rata-rata
berat badan yang ideal dan pandangan yang menyatakan figur boneka
Barbie adalah yang ideal (Krummel dan Penny, 1996).
Pengaturan makan untuk menurunkan berat badan sangat umum di
kalangan perempuan kulit putih dengan status sosioekonomi atas yang
juga merupakan kalangan dengan jumlah anorexia nervosa tertinggi.
Onset gangguan makan biasanya diawali dengan diet dan kekhawatiran
lain tentang berat badan, memperkuat pemikiran bahwa standar sosial yang
menekankan pentingnya bertubuh kurus berperan dalam gangguan ini
dimana nilai-nilai sosiokultural menitikberatkan pada tekanan sosial
kepada wanita muda untuk mencapai standar tubuh yang kurus (Davison et
al., 2010).

DAFTAR PUSTAKA

Kurnia W, 2008. Gambaran dan faktor faktor yang berhubungan dengan


kecenderungan penyimpangan perilaku makan pada siswi SMAN 70 Jakarta
Selatan Tahun 2008. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, Depok.
American Psychiatric Association. (2005). Diagnostic and statical manual of
mental
disorders. 4th.ed. Text Revision. Washington, DC : Author

The McKnight Investigators, 2003, Risk Factors for the Onset of Eating
Disorders in Adolescent Girls: Results of the McKnight Longitudinal Risk
Factor Study, Am J Psychiatry 2003; 160:248254, diakses tanggal 1
November 2012,
http://ajp.psychiatryonline.org/data/Journals/AJP/3745/248.pdf

ANRED, 2005, Statistics : How Many People Have Eating Disorders, diakses
tanggal 1 November 2012, http://anred.com/stats.html

National Institute of Mental Health, 2011, Eating Disorders, U.S. Department of


Health and Human Services. National Institute of Health.

Erdianto, S.D 2009, Hubungan antara Faktor Individu dan Faktor Lingkungan
dengan Kecenderungan Penyimpangan Perilaku Makan pada Mahasaiswi
Jurusan Administrasi Perkantoran dan Sekretaris. Fisip UI Tahun 2009,
Skripsi, FKM UI, Depok.

Duvvuri, V., Kaye, W. H., 2009. Anorexia Nervosa, Focus 7: 455-462

Anda mungkin juga menyukai