Anda di halaman 1dari 11

PENGEMBANGAN MINAWISATA PULAU-PULAU KECIL UNTUK MENDUKUNG

IMPLEMENTASI BLUE ECONOMY1


Oleh:
Agus Dermawan2 dan Arif Miftahul Aziz3

Abstrak

Pulau-pulau kecil merupakan unsur utama dari negara kepulauan Indonesia yang
memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan pertahanan keamanan. Fakta membuktikan bahwa
dari 13.466 pulau Indonesia yang telah bernama, memiliki potensi ekonomi berupa
sumberdaya pesisir dan laut yang melimpah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi.
Sehingga untuk melindungi keanekaragaman hayati tersebut, tidak kurang dari 1.900 pulau-
pulau kecil Indonesia masuk dalam kawasan konservasi. Namun demikian, masih sering
timbul permasalahan dan konflik kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan
laut di pulau-pulau kecil, terutama dalam pemanfaatan sumberdaya ikan, pariwisata bahari,
dan konservasi. Hal ini terjadi karena ekosistem pulau-pulau kecil memiliki daya dukung dan
daya tampung yang terbatas serta sangat rentan terhadap perubahan lingkungan, termasuk
dampak bencana alam dan perubahan iklim. Untuk mengoptimalkan fungsi ekologi dan
ekonomi sumberdaya yang dimiliki demi kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga
kelestarian sumberdayanya, maka dikembangkan konsep minawisata pulau-pulau kecil.
Minawisata pulau-pulau kecil adalah konsep pengembangan ekonomi masyarakat melalui
pemanfaatan sumberdaya yang memadukan kekuatan potensi perikanan dan pariwisata
bahari dengan mengedepankan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan konservasi
sumberdaya. Untuk mengimplementasikan konsep tersebut, maka dibutuhkan perencanaan
yang mantap, dukungan infrastruktur, sumberdaya manusia, pengembangan destinasi
wisata, promosi dan investasi, serta dukungan kebijakan dan regulasi pemerintah.

PENDAHULUAN

Dalam pengelolaan pulau-pulau kecil, setidaknya ada tiga isu strategis yang sering
mengemuka yaitu: kedaulatan wilayah NKRI, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan
masyarakat. Ketiga isu diatas berhubungan dengan tiga fungsi penting dari pulau-pulau
kecil; pertama fungsi pertahanan keamanan, terutama pada pulau-pulau kecil terluar (PPKT)
yang berbatasan dengan negara lain sebagai pintu gerbang keluar masuknya aliran orang
dan barang yang rentan terhadap okupasi negara lain. Kedua fungsi ekonomi, wilayah
pulau-pulau kecil memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan dengan produktivitas hayati
tinggi, serta pusat kegiatan wisata bahari yang potensial dikembangkan sebagai wilayah
bisnis yang berbasis sumberdaya (resource based industry). Ketiga, fungsi ekologi dimana
ekosistem pesisir dan laut pulau-pulau kecil berfungsi sebagai tempat berlangsungnya siklus
hidrologi dan bio-geokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan energi alternatif,
faktor penentu iklim global, dan sistem penunjang kehidupan lainnya.

Jumlah pulau Indonesia yang telah diverifikasi dan diberi nama hingga kini mencapai
13.466 pulau, yang tersebar di wilayah nusantara dengan total panjang garis pantai 95.181
km2 dan menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Pulau-pulau
kecil yang memiliki luas kurang dari atau sama dengan 2.000 km2 (UU No. 27 Tahun 2007),

1
Disampaikan pada KONAS VIII Pengelolaan Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil, Mataram 22-24 Oktober 2012
2
Direktur Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil-Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta
3
Staf Direktorat Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil, KKP, Jakarta

1
merupakan kesatuan ekosistem yang memiliki potensi sumberdaya alam pesisir dan laut
yang produktif, seperti ekosistem mangrove, terumbu karang dan ekosistem lamun beserta
biota yang hidup di dalamnya yang merupakan sumber bahan makanan, kawasan rekreasi,
pariwisata, konservasi dan jenis pemanfaatan lainnya. Jika dikelola dengan baik, maka
segenap potensi ekonomi yang ada di kawasan pulau-pulau kecil sangat prospektif untuk
dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan dapat menyumbangkan
pendapatan bagi daerah.

Karakteristik Pulau-pulau Kecil


Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik yang berbeda dengan pulau besar. Secara
fisik, pulau-pulau kecil Indonesia umumnya berukuran kecil, bahkan sebagian besar
berukuran di bawah 1.000 km2 hingga kurang dari 1 Ha, umumnya terpisah jauh dari pulau
induk sehingga bersifat insular (remote) dan tidak mampu mempengaruhi hidroklimat laut.
Pulau-pulau kecil memiliki daya dukung (carrying capacity) terbatas, terutama ketersediaan
air tawar karena daerah tangkapannya (catchment area) yang kecil. Pulau-pulau kecil juga
memiliki kerentanan yang tinggi terhadap perubahan lingkungan dan dampak perubahan
iklim dan bencana alam, seperti tsunami, badai dan gelombang ekstrim, naiknya paras muka
laut, dan gempa bumi. Namun demikian, pulau-pulau kecil cenderung memiliki jenis-jenis
endemik dan keanekaragaman hayati laut yang tinggi, seperti ekosistem terumbu karang,
ikan-ikan karang, ekosistem mangrove, dan lamun (Adrianto, 2004; Bengen & Retraubun,
2006). Pulau-pulau kecil juga memiliki ekosistem pantai yang indah, perairan pantai yang
jernih dan bersih, ombak yang bagus untuk berselancar, laguna serta panorama alam yang
menakjubkan.

Secara sosial-budaya, pulau-pulau kecil Indonesia sebagian besar tidak


berpenduduk. Pada pulau yang berpenduduk, populasi umumnya terbatas dan bersifat
homogen, sehingga masyarakatnya memiliki karakteristik yang spesifik. Beberapa
masyarakat pulau-pulau kecil memiliki kekayaan budaya dan kearifan lokal yang unik,
seperti atraksi budaya, ritual adat dan keagamaan. Secara ekonomi, pulau-pulau kecil
umumnya masih terbatas dalam hal infrastruktur dasar dan aksessibilitas, seperti
permukiman, kesehatan, pendidikan, listrik, dan komunikasi. Tingkat pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat juga relatif rendah, demikian pula dengan kualitas sumberdaya
manusia. Menurut BPS (2010), jumlah desa pesisir mencapai 10.639 yang terdiri dari 2,13
juta rumah tangga. Dari angka tersebut, sebanyak 7,8 juta jiwa termasuk penduduk miskin
dan 2,2 juta jiwa penduduk sangat miskin. Hal ini disebabkan antara lain oleh terbatasnya
pilihan/ alternatif mata pencaharian penduduk pulau-pulau kecil yang cenderung homogen
dan sangat tergantung pada sumberdaya pesisir dan laut. Secara keseluruhan, ekonomi
pulau-pulau kecil masih sangat tergantung pada aktivitas ekonomi di luar pulau, terutama
pada pulau induknya (mainland).

Kendala dan Tantangan Pembangunan di Pulau-pulau Kecil


Kondisi dan karakteristik pulau-pulau kecil tersebut merupakan tantangan tersendiri
dalam upaya pembangunan kawasan pulau-pulau kecil. Kendala yang cukup berat terutama
terkait dengan aksessibilitas yang rendah, biaya pembangunan yang tinggi, dan
ketersediaan sumberdaya manusia yang sangat terbatas. Kondisi ini berdampak pada masih
minimnya ketersediaan infrastruktur dasar, seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, listrik,
komunikasi (telepon, televisi, radio), dan air bersih, apalagi infrastruktur untuk
pengembangan ekonomi penduduk. Minimnya akses terhadap pendidikan dan komunikasi
membuat kualitas SDM di pulau-pulau kecil umumnya rendah, demikian pula dengan
pengetahuan dan keterampilan teknis dalam mengelola sumberdaya dan mengembangkan
alternatif mata pencaharian. Dampak dari kondisi tersebut adalah tingginya angka
kemiskinan penduduk dan degradasi lingkungan di pulau-pulau kecil. Aktivitas IUU (illegal,
unreported, and unregulated) fishing yang merusak terumbu karang dan penebangan liar
mangrove masih marak terjadi di pulau-pulau kecil. Hal ini tentu saja mengancam eksistensi
pulau dan ketahanan masyarakat di pulau-pulau kecil.

2
Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, maka pembangunan di pulau-
pulau kecil harus dilaksanakan secara berkelanjutan dengan pendekatan yang
mengutamakan keseimbangan ekologi, ekonomi dan konservasi. Pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) sendiri adalah pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan saat ini, tanpa menurunkan atau merusak kemampuan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987). Definisi di atas tidak melarang
aktivitas pembangunan ekonomi, tetapi menganjurkannya dengan persyaratan bahwa laju
(tingkat) kegiatan pembangunan tidak melampaui daya dukung (carrying capacity). Dengan
demikian, generasi mendatang tetap memiliki aset sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan (environmental services) yang sama kualitasnya dengan kondisi saat ini.

BLUE ECONOMY DALAM PENDAYAGUNAAN PULAU-PULAU KECIL


Kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan secara umum diarahkan pada 4
(empat) pilar, yaitu: pengentasan kemiskinan (pro-poor), membuka lapangan kerja (pro-job),
pertumbuhan ekonomi (pro-growth), dan menjaga kelestarian lingkungan (pro-sustainability).
Keempat pilar ini sejalan dengan paradigma pembangunan berkelanjutan, yang mengalami
perkembangan dan memunculkan konsep ekonomi hijau (green economy), sebagai cara
untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan (Pearce et al., 1989). Selanjutnya sejak
2009 berkembang konsep ekonomi biru (blue economy) yang dilatarbelakangi oleh semakin
tingginya laju degradasi lingkungan. Sejak tahun 2012, Kementerian Kelautan dan
Perikanan mengadopsi konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis Blue
Economy. Konsep blue economy ini diharapkan dapat mengatasi problem pembangunan di
wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, terutama dalam menggerakkan potensi ekonomi,
membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan, namun tetap
menjaga kelestarian lingkungan. Dalam pengertian praktis, ekonomi biru adalah ekonomi
yang dibangun atau digerakkan oleh aktivitas yang mengemisikan sedikit CO2 (low carbon),
menggunakan SDA secara efisien (natural resources efficient), secara sosial hasilnya dapat
dinikmati oleh seluruh rakyat dengan adil (socially inclusive), dan didukung oleh inovasi
teknologi yang ramah lingkungan (technology innovation).

Dengan mengimplementasikan konsep ekonomi biru, diharapkan penurunan kualitas


lingkungan, kesehatan ekologis, dan produktivitas ekonomi dari wilayah pesisir dan lautan,
baik di Indonesia maupun pada tataran global dapat diluruskan kembali (reversed). Dalam
pendayagunaan pulau-pulau kecil, implementasi konsep ekonomi biru adalah perpaduan
antara keberlanjutan pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat, pembangunan infrastruktur yang inovatif dan ramah lingkungan, dan pada
waktu bersamaan juga harus menjaga kelestarian sumberdaya dan keragaman hayati, serta
beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Perlu juga dipahami bahwa pembangunan
ekonomi di pulau-pulau kecil memerlukan pendekatan yang berbeda dengan pembangunan
di daratan (mainland), bahkan dapat berbeda untuk tiap pulau (site specific) karena begitu
beragamnya kondisi fisik dan karakteristik pulau-pulau kecil.

Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Pulau-pulau Kecil


Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 pasal 23 ayat (2) dan Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor 20 Tahun 2008. Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di
sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut, yaitu: a)
konservasi, b) pendidikan dan pelatihan, c) penelitian dan pengembangan, d) budidaya laut,
e) pariwisata, f) usaha dan industri perikanan secara lestari, g) pertanian organik, dan h)
peternakan. Salah satu potensi kelautan dan jasa lingkungan yang menonjol di pulau-pulau
kecil adalah perikanan dan pariwisata, terutama pulau-pulau yang masuk kawasan
konservasi.

3
Pengembangan pariwisata bahari di kawasan pulau-pulau kecil Nusantara secara
nyata memiliki prospek menjanjikan sebagai daerah tujuan wisata bahari terbesar di dunia.
Luasnya ekosistem pesisir dan laut di kawasan ribuan pulau-pulau kecil Indonesia
berdampak pada tersedianya berjuta hektar taman laut yang memiliki flora dan fauna yang
sangat khas dan tak dimiliki oleh negara lain. Sebagai gambaran adalah terdapat luasan
terumbu karang 25.000 km2, serta kehidupan biota laut yang mencapai 80 genera dan 590
spesies terumbu karang, 2.500 spesies moluska, 1.512 spesies krustasea, 850 spesies
sponge, 2.334 spesies ikan laut, 30 spesies mamalia laut dan 38 spesies reptilian
(Suharsono, 2008a; Soegiarto dan Polunin, 1981 dalam Dahuri, 2003).

Menurut data BPS dan Gahawisri (Gabungan Pengusaha Wisata Bahari), Potensi
wisata bahari di Kawasan Konservasi Perairan diperkirakan mencapai USD 6,3 milyar atau
25-30% dari devisa pariwisata. Proyeksi untuk 10 tahun ke depan, kontribusinya dapat
meningkat hingga 50%. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa daerah-daerah tujuan
wisata bahari di pulau-pulau kecil utamanya berada pada kawasan konservasi yang memiliki
keindahan terumbu karang, biota laut, dan pantai.

Beberapa contoh kawasan konservasi dan taman nasional laut yang menjadi tujuan
utama wisata bahari adalah: Kepulauan Raja Ampat, Taka Bonerate, Kepulauan Wakatobi,
Bunaken, Kepulauan Anambas, Kepulauan Derawan, TN Komodo, Gili Matra-Lombok (Gili
Meno, Gili Air, Gili Trawangan), TN 17 pulau Riung-Flores, TN Kepulauan Seribu, dan Pulau
Menjangan di TN Bali Barat. Bahkan terumbu karang Kep. Raja Ampat masuk urutan ke-7
dalam Top 10 world dive site (http://www.backpackingbex.com/). Diperkirakan, sekitar 1.900
pulau kecil masuk dalam kawasan konservasi nasional, jumlah ini belum termasuk yang
berada di kawasan konservasi laut di daerah (KKLD) yang tersebar di 36 Kabupaten/kota
dengan luas mencapai 13,5 juta Ha (2009).

MINAWISATA PULAU-PULAU KECIL

Sumberdaya ikan (SDI) merupakan salah satu potensi yang ada di kawasan pulau-
pulau kecil. Kegiatan perikanan, konservasi dan wisata bahari saat ini sudah berjalan di
pulau-pulau kecil, namun masing-masing terkesan berjalan sendiri-sendiri dan tidak sinergis.
Pengelolaan SDI di kawasan pariwisata seringkali masih menimbulkan konflik, demikian
pula dengan pemanfaatan perikanan di kawasan konservasi yang sering menimbulkan
masalah. Untuk memperoleh manfaat optimal pendayagunaan sumberdaya perikanan dan
pariwisata tersebut, maka pembangunan perikanan dan kepariwisataan bahari perlu
diterjemahkan dalam konsep yang lebih terpadu berdasarkan prinsip-prinsip blue economy.
Konsep dimaksud adalah Minawisata Pulau-pulau Kecil yang nantinya dikembangkan pada
gugusan pulau-pulau kecil yang memiliki potensi dan peluang pengembangan wisata bahari
dan perikanan, termasuk di kawasan konservasi. Eksistensi sumberdaya ikan yang saling
menyatu dengan ekosistem pulau dan potensi wisata bahari menjadi kekuatan dan nilai jual
program minawisata.

Minawisata adalah pemanfaatan kawasan wisata dengan pengembangan produksi


perikanan untuk mencapai ketertarikan masyarakat pengguna akan pengembangan
perikanan pada kawasan wisata tersebut. Dengan kata lain, Minawisata adalah
pengembangan kegiatan perekonomian masyarakat dan wilayah yang berbasis pada
pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan, perikanan dan pariwisata secara terintegrasi
pada suatu wilayah tertentu. Pada tahap awal, Minawisata pulau-pulau kecil dikemas dalam
bentuk satu program pemberdayaan masyarakat pulau-pulau kecil melalui pendayagunaan
potensi sumberdaya perikanan dan pariwisata berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan. Prinsip-prinsip tersebut yaitu; emisi karbon yang rendah, ramah lingkungan,
sesuai daya dukung dan daya tampung, konservasi (penggunaan sumberdaya secara
efisien), berbasis sumberdaya lokal, dan pelibatan stakeholders lokal terkait.

4
Konsepsi Minawisata Pulau-Pulau Kecil
Pulau kecil didefinisikan sebagai pulau dengan luas area kurang dari atau sama
dengan 2.000 km2 (UU no 27 tahun 2007). Adapun gugusan pulau-pulau kecil adalah
kumpulan pulau-pulau yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi,
sosial dan budaya (Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2001). Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, disebutkan
bahwa Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu system bisnis
perikanan. Dalam sistem bisnis perikanan, seringkali digunakan kata Mina untuk
menggantikan kata Perikanan yang pada hakekatnya mengandung pengertian yang sama
dengan kata perikanan itu sendiri. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan
pada dasarnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama
masyarakat nelayan dan juga masyarakat lainnya yang hidup di wilayah pesisir.

Wisata merupakan satu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang mengandalkan


jasa alam untuk kepuasan manusia. Berdasarkan konsep pemanfaatannya, wisata dapat
diklasifikasikan alam 3 (tiga) bentuk (Fandeli, 2000; META, 2002) yaitu :
1. Wisata Alam (Nature Tourism); merupakan aktivitas wisata yang ditujukan pada
pengalaman tehadap kondisi alam atau daya tarik panoramannya.
2. Wisata Budaya (Cultural Tourism); merupakan wisata dengan kekayaan budaya
sebagai objek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan.
3. Ekowisata (Ecotourism, Green Tourism, Altenatif Tourism); merupakan wisata yang
berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan
sumberdaya alam atau lingkungan dan industri kepariwisataan.

Khusus untuk ekowisata, dalam ekowisata terdapat suatu bentuk kegiatan


pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan oleh manusia yang dikenal
dengan nama ekowisata bahari. Ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata yang
memanfaatkan karakter sumberdaya pesisir dan laut yang dikembangkan dengan
pendekatan konservasi laut. Ekowisata bahari memprioritaskan kelestarian dan
memanfaatkan sumberdaya alam dan budaya masyarakat. Kegiatan wisata yang dapat
dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu
wisata pantai dan wisata laut (bahari). Wisata pantai lebih mengutamakan sumberdaya
pantai dan budaya masyarakat sedangkan wisata laut (bahari) lebih mengutamakan
sumberdaya bawah laut dan dinamika air lautnya (Yulianda, 2007). Menurut Kamal (2005),
minawisata adalah pemanfaatan kawasan wisata dengan pengembangan produksi
perikanan untuk mencapai ketertarikan masyarakat pengguna akan pengembangan
perikanan pada kawasan wisata tersebut.

URGENSI MINAWISATA PULAU-PUALU KECIL BERBASIS KONSERVASI SDA


Semakin meningkatnya pembangunan ekonomi di kawasan pulau-pulau kecil akan
semakin meningkatkan pula ancaman terhadap degradasi ekosistem dan sumberdaya alam
pulau-pulau kecil, seperti eksploitasi berlebih, degradasi habitat, pencemaran limbah, dan
penurunan keanekaragaman hayati. Data degradasi ekosistem dan sumberdaya
menunjukkan bahwa 32,05 % terumbu karang mengalami kerusakan (Suharsono, 2008b).
Ekosistem mangrove mengalami kerusakan sebesar 40% yang tentunya juga berdampak
kepada menurunnya stok sumberdaya perikanan. Karena itu, untuk mempertahankan dan
melindungi keberadaan dan kualitas ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut di
kawasan pulau-pulau kecil yang menjadi tumpuan pembangunan kelautan secara
berkelanjutan, diperlukan suatu pengelolaan yang terpadu berbasis ekosistem salah
satunya dengan menetapkan dan mengembangkan kawasan konservasi laut pulau-pulau
kecil. Kawasan konservasi laut yang dimaksudkan disini adalah suatu kawasan pesisir dan
laut pulau-pulau kecil yang mencakup beragam ekosistem di daerah intertidal, subtidal dan

5
kolom air di atasnya, dengan beragam flora dan fauna yang berasosiasi di dalamnya serta
memiliki nilai ekologis, ekonomis, sosial dan budaya.

Kawasan konservasi laut pulau-pulau kecil memiliki peran utama sebagai berikut
(Agardy, 1997; Barr et. al, 1997) :
a. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas ekosistem,
termasuk proses-proses ekologis dalam suatu ekosistem.
b. Meningkatkan hasil perikanan, karena kawasan konservasi dapat melindungi daerah
pemijahan, pembesaran dan mencari makanan; meningkatkan kapasitas reproduksi dan
stok sumberdaya ikan.
c. Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata yang bernilai ekologis dan estetis.
Kawasan konservasi melindungi tempat-tempat khusus melalui pengawasan dan
pengaturan jenis-jenis aktivitas yang diijinkan dan tidak diijinkan di zona-zona kawasan
konservasi.
d. Memperluas pengetahuan, pemahaman dan kepedulian masyarakat tentang ekosistem
pesisir dan laut pulau-pulau kecil; menyediakan tempat yang sesuai untuk observasi
dan monitoring jangka panjang, dan berperan penting bagi pendidikan masyarakat
berkaitan dengan pentingnya konservasi laut dan dampak negatif aktivitas manusia.
e. Memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat pesisir. Kawasan konservasi
dapat membantu masyarakat pesisir dalam mempertahankan basis ekonominya melalui
pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan.

Dengan demikian dalam perspektif strategi, pengembangan minawisata sebagai perwujudan


pemanfaatan sumberdaya ikan dan jasa lingkungan berazas konservasi, tentu saja dapat
menjadi pilar pembangunan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.

Prinsip Minawisata Pulau-Pulau Kecil


Suatu konsep pengembangan minawisata hendaknya dilandasi pada prinsip dasar
ekowisata yang meliputi:
1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan
budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter
alam dan budaya setempat.
2. Pendidikan konservasi lingkungan; mendidik pengunjung dan masyarakat sekitar
akan pentingnya konservasi.
3. Pendapatan langsung untuk kawasan; restribusi atau pajak konservasi (conservation
tax) dapat digunakan untuk pengelolaan kawasan konservasi.
4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; merangsang masyarakat agar terlibat
dalam perencanaan dan pengawasan kawasan.
5. Penghasilan bagi masyarakat; masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga
terdorong untuk menjaga kelestarian kawasan.
6. Menjaga keharmonisan dengan alam; kegiatan dan pengembangan fasilitas tetap
mempertahankan keserasian dan keaslian alam.
7. Daya dukung sebagai batas pemanfaatan; daya tampung dan pengembangan
fasilitas hendaknya mempertimbangkan daya dukung lingkungan.
8. Kontribusi pendapatan bagi Negara (pemerintah daerah dan pusat).

Dari sudut pandang aktivitas secara keseluruhan, prinsip-prinsip blue economy yang
diintegrasikan dalam program minawisata diterjemahkan dalam aspek-aspek berikut:
a. Low CO2 Emission;
Untuk mengurangi emisi karbon, maka semua aktivitas dalam minawisata diupayakan
memanfaatkan sumber energi terbarukan. Misalnya untuk listrik dan penerangan
menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya, untuk memasak menggunakan biogas,
dan menggunakan bahan bakar biofuel atau rechargeable battery untuk speedboat.

6
b. Resources Efficient;
Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya alam maka perlu dikaji daya
dukung dan daya tampung pulau. Selanjutnya, jenis-jenis aktivitas dan batas jumlah
wisatawan yang diperbolehkan disesuaikan dengan hasil kajian tersebut. Sebagai
contoh, untuk memenuhi kebutuhan air minum dengan menghemat air tanah maka
dibangun alat desalinasi air laut atau reverse osmosis (RO). Penggunaan bahan-bahan
baku lokal dalam jumlah yang diperbolehkan, serta tidak melebihi batas maksimal
penggunaan lahan daratan pulau.
c. Socially Inclusive;
Untuk memastikan bahwa kegiatan minawisata nantinya berkontribusi terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal secara merata, maka diperlukan adanya
dukungan dan partisipasi dari setiap kelompok pemangku kepentingan. Untuk itu
diperlukan adanya pemberdayaan masyarakat lokal yang mencakup sosialisasi program,
penyadaran masyarakat, pelatihan keterampilan dan/ atau bimbingan teknis,
pembentukan dan penguatan kelembagaan, pendampingan, bantuan peralatan
penunjang, dan sebagainya. Adanya program pengembangan mata pencaharian
alternatif pendukung minawisata diharapkan dapat menambah penyerapan tenaga kerja
lokal. Kontribusi terhadap ekonomi daerah dapat diperoleh dari investasi dan perijinan,
penyerapan tenaga kerja (tour guide, dive guide, souvenir shop, boat operators, pegawai
restoran, pegawai KJA, dll), pajak, wisatawan (tiket masuk, akomodasi, konsumsi, dll).
d. Inovasi;
Inovasi dibutuhkan tidak hanya dalam teknologi pemanfaatan sumberdaya, tetapi juga
dalam pengelolaan sampah dan limbah yang dihasilkan. Pentingnya meminimalkan
produksi sampah dan limbah, tersedianya fasilitas pengolahan limbah IPAL (instalasi
pengolah air limbah), dan penerapan prinsip 3R (reuse, reduce dan recycle) dalam
pengelolaan sampah.

ARAHAN KEGIATAN MINAWISATA YANG POTENSIAL

Pengembangan minawisata pulau-pulau kecil membutuhkan dukungan investasi,


karena investasi merupakan salah satu alat penggerak pembangunan dan indikator penentu
dalam mempercepat laju pertumbuhan suatu wilayah, khususnya ekonomi wilayah.
Pengembangan investasi mencakup juga investasi publik, swasta (investor) dan pemerintah,
seperti penyediaan prasarana dan sarana dasar. Dengan meningkatnya investasi, maka
akan mendorong pergerakan sektor-sektor potensial dan secara langsung maupun tidak
langsung dapat menciptakan multiplier effect. Dengan telah tersedianya konsep minawisata,
kawasan pulau-pulau kecil akan semakin kondusif untuk dikembangkan, dimana salah
satunya terdapat kepastian dalam pemanfaatan ruang untuk tujuan investasi.

Arahan kegiatan minawisata di kawasan pulau-pulau kecil didasarkan pada hasil


analisis kesesuaian lahan, daya dukung dan analisis prioritas. Arahan aktivitas wisata dalam
Minawisata dapat dibagi menjadi 4 (empat) berdasarkan jenis objek utamanya, yaitu: wisata
mina, wisata konservasi dan pendidikan lingkungan, wisata bahari, dan wisata kuliner
perikanan. Wisata mina yang berbasis perikanan atau kombinasinya dapat berupa:
Pengembangan wisata budidaya laut (mariculture); melihat proses budidaya ikan di
Karamba Jaring Apung, memberi makan & memanen ikan,
Pengembangan wisata memancing di KJA, sport and recreation fishing
Melihat, praktek menanam dan memanen, budidaya rumput laut,
Melihat, mengamati, dan memanen budidaya kepiting bakau,
Spearfishing adventures (berburu ikan) dengan atau tanpa alat selam (SCUBA), yaitu
berburu ikan dengan senjata harpoon atau panah bertujuan untuk menangkap/berburu
ikan secara selektif, baik dari segi jenis maupun ukuran.

7
Gambar 1. Contoh KJA Minawisata pulau-pulau kecil

Gambar 2. Spearfishing sambil snorkeling (kiri) dan diving (kanan)

Wisata konservasi dan pendidikan lingkungan dapat berupa: ekowisata mangrove,


pendidikan konservasi, praktek menanam bibit mangrove, ekowisata berbasis spesies
(penyu, melepas tukik, dll), transplantasi karang (pelatihan dan praktek), dan pembuatan
kerajinan tangan dari sampah plastik dan daur ulang sampah.

Gambar 3. Wisata pendidikan ekosistem mangrove

8
Gambar 4. Souvenir dari hasil daur ulang sampah plastik (kiri) dan beragam makanan dari
buah mangrove (kanan).

Pengembangan wisata bahari yang dapat dikembangkan untuk mendukung


minawisata antara lain: diving, wisata fotografi bawah air, berenang, snorkeling, wisata dan
olahraga pantai, serta beach festival. Adapun paket-paket wisata kuliner perikanan dapat
berupa menikmati beragam makanan produk perikanan, memasak sendiri ikan hasil
tangkapan, mengamati dan praktek membuat makanan olahan dari ikan, rumput laut dan
buah mangrove, misalnya: kerupuk ikan, manisan rumput laut, otak-otak, abon ikan, dan
beragam makanan dari buah mangrove.

Strategi Minawisata Pulau-Pulau Kecil

Implementasi konsep minawisata pulau-pulau kecil membutuhkan strategi dan


pentahapan kegiatan yang terstruktur dan sistematis agar mencapai tujuan dan sasaran.
Strategi dimaksud mencakup komponen-komponen kegiatan sebagai berikut:

Perencanaan
1. Survei untuk mengumpulkan data dan informasi serta analisis data. Kegiatan analisis
data bertujuan untuk mengolah berbagai data, informasi dan peta dari lapangan
(biofisik, sosial ekonomi dan lain-lain). Jenis analisis yang dilakukan meliputi analisis
kesesuaian lahan, daya dukung, ekonomi dan analisis pengembangan wilayah.
2. Penyusunan rencana pengembangan dan rencana aksi minawisata pulau-pulau kecil
yang outputnya berupa dokumen masterplan, bussiness plan, siteplan, dan rancang
bangun minawisata pulau-pulau kecil.
3. Penataan ruang pesisir dan laut pulau-pulau kecil (pemintakatan) yang sinergis dengan
zonasi kawasan konservasi dalam konteks pengelolaan pulau-pulau kecil terpadu
(ISIM/Integrated Small Islands Management), yaitu ICM di PPK.

Pelaksanaan
Implementasi program minawisata membutuhkan dukungan program sebagai berikut:
1. Sosialisasi program dan penguatan kesadaran wisata masyarakat
2. Penyusunan Rencana Pengembangan Minawisata PPK, yang mencakup masterplan,
site plan/rancang bangun minawisata PPK
3. Penguatan sumberdaya manusia melalui pelatihan dan bimbingan teknis
4. Pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengembangan aktivitas ekonomi di bidang
perikanan dan wisata bahari

9
5. Penguatan infrastruktur dasar dan ekonomi penunjang aktivitas minawisata, termasuk
peningkatan akses wisatawan terhadap kawasan minawisata
6. Pengelolaan/rehabilitasi ekosistem termasuk pengawasan SDKP
7. Promosi, pemasaran paket wisata dan pengembangan investasi minawisata
8. Pengembangan dan inovasi paket atraksi perikanan dan ekowisata bahari
9. Operasionalisasi dan pengendalian pengelolaan kawasan minawisata pulau-pulau kecil.

Monitoring dan Evaluasi


Monitoring meliputi kegiatan pengawasan dan pengendalian, sedangkan evaluasi
merupakan proses pengukuran dari hasil-hasil pekerjaan yang seharusnya dicapai sesuai
dengan perencanaan program yang telah ditetapkan.
1. Monitoring
Monitoring dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara perencanaan dan
pelaksanaan program, jika terjadi ketidaksesuaian, informasi tersebut dapat segera
digunakan sebagai masukan dalam pengambilan keputusan.

2. Evaluasi program.
Evaluasi adalah suatu proses sistematis dalam mengumpulkan, menganalisis, dan
menginterprestasikan informasi untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan
program sesuai dengan kriteria tertentu untuk mengambil keputusan dalam
pengembangan minawisata pulau-pulau kecil.
Evaluasi dapat dibedakan menjadi tiga tahap yaitu:
a. Pra Evaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada saat program belum
berjalan/beroperasi pada tahap perencanaan.
b. Evaluasi pada saat program telah berjalan, yaitu evaluasi yang lebih difokuskan pada
penilaian dari setiap tahapan kegiatan yang sudah dilaksanakan walaupun belum
selesai sepenuhnya.
c. Evaluasi setelah program dilaksanakan, yaitu evaluasi yang dilakukan terhadap
seluruh tahapan program yang dikaitkan dengan tingkat keberhasilannya sesuai
dengan indikator yang ditetapkan dalam rumusan sasaran atau tujuan program.

PENUTUP

Minawisata pulau-pulau kecil adalah konsep yang relatif baru berkembang sehingga
masih membutuhkan penyempurnaan pada banyak aspek sehingga nantinya dapat
diimplementasikan dengan baik. Dukungan teknis dan politis tentu diperlukan, demikian pula
dengan dukungan regulasi, payung hukum, kajian dan riset baik dari para peneliti, akademisi
maupun praktisi dan lembaga swadaya masyarakat. Tidak kalah penting adalah dukungan
pihak swasta/dunia usaha sebagai calon investor. Selain itu, juga diperlukan kerjasama
yang sinergis dengan stakeholders terkait, seperti Gahawisri, BKPM, dan DMO (Destination
Management Organization), yaitu Tata kelola destinasi wisata yang baik yang diinisiasi oleh
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, khususnya cluster wisata bahari.

10
DAFTAR REFERENSI

Agardy, T.S. (1997), Marine Protected Areas and Ocean Conservation. Academic Press,
Inc., San Diego, California.
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil
Adrianto L, 2004 Adrianto, Luky. 2004. Pembangunan dan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil
yang Berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Perencanaan dan
Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu, Bogor, 23 Agustus 25 September
2004.
Bengen Dietriech G dan Retraubun Alex SW, 2006, Bengen, D.G. dan A.S.W. Retraubun.
2006. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-Sosiosistem Pulau-
Pulau Kecil. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L), Bogor.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 20 Tahun 2008 Tentang Pemanfaatan
Pulau-pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya
Direktorat Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil, Ditjen KP3K-Kementerian Kelautan dan
Perikanan, 2012, Pedoman Pengembangan Minawisata Pulau-pulau Kecil (dalam
proses penyempurnaan).
WCED (UN World Commission on Environment and Development), 1987, Our Common
Future: Report of the World Commission on Environment and Development, WCED,
Switzerland.
Pearce, D.G., Markandya A., Barbier E.(1994) [1989] Blueprint for a Green Economy.
London: Earthscan Publication Limited.
Suharsono. 2008a. Jenis-jenis Karang di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
Suharsono. 2008b. Sustainable Harvest of Stony Corals [paper]. Di dalam: Workshop
Penyusunan Peraturan Daerah Terumbu Karang-COREMAP II; Bogor, 12-13 Agustus
2008. Bogor: Coremap II, Departemen Kelautan dan Perikanan.
Yulianda, 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir
Berbasis Konservasi. Makalah. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Kamal E. 2005. Minawisata dan Minaindustri. Informasi Kampus. Universitas Bung Hatta.
Padang.
Fandeli, C. 2000. Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
META. 2002. Planning for marine ecotourism in the EU Atlantic Area: good practice
guidance. Bristol: University of the West of England.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 412 hal.
http://www.backpackingbex.com/

11

Anda mungkin juga menyukai