Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN KASUS

Tinea Kruris

Disusun Oleh :

Disusun Oleh :
Novita Putri Wardani
2011730157

Dokter Pembimbing :
Dr. Endang Tri Wahyuni, SpKK, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK
STASE KULIT DAN KELAMIN
BLUD RS SEKARWANGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2017
TINEA KRURIS

Novita Putri Wardani*

dr. Endang Tri Wahyuni, M.Kes, SpKK**

*Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta

**Rumah Sakit Umum Daerah Sekarwangi

Abstrak

Tinea kruris adalah infeksi dermatofita yang menyerang tubuh dibagian lipatan paha, perineum
dan kulit sekitar anus. Infeksi dermatofita paling sering disebabkan oleh jamur dari genus
Trychophyton, Microsporum dan Epidermophyton dimana Trycophyton rubrum merupakan
penyebab utama dari tinea kruris dan tinea korporis.

Dilaporkan kasus seorang wanita berumur 20 tahun dengan diagnosis tinea kruris. Gambaran
klinis pasien dengan keluhan gatal di bagian selangkangan, perut, dan daerah kemaluan dengan
efloresensi makula eritema multipel berbatas tegas, bentuk geografis, ukuran 15x10cm di
inguinal dan 20 x 15 cm di perut dengan tepi meninggi dan central healing positif. Pengobatan
yang diberikan cetirizine 10 mg 1 kali sehari, itrakonazole 100 mg 1 kali sehari, and cream
mikonazole 20 mg, salicyl acid 2%, sulfur precipitatum 4%. Prognosis pasien baik.

Abstract

Tinea cruris is dermatophyte infection of the groin, perineum area and perianal skin.
Dermatophyte infection usually caused by fungal from genus Trycophyton, Microsporum and
Epidermophyton while Trycophyton rubrum is the main cause of tinea corporis and cruris.

Reported the case a 20year old woman with a diagnosis of tinea cruris. Clinical feature with
complain itch in stomach, perineum, and genital with efflorescence multiple erythemathous
macula, demarcated, geographic shape, size 15 x 10cm on inguinal and 20 x 15 cm on stomach
with raised leading edge and positive central healing. Cetirizine 10 mg once/day, itrakonazole
100 mg once/day, dan cream mikonazole 20 mg, salicyl acid 2%, sulfur precipitatum 4%. Patients
prognosis is good.
BAB I

PENDAHULUAN

Kondisi geografis Indonesia sebagai Negara tropis dengan suhu dan kelembaban yang
tinggi memudahkan tumbuhnya jamur. Hal tersebut menyebabkan prevalensi penyakit infeksi
jamur yaitu dermatofitosis di Indonesia cukup tinggi. Studi menyebutkan 20% - 25% orang
dewasa di seluruh dunia terinfeksi oleh dermatofitosis. Dermatofitosis merupakan infeksi jamur
superfisial yang disebabkan oleh jamur dermatofita pada jaringan yang terdapat zat tanduk
(berkeratin), jarang mengenai lapisan yang lebih dalam, ditandai dengan lesi inflamasi maupun
non inflamasi, mengenai stratum korneum pada kulit, rambut dan kuku. Infeksi jamur yang sering
menyebabkan dermatofitosis adalah genus Tricophyton, Microsporum dan Epidermophyton.
Transmisi dermatofitosis menyebar melalui 3 cara yakni Antropofilik, Zoofilik, dan Geofilik.
Transmisi antropofilik merupakan penularan dari manusia ke manusia, Zoofilik adalah penularan
dari hewan ke manusia, dan Geofilik adalah penularan dari tanah ke manusia. Transmisi
antropofilik dan zoofilik dapat berupa transmisi secara langsung maupun tidak langsung.. 1,2,3,
Trycophyton rubrum, Trycophyton mentagrophytes dan Microsporum canis merupakan
agen penyebab paling sering pada infeksi tinea korporis dan tinea kruris. Tinea kruris merupakan
infeksi jamur yang sering menyerang bagian lipatan paha, bagian perineum, dan kulit disekitar
anus. Tinea kruris merupakan salah satu infeksi jamur yang sering mengenai masyarakat di
Indonesia.1,3
Tinea kruris dapat bersifat akut ataupun kronis, dan dapat diderita seumur hidup.
Tinea kruris lebih sering diderita oleh orang dewasa dibanding anak dan menyerang laki-laki
tiga kali lebih sering dibanding wanita, salah satu alasannya karena skrotum menciptakan
kondisi yang hangat dan lembab. Penularan tinea kruris dapat melalui kontak langsung, baik
dengan manusia maupun binatang, dan dari serpihan jamur pada pakaian, handuk, dan lain-
lain.7 Faktor predisposisi lain yang mempengaruhi terjadinya tinea kruris, antara lain obesitas,
hygiene sanitasi, lokasi geografis beriklim tropis.7
Diagnosis laboratorium dari dermatofitosis biasanya dapat dilakukan preparat Kalium
Hidroksida (KOH). Konsentrasi larutan KOH yang digunakan adalah 10% untuk sediaan rambut,
dan 20% pada sediaan kulit dan kuku. Hasilnya akan didapatkan adanya hifa maupun spora
berderet (arthrospora). Adapun cara lainnya menggunakan medium agar dekstrosa Sabouraud,
namun cara ini jarang digunakan karena memerlukan waktu yang lama. 1,3
Pengobatan infeksi dermatofitosis sebagian besar memberikan respon baik terhadap
pemberian topical antifungal selama 2-4 minggu. Pemberian obat antifungal secara oral dapat
diberikan apabila infeksi dermatofitosis cukup luas maupun tidak berespon terhadap pemberian
antifungal topical.1,3
Laporan kasus ini membahas tinea kruris pada pasien wanita berusia 19 tahun, yang
merupakan kasus dermatofitosis yang sangat sering terjadi pada masyarakat di Indonesia.
Penentuan diagnosis yang tepat serta edukasi terhadap masyarakat sangatlah penting untuk
mencegah penyebaran penyakit ini.
BAB II

LAPORAN KASUS

Seorang wanita 20 tahun datang ke RSUD Sekarwangi dengan keluhan bercak dan
gatal di perut, selangkangan, dan daerah kemaluan yang dirasakan sejak 2 bulan yang lalu.
Gatal dirasakan hebat saaat berkeringat. Awalnya pasien mengatakan muncuk bercak di
selangkangan terlebih dahulu kemudian menyebar sampai ke perutnya. 1 tahun yang lalu
pasien pernah mengalami keluhan yang sama namun pasien tidak pernah datang lagi untuk
kontrol penyakitnya. Pasien mengatakan suka malas mandi ketika sudah sampai di tempat
kosnya sehabis pulang kuliah. Riwayat penyakit keluarga tidak ada yang menderita hal yang
sama dengan pasien. Riwayat alergi pasien tidak memiliki alergi cuaca, makanan, dan obat.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien compos mentis, keadaan umum
tamak sakit sedang, tanda vital dalam batas normal, tekanan darah 120/80 mmHg dan nadi
100x/menit.

Pada status dermatologis terdapat lokalisasi pada region inguinal, abdomen, dan
genitalia. Bentuk efloresensi berupa plak eritem berbatas tegas, ukuran 15x10cm pada region
inguinal dan genital (Gambar 2.1) dan 20x15cm pada region abdomen dengan tepi meninggi
dan central healing positif (Gambar 2.2).

Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang


dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis apabila dari gambaran klinis masih
meragukan. Diagnosis tinea kruris pada pasien ini didapatkan berdasarkan hasil anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang dilakukan. Pada anamnesis didapatkan keluhan mulai timbul 1
tahun yang lalu namun pasien tidak pernak kontrol lagi dan muncul kembali 2 bulan yang
lalu dengan keluhan yang bertambah sampai ke daerah perut. Di keluarga pasien tidak ada
yang memiliki keluhan yang sama. Dari pemeriksaan fisik tampak plak eritem dengan tepi
meninggi dan central healing positif yang merupakan tanda khas dari tinea.

Terapi yang diberikan pada pasien ini berupa obat antipruritic cetirizine 10 mg tab
1x1 untuk mengurangi rasa gatal, Itrakonazole 100 mg 1x1, dan obat anti mikotik topical
miconazole 20 mg, salicyl acid 2%, sulfur precipitatum 4% dioleskan pagi dan sore untuk
yang gatal.

Gambar 2.1 Tampak plak eritem Gambar 2.2 Tampak plak eritem
dengan tepi meninggi dan central yang meluas ke abdomen dengan tepi
healing meninggi

BAB III
DISKUSI

Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Jamur ini tumbuh
di bagian yang mengandung keratin. Penyakit ini disebabkan oleh jamur genus Tricophyton,
Microsporum dan Epidermophyton. Dermatofitosis dibagi menjadi beberapa bagian, yakni Tinea
kapitis, tinea barbe, tinea kruris, tinea pedis et manum, tinea unguinum, dan tinea korporis.
Umumnya penderita hanya terkena salah satu jenis tinea, namun pada infeksi yang lama dapat
muncul tinea jenis lainnya. Pada kasus diatas pasien menderita 2 jenis tinea, yakni tinea kruris
dan tinea korporis.1,3,4,5
Tinea kruris atau jock itch merupakan dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum
dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat menahun, bahkan berlangsung seumur hidup. Lesi
kulit dapat terbatas pada daerah genito krural atau dapat meluas ke daerah disekitar anus , gluteus
dan perut bagian bawah. Manifestasi klinis dapat berupa lesi berbatas tegas dengan peradangan
tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya atau disebut central healing.1,2,5

Diagnosis dari tinea kruris didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang laboratorium. Berdasarkan gejala klinis dari tinea kruris yaitu adanya
keluhan gatal dan kemerahan di lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Lesi kulit dapat
terbatas pada daerah genito-krural saja, atau meluas ke daerah anus, daerah gluteus dan perut
bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain. Kelainan kulit yang tampak pada sela paha
merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya.
Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder. Dari anamnesis
dapat kita ketahui berdasarkan keluhan pasien seperti adanya kemerahan di tubuh dengan rasa
gatal. Berdasarkan kasus diatas, seorang perempuan umur 19 tahun mengeluh gatal di perut,
selangkangan, dan daerah kemaluan. Rasa gatal terutama dirasakan pada saat berkeringat. Hal ini
sesuai dengan karakteristik tinea kruris yang menyebabkan gatal semakin berat apabila terkena
keringat. Kelembapan yang tinggi, keringat yang berlebih dan menggunakan pakaian tertutup
merupakan faktor predisposisi dari penyakit ini. Pasien sebelumnya juga mengeluhkan penyakit
dimulai ketika pasien suka malas mandi ketika sudah di kosnya setelah pulang kuliah.1,3

Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan pemeriksaan sediaan basah. Sediaan


basah dilakukan dengan meletakan bahan diatas gelas alas , kemudian di tetesi larutan KOH
sebanyak 2 tetes. Konsentrasi larutan KOH digunakan 20% karena media yang digunakan adalah
sediaan kulit. Pada sediaan kulit yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh
sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (Artrospora) pada kelainan kulit lama dan/atau
sudah diobati. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang karena pemeriksaannya tidak
memadai di rumah sakit. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis apabila dari gambaran klinis masih meragukan. Diagnosis tinea kruris pada pasien ini
didapatkan berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan.

Pengobatan dapat diberikan dengan topikal maupun oral sistemik. Topikal diberikan
kombinasi asam salisilat 2-4%, asam benzoate 6-12%, sulfur 4-6%, vioform 3%, asam undesilenat 2-
5%, dan zat warna.Antijamur topikal derivate azol : mikonazole 2% dan klotrimasol 1% juga dapat
diberikan. Sedangkan pengobatan sistemik diberikan griseofulvin, ketoconazole, itrakonazole ataupun
terbinafin. Pada pasien ini diberikan cetirizine 10 mg tab 1x1 untuk mengurangi rasa gatal,
Itrakonazole 100 mg 1x1, dan obat anti mikotik topical miconazole 20 mg, salicyl acid 2%, sulfur
precipitatum 4%. Satu minggu setelah berobat pasien tidak datang kembali ke poli kulit RSUD
Sekarwangi sehingga tidak bisa dinilai ada perbaikan atau tidak selama pengobatan.

Prognosis pada tinea kruris akan baik jika kebersihan dan kelembaban selalu dijaga. Pada
pasien diedukasi untuk menjaga kebersihan, kelembaban pakaian, dan tidak menggunakan pakaian
yang terlalu ketat.

Kesimpulan, seorang wanita, usia 20 tahun menderita infeksi Tinea Kruris. Pasien
mendapatkan pengobatan cetirizine 10 mg tab 1x1 untuk mengurangi rasa gatal, Itrakonazole 100 mg
1x1, dan obat anti mikotik topical miconazole 20 mg, salicyl acid 2%, sulfur precipitatum 4%.

DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi. Dkk.: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. 2009.
2. Weitzman I, Summerbell R C. The Dermatophytes. American Society for Microbiology. New
York. 1995, 8(2):240
3. Risdianto Arif, Kadir Dirmawati, Amin Safruddin. Tinea Corporis and Tinea Cruris Caused by
Trychophyton mentagrophytes type glanular in Asthma Bronchiale Patient. Medical Faculty of
Hasanuddin University, Makassar. 2013
4. Straten Melody R. Vander, Hossain Mohammad A, Ghannoum Mahmoud A. Cutaneus
infections Dermatophytosis, onchomycosis and tinea versicolor. Infectius Disease Clinics of
North America. Cleveland. 2003
5. Kurniati, C. Etiopatogenesis Dermatofitosis, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
Surabaya. 2008
6. Dermatophytosis. The Centre for Food Security & Public Health. Iowa. 2013
7. Schieke SM, Garg A. Fungal disease: superficial fungal infection. In: Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds. Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine. 8th Ed: Volume 2. New York: McGraw-Hill; 2012.

Anda mungkin juga menyukai