Anda di halaman 1dari 20

Agus Maryono

Konsep Ekodrainase sebagai Pengganti


Drainase Konvensional
Agus Maryono

SUNGGUH sangat merisaukan jika kita mengevaluasi konsep drainase yang diterapkan di seluruh
pelosok Tanah Air saat ini. Konsep yang dipakai adalah konsep drainase konvensional, yaitu
drainase pengatusan kawasan. Drainase konvensional adalah upaya membuang atau
mengalirkan air kelebihan secepat-cepatnya ke sungai terdekat. Konsep ini sejak tahun 1970-an
sampai sekarang hampir tidak berubah dan terus diajarkan di seluruh perguruan tinggi di
Indonesia dan sebagai konsep dasar yang digunakan para praktisi dalam pembuatan Masterplan
Drainase di seluruh kota besar dan kecil di Indonesia.

DALAM konsep drainase konvensional, seluruh air hujan yang jatuh ke di suatu wilayah harus
secepat-cepatnya dibuang ke sungai dan seterusnya mengalir ke laut. Jika hal ini dilakukan pada
semua kawasan, akan memunculkan berbagai masalah, baik di daerah hulu, tengah, maupun hilir.

Dan ternyata, bahwa konsep drainase konvensional ini di Indonesia tidak hanya dipakai untuk
men-drain areal permukiman, namun digunakan secara menyeluruh termasuk untuk men-drain
kawasan pedesaan, lahan pertanian dan perkebunan, kawasan olahraga, wisata, dan lain
sebagainya.

Drainase konvensional untuk permukiman atau perkotaan dibuat dengan cara membuat saluran-
saluran lurus terpendek menuju sungai guna mengatuskan kawasan tersebut secepatnya.

Seluruh air hujan diupayakan sesegera mungkin mengalir langsung ke sungai terdekat. Pada areal
pertanian dan perkebunan biasanya dibangun saluran drainase air hujan menyusuri lembah
memotong garis kontur dengan kemiringan terjal. Pada saat hujan, saluran drainase ini berfungsi
mengatuskan kawasan pertanian dan perkebunan dan langsung dialirkan ke sungai.

Demikian juga di areal wisata dan olahraga, semua saluran drainase didesain sedemikian rupa
sehingga air mengalir secepatnya ke sungai terdekat. Orang sama sekali tidak berpikir apa yang
akan terjadi di bagian hilir, jika semua air hujan dialirkan secepat-cepatnya ke sungai tanpa
diupayakan agar air mempunyai waktu cukup untuk meresap ke dalam tanah (lihat Gambar A,
kesalahan drainase konvensional).

Dampak dari pemakaian konsep drainase konvensional tersebut dapat kita lihat sekarang ini, yaitu
kekeringan yang terjadi di mana-mana, juga banjir, longsor, dan pelumpuran.

Termasuk juga surutnya sungai-sungai di luar Jawa saat ini, hingga menyebabkan transportasi
sungai sangat selalu terganggu. Tentu saja ada sebab-sebab selain drainase, misalnya,
penggundulan hutan, namun kesalahan konsep drainase yang kita pakai sekarang ini merupakan
penyumbang bencana kekeringan, banjir, dan longsor yang cukup signifikan.
Kesalahan konsep drainase konvensional yang paling pokok adalah filosofi membuang air
genangan secepat-cepatnya ke sungai. Dengan demikian, sungai-sungai akan menerima beban
yang melampaui kapasitasnya, sehingga meluap atau terjadi banjir, contoh, banjir-banjir di
Jakarta, Semarang, Bandung, Riau, Samarinda, dan lain-lain. Demikian juga mengalirkan air
secepatnya berarti pengatusan kawasan atau menurunkan kesempatan bagi air untuk meresap ke
dalam tanah.

Dengan demikian, cadangan air tanah akan berkurang, kekeringan di musim kemarau akan
terjadi. Dalam konteks inilah pemahaman bahwa banjir dan kekeringan merupakan dua fenomena
yang saling memperparah secara susul-menyusul dapat dengan mudah dimengerti.

Sangat ironis bahwa semakin baik drainase konvensional di suatu kawasan aliran sungai, maka
kejadian banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau akan semakin intensif silih
berganti.

Dampak selanjutnya adalah kerusakan ekosistem, perubahan iklim mikro dan makro disertai tanah
longsor di berbagai tempat yang disebabkan oleh fluktuasi kandungan air tanah musim kering dan
musim basah yang sangat tinggi.

JIKA kesalahan konsep dan implementasi drainase yang selama ini kita lakukan ini tidak diadakan
revisi, usaha apa pun yang kita lakukan untuk menanggulangi banjir, kekeringan lahan, dan
longsor, akan sia-sia.

Dalam tulisan ini akan diketengahkan konsep drainase baru yang biasa disebut drainase ramah
lingkungan atau ekodrainase yang sekarang ini sedang menjadi konsep utama di dunia
internasional dan merupakan implementasi pemahaman baru konsep ekohidraulik dalam bidang
drainase.

Drainase ramah lingkungan didefinisikan sebagai upaya mengelola air kelebihan dengan cara
sebesar-besarnya diresapkan ke dalam tanah secara alamiah atau mengalirkan ke sungai dengan
tanpa melampaui kapasitas sungai sebelumnya.

Dalam drainase ramah lingkungan, justru air kelebihan pada musim hujan harus dikelola
sedemikian sehingga tidak mengalir secepatnya ke sungai. Namun diusahakan meresap ke dalam
tanah, guna meningkatkan kandungan air tanah untuk cadangan pada musim kemarau. Konsep ini
sifatnya mutlak di daerah beriklim tropis dengan perbedaan musim hujan dan kemarau yang
ekstrem seperti di Indonesia.

Berikut ini diketengahkan beberapa metode drainase ramah lingkungan yang dapat dipakai di
Indonesia, di antaranya adalah metode kolam konservasi, metode sumur resapan, metode river
side polder, dan metode pengembangan ereal perlindungan air tanah (ground water protection
area).

Metode kolam konservasi (lihat Gambar B) dilakukan dengan membuat kolam-kolam air, baik di
perkotaan, permukiman, pertanian, atau perkebunan. Kolam konservasi ini dibuat untuk
menampung air hujan terlebih dahulu, diresapkan dan sisanya dapat dialirkan ke sungai secara
perlahan-lahan.

Kolam konservasi dapat dibuat dengan memanfaatkan daerah-daerah dengan topografi rendah,
daerah-daerah bekas galian pasir atau galian material lainnya, atau secara ekstra dibuat dengan
menggali suatu areal atau bagian tertentu.

Kolam konservasi juga sangat menguntungkan jika dikaitkan dengan kebutuhan rekreasi
masyarakat. Misalnya pada pembangunan real estat, pemerintah dapat mewajibkan pengelola real
estat untuk membangun kolam konservasi air hujan di lokasi perumahan, sekaligus ditata sebagai
areal rekreasi bagi masyarakat perumahan.

Di samping itu, kolam konservasi dapat dikembangkan menjadi bak-bak permanen air hujan,
khususnya di daerah-daerah dengan intensitas hujan yang rendah. Kota-kota dan kawasan luar
kota di Indonesia perlu segera membangun kolam-kolam konservasi air hujan ini. Sangat
disayangkan, bahwa perkembangan yang ada di Indonesia sekarang ini justru masyarakat dan
pemerintah berlomba mempersempit atau bahkan menutup kolam konservasi alamiah yang ada
(rawa, situ, danau kecil, telaga, dan lain-lain). Banyak kolam-kolam konservasi alamiah dalam
sepuluh tahun terakhir ini hilang dan berubah fungsi menjadi areal permukiman, contohnya di
Jakarta, Bandung, dan lain-lain.

Untuk areal pertanian dan perkebunan sudah mendesak, untuk segera direncanakan dan dibuat
parit-parit (kolam) konservasi air hujan. Parit ini sangat penting untuk cadangan air musim
kemarau sekaligus meningkatkan konservasi air hujan di daerah hulu, serta meningkatkan daya
dukung ekologi daerah setempat. Konstruksi parit cukup sederhana, berupa galian tanah
memanjang atau membujur di beberapa tempat tanpa pasangan. Pada parit tersebut sekaligus
bisa dijadikan tempat budidaya ikan dan lain-lain.

Metode sumur resapan merupakan metode praktis dengan cara membuat sumur-sumur untuk
mengalirkan air hujan yang jatuh pada atap perumahan atau kawasan tertentu (Dr Sunjoto, UGM).
Sumur resapan ini juga dapat dikembangkan pada areal olahraga dan wisata. Konstruksi dan
kedalaman sumur resapan disesuaikan dengan kondisi lapisan tanah setempat. Perlu dicatat
bahwa sumur resapan ini hanya dikhususkan untuk air hujan, sehingga masyarakat harus
mendapatkan pemahaman mendetail untuk tidak memasukkan air limbah rumah tangganya ke
sumur resapan tersebut.

METODE river side polder (lihat Gambar C) adalah metode menahan aliran air dengan
mengelola/menahan air kelebihan (hujan) di sepanjang bantaran sungai. Pembuatan polder pinggir
sungai ini dilakukan dengan memperlebar bantaran sungai di berbagai tempat secara selektif di
sepanjang sungai.

Lokasi polder perlu dicari, sejauh mungkin polder yang dikembangkan mendekati kondisi alamiah,
dalam arti bukan polder dengan pintu-pintu hidraulik teknis dan tanggul-tanggul lingkar hidraulis
yang mahal. Pada saat muka air naik (banjir), sebagian air akan mengalir ke polder dan akan
keluar jika banjir reda, sehingga banjir di bagian hilir dapat dikurangi dan konservasi air terjaga.
Upaya ini sedang dilakukan di Jepang dan Jerman secara besar-besaran, sebagai upaya menahan
air untuk konservasi sungai musim kemarau dan menghindari banjir serta meningkatkan daya
dukung ekologi wilayah keairan. Metode ini dapat diusulkan untuk mengurangi banjir di kota-kota
besar yang terletak di hilir sungai seperti Kota Jakarta, Surabaya, Medan Samarinda, dan lain-lain.
Demikian juga dapat meningkatkan pasokan air sungai musim kemarau untuk mendukung
transportasi sungai atau pertanian.

Metode areal perlindungan air tanah dilakukan dengan cara menetapkan kawasan lindung untuk
air tanah, di mana di kawasan tersebut tidak boleh dibangun bangunan apa pun. Areal tersebut
dikhususkan untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah.

Di berbagai kawasan perlu sesegara mungkin dicari tempat-tempat yang cocok secara geologi dan
ekologi sebagai areal untuk recharge dan perlindungan air tanah sekaligus sebagai bagian penting
dari komponen drainase kawasan.

Konsep drainase ramah lingkungan atau ekodrainase ini perlu mendapat perhatian yang serius dari
pemerintah. Kesalahan pemahaman masyarakat, dinas terkait, dan perguruan tinggi tentang
filosofi konsep drainase, yaitu membuang air secepat-cepatnya ke sungai, perlu segera direvisi dan
diluruskan secara serius. Perlu pembenahan dan revisi bangunan drainase permukiman, tempat
olahraga dan rekreasi, pertanian dan perkebunan dengan konsep drainase ramah lingkungan.
Tampaknya perlu studi khusus untuk menemukan kembali konsep drainase ramah lingkungan.

Dr Ing Ir Agus Maryono, Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM

Sumber: Kompas, Jumat, 26 September 2003

Retarding Basin dan Banjir Jakarta


Agus Maryono

Jakarta diterjang banjir bandang lagi. Kali ini lebih luas dan menyedihkan, setelah banjir besar
2002 dan banjir kecil dan menengah tahun 2003, 2004, 2005, dan 2006.

Adakah metode efektif yang ramah lingkungan untuk mengatasi banjir sekaligus bisa
dimanfaatkan untuk mengatasi kekeringan kota?

Oleh banyak negara, masalah serupa diselesaikan dengan metode retarding basin ramah
lingkungan. Filosofi metode ini adalah mencegat air yang mengalir dari hulu dengan membuat
kolam-kolam retensi (retarding basin) sebelum masuk ke hilir. Retarding basin dibuat di bagian
tengah dan hulu kanan-kiri alur sungai-sungai yang masuk kawasan yang akan diselamatkan.

Contoh implementasi metode retarding basin adalah penyelesaian banjir di wilayah hilir Sungai
Rhine di Eropa. Untuk mengurangi banjir yang menerjang kota-kota di wilayah Jerman dan
Belanda bagian hilir, dimulailah (integriertes Rheisprogram) dengan membuat retarding basin-
retarding basin di sepanjang
Sungai Rhine di bagian tengah dan hulu, mulai dari kota Karslruhe (di perbatasan Perancis dan
Jerman) sampai ke kota Bassel di perbatasan Jerman, Swiss, dan Austria.

Retarding basin ini dibangun untuk memotong debit puncak banjir Sungai Rhine yang akan
menyusur menuju hilir masuk kota-kota penting, seperti Koeln, Dusseldorf, dan akhirnya
Rotterdam. Volume air bah pada puncak banjir akan disimpan di retarding basin selama banjir
berlangsung dan akan dikeluarkan setelah banjir reda. Retarding basin ini terbukti efektif
menurunkan banjir yang terjadi di sepanjang Sungai Rhine di bagian hilir.

Program pembangunan retarding basin besar-besaran ini terus dikerjakan mengingat


keberhasilannya cukup signifikan dan efeknya bagi perbaikan kualitas lingkungan serta konservasi
air di daerah tengah dan hulu tinggi.

Penyimpan air

Fungsi retarding basin selain untuk memangkas puncak banjir, juga sebagai penyimpan air untuk
dilepaskan pada saat musim kemarau dan meningkatkan konservasi air tanah karena selama air
tertahan peresapan air terjadi. Dengan adanya cadangan di retarding basin, pada musim kemarau
air dapat dipakai untuk penggelontoran saluran drainase dan sungai-sungai di daerah hilir.

Retarding basin harus didesain ramah lingkungan, artinya bangunannya cukup dibuat dengan
mengeruk dan melebarkan bantaran sungai, memanfaatkan sungai mati atau sungai purba yang
ada, memanfaatkan cekungan-cekungan, situ, dan rawa-rawa yang masih ada di sepanjang
sungai, dan dengan pengerukan areal di tepi sungai untuk dijadikan kolam retarding basin.

Disarankan, dinding retarding basin tidak diperkuat dengan pasangan batu atau beton karena
selain harganya amat mahal, juga tidak ramah lingkungan dan kontraproduktif dengan
ekohidraulik bantaran sungai. Tebing-tebing itu cukup diperkuat dengan aneka tanaman sehingga
secara berkelanjutan akan meningkatkan kualitas ekologi dan konservasi air.

Untuk penanganan banjir di Jakarta, retarding basin dapat dibuat di bagian tengah dan hulu dari
13 sungai yang mengalir ke jantung kota Jakarta, seperti Sungai Ciliwung, Cisadane, Mookervart,
Pesanggrahan, Grogol, Krukut, Kali Baru Barat, Cipinang, Sunter, dan Cakung.

Pembuatan retarding basin ramah lingkungan dapat diawali dengan inventarisasi lokasi sepanjang
alur sungai dengan prioritas dari bagian tengah hingga hulu. Inventarisasi ini dimaksudkan untuk
menemukan lokasi-lokasi kanan-kiri sungai yang bisa dijadikan lokasi retarding basin. Setelah
lokasi-lokasi yang cocok ditemukan, dapat dilakukan pembebasan tanah dan dimulai pembuatan
retarding basin secara bertahap. Pembebasan tanah di pinggir sungai di daerah tengah dan hulu,
yaitu di daerah Bekasi ke arah hulu, kiranya tidak memakan biaya mahal seperti pembebasan
tanah di Jakarta Pusat.

Pembuatan retarding basin ini jauh lebih murah jika dibandingkan dengan pembuatan banjir kanal-
banjir kanal. Karena selain lokasinya di luar daerah pusat perekonomian, konstruksinya juga
ramah lingkungan dan tidak diperlukan konstruksi-konstruksi tambahan lain, seperti jembatan
pelintasan, tanggul, dan perlindungan tebing.

Masih ada lokasi

Menurut studi makro peta Jakarta, penulis berkesimpulan, ke-13 sungai di Jakarta hampir semua
masih mempunyai areal pinggir sungai yang bisa dimanfaatkan sebagai kolam retarding basin,
terutama di daerah Jakarta Selatan, Depok, dan masuk Kabupaten Bogor. Untuk daerah Jakarta
Selatan sampai perbatasan dengan Depok, misalnya, di Sungai Ciliwung kolam retarding basin
bisa dibangun di sepanjang pinggir sungai dari Kompleks TNI-Cilandak hingga daerah MT
Haryono, pada Sungai Pesanggrahan di daerah Cirendeu, Kompleks Lebak Bulus, dan Kebayoran
Lama; pada Sungai Krukut di daerah Ksatriaan Marinir Cilandak, Cilandak Timur, daerah sekitar
Kemang dan Karet, pada sungai Sunter, daerah Cipinang dan Kelapa Gading Barat. Juga untuk
sungai-sungai lain masih banyak daerah dapat digunakan areal retarding basin pinggir sungai.

Dengan dibangunnya retarding basin-retarding basin yang ramah lingkungan dengan jumlah
cukup, diyakini banjir Jakarta dapat diredam. Air dari bagian tengah dan hulu dapat direm
sementara masuk retarding basin dan akan keluar jika gelombang banjir mulai menyurut. Jumlah
retarding basin yang harus dibangun sesuai hitungan volume banjir yang akan direduksi. Semakin
banyak retarding basin, tinggi dan volume genangan yang dapat diatasi kian besar.

Penanganan banjir di suatu lokasi tertentu dapat diprioritaskan dengan cara membuat retarding
basin di bagian hulu dari sungai yang menuju lokasi itu. Jadi untuk mengatasi banjir di sepanjang
Ciliwung hilir dan Istana Negara, misalnya, dapat dibuat retarding basin dalam jumlah cukup
banyak di sebelah hulu aliran sungai tersebut.

Berdasarkan telaah itu, Pemerintah DKI sebaiknya memprogramkan pembuatan retartding basin
secara simultan terus-menerus sehingga banjir Jakarta dengan keyakinan penuh dapat diatasi
sekaligus konservasi air pada musim kemarau terjaga. Namun, perlu diingat, penanggulangan
banjir dengan metode ekohidraulik ramah lingkungan lain, seperti memanen hujan, ekodrainase,
sumur peresapan, areal resapan, penghijauan, penghutanan kembali, penghentian penebangan
hutan, revitalisasi sungai rawa dan situ, peninggian jembatan rendah, serta menghidupkan
kembali transportasi sungai di Jakarta harus dilakukan secara serius dan terintegrasi.

Agus Maryono
Peneliti Sungai, Banjir, dan Ekohidraulik; Dosen Fakultas Teknik, MST FT UGM

Sumber: KOMPAS, Kamis, 08 Februari 2007, Rubrik Opini


http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0702/08/opini/3301174.htm

Manajemen Air Hujan di Indonesia


Agus Maryono
Dunia ke depan dibayang-bayangi oleh krisis yang sangat mengancam, yaitu krisis persediaan air
bersih. Demikian juga di Indonesia, masalah air bersih ini akan secara eskalatif memanas dari
tahun ke tahun.

Sengketa atas penggunaan mata air oleh masyarakat dan PDAM di berbagai daerah dan
penurunan muka air tanah serta penurunan debit mata air di sebagian besar wilayah Indonesia
merupakan suatu indikasi adanya masalah air bersih yang cukup serius dewasa ini.

Di samping itu, kekeringan pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan secara rutin
menimpa kita. Masalah tersebut di antaranya disebabkan oleh kesalahan dalam pengelolaan
wilayah daerah aliran sungai dan juga kerusakan lingkungan yang terus berjalan sekarang ini.

Kita sebagai bangsa yang menempati wilayah dengan curah hujan cukup tinggi, 2.000-4.000
mm/tahun, ternyata belum tergerak sedikit pun untuk mengelola potensi air hujan yang begitu
besar tersebut.

Tulisan ini menyajikan konsep memanen air hujan (rain water harvesting) untuk segera
dikembangkan di Indonesia guna menanggulangi masalah di atas. Istilah memanen hujan
sebenarnya berasal dari bidang pertanian, khususnya untuk pemenuhan kebutuhan air pertanian
di daerah arid dan semi arid.

Namun, upaya memanen hujan di dunia internasional saat ini menjadi bagian penting dalam
agenda global environmental water resources management dalam rangka penanggulangan
ketimpangan air pada musim hujan dan kering (lack of water), kekurangan pasokan air bersih
penduduk dunia, serta penanggulangan banjir dan kekeringan.

Memanen hujan dapat didefinisikan sebagai upaya menampung air hujan untuk kebutuhan air
bersih atau meresapkan air hujan ke dalam tanah untuk menanggulangi banjir dan kekeringan.

Perkembangan terakhir di negara maju yang dapat dilihat di International Exhibition on Water and
Wastewater di Munic, Jerman, 24-29 April 2005, justru mulai ada tren besar-besaran untuk
membuat kolam tandon air hujan skala rumah tangga untuk keperluan mengepel, mencuci mobil,
menyiram tanaman, menggelontor toilet, bahkan ada yang dilengkapi sekaligus dengan perangkat
pengolahan air mini sehingga seluruh air hujan bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan air minum.

Salah satu contoh implementasi memanen air hujan adalah kebutuhan air bandara di Frankfurt,
Jerman, dipasok dari air hujan yang dikumpulkan dari atap bandara tersebut.

Berikut ini akan dikemukakan beberapa metode hujan yang telah berkembang dan beberapa
wacana memanen hujan yang dapat dikembangkan di Indonesia, baik memanen hujan yang
langsung bisa dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih rumah tangga maupun
memanen air hujan untuk mengisi air tanah.

Metode memanen hujan


Kolam tandon air rumah tangga sudah banyak dipakai masyarakat secara tradisional sebagai
cadangan air bersih. Misal kolam tandon harian komunal di Gunung Kidul, DI Yogyakarta (kolam
PAH atau kolam pengumpul air hujan).

Tiap keluarga secara individual membuat kolam tandon di bawah rumah atau di bawah teras.
Untuk rumah sederhana dan rumah tingkat atau hotel dapat digunakan kolam tandon vertikal
bentuk silinder dengan diameter 1-2 meter, disesuaikan dengan desain rumah yang ada, sehingga
pengalirannya dapat dengan metode gravitasi.

Metode ini sangat menguntungkan karena minimal selama musim hujan kebutuhan dasar air
bersih dapat ditopang dengan bak tandon ini. Dengan cara ini, kantor-kantor pemerintah dan
swasta dapat memulai memanen hujan untuk mengurangi anggaran air bersih dari PDAM selama
sekitar tujuh bulan (pada musim hujan dan beberapa bulan pada awal musim kemarau).

Metode kolam untuk menampung air sudah dipraktikkan secara tradisional oleh nenek moyang
bangsa Indonesia. Setiap rumah tangga dulu mempunyai kolam jogangan sekaligus untuk
memelihara ikan atau merendam kayu.

Metode kolam dalam skala besar juga sangat mudah untuk disosialisasikan melalui pola
pemenuhan kebutuhan bahan uruk (bahan galian C). Pemerintah dan masyarakat dapat mencari
lokasi tambang galian C, kemudian dikeruk. Hasil galiannya dipakai sebagai bahan uruk, bekas
galiannya dipakai sebagai kolam resapan air hujan sekaligus dapat dikembangkan untuk rekreasi.

Cara ini banyak dipraktikkan di negara-negara maju sehingga dalam jangka waktu tertentu
mereka mempunyai banyak sekali danau buatan dari tambang galian C. Di samping itu, konstruksi
kolam dapat dibangun di areal permukiman.

Limpasan air hujan suatu kawasan permukiman ditampung di kolam untuk diolah kembali menjadi
air minum, bahkan untuk kebutuhan air irigasi. Cara ini sudah banyak dipraktikkan di kompleks-
kompleks perumahan perusahaan pertambangan di Sumatera dan Kalimantan.

Sedangkan metode sumur resapan sudah banyak dikenal masyarakat dan dapat
diimplementasikan pada setiap unit perkantoran, tempat-tempat rekreasi, olahraga, pada ruas-
ruas jalan, lapangan terbang, dan lain sebagainya. Masyarakat sudah banyak mengenal sumur
resapan, namun implementasinya masih tergolong lambat.

Tanggul pekarangan

Masyarakat di pedesaan di Indonesia sampai saat ini masih mempunyai metode menanggulangi
erosi pekarangan dengan membuat tanggul pekarangan rendah setinggi 20-30 cm dari susunan
batu kosong atau batu bata dan tanaman mengelilingi pekarangan mereka.

Metode tersebut telah banyak dilakukan di daerah Magelang dan Temanggung, Jawa Tengah, dan
Sleman, DI Yogyakarta. Konstruksi ini ternyata juga berfungsi sebagai pola memanen hujan
karena limpahan limpasan hujan akan tertahan dan meresap di areal pekarangan, tidak langsung
mengalir ke sungai, dan sumur mereka tidak pernah kering.

Modifikasi lanskap untuk memanen hujan sedang banyak dikerjakan di beberapa negara maju,
misal di Kanada, Jerman, dan Jepang. Salah satunya dengan mengganti jaringan drainase
kawasan dengan cekungan-cekungan di berbagai tempat (modifikasi lanskap) sehingga air hujan
akan tertampung di lokasi cekungan tersebut.

Cara modifikasi lanskap ini ternyata dapat menekan biaya konstruksi jaringan drainase suatu
kawasan lebih dari 50 persen. Di Indonesia metode ini secara tradisional sebenarnya sudah
berkembang.

Masyarakat memodifikasi lanskap mereka dengan membuat parit-parit kecil dan cekungan-
cekungan dangkal di pekarangan mereka sekaligus sebagai ornamen kebun pekarangan.

Pemerintah dan masyarakat mengusahakan suatu kawasan atau wilayah tertentu yang khusus
diperuntukkan sebagai daerah pemanenan air hujan (peresapan air hujan) yang dijaga
deversifikasi vegetasinya dan konstruksi apa pun tidak boleh dibangun di atas areal tersebut.

Untuk keperluan ini harus dipilih daerah yang mempunyai peresapan tinggi dan bebas dari
kontaminasi polutan. Konsep ini belum banyak dikenal di Indonesia, maka setiap daerah perlu
segera mencari lokasi atau kawasan yang dapat dikembangkan menjadi cagar alam resapan air
hujan ini.

Kondisi danau, telaga, dan situ di berbagai tempat di Indonesia semakin memburuk, daya
tampungnya berkurang drastis karena sedimentasi, jumlahnya berkurang drastis karena banyak
yang diuruk dan dijarah dijadikan areal pemukiman.

Metode rain water harvesting dapat dilakukan untuk merevitalisasi kembali danau, telaga, dan situ
dengan konsep ekohidraulik, yaitu memperbaiki dan menyehatkan seluruh komponen ekologi dan
hidraulik penyusun telaga, situ, dan danau yang bersangkutan sehingga dapat berfungsi
menampung dan meresapkan air hujan serta dapat digunakan untuk keperluan air minum maupun
pengisian air tanah.

Berdasarkan penelitian di daerah Pati, Grobogan, dan Gunung Kidul, danau, telaga, dan situ yang
masih alami sempadannya umumnya kualitas dan kuantitas airnya bagus.

Terakhir, ironis sekali karunia hujan yang begitu besar di Indonesia ini masih kita telantarkan. Air
hujan dengan kualitas cukup tinggi yang turun lima sampai enam bulan dalam satu tahun di
kawasan kita sungguh merupakan potensi yang sangat luar biasa.

Namun, sebagian besar masyarakat kita tidak sadar bahwa air hujan yang hampir setiap hari
mengguyur rumah dan membasahi pelataran kita dapat digunakan sebagai sumber air bersih yang
andal.
Padahal, kita sadar bahwa kondisi penyediaan air bersih negara ini mengkhawatirkan, banjir dan
kekeringan setiap tahun selalu mengancam. Sementara itu, teknologi tradisional dan kearifan lokal
untuk memanen hujan yang pernah dan masih ada dalam masyarakat kita kebanyakan sudah
tidak dimengerti generasi muda kita.

Oleh karena itu, yang perlu dilakukan pemerintah dan masyarakat mulai sekarang adalah
menyadarkan masyarakat tentang potensi air hujan ini serta menggali dan mengembangkan
metode-metode tepat guna untuk memanen hujan seoptimal mungkin guna pemenuhan
kebutuhan air kita sehari-hari, mengurangi banjir dan kekeringan.

Dr Ing Ir Agus Maryono Peneliti Ekohidraulik, Sungai, Banjir, Kekeringan, dan


Lingkungan, Universitas Gadjah Mada

Metode Memanen Hujan (Rain Water


Harvesting)
Meskipun Kota Jakarta dan Istana WAPRES tergenang akibat hujan di musim kemarau (Kompas 17
Juli 2005), namun justru masyarakat di berbagai daerah di Indonesia relatif diuntungkan dengan
adanya hujan salah mongso yang masuk sampai akhir bulan Juli. Tahun 2005 ini dalam istilah
hidrologi sering disebut dengan tahun basah, tahun dimana jumlah hari hujan dan intensitas hujan
mencapai maksimal.

Namun masyarakat dan pemerintah tidak boleh lupa bahwa kejadian ini tidak akan berlangsung
terus-menerus. Kekeringan pada musim kemarau berikutnya akan kembali menimpa kita,
demikian juga banjir di musim hujan. Banjir dan kekeringan dapat diprediksikan akan terus
berlanjut, karena kerusakan sebagian besar Daerah Aliran Sungai di Indonesia ini sudah sangat
serius. Demikian juga masalah kekurangan air bersih akan menjadi semakin serius karena
kertersediaan air tanah dan permukaan semakin berkurang.

Metode yang akan ditawarkan dalam tulisan ini, untuk dikembangkan di Indonesia guna
menanggulangi masalah di atas termasuk masalah air genangan di kota-kota akibat hujan salah
mongso adalah metode memanen hujan (rain water harvesting). Istilah memanen hujan
sebenarnya berasal dari bidang pertanian, khususnya untuk pemenuhan kebutuhan air pertanian
di daerah arid dan semi arid. Namun upaya memanen hujan di dunia internasional saat ini menjadi
bagian penting dalam agenda entvironmental water resources management dalam rangka
penanggulangan ketimpangan air di musim hujan dan kemarau (lack of water), kekurangan
pasokan air bersih penduduk dunia serta penanggulangan banjir dan kekeringan. Memanen hujan
dapat didefinisikan sebagai upaya menampung air hujan sehingga dapat untuk kebutuhan air
bersih atau dengan meresapkan air hujan ke dalam tanah sehingga banjir pada musim hujan dan
kekeringan pada musim kemarau dapat ditanggulangi.

Perkembangan terakhir di negera maju yang dapat dilihat di International Exibition on Water and
Wastewater di Munich, Jerman, 24 29 April 2005 yang lalu, justru mulai ada tren besar-besaran
untuk membuat kolam tando air hujan skala rumah tangga untuk keperluan mengepel, mencuci
mobil, untuk menyiram tanaman, mengglotor toilet, bahkan ada yang dilengkapi sekaligus dengan
perangkat pengolahan air mini sehingga seluruh air hujan bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan air
minum.

Berikut ini akan dikemukakan beberapa metode memanen hujan yang telah berkembang dan
beberapa wacana memanen hujan yang dapat dikembangkan di Indonesia, baik memanen hujan
yang langsung bisa dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih rumah tangga maupun
memanen air hujan untuk mengisi air tanah.

1. Metode memanen hujan dengan kolam atau bak tando air rumah tangga

Kolam tando air rumah tangga sudah banyak dipakai masyarakat secara tradisional sebagai
cadangan air bersih. Misal kolam tando harian komunal di Gunung Kidul, DIY (kolam PAH = kolam
Pengumpul Air Hujan) yang dibuat ditengah-tengah masyarakat, sehingga setiap orang dapat
menggunakannya. Atau secara individu membuat kolam tando di bawah rumah atau di bawah
teras, dengan hitungan volume yang mencukupi untuk keperluan air minum dan mandi atau
keperluan lainnya, misal untuk mengepel, mencuci kendaraan, menggelontor WC dll. Kolam tando
ini juga bisa di bangun dengan ketinggian cukup sehingga pengalirannya dapat menggunakan
tenaga grafitasi. Untuk rumah sederhana dan rumah tingkat atau hotel dapat digunakan kolam
tandu dengan pola tampung vertikal berbentuk selinder dengan diameter 1-2 m disesuaikan
dengan desain rumah yang ada. Hal ini sangat menguntungkan karena minimal selama musim
hujan kebutuhan dasar air bersih dapat ditopang dengan bak tando ini. Metode ini perlu segera
dikembangkan dan dimasyarakatkan secara luas.

2. Metode memanen hujan dengan kolam dan sumur resapan

Metode memanen hujan ini sudah dipraktekan secara tradisionel oleh nenek moyang bangsa
Indonesia; setiap rumah tangga dulu mempunya kolam-kolam dan jogangan sekaligus untuk
memelihara ikan, tempat sampah organik atau merendam kayu. Metode kolam resapan atau ini
dalam skala besar sangat mudah untuk disosialisasikan melalui pola pemenuhan kebutuhan bahan
urug atau pasir (bahan galian C). Pemerintah dan masyarakat dapat mencari lokasi tambang
galian C, kemudian dikeruk hasil galiannya dipakai sebagai bahan urug. Bekas galiannya dipakai
sebagai kolam resapan air sekaligus dikembangkan untuk rekreasi. Cara ini banyak dipraktekkan
di negara-negara maju, sehingga dalam jangka waktu tertentu mereka mempunyai banyak sekali
danau-danau buatan. Disamping itu konstruksi kolam resapan dapat dibangun di areal
pemukiman, dimana limpasan air hujan suatu kawasan pemukiman ditampung di suatu kolam
untuk diresapkan atau dapat digunakan untuk kebutuhan air irigasi. Sedangkan metode sumur
resapan sudah banyak dikenal masyarakat, dapat diimplementasikan pada setiap unit perkantoran,
tempat-tempat rekreasi, olah raga, pada ruas-ruas jalan, lapangan terbang dan lain sebagainya.
Masyarakat sudah banyak mengenal sumur resapan, namun implementasinya masih tergolong
lambat.

3. Metode memanen hujan dengan tanggul pekarangan


Masyarakat di pedesaan di Indonesia sampai saat ini masih mempunyai metode menanggulangi
erosi pekarangan dengan membuat tanggul rendah 20 30 cm dari susunan batu kosong atau
batu bata dan tanaman mengelilingi pekarangan mereka. Konstruksi ini ternyata berfungsi juga
sebagai pola memanen hujan, karena limpasan limpasan hujan akan tertahan dan meresap di
areal pekarangan tidak langsung mengalir ke sungai. Tradisi ini perlu dikembbangkan dan
didukung secara nyata oleh pemerintah.

4. Metode Memanen hujan dengan revitalisasi danau, telaga dan situ

Kondisi telaga, danau dan situ diberbagai tempat di Indonesia semakin memburuk, daya
tampungnya drastis berkurang karena sedimentasi, jumlahnya drastis berkurang karena banyak
yang diurug dan dijarah dijadikan areal pemukiman. Metode rain water haversting dapat dilakukan
untuk merevitalisasi kembali danau, telaga dan situ dengan konsep ekohidraulik, yaitu
memperbaiki dan menyehatkan seluruh komponen penyusun telaga, situ dan danau yang
bersangkutan, sehingga dapat berfungsi menampung dan merespakan air hujan hingga dapat
digunakan untuk keperluan air minum maupun pengisian air tanah.

5. Metode memanen hujan dengan modifikasi landsekap

Modifikasi landsekap untuk memanen hujan sedang banyak dikerjakan di beberpa negara maju,
misal di Kanada, Jerman dan Jepang. Salah satunya dengan mengganti jaringan drainase kawasan
dengan cekungan-cekungan diberbagai tempat (modifikasi landsekap), sehingga air hujan akan
tertampung di lokasi cekungan tersebut. Dengan cara modifikasi landsekap ini ternyata dapat
menekan biaya konstruksi jaringan drainase suatu kawasan. Di Indonesia metode ini belum
berkembang sama sekali, sehingga mendesak untuk dilakukan studi dan pilot project secara
intensif.

Metode memanen hujan dengan mengembangkan daerah perlindungan air tanah

Pemerintah dan masyarakat mengusahakan suatu kawasan atau wilayah tertentu yang khusus
diperuntukkan sebagai daerah pemanenan air hujan (peresapan air hujan) yang dijaga
deversifikasi vegetasinya dan tidak boleh dibangun konstruksi apapun di atas areal tersebut .
Untuk keperluan ini harus dipilih daerah yang mempunyai kepasitas peresepan tinggi dan bebas
dari kontaminasi polutan. Konsep ini belum banyak dikenal di Indonesia, maka setiap daerah perlu
segera mencari lokasi atau kawasan yang dapat dikembangkan menjadi cagar alam resapan air
hujan ini.

8. Metode memanen hujan dengan memempertahankan hutan

Hutan dapat dijadikan sebagai komponen pemanen air dengan cara mempertahankan kelestarian
hutan tersebut. Penelitian terakhir di hutan Amazon, Amerika Latin menyebutkan bahwa
sebenarnya hutan dapat mendaur ulang hujan hingga 75 % dan 25% sisanya mengalir kehilir dan
meresap kedalam tanah. Mekanisme daur ulang hujan tersebut dimulai dengan evapotranspirasi,
pembentukan awan di wilayah hutan dan awan ini jatuh kembali berupa hujan, demikian
seterusnya. Daur ulang ini adalah mekanisme fungsi hutan dalam memanen hujan. Dengan 75%
air hujan tersirkulasi di wilayah hutan, maka frekuensi hujan di wilayah tersebut relatif tinggi dan
teratur serta musim hujannya realtif panjang. Hujan dengan frekuansi tinggi ini tidak akan
menyebabkan banjir karena 75 % menguap dan hanya 25% mengalir kehilir. Kekeringan juga
tidak akan terjadi, karena pasokan air 25 % ke hilir tersebut didapatkan secara kontinyu hampir
sepanjang tahun. Melihat fungsi hutan komponen daur ulang air hujan tersebut, maka kedepan
hutan harus dipandang sebagai modal tetap atau aktiva tetap, bukan sebagai modal bergerak.
Perlu disadari bahwa harga kayu yang dihasilkan dari merambah hutan tidak lebih dari 7% jika
dibandingkan dengan harga fungsi hutan secara integral yaitu hutan sebagai penyimpan air,
pengendali banjir, pengendali kekeringan, pengendali longsor, stabilisator temperatur, konservasi
ekosistem mikro dan makro serta pemasok oksigin.

Terakhir, ironis sekali karunia hujan yang begitu besar di Indonesia ini masih diterlantarkan begitu
saja. Sementara kondisi penyediaan air bersih negara ini mengkhawatirkan, banjir dan kekeringan
setiap tahun mengancam. Air hujan dengan kualitas relatif tinggi yang turun 5 sampai 6 bulan
dalam satu tahun di kawasan kita sungguh merupakan potensi yang sangat luar biasa. Yang perlu
dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat mulai sekarang ini adalah mengembangkan metode-
metode tepat guna untuk memanen hujan seoptimal mungkin untuk pemenuhan kebutuhan air
kita sehari-hari, mengurangi banjir dan kekeringan.

Dr. Ing. Ir. Agus Maryono


Peneliti Ekohidraulik, Sungai, Banjir, Kekeringan dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada. Ketua
Magister Sistem Teknik Konsentrasi Mikrohidro, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. HP:
0811254254

Kekeringan dan Banjir Susul Menyusul


Oleh Agus Maryono

Kekeringan dan banjir, secara bersamaan maupun terpisah, menjadi pandangan publik yang
memilukan. Dalam beberapa dekade terakhir ini, kekeringan berlangsung di berbagai tempat di
Indonesia. Akibatnya, jutaan hektar areal pertanian di Jawa dan luar Jawa terancam gagal panen.
Sementara masih sangat kental dalam ingatan, musim hujan selalu memaksa orang untuk
tergopoh-gopoh karena datangnya banjir yang merendam berbagai kota.

Untuk mengkaji lebih mendalam kedua kejadian itu perlu dikemukakan faktor-faktor penyebab
kekeringan dan banjir secara menyeluruh. Berdasarkan kaidah ilmu pada hidrologi dan
keseimbangan Daerah Aliran Sungai (DAS), banjir dan kekeringan merupakan saudara kembar
yang pemunculannya datang susul menyusul. Faktor penyebab kekeringan sama persis dengan
faktor penyebab banjir. Keduanya berperilaku linier-dependent, artinya semua faktor yang
menyebabkan kekeringan akan bergulir mendorong terjadinya banjir. Semakin parah kekeringan
yang terjadi, maka semakin dahsyat pula banjir yang akan menyusul, dan hal yang demikian
berlaku sebaliknya.

Terdapat beberapa faktor penyebab kekeringan dan banjir. Di antaranya adalah faktor iklim
ekstrim (kemarau ekstrim dan hujan ekstrim), faktor penurunan daya dukung DAS termasuk di
dalamnya faktor pola pembangunan sungai, faktor kesalahan perencanaan dan implementasi
pengembangan kawasan, faktor kesalahan konsep drainasi dan faktor sosio-hidraulik (kesalahan
perilaku masyarakat terhadap komponen hidrologi hidraulik).

Iklim Ekstrim

Faktor iklim ekstrem, dapat menyebabkan kekeringan dan banjir yang tak terkendali. Misalnya
kemarau panjang atau hujan badai ekstrem yang kesemuanya dipengaruhi oleh iklim makro
global. Misal El Nino-La Nina yang bergerak antara kepulauan Indonesia dan Panama Chili. Juga
Tifca, badai dahsyat dengan lama hujan masing-masing mencapai 24 jam dan 72 jam (3 hari)
yang pernah terjadi di Banjarnegara, Jawa Tengah.

Kondisi iklim ekstrem tidak bisa dielakkan dan dapat menyebabkan kekeringan dan banjir. Kondisi
semacam ini bisa dikategorikan sebagai natural disaster (bencana alam) yang sulit diatasi.
Masalahnya adalah, jika kondisi iklim ekstrem terjadi sementara daya dukung DAS sangat jelek,
maka dampak kekeringan dan banjir yang terjadi akan semakin parah. Untuk mengantisipasi
faktor ekstrem ini, perlu kerja sama global bersama negara-negara lain.

Hancurnya daya dukung DAS merupakan faktor dominan yang menyebabkan terjadinya
kekeringan dan banjir. DAS yang daya dukungnya rendah ditandai dengan perubahan tata guna
lahan dari daerah tangkapan hujan dengan koefisien aliran permukaan (koefisien run off) rendah
(di mana sebagian besar air hujan diresapkan ke tanah) berubah menjadi tanah terbuka dengan
koefisen run off tinggi (di mana sebagian besar air hujan menjadi aliran permukaan).

Rendahnya daya dukung DAS dapat diamati dengan semakin mengecilnya luas areal hutan, tidak
terurusnya lahan pertanian, semakin luasnya lahan untuk hunian dan prasarana dan semakin
banyaknya tanah terbuka atau tanah kritis.

Akibat hancurnya DAS, banjir akan terjadi di musim penghujan (terutama di daerah hilir dan
tengah, seperti misalnya di Jakarta, Medan, Surabaya, Semarang, dan lain lain). Kemudian akan
disusul dengan kekeringan pada musim kemarau berikutnya. Hal ini karena pada musih penghujan
seluruh air dengan cepat mengalir ke hilir (karena run off tinggi), maka konservasi-simpanan air di
hulu menjadi sangat berkurang. Akibatnya pada musim kemarau tidak ada lagi aliran air menuju
ke hilir dan keringan terjadi.

Kekeringan biasanya ditandai dengan surut atau keringnya sungai-sungai kecil terlebih dulu,
disusul sungai menengah dan kemudian sungai besar. Sebagai akibat misalnya transportasi air
macet (banyak terjadi di Sumatra dan Kalimantan), debit bendung irigasi berkurang drastis hingga
pertanian kolaps (banyak terjadi di Jawa), muka air tanah turun drastis sehingga sumur-sumur
perlu didalamkan (banyak terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta), mata air mati (seperti di
daerah Gunung Kidul).

Masalah lain yang mengancam dari kekeringan adalah semakin banyaknya permukaan tanah
terbuka dan berbutir lepas. Kondisi ini menyebabkan ancaman erosi dan banjir yang lebih hebat
pada musim hujan berikutnya.
Daya dukung DAS untuk menanggulangi kekeringan dan sekaligus banjir, dapat ditingkatkan hanya
dengan partisipasi masyarakat melalui program penghijauan yang menyeluruh dari hulu sampai ke
hilir, baik di perkotaan maupun pedesaan, mengaktifkan reservoir-reservoir alamiah, pembuatan
resapan-resapan air hujan alamiah dan pengurangan atau menghindari sejauh mungkin
pembuatan lapisan keras permukaan tanah yang dapat berakibat sulitnya air hujan meresap ke
tanah.

Memperbaiki daya dukung DAS pada prinsipnya adalah memperbanyak kemungkinan air hujan
dapat meresap secara alamiah ke dalam tanah sebelum masuk ke sungai atau mengalir ke hilir.

Pembangunan sungai

Kekeringan dan banjir dapat disebabkan oleh pola pembangunan sungai dengan normalisasi,
pelurusan, sudetan, pembuatan tanggul sisi, pembetonan dinding tebing dan pengerasan tampang
sungai. Sungai-sungai di Indonesia 30 tahun terakhir ini juga mengalami hal serupa.

Inti dari pola itu adalah mengusahakan air banjir secepat-cepatnya dikuras ke hilir, tanpa
memperhitungkan banjir yang akan terjadi di hilir. Pola ini juga tidak memperhatikan kekeringan
yang pasti akan terjadi di musim kemarau, karena dengan pola ini seluruh air diusahakan dibuang
ke laut secapat-cepatnya. Otomatis keseimbangan air terganggu, dan di musim kemarau tidak ada
air yang mengalir dari daerah hulu lagi.

Tidak bisa dipungkiri, perencanaan wilayah dan implementasinya di seluruh Indonesia dewasa ini,
belum memasukkan faktor konservasi sumberdaya air menjadi faktor dominan. Bahkan tiga
dasawarsa yang lalu perencanaan regional hanya dipercayakan sepenuhnya kepada ahli-ahli
perencanaan yang sedikit mengerti permasalahn persungaian, kekeringan, banjir dan ekologi.

Hasil dari akumulasi kesalahan tersebut salah satunya adalah pola sebaran pengembangan
kawasan dan sarana yang sangat konstradiktif dengan upaya penanggulangan kekeringan, banjir
dan konservasi air. Penyebaran pemukiman di sebagian besar kota-kota di Indonesia dan daerah
peri-perinya mengikuti penyebaran merata pola horizontal (lihat Jakarta, Bandung, Yogyakarta,
Medan, Samarinda, Pontianak dan lain lain).

Dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun, seluruh DAS telah berubah menjadi hunian yang
tersebar merata. Akibatnya sangat buruk, karena ketika luas hunian mencapai sepertiga luas DAS,
maka seluruh DAS pada dasarnya sudah rusak.

Perlu diketahui bahwa setiap bangunan (dengan tipe horozontal) memerlukan luasan tambahan
untuk sarana prasarananya sekitar tiga kali lipat dari luas bangunan itu sendiri. Jika DAS rusak
akibat hunian ini, maka kekeringan dan banjir otomatis akan datang silih berganti.

Pola penyebaran pemukiman dan pengembangan kawasan seperti di atas, perlu segera dikoreksi
total kearah kota-region dan perkembangan kearah vertikal. Tentu saja pola ini akan menghadapi
kendala sosial. Untuk itu wacana pola ini perlu sesegera mungkin dibuka ke masyarakat.
Selain itu, Konsep masterplan drainase kota dan kawasan di seluruh Indonesia yang digunakan
sampai sekarang ini adalah konsep drainasi konvensional. Konsep ini mengartikan drainasi sebagai
upaya mengatuskan air secepat-cepatnya ke sungai dan selanjutnya ke hilir. Bahkan drainasi
konvensional sering diartikan sebagai upaya pengeringan kawasan.

Dengan konsep ini jelas akan menimbulkan banjir bagian hilir di musim penghujan dan kekeringan
di musim kemarau. Karena seluruh air yang seharusnya meresap ke tanah dan akan muncul
sebagai mata air nantinya, dipaksakan secepatnya dibuang ke hilir. Kesalahan ini perlu diatasi
dengan mengubah paradigma konsep drainase menuju konsep drainasi ramah lingkungan, yaitu
upaya mengalirkan air kelebihan di suatu kawasan dengan jalan meresapkan air tersebut atau
mengalirkan secara alamiah dan bertahap ke sungai.

Metode yang cocok misalnya dengan pembuatan embung dan kolam kecil untuk menampung air
hujan di pemukiman-pemukiman, pembuatan sumur-sumur resapan alamiah. Prinsip konsep ini
adalah menghindarkan mengalirnya air limpasan hujan secepatnya ke hilir.

Faktor sosio-hidraulik

Sosio-hidraulik diartikan sebagai kepahaman sosial tentang masalah yang berkaitan dengan
keairan dan konservasinya. Selama masyarakat baik di kota maupun di desa secara masal belum
paham tentang keterkaitan daerah hulu dan hilir, keterkaitan banjir dan kekeringan, keterkaitan
antara sampah-pendangkalan dan banjir, kerterkaitan antara pengambilan air tanah besar-besaran
dengan kekeringan dan intrusi air laut, keterkaitan antara penebangan pohon/hutan dengan banjir
dan kekeringan, keterkaitan antara ekosistem sungai dengan kekeringan dan banjir, serta
bagaimana dan dengan cara apa seharusnya mereka berbuat.

Dr Ing Agus Maryono, Dosen Fakultas Teknik UGM, peneliti sungai, banjir, dan lingkungan

Sumber: Kompas, 25 Oktober 2002

Mengatasi Banjir di Jakarta One River One


Plan and One Integrated Management
Oleh Agus Maryono

Banjir di jakarta tahun 2002 terasa amat sangat menyedihkan dan kerugian langsung dan tidak
langsungnya mungkin melebihi APBD Kota Jakarta sendiri.

Kemacetan lalu lintas yang disebabkan banjir sungguh sangat menguras dana baik dilihat dari
gangguan kelancaran ekonomi maupun pemborosan bahan bakar, waktu dan polusi. Efek lanjut
berupa penurunan kualitas kesehatan masyarakat merupakan pekerjaan lanjutan yang akan sarat
dengan dana dan tenaga.

Resep penanganan banjir di Jakarta dan kota besar lainnya seperti Bandung, Medan, Semarang,
dan Yogyakarta tidak bisa dilakukan secara parsial, sepotong-sepotong. Penyelesaian integral
harus segera diprogramkan, jika tidak maka hanya gali lubang tutup luibang, artinya penanganan
banjir malahan dapat menimbulkan banjir baru. Namun pemerintah DKI bagaimanapun prlu
melakukan sesuatu, yaitu penanganan banjir jangka pendek (apa yang harus dilakukan ketika
banjir sudah terjadi), jangka menengah (apa yang harus dilakukan untuk menghindari banjir 2
sampai 5 tahun ke depan) dan jangka panjang (apa yang harus dilakukan untuk menanggulangi
banjir yang akan hadir di masa yang akan datang).

Sumber: Kompas, 03 Pebruari 2002

Banjir yang Berlangsung Terus Menerus di


Indonesia
Banyak sekali permasalahan banjir di Indonesia yang perlu dikaji secara mendalam. Misalnya,
banjir Sungai Citarum pada tahun 2000. Masalahnya, banjir dengan diikuti tanah longsor seperti
yang terjadi di berbagai daerah seperti di Aceh, Lampung, Jakarta, Bandung, Cilacap, Purwokerto,
Kebumen, Gorontalo, tidak cukup hanya diratapi bersama sebagai bencana alam. Juga tidak
cukup bila hanya dengan mengkambinghitamkan hujan deras sebagai penyebab tunggal. Seluruh
faktor penyebab harus diungkap dan jalan pemecahannya perlu dicari agar bisa ditindaklanjuti
secara serius.

Sedikitnya ada lima faktor penting penyebab banjir di Indonesia yaitu: faktor hujan, faktor
hancurnya retensi Daerah Aliran Sungai (DAS), faktor kesalahan perencanaan pembangunan alur
sungai , faktor pendangkalan sungai dan faktor kesalahan tata wilayah dan pembangunan sarana
prasarana.

Faktor hujan.

Hujan bukanlah penyebab utamna banjir dan tidak selamanya hujan lebat akan menimbulkan
banjir. Begitu pula sebaliknya . Terjadi atau tidaknya banjir justru sangat tergantung dari keempat
faktor penyebab lainnya karena secara statistik hujan sekarang ini merupakan pengulangan belaka
dari hujan yang telah terjadi di masa lalu. Hujan sejak jutaan tahun yang lalu berinteraksi dengan
faktor ekologi, geologi, vulkanik mengukir permukaan bumi menghasilkan lembah, sungai, danau,
cekungan serta sungai dan bantarannya. Permukaan bumi ini kemudian memperlihatkan secara
jelas lokasi-lokasi rawan banjir yang perlu diwaspadai.

Penanggulangan banjir dari faktor hujan ini sangat sulit, bahkan mustahil, karena hujan adalah
faktor ekstern yang digerakkan oleh iklim makro/global. Usaha yang bisa dilakukan adalah
menjauhkan permukiman, industri dan pusat pertumbuhan lainnya dari daerah banjir yang sudah
secara historis dipetakan oleh hujan. Untuk mengurangi kerugian banjir akibat hujan, bisa
dikembangkan fungsi peringatan dini. Caranya dengan mengukur tinggi hujan di berbagai tempat,
lalu dibuat kurva hubungan antara curah hujan (tinggi hujan) dengan tinggi muka air sungai yang
akan terjadi. Dengan ini masyarakat yang akan terkena banjir bisa mendapat informasi lebih dini.

Faktor DAS
Daerah Aliran Sungai adalah wilayah tangkapan air hujan yang akan mengalir ke sungai yang
bersangkutan. Perubahan fisik yang terjadi di DAS akan berpengaruh langsung terhadap
kemampuan retensi DAS terhadap banjir. Retensi DAS dimaksudkan sebagai kemampuan DAS
untuk menahan air di bagian hulu. Perubahan tata guna lahan, misalnya dari hutan dijadikan
perumahan, perkebunan atau lapangan golf akan menyebabkan retensi DAS ter-sebut berkurang
secara drastis.

Seluruh air hujan akan dilepaskan DAS ke arah hilir. Sebaliknya semakin besar retensi suatu DAS
semakin baik, karena air hujan dapat dengan baik diresapkan (diretensi) dan secara perlahan-
lahan dialirkan ke sungai hingga tidak menimbulkan banjir di hilir. Manfaat langsung peningkatan
retensi DAS adalah konservasi air di DAS terjaga, muka air tanah stabil, sumber air terpelihara,
kebutuhan air untuk tanaman terjamin dan fluktuasi debit sungai dapat stabil.

Retensi DAS dapat ditingkatkan dengan program penghijauan yang menyeluruh baik di perkotaan,
pedesaan, atau kawasan lain, mengaktifkan reservoar-reservoar alamiah, pembuatan resapan-
resapan air hujan alamiah dan pengurangan atau menghindari sejauh mungkin pembuatan lapisan
keras permukaan tanah yang dapat mengakibatkan sulitnya air hujan meresap ke tanah.

Memperbaiki retensi DAS pada prinsipnya adalah memperbanyak kemungkinan air hujan dapat
meresap secara alamiah ke dalam tanah sebelum masuk ke sungai atau mengalir ke hilir. Untuk
hal ini perlu kesadaran masyarakat secara masal terhadap pentingnya DAS melalui proses
pembelajaran sosial yang intensif dan terus-menerus.

Kesalahan pembangunan

Pola penanggulangan banjir serta longsor sejak abad ke-16 hingga akhir abad ke-20 di seluruh
dunia sebenarnya hampir sama, yaitu dengan pelurusan, sudetan, pembuatan tanggul,
pembetonan dinding, dan pengerasan tampang sungai. Sungai-sungai di Indonesia 30 tahun
terakhir ini juga mengalami hal serupa. Intinya adalah mengusahakan air banjir secepat-cepatnya
dikuras ke hilir, tanpa memperhitungkan banjir yang akan terjadi di hilir.

Pola pelurusan dan sudetan seperti di atas jelas mengakibatkan percepatan aliran air menuju hilir.
Di bagian hilir akan menanggung volume aliran air yang jauh lebih besar dibanding sebelumnya.
Jika tampang sungai di tempat tersebut tidak mencukupi maka akan terjadi peluapan ke bagian
bantaran. Jika bantaran sungai tidak cukup, bahkan mungkin telah penuh dengan rumah-rumah
penduduk, maka akan terjadi penggelembungan atau pelebaran aliran. Akibatnya areal banjir
semakin melebar atau bahkan alirannya berpindah arah.

Pelurusan dan sudetan sungai pada hakikatnya merupakan penghilangan retensi atau
pengurangan kemampuan retensi alur sungai terhadap aliran airnya. Penyelesaian masalah banjir
di suatu tempat dengan cara ini pada hakikatnya merupakan penciptaan masalah banjir baru di
tempat lain di bagian hilirnya.

Oleh karena itu, pola penanganan banjir di Indonesia memasuki abad ke-21 ini
tidak lagi dengan cara-cara di atas, namun dengan menggunakan prinsip integralistik yaitu One
River-One Plant and One Intergrated Management. Dengan prinsip ini maka banjir juga harus
dibagi secara integral sepanjang sungai menjadi banjir kecil-kecil, guna menghindari banjir besar
yang destruktif di suatu tempat tertentu.

Perlu dikembangkan juga prinsip Let River be Natural River. Implikasinya dalam penanggulangan
banjir adalah justru sungai alamiah yang bermeander, bervegetasi lebat, dan memiliki retensi alur
tinggi, yang perlu dijaga kelestariannya. Soalnya, hanya ini yang mempunyai retensi tinggi
terhadap banjir.

Pendangkalan

Faktor pendangkalan sungai termasuk faktor penting pada kejadian banjir. Pendangkalan sungai
berarti terjadinya pengecilan tampang sungai, hingga sungai tidak mampu mengalirkan air yang
melewatinya dan akhirnya meluap.

Pendangkalan sungai dapat diakibatkan oleh proses pengendapan (sedimentasi) terus-menerus,


terutama di bagian hilir sungai. Proses sedimentasi di bagian hilir ini dapat disebabkan oleh erosi
intensif di bagian hulu. Erosi ini selain merupakan akibat dari rusaknya DAS bagian hulu hingga
tanahnya mudah tererosi, juga karena pelurusan sungai dan sudetan, yang dapat mendorong
peningkatan erosi di bagian hulu.

Material tererosi ini akan terbawa aliran dan lambat laun diendapkan di hilir hingga menyebabkan
pendangkalan di hilir. Masalah pendangkalan sungai sudah sangat serius dan ditemukan di hampir
seluruh daerah hilir/muara di Indonesia.

Untuk itu perlu segera disosialisasikan perbaikan DAS dengan pelarangan penjarahan hutan dan
penghentian HPH serta peninjauan kembali proyek-proyek pelurusan dan sudetan-sudetan yang
tidak perlu.

Pendangkalan sungai juga dapat diakibatkan oleh akumulasi endapan sampah yang dibuang
masyarakat ke sungai. Sampah domestik yang dibuang warga masyarakat ke sungai terutama di
kota-kota besar akan berakibat terjadinya pendangkalan dan penutupan alur sungai sehingga
aliran air tertahan dan akhirnya sungai meluap.

Berbagai penelitian sungai di Indonesia mencatat bahwa setiap sungai yang melintasi kawasan
permukiman di samping kualitasnya sangat buruk juga kandungan sampahnya tinggi. Maka sudah
sangat mendesak untuk mengadakan sosialisasi peraturan pelarangan dan sanksi pembuangan
sampah di sungai bahkan jika perlu dibentuk polisi sungai yang bertugas menjaga lingkungan
sungai secara profesional.

Tata wilayah

Kesalahan fatal yang sering dijumpai dalam perencanaan tata wilayah adalah penetapan kawasan
permukiman atau pusat perkembangan justru di daerah-daerah rawan banjir. Terlebih lagi
perkembangan tata wilayah juga sering tidak bisa dikendalikan, sehingga mengarah ke daerah
banjir.

Sebagai contoh, banyak sekali perumahan baru yang dibangun di daerah bantaran dan tebing
sungai yang rawan banjir dan longsor. Demikian juga banyak terjadi pembangunan jalan tol, jalan
provinsi, tanggul, dan saluran drainasi, yang justru dapat menyebabkan terjadinya banjir di
kawasan tertentu karena salah dalam perencanaannya. Air jadi tertahan, tidak bisa lancar keluar
atau semua air mengalir menuju kawasan tertentu sehingga terjadi banjir.

Penyelesaian masalah itu tidak bisa digeneralisasi. Diperlukan semakin banyak


orang yang ahli atau tahu mengenai banjir baik yang berskala mikro maupun makro, untuk
merencanakan pembangunan tanpa menimbulkan banjir.

Kelima faktor tersebut secara integral perlu diperhatikan serius oleh seluruh ahli banjir di
Indonesia guna menghindari dan menanggulangi banjir secara integral. Ironis juga rasanya, kalau
negara Indonesia yang kaya akan masalah banjir tidak kaya ahli banjir. Apa justru karena
Indonesia tidak kaya ahli banjir maka sering kebanjiran?

(Dr Ing Agus Maryono, dosen Fakultas Teknik, Jurusan Sipil Bidang Hidro, UGM. Peneliti masalah
sungai, lingkungan, dan eko-hidraulik)

Sumber: Kompas, 20 Januari 2002

Anda mungkin juga menyukai