Anda di halaman 1dari 3

ETIKA PROFESI DALAM KARYA KONSTRUKSI

Oleh: Dradjat Hoedajanto


1

ABSTRAK Proses kegiatan konstruksi memerlukan kerja sama yang baik dari banyak pihak sesuai posisi dan fungsinya masing-masing. Kesuksesan terciptanya karya konstruksi secara langsung merupakan produk sinergi positif antara pemilik / pengelola dengan konsultan dari berbagai bidang, pabrikan, pemasok produk, dan kontraktor pelaksana. Mengingat perbedaan kepentingan dari tiap pihak terkait, keberhasilan kerja sama hanya mungkin bila didasarkan pada platform profesionalisme. Dengan demikian etika profesi menjadi pegangan bagi masing masing pihak dalam menjalankan kegiatan profesinya sesuai dengan pranata yang ditetapkan dalam UU No. 18 th 1999 tentang Jasa Konstruksi. UU No. 18 th 1999 tentang Jasa Konstruksi secara langsung menempatkan pemilik, pengelola dan praktisi konstruksi pada posisi pihak yang bertanggung jawab terhadap kepentingan dan keamanan masyarakat dalam segala hal yang terkait dengan perencanaan, pelaksanakan, dan pemeliharaan pekerjaan konstruksi. Selanjutnya didefinisikan bahwa semua kegiatan jasa konstruksi masuk dalam lingkup pembangunan nasional. Ketatnya persaingan bisnis, belum sehatnya iklim usaha, masih terbatasnya proyek konstruksi, belum adanya rekomendasi HAKI atas nilai fee minimal bagi layanan tenaga ahli profesional, dan masih kentalnya praktek KKN sering memaksa para praktisi konstruksi, khususnya praktisi ahli struktur, untuk menerima pekerjaan dengan fee yang sangat minim. Tidak jarang proses perencanaan struktur bangunan dilakukan dengan menipu Standar dan Code dengan target mendapatkan struktur yang murah dan melupakan faktor performance yang pada umumnya merupakan fungsi dari kekakuan dan waktu. Konsep dasar bahwa Standar dan Code hanya memberikan rekomendasi minimum atas kondisi standar terlupakan bersamaan dengan dilupakannya tanggung jawab profesi yang seharusnya mengedepankan keamanan masyarakat secara keseluruhan. Banyaknya kegagalan bangunan karena berbagai bencana alam khususnya gempa mengungkapkan praktek-praktek konstruksi di mana kemungkinan bangunan tersebut direncanakan dan dilaksanakan tanpa sepenuhnya memenuhi ketentuan minimum Standar dan Code yang ada. Masih lemahnya proses pembinaan & pengawasan yang seharusnya menjadi amanah DPU dan PemDa serta kuatnya keinginan pemilik/pengelola bangunan yang lebih suka membelanjakan dana konstruksi untuk membayar keindahan dari pada keamanan menjadi pemicu awal dari terciptanya kondisi ini.
1

Associate Professor, Ph.D., IPU; Dosen dan Kepala Laboratorium Struktur dan Bahan FTSL ITB Ketua Program Sertifikasi Profesi HAKI - INDONESIA.

Di sini profesionalisme dan etika profesi dari semua pihak terkait menjadi satu-satunya benteng terakhir dari tercapainya karya konstruksi yang indah, fungsional, dan juga aman. Perlu digaris bawahi bahwa langkah penyimpangan dari Standar dan Code ke arah pengurangan ketentuan yang ada merupakan langkah yang melanggar etika profesi yang bisa berujung pada pembekuan ataupun bahkan pencabutan sertifikat profesi tenaga ahli terkait. Dalam konteks ini Kode Etik HAKI yang menjabarkan Tata Hidup Menjalankan Profesi, Hubungan dengan Masyarakat, Hubungan dengan Rekan, dan Hubungan dengan Pemberi Tugas dapat menjadi pedoman atas sikap bersama dalam menyelesaikan masalah diatas secara terstruktur dan profesional.

KATA KUNCI: Profesionalisme, etika profesi, UU No. 18 th 1999, tanggung jawab profesi, Standar dan Code, rekomendasi minimum, keamanan masyarakat, persaingan bisnis, KKN, fee minimum, kegagalan bangunan, gempa, sertifikat profesi, Kode Etik HAKI.

1.

PENDAHULUAN

Produk Konstruksi merupakan hasil karya dari para praktisi konstruksi, umumnya terdiri dari gabungan para ahli dan teknisi konstruksi, yang secara bersama mulai dari tahap penyelidikan / studi awal dilanjutkan dengan proses perencanaan hingga diakhiri dengan langkah pelaksanaan, bekerja sesuai dengan dengan bidangnya masing-masing dengan satu tujuan yaitu menghasilkan produk konstruksi yang baik sesuai dengan keinginan pemilik. Pegangan dasar dari ikatan kerja antara para praktisi konstruksi dengan pemilik umumnya menjadi pengikat dan penentu atas tanggung jawab masing-masing pihak. Walaupun demikian mengingat bahwa produk konstruksi umumnya merupakan produk yang juga mempengaruhi lingkungan sekeliling dan masyarakat pengguna, maka kesepakatan yang tercantum dalam ikatan kerja tadi minimal harus mencantumkan Standar Konstruksi mana yang harus diikuti agar produk konstruksi tersebut memenuhi persyaratan minimal yang ditetapkan. UU No. 18 th. 1999 tentang Jasa Konstruksi [1] menyikapi hal di atas dengan menetapkan hal-hal berikut: Bab II Asas dan Tujuan, Ayat 2: Pengaturan jasa konstruksi berlandaskan pada asas kejujuran dan keadilan, manfaat, keserasian, keseimbangan, kemitraan, keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Ayatl 3, b: Mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Bab III Tanggung Jawab Profesional: Ayat 1:

Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus bertanggung jawab terhadap hasil pekerjaannya Ayat 2: Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilandasi prinsip-prinsip keahlian sesuai dengan kaidah keilmuan, kepatutan, dan kejujuran intelektual dalam menjalankan profesinya dengan tetap mengutamakan kepentingan umum Jelas bahwa semua ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan dalam UU No 18 th 1999 tentang Jasa Konstruksi bermuara pada satu kepentingan, yaitu menata kegiatan jasa konstruksi agar minimal kepentingan (dan keselamatan) umum di kedepankan. Dalam konteks ini maka kebijakan yang diambil adalah mensyaratkan adanya profesionalisme bagi semua pihak terkait, termasuk Pemerintah yang melalui Menteri dan Departemen Pekerjaan Umum mengemban tugas sebagai Pembina.

SIKAP DASAR HIMPUNAN AHLI KONSTRUKSI INDONESIA ir. Frans Sunito 2 membantu mensarikan falsafah dasar dari Kode Etik HAKI 3 dengan merumuskan 10 butir Etika Profesi, di mana antara lain tiga butir yang erat kaitannya dengan masalah Karya Konstruksi adalah: 1. Senantiasa meningkatkan pengetahuan dan menegakkan kaidahkaidah yang benar dalam bidang konstruksi. 2. Kompeten dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya sebagai ahli konstruksi. 3. Adil, jujur dan objektif.

Rangkuman 10 Etika HAKI, 1993 KODE ETIK HIMPUNAN AHLI KONSTRUKSI INDONESIA - ( Lampiran Akta No.64 tertanggal 28 april 1994)

Anda mungkin juga menyukai