PENDAHULUAN
Tindakan keperawatan yang dilakukan oleh setiap perawat harus disertai dengan sikap
yang berlandaskan nilai, prinsip, dan teori moral. Salah satunya adalah kejujuran (turth
telling), baik jujur kepada diri sendiri, klien, dokter, maupun teman sejawat. Sikap
kejujuran bisa diartikan dengan menjunjung tinggi kebenaran sesuai kondisi yang ada,
maka dalam keperawatan profesional dibutuhkan kejujuran mengenai kebenaran yang
ada pada kondisi pasien, alat medis, dan hal-hal yang berkaitan dengan tugas perawat itu
sendiri.
Memberikan kebenaran kepada klien memang mempunyai nilai positif dan negatif.
Jika ditinjau dari nilai positif, kejujuran akan memberikan informasi yang sebenarnya
kepada klien karena klien berhak mengetahui kondisinya demi kebaikan dan kelanjutan
proses penanganan. Sebaliknya jika ditinjau dari nilai negatif kejujuran bisa menyakiti
hati klien dikarenakan dihadapkan oleh kenyataan yang ada. Namun dari kedua hal
tersebut, bersikap jujur lebih diutamakan karena sesuai dengan etika yang telah dijunjung
dan ditetapkan oleh profesi.
Meskipun kejujuran (truth telling) adalah hal yang wajib diutamakan oleh perawat,
namun banyak sekali praktik-praktik keperawatan profesional di Indonesia maupun
negara lain yang melanggar nilai kejujuran. Bahkan tindakan tersebut juga ada yang
ditutup-tutupi oleh pihak rumah sakit atau badan kesehatan itu sendiri. Jelas bahwa
tindakan ini melanggar nilai, prinsip, dan teori moral serta kode etik keperawatan. Oleh
karena itu, penulis menyusun makalah ini dengan judul Kasus Truth Telling.
1.2 Tujuan
1.2.1 Mampu mengaplikasi nilai, prinsip, dan teori moral dalam penyelesaian masalah
truth telling.
1.2.2 Mampu menyelesaikan masalah dan dilema etik (terkait truth telling) dalam
praktek keperawatan profesional dengan menggunakan tahapan penyelesaian
masalah.
1.3 Manfaat
BAB II
TINJAUAN TEORI
Dalam konteks berkata jujur ada suatu istilah yang disebut desepsi, yang berasal dari
kata deceive yang berarti membuat orang percaya terhadap sesuatu hal yang tidak benar,
menipu atau membohongi. Desepsi meliputi berkata bohong, mengingkari atau menolak,
tidak memberi informasi, dan memberikan jawaban tidak sesuai sengan pertanyaan atau
tidak memberikan penjelasan sewaktu informasi dibutuhkan.
Berkata bohong merupakan tindakan desepsi yang paling dramatis karena dalam
tindakan ini sesorang dituntut untuk memberikan sesuatu yang diyakini salah. Salah satu
contoh desepsi adalah ketika pasien yang akan diinjeksi bertanya apakah sakit atau tidak,
perawat memberi jawaban bohong agar pasien mau diinjeksi. Secara etika tindakan
desepsi ini tidak di benarkan. Para ahli etika menyatakan bahwa tindakan desepsi
membutuhkan keputusan yang jelas tentang siapa yang diharapkan melakukan tindakan
tersebut.
Konsep kejujuran (veracity) merupakan prinsip yang etis yang mendasari berkata
jujur. Berkata jujur bersifat prima facie[1] sehingga desepsi pada keadaan tertentu
diperbolehkan. Berbagai alasan yang dikemukakan dan mendukung posisi bahwa perawat
harus berkata jujur yaitu:
GAMBARAN KASUS
http://pvhandyexp.wordpress.com/2013/04/06/makalah-etika-dan-hukum/
Suatu hari ada seorang bapak bapak dibawa oleh keluarganya ke salah satu Rumah Sakit di
kota Surabaya dengan gejala demam dan diare kurang lebih selama 6 hari. Selain itu bapak
tersebut ( Tn. A ) menderita sariawan sudah 3 bulan tidak sembuh-sembuh, dan berat
badannya turun secara berangsur-angsur. Semula Tn. A badannya gemuk tapi 3 bulan terakhir
ini badannya kurus dan telah turun 10 kg dari berat badan semula. Tn. A ini merupakan
seorang supir truk yang sering keluar kota karena tuntutan kerjaan bahkan jarang pulang,
kadang-kadang 2 minggu sekali bahkan sebulan sekali.
Tn. A masuk UGD kemudian dari Dokter untuk diopname di ruang penyakit dalam karena
kondisi Tn. A yang sudah sangat lemas. Keesokan harinya Dokter yang menangani Tn. A
melakukan visit kepada Tn. A, dan memberikan advice kepada perawatnya untuk dilakukan
pemeriksaan laboratorium dengan mengambil sampel darahnya. Tn. A yang ingin tahu sekali
tentang penyakitnya meminta perawat tersebut untuk segera memberi tahu penyakitnya
setelah didapatkan hasil pemeriksaan. Sore harinya pukul 16.00 WIB hasil pemeriksaan telah
diterima oleh perawat tersebut dan telah dibaca oleh Dokternya. Hasilnya mengatakan bahwa
Tn. A positif terjangkit penyakit HIV/AIDS. Kemudian perawat tersebut memanggil keluarga
Tn. A untuk menghadap dokter yang menangani Tn. A. Bersama dan seizin dokter tersebut,
perawat menjelaskan tentang kondisi pasien dan penyakitnya. Keluarga terlihat kaget dan
bingung. Keluarga meminta kepada dokter terutama perawat untuk tidak memberitahukan
penyakitnya ini kepada Tn. A. Keluarganya takut Tn. A akan frustasi, tidak mau menerima
kondisinya dan dikucilkan dari masyarakat.
BAB IV
PENYELESAIAN MASALAH
Penjelasan masalah termasuk dilema etik karena dimana satu sisi perawat harus memenuhi
permintaan keluarga namun disisi lain perawat tersebut harus memberitahukan kondisi yang
dialami oleh Tn. A karena itu merupakan hak pasien untuk mendapatkan informasi.
Perawat mengikuti saran keluarga, yaitu untuk tidak memberitahukan penyakit yang
di derita oleh Tn.A. Karena rasa kasih sayang keluarganya terhadap Tn. A, membuat
keluarganya berniat untuk menyembunyikan informasi tentang hasil pemeriksaan
tersebut. Dengan tujuan supaya kondisi psikologisnya tidak terganggu. Dimana
kondisi psikologis dapat memperburuk kondisi pasien. Perawat dan keluarga
menghindari hal yang buruk terjadi pada Tn. A seperti frustasi tidak bisa menerima
kondisinya sekarang. Serta agar Tn. A tidak panik yang berlebihan ketika
mendapatkan informasi penyakitnya karena sebelumnya telah dilakukan pendekatan-
pendekatan oleh perawat. Tetapi keluarga harus tetap menemani pasien.
2.