Anda di halaman 1dari 14

MANAJEMEN AKHIR KEHIDUPAN PADA

PASIEN AMYOTROPHIC LATERAL


SCLEROSIS
Sheelah Connolly*, Miriam Galvin*, Orla Hardiman

Sebagian besar ahli kesehatan dilatih untuk menyehatkan dan


mempertahankan kehidupan, namun sering kesulitan ketika berhadapan dengan
keadaan perburukan yang cepat ataupun kematian pada orang dengan penyakit
terminal seperti amyotrophic lateral sclerosis (ALS). Sebaliknya, data
menunjukkan bahwa diskusi awal dan terbuka terhadap masalah akhir kehidupan
dengan pasien dan keluarga memungkinkan adanya waktu untuk perencanaan,
dapat meniadakan intervensi atau prosedur yang tidak diinginkan, dapat
memberikan jaminan tertentu, dan dapat meringankan rasa takut. Mungkin
terdapat perbedaan perspektif antara pasien dengan ahli kesehatan mengenai
intervensi dan penggunaan teknologi pada akhir kehidupan terkait terapi, dan ahli
kesehatan harus menyadari hal ini dan menghormati otonomi pasien. Pengarahan
dari ahli dapat memberikan otonomi, namun validitas hukum dapat bervariasi
antar negara. Manajemen klinis akhir hidup harus bertujuan untuk
memaksimalkan kualitas hidup baik pasien maupun pengasuh, dan apabila
memungkinkan dilakukan penggabungan terapi paliatif sesuai masalah fisik,
psikososial, dan masalah eksistensial. Pelatihan tenaga kesehatan profesional
harus mencakup pengembangan keterampilan komunikasi yang membantu untuk
lebih peka mengelola kematian. Harus diakui adanya beban emosional bagi para
ahli kesehatan mengobati pasien dengan penyakit neurologis terminal, dengan
prosedur yang dikembangkan untuk mengatasi kelelahan, tantangan moral dan
etika yang terkait dengan menyediakan pelayanan akhir kehidupan.

Pengantar

Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) adalah gangguan degeneratif dengan


karakteristik utama keterlibatan upper dan lower motor neuron dengan
keterlibatan ekstra-motor yang lebih luas termasuk perubahan kognitif dan
perilaku yang juga diakui sebagai gejala dari gangguan tersebut. Meskipun
patogenesis dan perjalanan penyakit yang heterogen, gangguan ini selalu bersifat
progresif, 70% dari pasien ALS meninggal dalam waktu 3 tahun sejak awal gejala
onset. Mengingat penyakit ini tidak dapat disembuhkan, pendekatan paliatif
berfokus pada manajemen gejala dan peningkatan kualitas hidup yang dianjurkan
sejak awal diagnosis berdasarkan konsensus, baik dalam spesialisasi ALS maupun
terapi paliatif. Selama keberlangsungan penyakit, pentingnya komunikasi terbuka
berkaitan dengan masalah akhir kehidupan dan pengambilan keputusan yang
diperlukan. Kami bertujuan untuk mengidentifikasi dan meninjau topik yang
paling penting dalam literatur ilmiah dengan konteks pengelolaan akhir kehidupan
pada ALS dan gangguan neurodegeneratif terkait, seperti demensia
frontotemporal.

Terapi terbaik di akhir kehidupan

Mengingat tidak adanya pengobatan yang efektif pada pasien dengan ALS,
maka dilakukan terapi untuk memaksimalkan kualitas hidup sejak terdiagnosis
sampai akhir kehidupan. Dalam konteks ini, dilihat secara holistik dan dengan
keterlibatan tim multidisiplin, terapi paliatif mempertimbangkan aspek fisik,
psikologis, sosial, dan spiritual. Manajemen paliatif optimal memerlukan strategi
yang menggabungkan terapi multidisiplin berbasis rumah sakit dan intervensi
berbasis masyarakat. Meskipun ketersediaan terapi spesialis paliatif bervariasi
secara substansial di seluruh negara, konsensus integrasi antara paliatif dan terapi
neurologi untuk penyakit progresif saraf non-kanker baru-baru ini diterbitkan oleh
European Academy of Neurology dan European Federation of Neurological
Societies (EFNS) merekomendasikan bahwa pendekatan paliatif dimasukkan ke
dalam rencana terapi untuk pasien sejak saat diagnosis, dengan tujuan
memaksimalkan kualitas hidup pasien dan keluarga dengan menghilangkan gejala
pasien, memberikan dukungan emosional, psikologis, dan spiritual,
menghilangkan gangguan agar terjadi kematian yang damai, dan menyemangati
keluarga saat berkabung. Penelitian menunjukkan bahwa spesialis terapi paliatif
memberikan efek positif dalam mengontrol gejala dan kualitas hidup pada pasien
dengan penyakit progresif neurologis termasuk ALS. Adanya sumber daya yang
terbatas, ketakutan mengurangi harapan hidup pasien, dan kurangnya keakraban
ahli kesehatan dengan penderita ALS dapat menjadi hambatan untuk mengakses
spesialis manajemen paliatif.
Terapi di rumah sakit sangat penting dalam ALS untuk mengoptimalkan
kontrol gejala dan meningkatkan kemungkinan kematian yang damai. Dalam satu
penelitian melaporkan bahwa edukasi dengan meningkatkan komunikasi antara
tim medis dengan keluarga akan membuat pemahaman yang lebih baik tentang
penyakit dan tujuan dari terapi; Namun, tidak ada perbedaan tingkat nyeri,
dispnea, dan kepuasan pelayanan medis antara kelompok yang mengakses
pelayanan edukasi rumah sakit dan mereka yang tidak.

Sesuatu yang mengejutkan, beberapa penelitian telah meneliti strategi


manajemen yang optimal pada pasien tahap akhir ALS. Pendekatan interdisipliner
termasuk penilaian psikososial dan terapi spiritual, penggunaan instrumen
tervalidasi untuk menilai pasien dan kualitas hidup, dan dianjurkan membentuk
program terapi. Namun, penilaian kualitas hidup pada individu dengan penyakit
neurodegeneratif memiliki beberapa kesulitan spesifik karena kombinasi dari
gangguan kognitif dan fisik. Tingkatan kualitas hidup awal sangat berpengaruh
terhadap status fungsional, sehingga riwayat penurunan progresif kualitas hidup
setara dengan memburuknya status kesehatan. Instrumen kualitas hidup individu
seperti Schedule for Evaluation of Individual Quality of Life (SEIQoL-DW) dan
Schedule for Meaning in Life Evaluation (SMiLE) menilai penentu utama dari
kualitas dan makna hidup bagi pasien. Instrumen tersebut dirancang untuk
memberikan makna bahwa pasien terikat pada hidup mereka, dan menunjukkan
otonomi masing-masing. Metode ini dapat digunakan untuk mengeksplorasi,
memahami, dan menilai pengalaman individu pasien dan pengasuh dalam tahap
terminal / akhir penyakit.
Diskusi dan pengambilan keputusan tentang akhir kehidupan
Diskusi dan pengambilan keputusan tentang akhir kehidupan umumnya
mencakup pilihan untuk manajemen gejala penyakit pada tahap akhir, dukungan
nutrisi dan pernapasan, termasuk insersi gastrostomy, ventilasi non-invasif, dan
ventilasi mekanik invasif. Tindakan-tindakan ini sering tertunda atau terkadang
didahului oleh situasi kritis berupa komplikasi yang mengancam nyawa. Beberapa
pemicu untuk diskusi ini termasuk akibat distress pasien, evolusi dari penyakit,
atau keinginan dari pasien untuk membahas masalah tersebut. Penelitian ini telah
menunjukkan bahwa pasien dengan ALS umumnya menyambut baik dalam
membahas masalah tentang akhir kehidupan dengan dokter mereka. Ada
konsensus yang menyatakan bahwa diskusi formal terkait pembahasan akhir
kehidupan pada pasien ALS lebih baik dilakukan di lingkungan yang tenang
karena butuh waktu lebih untuk refleksi dan integrasi terhadap pilihan yang
menyangkut prioritas pasien dan rencana ke depan nya. Namun, diskusi ini tidak
mudah atau sederhana dan banyak dokter dan penyedia terapi kesehatan yang
kesusahan dan stres, tergantung pada masing-masing pengalaman, filosofi, dan
kemampuan mereka untuk berkomunikasi.
Kedokteran, sebagai profesi dan praktek, tidak terjadi dalam ruang hampa
sosial atau politik dan, sampai saat ini, tekanan dari pendidikan kedokteran secara
umum masih tertuju terhadap terapi kuratif. Kurikulum sekolah medis masih
terbatas dalam memberikan pelatihan terapi paliatif. Sebaliknya, pelatihan medis
telah difokuskan pada pengetahuan, dan kurang memperhatikan aspek lain pada
praktek medis seperti komunikasi, kasih sayang, dan empati. Dengan demikian,
ketika dokter harus mendiskusikan tentang sesuatu yang sulit dengan pasien,
mereka cenderung berfokus hampir secara eksklusif pada aspek biomedis penyakit
daripada psikososial dan efek penyakit terhadap pasien dan keluarganya. Untuk
manajemen efektif terhadap pasien dengan ALS dan gangguan terminal lainnya,
dokter diharapkan untuk mengubah perspektif formatif karena mereka datang
dengan keterbatasan intervensi medis. Temuan dari penelitian di Belanda baru-
baru ini menunjukkan sangat terbatasnya pelatihan keterampilan terhadap lulusan
pendidikan kedokteran dan direkomendasikan untuk penggunaan program
pendidikan yang lebih lama dengan sesi pelatihan keterampilan experiential bagi
mahasiswa. Meskipun tidak sepenuhnya dilaksanakan, namun kurikulum terapi
paliatif dan pengembangan keterampilan komunikasi terhadap suatu berita buruk
bagi pasien diakui sebagai prioritas dalam pendidikan kedokteran.
Pada akhirnya, untuk mendukung pasien dan keluarga, penyedia terapi
kesehatan yang profesional perlu mengetahui sikap yang mendukung penerimaan
kematian dan perlu menyadari pentingnya kontrol gejala yang memadai dan
menjaga martabat dan kualitas hidup pasien. Dengan demikian, diskusi terkait
akhir kehidupan pasien harus dipimpin oleh seorang ahli yang berpengalaman dan
terlatih dalam berkomunikasi dalam penyampaian berita buruk.
Dokter umumnya dilatih untuk dapat meningkatkan hasil klinis pasien
mereka, dan pasien terus berharap terhadap terapi kuratif. Dalam suatu konsultasi
yang melibatkan berita buruk, dokter juga memiliki stres fisik dan emosional, tapi
beberapa upaya telah dilakukan untuk mempersiapkan para profesional terapi
kesehatan untuk distress moral yang sering dihasilkan sebagai hasilnya. Kinerja
komunikasi yang buruk berhubungan dengan peningkatan risiko kelelahan pada
profesional kesehatan. Kerangka kerja untuk memahami dan menangani tekanan
moral yang telah diusulkan dalam literatur terapi paliatif, dan bisa juga diterapkan
dalam konteks stadium akhir penyakit neurologis. Ketika dimasukkan ke dalam
program pelatihan terapi paliatif yang lebih luas, kerangka tersebut lebih baik
dilakukan pada tahap awal pemeriksaan dokter karena terdapatnya peningkatan
deteksi terhadap keterbatasan dalam penyediaan terapi pasien dengan penyakit
stadium terminal.
Waktu diskusi yang tepat
Meskipun tidak mungkin untuk menentukan waktu untuk memulai diskusi
akhir kehidupan, kegagalan terus menerus untuk melakukan terapi akhir
kehidupan dan waktu perencanaan terapi yang tidak tepat dapat menimbulkan
intervensi yang tidak direncanakan mulai dari intervensi khusus sampai dengan
ventilasi mekanik. Dua pertiga pasien pada ventilasi jangka panjang yang disurvei
di Jerman, mereka tidak menyadari akan terjadinya kegagalan pernafasan
dilakukan intubasi darurat. Sebuah penelitian di Perancis dan Swiss menemukan
bahwa trakeostomi sering pada situasi darurat dengan tanpa adanya inform
consent sebelumnya.
Pada situasi di mana pasien atau anggota keluarga belum mendapat
anjuran dari ahli, dapat dilakukan inisiasi tentang diskusi akhir kehidupan untuk
menentukan di pilihan terapi penyakit. Metode ini memungkinkan kesempatan
untuk membahas skenario alternatif berkaitan dengan perkembangan krisis fungsi
hidup dalam lingkungan yang terkendali. Dua sistem pembagian stadium dari
ALS telah diusulkan, keduanya mengidentifikasi tentang gastrostomi atau
ventilasi non invasif sebagai batas tingkatan yang penting, sehingga memberikan
manfaat yang disebut jangkar poin untuk inisiasi diskusi akhir kehidupan.
Mempecepat arahan terapi dan rencana akhir kehidupan
Mempercepat arahan perencanaan terapi dengan menyatakan pilihan jenis
dan tingkat terapi medis maupun bedah, juga dapat disampaikan bersamaan
dengan diskusi tentang akhir kehidupan. Validitas hukum mengenai percepatan
pengarahan terapi bervariasi antar negara, dan bahkan di dalam yurisdiksi negara
yang melegalkan, hal ini jarang dimanfaatkan. Temuan dari satu penelitian
menunjukkan bahwa 78% dari pusat ALS di Eropa mempercayai bahwa
mempercepat arahan terapi memiliki keuntungan, sebanyak 55% melakukan
diskusi secara tidak teratur dengan pasien mereka, dan hanya 30% dilakukan
secara teratur. Situasi ini mungkin dapat dijelaskan karena karena perbedaan
perspektif antara profesional kesehatan dengan pasien mereka. Meskipun dokter
sepenuhnya mendukung keputusan pasien, mereka mungkin sulit untuk mengakui
bahwa pasien mereka juga memiliki hak untuk meminta, menolak, atau secara
hukum menarik intervensi yang telah dilakukan. Kesadaran akan penerimaan
pilihan pribadi pasien, dan otonomi mereka sangat penting dalam
mengidentifikasi arahan mereka untuk terapi di akhir kehidupan.
Fungsi kognitif, kapasitas, dan otonomi
Hingga saat ini, ALS dianggap sebagai akibat dari degenerasi sistem
motorik murni, tanpa pengurangan kapasitas dalam membuat keputusan informasi
otonom. Namun, eksekutif dan gangguan perilaku yang sekarang diakui sebagai
bagian dari ALS, terjadi pada 60% dari pasien, dan 13% dari pasien insiden
dengan ALS berdasarkan kriteria Neary termasuk dementia frontotemporal.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan yang tak terelakkan mengenai
kemampuan untuk pengambilan keputusan pada beberapa pasien ALS akan
otonomi mereka dengan adanya demensia ireversibel. Seperti halnya pada
penyakit neurodegeneratif yang lebih umum (misalnya, penyakit Alzheimer),
penurunan kapasitas kognitif mempengaruhi hubungan antara dokter, pasien, dan
keluarga dari awal perjalanan penyakit.
Beberapa penelitian telah meneliti keterkaitan kapasitas kognitif pada
ALS; Namun, metode terbaru skrining kognitif dan perilaku seperti Edinburgh
Cognitive dan Behavioural ALS Screen (ECA) telah divalidasi untuk mendeteksi
penurunan awal kognitif dan dapat dimasukkan dalam penilaian klinis. Seperti
gangguan lain yang ditandai dengan gangguan kognitif, penunjukan pengambil
keputusan pengganti harus disarankan pada pasien dengan penurunan awal
kognitif. Panel 1 merangkum rekomendasi yang diperlukan untuk mendukung
pengelolaan klinis ALS.

Panel 1: Rekomendasi untuk mendukung manajemen klinis


Pendidikan profesional kesehatan untuk menghargai manfaat dari
terapi paliatif di samping pengobatan kuratif
Pengembangan kerangka kerja untuk mengatasi tekanan moral
dan tantangan etika yang berkaitan dengan terapi akhir kehidupan
pada penyakit neurologis terminal
Dukungan psikologis bagi para profesional kesehatan yang
mengobati pasien dengan penyakit neurologis terminal
Inisiasi diskusi akhir kehidupan pada titik-titik penting terkait
dengan protokol stadium terbaru
Deteksi dini dari gangguan kognitif dan fungsi perilaku
menggunakan metode skrining terstandarisasi (misalnya, Edinburgh
Intervensi dan teknologi
Meskipun riluzole menunjukkan survival lebih tinggi kira-kira 3 bulan
pada ALS dengan intervensi non-farmakologis termasuk ventilasi dan
gastrostomy, dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan kualitas hidup. Banyak
penelitian mendukung penggunaan ventilasi non-invasif dalam pengelolaan
gangguan pernafasan pada ALS, dengan waktu inisiasi sesuai pedoman.
Dimulainya ventilasi non-invasif memberikan kesempatan untuk menentukan
pilihan akhir kehidupan. Dibandingkan dengan ventilasi mekanik invasif, ventilasi
noninvasif tidak menurunkan risiko aspirasi; Namun, prosedur ini memiliki
beberapa keuntungan potensial, termasuk menghindari trakeostomi dan
komplikasi yang terkait serta meningkatkan fungsi berbicara dan menelan.
Ventilasi non-invasif meningkatkan angka kelangsungan hidup, kualitas
hidup, dan mempertahankan fungsi pernapasan pada pasien dengan ALS. Pilihan
penggunaan ventilasi non-invasif berbeda antara negara dengan pusat kesehatan,
meskipun penelitian menunjukkan peningkatan penggunaan ventilasi non-infasig
sejak publikasi American Academy of Neurology Practice di tahun 1999.
Meskipun pedoman untuk inisiasi penggunaan ventilasi non-invasif juga
dipengaruhi oleh perbedaan pengalaman dokter. Sekitar tiga-perempat dari pasien
ventilasi non-invasif menjadi pengguna sukses, terutama pada pasien ALS dengan
onset tungkai lebih daripada onset bulbar dan dengan kecenderungan penurunan
toleransi pada mereka dengan kapasitas vital paksa rendah dengan inisiasi
ventilasi non-invasif maupun pada keadaan gangguan kognitif dan perilaku.
Ketika seorang pasien tidak lagi bisa mentolerir ventilasi non-invasif atau
tidak lagi efektif , ventilasi mekanik invasif dengan trakeostomi dapat dilakukan
(jika tersedia) atau pasien dapat dikelola dengan terapi simtomatik dengan layanan
spesialis terapi paliatif. Meskipun beberapa penelitian awalnya menyarankan
bahwa pasien dengan ventilasi non-invasif yang tidak efektif melakukan ventilasi
invasif, data yang lebih baru menunjukkan bahwa pasien yang sebelumnya
menjalani ventilasi non-invasif dua kali lebih mungkin untuk menjalani ventilasi
invasif melalui trakeostomi.
Dibandingkan dengan ventilasi non-invasif, waktu dan manfaat dari
tindakan gastrostomi kurang menguntungkan dan bervariasi di berbagai pusat
kesehatan. Terdapat bukti langka bahwa gastrostomi dapat meningkatkan
kelangsungan hidup, dan umumnya dianggap menaikkan kualitas hidup,
mengurangi risiko penurunan berat badan yang cepat, menghindari dehidrasi, dan
berpotensi mengurangi kecemasan dan isolasi sosial yang terkait dengan makan
yang berkepanjangan. Penggunaan gastrostomy untuk dukungan nutrisi hanya
memiliki sedikit manfaat dan dapat dikaitkan dengan peningkatan angka kematian
dalam beberapa kasus ALS, termasuk orang dengan perburukan yang cepat,
gangguan kognitif berat, dan pada pasien dengan penurunan fungsi pernafasan
yang tidak mentolerir ventilasi non-invasif.
Kebutuhan klinis umumnya dianggap sebagai penentu paling penting dari
berbagai intervensi dan teknologi. Namun, otonomi individu harus diakui dan
sesuai terhadap kebutuhan imntervensi klinis. Faktor psikososial dan karakteristik
pasien merupakan hal penting dan perbedaan antara saran medis dan pilihan yang
dibuat oleh pasien dan keluarga sudah semakin sering terjadi. Martin telah
mengidentifikasi terkait dengan penerimaan atau penolakan dari intervensi seperti
ventilasi noninvasif dan gastrostomy terhadap status Kognitif, pendidikan, tingkat
disfungsi eksekutif yang terkait dengan pengambilan keputusan dan penerimaan
atau penolakan dari intervensi. Misalnya, orang-orang dengan pendidikan tinggi
lebih memilih menyetujui intervensi tentang pengobatan mereka, sebaliknya
pendidikan lebih rendah berhubungan dengan penolakan intervensi. Bagi ahli
kesehatan, adanya keinginan untuk tetap memegang kendali meskipun dapat
meningkatkan ketergantungan pasien dapat menyebabkan penolakan intervensi,
sedangkan spiritualitas atau religius mempengaruhi kecenderungan untuk
menerima apa yang dianggap sebagai hal yang pasti akan terjadi.
Pada tahun 2007, pedoman untuk penggunaan ventilasi mekanik invasif
diterbitkan dan membahas keuntungan dan kerugian intervensi ini. Namun,
penggunaan trakeostomi dan ventilasi mekanik invasif berbeda antar negara. Rata-
rata 0% pasien dari Inggris, 1-14% di Amerika Serikat, 3% di Jerman, 2-5% di
Perancis, 11% di Italia utara, 27-45% di Jepang. Angka ini menunjukkan
perbedaan dalam budaya, sistem pelayanan kesehatan, dan hukum negara.
Misalnya, Prancis, Norwegia, Swedia, dan Jerman memiliki pengalaman yang
luas dengan ventilasi mekanik jangka panjang pada pasien dengan penyakit
neuromuskuler, serta logistik dan dukungan keuangan yang tersedia untuk
pelayanan di rumah yang lebih besar daripada negara Eropa lainnya. Pusat ALS
Swiss dan Perancis ditujukan untuk mendiskusikan secara terbuka mengenai
ventilasi mekanis kepada pasien dan keluarga, dan lebih mencegah trakeostomi.
Beberapa peneliti telah menilai status kognitif atau perilaku pada pasien
yang menerima ventilasi mekanis. Pada tingkat individu, pasien yang memilih
trakeostomi cenderung menunjukkan keterikatan yang kuat dan konsistensi untuk
hidup, bagi yang lebih muda dengan pendapatan rumah tangga yang lebih tinggi
dan terapi di rumah pribadi, lebih mungkin untuk memiliki akses ke keluarga dan
konseling pribadi, dan lebih mungkin untuk bersikap optimis tentang masa depan.
Sehubungan dengan otonomi pasien dengan penggunaan intervensi biaya
tinggi juga perlu diseimbangkan dengan kemampuan sosial dan pendapatan. Biaya
tinggi yang terkait dengan ventilasi mekanik menimbulkan masalah etika dalam
sistem kesehatan nasional berbasis perpajakan (karena bertentangan dengan
sistem berbasis asuransi), di mana penyediaan mahal ventilasi berbasis masing
masing rumah untuk sejumlah kecil pasien dapat mengurangi sumber daya yang
tersedia untuk pasien lain yang tinggal dalam wilayah yang sama dan bersaing
untuk anggaran yang sama. Misalnya, di Irlandia di mana penyediaan layanan
bervariasi dan tidak diatur dalam perundangan, terdapat risiko sebagian kecil
pasien akan mendapat pelayanan yang melebihi proporsional, termasuk ventilasi
mekanik invasif, dengan mengesampingkan layanan untuk pasien lain di wilayah
yang sama.
Meskipun perbedaan sistem pelayanan kesehatan, tugas utama bagi dokter
untuk mengakui keinginan otonom pasien untuk terus tetap hidup, namun juga
memperkirakan harapan hidup setelah trakeostomi. Meskipun trakeostomi dapat
meningkatkan gejala gagal napas dan memperpanjang kelangsungan hidup,
penyakit ALS terus berkembang ke tahap progresif yang lebih parah dengan
hilangnya kemandirian dan kapasitas komunikasi, dengan risiko yang lebih tinggi
daripada ventilasi non-invasif, dan dengan peningkatan biaya dan beban
pengasuh. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa pada bulan terakhir
pasien ALS dengan trakeostomi 50% dari pasien memiliki perburukan kualitas
hidup setelah trakeostomi; beberapa pengasuh juga memiliki penurunan kualitas
hidup setelah trakeostomi. Di Jepang, proporsi pasien ALS yang menjalani jangka
panjang ventilasi mekanis lebih tinggi, terdapat perbedaan antara rekomendasi
ahli saraf terhadap pasien mereka dan preferensi mereka sendiri untuk ventilasi
mekanik invasif; sedangkan 64% menggunakan ventilasi invasif, dan 72%
menolak intervensi.
Keadaan terminal dan kematian dari ALS
Kebanyakan orang dengan ALS meninggal akibat gagal napas dalam
waktu 3 sampai 5 tahun dari onset gejala. Penyebab lain kematian termasuk
serangan jantung, penyakit koroner, asfiksia, dan emboli paru. Beberapa indikator
fase akhir kehidupan pada pasien dengan gangguan neurologis telah diidentifikasi
termasuk penurunan fisik yang cepat, infeksi disertai kombinasi dengan gangguan
kognitif, dan risiko aspirasi. Tekanan psikososial merupakan gejala umum dan
gejala emosional berupa perasaan depresi, kecemasan, dan kebingungan,
meskipun sebagian besar pasien menyadari akan kematian mereka pada bulan
terakhir kehidupan mereka dan terkesan menerimanya.
Banyak pasien ALS takut tersedak sampai mati. Kejadian ini jarang
terjadi, meskipun tersedak digambarkan oleh 21% pengasuh dari pasien
berventilasi, yang semuanya memiliki gangguan bulbar parah. Bunuh diri sebagai
penyebab kematian juga jarang pada pasien ALS. Kematian yang damai
didefinisikan sebagai jenis satu kematian yang akan memilih jika ada alternatif
lain. Temuan penelitian di Jerman dan Inggris telah menunjukkan sekitar 88% dan
98% dari pasien ALS meninggal dengan tenang. Mereka yang meninggal dalam
tekanan, terjadi karena buruknya penanganan gejala berupa batuk akibat sumbatan
jalan napas dengan lendir, rasa sakit, kesulitan bernapas, insomnia dan
kegelisahan, kecemasan, dan ketakutan. Di Amerika Utara, hubungan positif
antara pendapatan dan kematian yang damai menunjukkan hubungan akhir
kehidupan lebih baik terjadi pada pasien yang mampu membiayai terapinya.
Preferensi bagi kebanyakan orang adalah untuk mati di rumah mereka
sendiri; Namun, meningkatnya tekanan pasien dan beban pengasuh menyebabkan
perlunya dirawat di rumah sakit. Terdapat perbedaan antar negara dimana orang-
orang dengan ALS meninggal, yang menunjukkan perbedaan prioritas dan
struktur sistem pelayanan kesehatan. Misalnya perbandingan pasien ALS
meninggal di rumah , di Italia sebanyak 85%, Amerika Utara 64%, Jerman 55%,
Inggris 52%, dan Perancis 36%. Tempat lainnya termasuk rumah sakit dan panti
jompo, sedangkan ketersediaan tim spesialis terapi paliatif meningkatkan angka
kematian di sebuah rumah sakit.
Kematian ALS yang dibantu
Pilihan membatasi hidup dianggap oleh beberapa pasien berupa
penghentian sukarela makan dan minum, bunuh diri yang dibantu oleh dokter, dan
euthanasia. Beberapa faktor yang terkait dengan kematian yang dibantu, termasuk
otonomi pasien, keyakinan agama, persepsi menjadi beban, perasaan putus asa,
dan depresi. Pasien dengan agama dan keyakinan spiritual rendah, lebih
cenderung memilih euthanasia atau bunuh diri yang dibantu dokter. Beberapa
pasien mungkin mempertimbangkan kematian dibantu sebagai pilihan otonomi.
Sikap terhadap mempercepat kematian pada ALS tidak sama di seluruh
negara. Negara-negara yang memperbolehkan suicide yakni Belanda, Belgia,
Swiss, Luksemburg, dan Oregon di Amerika Serikat. Di Belanda, sebanyak 20%
pasien ALS mati dengan eutanasia atau bunuh diri dibantu dokter dibandingkan
dengan pasien dengan kanker (5%) atau gagal jantung (0 5%). Demikian pula,
tingkat bunuh diri dibantu dokter di Oregon secara signifikan lebih tinggi pada
mereka yang memiliki ALS (374 5 per 10 000) dari kanker (61 0 per 10 000)
atau penyakit terminal lainnya. Namun, 94% dari pasien Swiss dengan ALS tidak
punya niat untuk mempercepat kematian, sedangkan 37% dari pasien Jerman yang
berpartisipasi dalam sebuah penelitian menyatakan preferensi mendukung bunuh
diri yang dibantu. Dalam penelitian lain terhadap sikap mempercepat kematian di
Jerman dan Swiss, setengah dari pasien membayangkan bunuh diri yang dibantu
atau euthanasia, sedangkan 14% menyatakan keinginan saat ini untuk
mempercepat kematian. Dalam penelitian pasien penyakit terminal, kira-kira
setengahnya menginginkan bunuh diri dibantu dokter diperbolehkan di masa
depan. Namun, keinginan sebagian besar pasien untuk dibantu bunuh diri oleh
dokter berkurang karena kekhawatiran yang mendasari mereka karena telah
diidentifikasi dan ditangani langsung, kembali menyoroti kebutuhan untuk diskusi
akhir kehidupan pada awal perjalanan penyakit.
Kesimpulan
Pendidikan kedokteran umumnya berfokus pada perbaikan kehidupan dan
menentang kematian. Ahli kesehatan yang merawat pasien ALS harus mengakui
akan adanya kematian, sambil memastikan bahwa pasien mereka telah
dipersiapkan dan didukung, otonomi pasien tetap dihormati, dan gejala dikelola
secara adekuat. Untuk mencapai keadaan ideal ini, pergeseran pelatihan medis
sedang dilakukan, dengan penekanan lebih besar pada kedua keterampilan
komunikasi dan pendekatan paliatif. Di tingkat pascasarjana, dibutuhkan deteksi
stres yang terkait dengan komunikasi berita buruk dan manajemen pasien di akhir
kehidupan, sehingga keseimbangan empatik dapat dicapai antara kekhawatiran
eksistensial pasien dan realisme obyektif situasi klinis. Kepedulian penuh
terhadap tekanan pasien dan keluarga dapat memunculkan emosional yang cukup
besar, sehingga menyebabkan tekanan moral dan etika, meskipun ditangani oleh
tenaga profesional yang berpengalaman. Seperti distress moral yang kurang diakui
dari sudut pandang klinis, profesional kesehatan harus memberikan dukungan dan
mendiskusikan secara terbuka skenario buruk yang dapat terjadi. Penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk menetapkan cara terbaik untuk mencapai skenario ini
melalui kurikulum medis yang ada dan seluruh praktek klinis (panel 2).

Panel 2: Persyaratan Penelitian


Mengidentifikasi cara terbaik untuk mendukung para profesional
kesehatan menangani tekanan moral
Mengidentifikasi faktor-faktor yang memiliki keterlibatan dengan
arahan dan perencanaan terapi awal
Menilai perkembangan gangguan kognitif pada amyotrophic lateral
sclerosis
Memahami perspektif pasien dan pengasuh menggunakan metode
kualitas hidup individual (misalnya, Schedule for Evaluation of
Individual Quality of Life dan Schedule for Meaning in Life
Evaluation) dan instrumen lainnya, sebagai panduan bagi para
Hal ini juga penting untuk menyadari bahwa sikap, budaya, dan keyakinan
pribadi dari pasien, perawat, dan penyedia layanan kesehatan dapat
mempengaruhi waktu dan isi dari diskusi akhir kehidupan, pengambilan
keputusan, dan penerimaan atau penolakan dari intervensi serta pilihan
pengobatan; akhirnya, laju diskusi tersebut harus ditetapkan oleh pasien dan
bukan dari ahli kesehatan. Namun, sebagai fase akhir kehidupan ALS sulit untuk
ditentukan, inisiasi diskusi akhir kehidupan dapat berguna oleh ahli yang
berpengalaman dan empatik misalnya untuk menentukan waktu intervensi, dengan
adanya ventilasi non-invasif atau gastrostomy, termasuk ke dalam stadium IV
sistem stadium ALS. Arahan terapi awal bagi pasien dengan hak untuk
menjalankan otonomi mengenai strategi akhir kehidupan yang disukai, tetapi
kurang dimanfaatkan pada pasien ALS. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pasien dan keluarganya
kenapa tidak menggunakan pilihan ini.
Dalam beberapa kasus ALS dapat dikaitkan dengan gangguan fungsi
kognitif dan perilaku, dan haruslah di identifikasi awal menggunakan metode
skrining tervalidasi. Meskipun satu penelitian longitudinal berbasis populasi yang
besar telah melacak penurunan fungsi kognitif pada ALS, diperlukan penelitian
lebih lanjut di daerah ini. Ketika bukti demensia awal atau kerusakan kognitif
progresif terjadi, pasien beserta keluarganya harus disarankan mengenai
penunjukan pembuat keputusan pengganti. Pada akhirnya, menjelajahi sudut
pandang pasien dengan instrumen individual seperti SEIQoL-DW dan SMiLE
memiliki potensi untuk memandu para profesional kesehatan dengan tujuan
memaksimalkan kualitas hidup pasien dan pengasuh dan mendukung kematian
yang damai dengan pendekatan berbasis gejala dengan keadaan berorientasi
pasien.
Strategi penelitian dan kriteria seleksi
Kami mengidentifikasi topik spesifik mengenai terapi akhir
kehidupan melalui pencarian literatur yang banyak, dan melalui
diskusi dengan profesional kesehatan dalam spesialisasi neurologi
dan terapi paliatif di Irish National Centre for ALS, yang
menyediakan terapi akhir kehidupan kepada pasien dengan
amyotrophic lateral sclerosis. Kami mencari Medline dan PubMed
dari tanggal 1 Januari 1980, sampai tanggal 31 Mei 2014, dengan
kata kunci berikut: "Motor neuron disease", "amyotrophic lateral
sclerosis ", "end of life", "dying", "death, decision making,
"advance care directive", dan "euthanasia". Melalui identifikasi
review referensi asli dan artikel review tidak ditemukan artikel
dengan kata kunci tersebut. Kami memperhatian secara seksama
relevansi review dan konsensus pedoman artikel yang dipublikasikan
oleh American Academy of Neurology (AAN) dan Federasi Eropa Ilmu
neurologis (EFNS). Hanya artikel yang dipublikasikan dalam bahasa
Inggris dimasukkan. Secara keseluruhan, dipilih 135 referensi,
ditinjau 105 referensi dan dimasukkan ke dalam ulasan ini sebanyak
96 referensi. Makalah dikeluarkan jika mereka hanya deskriptif atau

Anda mungkin juga menyukai

  • BAB III Kabin TB Paru
    BAB III Kabin TB Paru
    Dokumen8 halaman
    BAB III Kabin TB Paru
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Crs DKA
    Crs DKA
    Dokumen9 halaman
    Crs DKA
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen15 halaman
    Bab I
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Skabies
    Skabies
    Dokumen44 halaman
    Skabies
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Lapsus TB Relaps
    Lapsus TB Relaps
    Dokumen8 halaman
    Lapsus TB Relaps
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Stroke
    Stroke
    Dokumen2 halaman
    Stroke
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen2 halaman
    Daftar Pustaka
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv TB
    Bab Iv TB
    Dokumen10 halaman
    Bab Iv TB
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Daftar Tabel
    Daftar Tabel
    Dokumen1 halaman
    Daftar Tabel
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Vari Sela
    Vari Sela
    Dokumen7 halaman
    Vari Sela
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Abs Trak
    Abs Trak
    Dokumen1 halaman
    Abs Trak
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Varisela FIX
    Varisela FIX
    Dokumen11 halaman
    Varisela FIX
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • BST Ocd
    BST Ocd
    Dokumen32 halaman
    BST Ocd
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Diagnosis Banding Ds
    Diagnosis Banding Ds
    Dokumen3 halaman
    Diagnosis Banding Ds
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Transkrip DM
    Transkrip DM
    Dokumen1 halaman
    Transkrip DM
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Vari Sela
    Vari Sela
    Dokumen7 halaman
    Vari Sela
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Refer at
    Refer at
    Dokumen51 halaman
    Refer at
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Referat Fraktur Radiologi
    Referat Fraktur Radiologi
    Dokumen11 halaman
    Referat Fraktur Radiologi
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Referat Foto Skull
    Referat Foto Skull
    Dokumen31 halaman
    Referat Foto Skull
    Iraisa Rosaria
    100% (2)
  • 2.tabel 1
    2.tabel 1
    Dokumen2 halaman
    2.tabel 1
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Peraturan Dokter Muda Anestes1
    Peraturan Dokter Muda Anestes1
    Dokumen2 halaman
    Peraturan Dokter Muda Anestes1
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • Transkrip DM
    Transkrip DM
    Dokumen1 halaman
    Transkrip DM
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat
  • 1.part 1 Specific Leaning Disorder Journal
    1.part 1 Specific Leaning Disorder Journal
    Dokumen6 halaman
    1.part 1 Specific Leaning Disorder Journal
    Cherylina Grace
    Belum ada peringkat