Anda di halaman 1dari 15

Tugas Gerontik

Dosen : Sukma Saini, S. Kep, Ners

Disusun Oleh :

Kelompok I

Fitri Anggraeni Agusnaeni


Misdayani Syarif Rini Mulyani Kaunar
Cici Yusnayanti Elys Indrayani
Irmasari M. Nur Lusiana Bubun
Nurfaidah Wahyuni
Sudianto

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)


NANI HASANUDDIN
MAKASSAR
2008
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Masa dewasa tua (lansia) dimulai setelah pensiun, biasanya antara usia 65 dan
75 tahun. Jumlah kelompok usia ini meningkat drastis dan ahli demografi
memperhitungkan peningkatan populasi lansia sehat terus meningkat sampai
abadselanjutnya. Profesional kesehatan lebih banyak meluangkan waktu dengan
lansia dalam perawatan kesehatan, karena itumereka harus berfokus untuk
mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan khususnya. Lansia memerlukan bantuan
yang lebih besar dalam identifikasi, definisi, dan resolusi masalah yang
mempengaruhi mereka.insiden masalah kesehatan kronis yang lebih besar, kemajuan
teknologi dan masalah ekonomi, sosial, dan kesehatan kontemporer masa kini
mendorong profesional perawatan kesehatan berfokus dan peningkatan harapan dan
kualitas hidup (Stanhope dan Lancaster, 1992)
Ketika memasuki usia lanjut, tiap orang akan mengalami perubahan secara
fisik maupun mental. Tubuh tidak lagi kuat, kulit mulai keriput, rambut memutih,
mengunyah makanan sangat pelan, jalan pun tidak lagi cepat. Secara mental, para
lanjut usia (lansia) juga sering berbeda persepsi dengan orang lebih muda.
Proses menua adalah sebuah proses yang mengubah orang dewasa sehat
menjadi rapuh disertai dengan menurunya cadangan hampir semua sistem fisiologis
dan disertai pula dengan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan kematian.
Proses menua normalnya merupakan suatu proses yang ringan (benign), ditandai
dengan turunya fungsi secara bertahap tetapi tidak ada penyakit sama sekali sehingga
kesehatan tetap terjaga baik. Sebaliknya proses menua patologis ditandai dengan
kemunduran fungsi organ sejalan engan umur tetapi bukan akibat umur tua,
melainkan akibat penyakit yang muncul pada umur tua. Tiga hal fundamental yang
berkaitan dengan kesamaan dalam pola proses menua pada hampir semua spesies
mamalia. Kedua, laju (rate) proses menua ditentukan oleh gen yang bervariasi
antarspesies. Ketiga, laju proses menua tersebut dapat diperlambat oleh restriksi
kalori, paling tidak pada hewan tikus. Banyak hal dimasa lalu yang diduga
merupakan akibat proses menua ternyata berhubungan dengan proses penyakit yang
faktor faktor risikonya sebenarnya dapat dimodifikasi seperti diet, merokok,
alkohol, dan pajanan lingkungan.
Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang diderita (Nugroho, 2000)

Batas-Batas Lanjut Usia.


1. Batasan usia menurut WHO meliputi :
1 usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45 sampai 59 tahun
2 lanjut usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun
3 lanjut usia tua (old), antara 75 sampai 90 tahun
4 usia sangat tua (very old), diatas 90 tahun
2. Menurut UU No. 4 tahun 1965 pasal 1 dinyatakan sebagai berikut :
Seorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah yang
bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya
mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima
nafkah dari orang lain.
Saat ini berlaku UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia yang
berbunyi sebagai berikut: lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun
keatas.
Beberapa tokoh perkembangan membedakan antara the young old (65-74
tahun) dan the old-old atau late old age (75 keatas) (Charness & Bosman, 1992 dalam
Santrock 1999). Kemudian ada pula yang membedakan the oldest old (85 tahun ke
atas) dari younger older adults (Pearlin dalam Pearlin, 1994 dalam Santrock, 1999).
Perempuan kebanyakan merupakan anggota dari golongan the oldest old ini. Mereka
lebih memiliki rata-rata lebih tinggi dalam keabnormalitasan dan jumlah yang jauh
lebih besar dalam hal ketidak mampuan daripada golongan young old. Mereka lebih
banyak tinggal di institusi, tidak menikah lagi, lebih sering memiliki pendidikan yang
rendah. Banyak oldest old yang masih dapat berfungsi dengan efektif, walaupun yang
lain ada pula yang telah menarik diri dari kehidupan sosial dan bergantung kepada
masyarakat sekitar dalam hal dukungan financial. Porsi substansial dari oldest old
berfungsi dengan baik. Preokupasi masyarakat dengan ketidakmampuan dan
mortalitas oldest old telah menyembunyikan fakta bahwa mayoritas older adults
berusia 80 tahun dan lebih masih terus berlangsung dalam komunitas. Lebih dari
sepertiga older adults berusia 80 dan lebih yang tinggal dalam komunitas melaporkan
bahwa kesehatan mereka masih sangat baik atau baik; 40 % mengatakan bahwa
mereka tidak memiliki batasan dalam beraktivitas (Suzman & others, 1992 dalam
Santrock, 1999).
Orang tua diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan
dan menurunnya kesehatan secara bertahap. Mereka diharapkan untuk mencari
kegiatan untuk mengganti tugas-tugas terdahulu yang menghabiskan sebagian besar
waktu kala mereka masih muda. Bagi beberapa orang berusia lanjut, kewajiban untuk
menghadiri rapat yang menyangkut kegiatan sosial sangat sulit dilakukan karena
kesehatan dan pendapatan mereka menurun setelah pensiun, mereka sering
mengundurkan diri dari kegiatan sosial. Disamping itu, sebagian besar orang berusia
lanjut perlu mempersiapkan dan menyesuaikan diri dengan peristiwa kehilangan
pasangan, perlu membangun ikatan dengan anggota dari kelompok usia mereka untuk
menghindari kesepian dan menerima kematian dengan tentram.
Kebanyakan trauma psikologis dan emosi pada masa lansia muncul akibat
kesalahan konsep karena lansia memiliki kerusakan kognitif. Akan tetapi, perubahan
struktur dan fisiologis yang terjadi dalam otak selama penuaan tidak mempengaruhi
kemampuan adaptif dan fungsi secara nyata. (Ebersole dan Hess, 1994)
Sel neurofisiologis berubah bervariasi pada setiap individu. Mreskipun
kehilangan selular nyata, beberapa lansia tidak mendemonstrasikan deteoritasi
mental, lebih jauh, beberapa klien dengan kehilangan sel serebral yang signifikan
berespons baik pada berbagai penanganan psikoterapi dan farmakologis.
Adakalanya saat terjadi disfungsi serebral, tendensi perilaku yang sebelumnya
ada diperberat. Oleh karena itu, seseorang yang kompulsif saat dewasa awal dan
tengah menjadi lebih kompulsif saat lansia. Perubahan kognitif terjadi pada lansia
saat terjadi disfungsi atau trauma serebral. Perawat harus memahami perubahan ini
sehingga klien dapat dibantu untuk mempertahankan fungsi optimal.

B. TUJUAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang
penyakit delirium pada usia dewasa akhir (lansia)

BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Delirium adalah keadaan yang yang bersifat sementara dan biasanya terjadi
secara mendadak, dimana penderita mengalami penurunan kemampuan dalam
memusatkan perhatiannya dan menjadi linglung, mengalami disorientasi dan tidak
mampu berfikir secara jernih. (http://www.medicastore.com/)
Delirum adalah suatu keadaan proses pikir yang terganggu, ditandai dengan
gangguan perhatian, memori, pikiran dan orientasi.
Delirium juga disebut Kondisi bingung akut (Acute Confusional State) dan
demensia merupakan penyebab yang paling sering dan gangguan atau hendaya
kognitif, walaupun gangguan afektif (seperti depresi) juga bisa mengganggu kognisi.
Delirium dan demensia merupakan dua gangguan yang berbeda, namun sering sukar
dibedakan. Pada keduanya, fungsi kognitif terganggu, namun demensia biasanya
memori yang terganggu, sedangkan delirium daya perhatiannya yang terganggu.
Delirium adalah suatu sindrom dengan gejala pokok adanya gangguan
kesadaran yang biasanya tampak dalam bentuk hambatan pada fungsi kognitif.
(Kapita Selekta Kedokteran,jilid 1, hal.190, 2000)
Delirium atau tingkat konfusi akut adalah sindrom otak menyerupai dimensia
ireversibel, tetapi secara klinis dibedakan oleh adanya tingkat kesadaran tidak jelas
atau, lebih tepatnya, perubahan perhatian dan kesadaran. (Fundamental Keperawatan,
Vol.1,hal.737, 2005)
Beberapa ciri khas membedakan kedua gangguan tersebut (lihat tabel I).
Delirium biasanya disebabkan oleh penyakit akut atau keracunan obat (kadang
mengancam jiwa orang) dan sering reversibel, sedangkan demensia secara khas
disebabkan oleh perubahan anatomik dalam otak, berawal lambat dan biasanya tidak
reversibel. Delirium bisa timbul pada pasien dengan demensia juga.

Tabel I. Perbedaan klinis delirium dan Demensia


Gambaran Delirium Demensia
Riwayat Penyakit akut Penyakit kronik
Awal Cepat Lambat laun
Sebab Terdapat penyakit lain Biasanya penyakit otak
(infeksi, kronik (spt Alzheimer,
dehidrasi, guna/putus obat demensia vaskular)
Lamanya Ber-hari/-minggu Ber-bulan/-tahun
Perjalanan sakit Naik turun Kronik progresif
Taraf kesadaran Naik turun Normal
Orientasi Terganggu, periodik Intak pada awalnya
Afek Cemas dan iritabel Labil tapi tak cemas
Alam pikiran Sering terganggu Turun jumlahnya
Bahasa Lamban, inkoheren, Sulit menemukan istilah
inadekuat tepat
Daya ingat Jangka pendek terganggu Jangka pendek & panjang
nyata terganggu
Persepsi Halusinasi (visual) Halusinasi jarang kecuali
sundowning
Psikomotor Retardasi, agitasi, campuran Normal
Tidur Terganggu siklusnya Sedikit terganggu siklus
tidurnya
Atensi & kesadaran Amat terganggu Sedikit terganggu
Reversibilitas Sering reversibel Umumnya tak reversibel
Penanganan Segera Perlu tapi tak segera
Catatan: pasien dengan demensia amat rentan terhadap delirium, dan delirium yang
bertumpang tindih dengan demensia adalah umum
Delirium, sering disebut keadaan kebingungan akut, dimulai dengan kelam
piker dan berkembang menjadi disorientasi dan perubahan dalam tingkat kesadaran
yang bias berkisar dari stupor sampai aktivuitas yang berlebihan. Berpikir kacau, dan
rentang perhatian secara nyata memendek. (Keperawatan Medikal Bedah, vol.1,
hal.182-183, 2002)

B. EPIDEMOLOGI
Delirium terdapat 14-56% pasien rawat dengan 30% darinya mengalami
'sindroma parsial' (memenuhi gambaran delirium tanpa memenuhi kriteria diagnosis
DSM-IV). Rata-rata pasien mengalami delirium pada umur 75 tahun, dengan
sebagian sedang memerlukan perawatan rumah sakit dan timbul banyak tanda(sign)
lagi setelah tiga hari atau lebih perawatan atau pembedahan. Levkoff dkk. pada studi
325 usila di RS melaporkan hanya 10 % delirium dengan 31%nya timbul selama
perawatan. Juga pada studi 225 pasien rawat di unit geriatri akut dilaporkan oleh
O'Keeffe dan Lavan 18% delirium selama perawatan dengan 29% terjadi kemudian.
Lama rata-rata gejala , yang memenuhi kriteria DSM-III adalah 7 hari, meskipun 5%
menetap lebih dari 4 minggu setelah didiagnosis. 38% nya dengan perburukan yang
baru dari orientasi dan daya ingat yang masih tetap buruk selama sebulan, pada saat
32% mengalami perbaikan gejala.

C. ETIOLOGI
Delirium merupakan suatu keadaan mental yang abnormal, bukan suatu
penyakit; dengan sejumlah gejala yang menunjukkan penurunan fungsi mental.
Berbagai keadaan atau penyakit (mulai dari dehidrasi ringan sampai keracunan obat
atau infeksi yang bisa berakibat fatal), bisa menyebabkan delirium. Keadaan ini
paling sering terjadi pada usia lanjut dan penderita yang otaknya telah mengalami
gangguan, termasuk orang yang sakit berat, orang yang mengkonsumsi obat yang
menyebabkan perubahan fikiran atau perilaku dan orang yang mengalami demensia.
Penyebab delirium:
Alkohol, obat-obatan dan bahan beracun
Efek toksik dari pengobatan
Kadar elektrolit, garam dan mineral (misalnya kalsium, natrium atau magnesium)
yang tidak normal akibat pengobatan, dehidrasi atau penyakit tertentu
Infeksi akut disertai demam
Hidrosefalus bertekanan normal, yaitu suatu keadaan dimana cairan yang
membantali otak tidak diserap sebagaimana mestinya dan menekan otak
Hematoma subdural, yaitu pengumpulan darah di bawah tengkorak yang dapat
menekan otak.
Meningitis, ensefalitis, sifilis (penyakit infeksi yang menyerang otak)
Kekurangan tiamin dan vitamin B12
Hipotiroidisme maupun hipotiroidisme
Tumor otak (beberapa diantaranya kadang menyebabkan linglung dan gangguan
ingatan)
Patah tulang panggul dan tulang-tulang panjang
Fungsi jantung atau paru-paru yang buruk dan menyebabkan rendahnya kadar
oksigen atau tingginya kadar karbon dioksida di dalam darah
Stroke.

D. TANDA DAN GEJALA


Delirium dapat diawali dengan berbagai gejala, dan kasus yang ringan
mungkin sulit untuk dikenali. Tingkah laku seseorang yang mengalami delirium
bervariasi, tetapi kira-kira sama seperti orang yang sedang mengalami mabuk berat.
Ciri utama dari delirium adalah tidak mampu memusatkan perhatian.
Penderita tidak dapat berkonsentrasi, sehingga mereka memiliki kesulitan dalam
mengolah informasi yang baru dan tidak dapat mengingat peristiwa yang baru saja
terjadi.
Hampir semua penderita mengalami disorientasi waktu dan bingung dengan tempat
dimana mereka berada. Fikiran mereka kacau, mengigau dan terjadi inkoherensia.
Pada kasus yang berat, penderita tidak mengetahui diri mereka sendiri. Beberapa
penderita mengalami paranoia dan delusi (percaya bahwa sedang terjadi hal-hal yang
aneh).
Respon penderita terhadap kesulitan yang dihadapinya berbeda-beda; ada
yang sangat tenang dan menarik diri, sedangkan yang lainnya menjadi hiperaktif dan
mencoba melawan halusinasi maupun delusi yang dialaminya.
Jika penyebabnya adalah obat-obatan, maka sering terjadi perubahan perilaku.
Keracunan obat tidur menyebabkan penderita sangat pendiam dan menarik diri,
sedangkan keracunan amfetamin menyebabkan penderita menjadi agresif dan
hiperaktif.
Delirium bisa berlangsung selama berjam-jam, berhari-hari atau bahkan lebih lama
lagi, tergantung kepada beratnya gejala dan lingkungan medis penderita. Delirium
sering bertambah parah pada malam hari (suatu fenomena yang dikenal sebagai
matahari terbenam). Pada akhirnya, penderita akan tidur gelisah dan bisa berkembang
menjadi koma (tergantung kepada penyebabnya).

E. PATOFISIOLOGI
Gambaran klinis delirium bervariasi karena keterlibatan yang luas kortikal
dan subkortikal. Patofisiologinya tidak diketahui, tetapi dapat karena penurunan
metabolisme oksidatif otak menyebabkan perubahan neurotransmiter di daerah
prefrontal dan subkortikal. Ada kejadian penurunan kolinergik dan peningkatan
aktifitas dopaminergik, pada saat kadar serotonin dan kadar GABA yang bermakna
tetap tidak jelas.Hal lain delirium dapat efek dari kortisol plasma yang meningkat
pada otak akibat diinduksi stress.

F. DIAGNOSIS
Biasanya klinis. Semua pasien dengan tanda dan gejala gangguan fungsi
kognitif perlu dilakukan pemeriksaan kondisi mental formal.
Kemampuan atensi bisa diperiksa dengan:
Pengulangan sebutan 3 benda
Pengulangan 7 angka ke depan dan 5 angka ke belakang (mundur)
Sebutkan nama hari dalam seminggu ke depan dan ke belakang (mundur)
Ikuti kriteria diagnostik dari lCD-10 atau DSM-IV-TR
Confusion Assessment Method (CAM)
Wawancarai anggota keluarga
Penggunaan obat atau zat psikoaktif overdosis atau penghentian mendadak.

G. PROGNOSIS
Morbiditas dan mortalitas lebih tinggi pada pasien yang masuk sudah dengan
delirium dibandingkan dengan pasien yang menjadi delirium setelah di Rumah Sakit.
Beberapa penyebab delirium seperti hipoglikemia, intoxikasi, infeksi, faktor
iatrogenik, toxisitas obat, gangguan keseimbangan elektrolit. Biasanya cepat
membaik dengan pengobatan. Beberapa pada lanjut usia susah untuk diobati dan bisa
melanjutjadi kronik
Meskipun secara tradisional dianggap sebagi keadaan yang hilang sendiri, ia
sekarang jelas diketahui bahwa terdapat banyak keluaran yang menyimpang yang
berhubungan dengan perkembangan delirium. Selama masuk di rumah sakit ia
menunjukkan bertanggungjawah terhadap penurunan fungsional, peningkatan resiko
komplikasi dapatan rumah sakit seperti jatuh, luka tekanan dan inkontinensia urinari
dan tinggal di rumah sakit yang lama. Pada pemberhentian, peneltian menunjukkan
terdapat peningkatan resiko penurunan fungsional pada aktifitas hidup sehari-hari,
peningkatan pendaftaran masuk fasilitas perawatan jangka lama, dan peningkatan
resiko masuk kembali. Jauh dari hidup singkat yang tak menyenangkan yang
sebelumnya telah dipertimbangkan, banyak penelitian yang mempertunjukkan
delirium menetap pasca pemberhentian. Levkoff dkk. menunjukkan bahwa dari 125
pasien lansia delirius, hanya 4% yang resolusi lengkap pada saat pemeberhentian, dan
kurang dari 25% resolusi dari seluruh gejala baru pada 3 dan 6 bulan setelah
pemberhentian. Delirium juga mempunyai hubungan dengan peningkatan mortalitas,
meskipun ini tidak jelas apakah ini karena dasar penyakit medisnya dan ko-
morbiditasnya atau karena delirium itu sendiri. Keseluruhan mortalitas delirium
mendekati 30%, dengan mortalitas 12-bulanan 35-40% dan mortalitas 5-tahunan
50%.

H. TERAPI
Terapi diawali dengan memperbaiki kondisi penyakitnya dan menghilangkan
faktor yang memberatkan seperti:
Menghentikan penggunaan obat
Obati infeksi
Suport pada pasien dan keluanga
Mengurangi dan menghentikan agitasi untuk pengamanan pasien
Cukupi cairan dan nutrisi
Vitamin yang dibutuhkan
Segala alat pengekang boleh digunakan tapi harus segera dilepas bila sudah
membaik, alat infuse sesederhana mungkin, lingkungan diatur agar nyaman.
Obat:
Haloperidoi dosis rendah dulu 0,5 1 mg per os, IV atau IV
Risperidone0,5 3mg perostiap l2jam
Olanzapine 2,5 15 mg per os 1 x sehari
Lorazepam 0,5 1mg per Os atau parenteral (tak tersedia di Indonesia), Perlu
diingat obat benzodiazepine mi bisa memperburuk delirium karena efek
sedasinya.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Delirium merupakan masalah umum dan serius yang mempengaruhi bagian
yang bermakna perawatan di rumah sakit penderita lanjut usia. Ini berhubungan
dengan keluaran yang jelek dalam pengertian peningkatan lama perawatan dan biaya
pemeliharaan kesehatan, komplikasi perawatan di rumah sakit, pemberhentian status
fungsional dan tujuan, dan mortalitas. Penyebab delirium biasanya multifaktorial,
dengan banyak faktor pemicu yang potensial dapat dicegah. Ia memerlukan perhatian
bahwa pasien yang lebih rentan hanya membutuhkan sangat kecil pengaruh untuk
menyebabkan delirium. Semestinya terdapat pencarian dan perbaikan yang agresif
terhadap seluruh penyebab potensial, termasuk infeksi dan abnormalitas metabolik.
Pengobatan semestinya ditinjau ulang sepenuhnya dengan penghentian seluruh obat
yang tidak diperlukan. Terdapat keperluan yang lebih dititikberatkan pada
pencegahan dan deteksi awal delirium. Pegawai rumah sakit hendaklah waspada pada
pasien-pasien itu yang barangkali berkembang menjadi delirium, dan sangat
disarankan bahwa seluruh pasien mempunyai suatu pengkajian kognitif yang
menyeluruh pada pendaftaran masuk, ditambah dengan riwayat sebelum sakit
secukupnya, khususnya pada yang akan menjalani operasi. Presipitan yang diketahui,
khususnya faktor iatrogenik dan lingkungan, hendaklah dihindari, dan pegawai
mengawasi pasien secara hati-hati untuk tanda-tanda delirium, terutama penampakan
hipoaktif. Sekali delirium telah ditegakkan, suport dan tindakan farmakologik yang
tepat hendaklah dilaksanakan. Delirium merupakan kelainan yang potensial yang
membinasakan yang barangkali selanjutnya terjadi peningkatan prevalensi seiring
dengan populasi lanjut usia. Bagaimanapun, dengan perhatian yang baik kepada
pasien, faktor kesakitan dan rumah sakit, ia semestinya dimungkinkan untuk
meminimalkan dampak terhadap lansia yang dirawat.

B. SARAN
Dari makalah ini diharapkan masyrakat pada umumnya dan mahasiswa
keperawatan pada khuisusnya dapat mengetahui tentang penyakit delirium pada
lansia.
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arif, dkk, 2001. Kapita Selekta Kedokteran, jilid 1. Jakarta : Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Potter, Perry, 2005. Fundamental Keperawatan, vol. 1. Jakarta : EGC


Smeltzer, Suzanne C, Bare, Brenda G, 2002. Keperawatan Medikal Bedah, vol. 2.
Jakarta : EGC.

http://www.geocities.com/

http://www.indonesiaindonesia.com/

http://www.medicastore.com/

http://library.usu.ac.id/

Anda mungkin juga menyukai