Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

DIARE

A. DEFINISI
Diare atau penyakit diare (Diarrheal disease) berasal dari bahasa Yunani
yaitu diarroi yang berarti mengalir terus, merupakan keadaan abnormal dari
pengeluaran tinja yang terlalu frekuen.
Diare adalah buang air besar dalam bentuk cairan lebih dari tiga kali
dalam satu hari dan biasanya berlangsung selama dua hari atau lebih. Orang
yang mengalami diare akan kehilangan cairan tubuh sehingga menyebabkan
dehidrasi tubuh. Hal ini membuat tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik
dan dapat membahayakan jiwa, khususnya pada anak dan orang tua.
Menurut World Health Organization (WHO), penyakit diare adalah suatu
penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang
lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang
lebih dari biasa, yaitu 3 kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat
disertai dengan muntah atau tinja yang berdarah. Penyakit ini paling sering
dijumpai pada anak balita, terutama pada 3 tahun pertama kehidupan, dimana
seorang anak bisa mengalami 1-3 episode diare berat.

B. KLASIFIKASI
1. Menurut Simadibrata (2006), diare dapat diklasifikasikan berdasarkan :
a. Lama waktu diare
- Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 15 hari.
Sedangkan menurut World Gastroenterology Organization Global
Guidelines (2005) diare akut didefinisikan sebagai pasase tinja
yang cair atau lembek dengan jumlah lebih banyak dari normal,
berlangsung kurang dari 14 hari. Diare akut biasanya sembuh
sendiri, lamanya sakit kurang dari 14 hari, dan akan mereda tanpa
terapi yang spesifik jika dehidrasi tidak terjadi (Wong, 2009).
- Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 15 hari.
b. Mekanisme patofisiologik
- Osmolalitas intraluminal yang meninggi, disebut diare sekretorik.
- Sekresi cairan dan elektrolit meninggi.
- Malabsorbsi asam empedu.
- Efek sistem pertukaran anion atau transport elektrolit aktif di
enterosit.
- Motilitas dan waktu transport usus abnormal.
c. Penyakit infektif atau non-infektif.
d. Penyakit organik atau fungsional.

2. Menurut WHO (2005) diare dapat diklasifikasikan kepada:


a. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari.
b. Disentri, yaitu diare yang disertai dengan darah.
c. Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.
d. Diare yang disertai dengan malnutrisi berat (Simatupang, 2004).

C. ETIOLOGI
1. Penyebab diare Yaitu: (Tantivanich, 2002; Sirivichayakul, 2002;
Pitisuttithum, 2002)
a. Virus :
Merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak (70 80%).
Beberapa jenis virus penyebab diare akut :
o Rotavirus serotype 1,2,8,dan 9: pada manusia. Serotype 3 dan 4
didapati pada hewan dan manusia. Dan serotype 5,6, dan 7
didapati hanya pada hewan.
o Norwalk virus : terdapat pada semua usia, umumnya akibat food
borne atau water borne transmisi, dan dapat juga terjadi
penularan person to person.
o Astrovirus, didapati pada anak dan dewasa
o Adenovirus (type 40, 41)
o Small bowel structured virus
o Cytomegalovirus

b. Bakteri :
o Enterotoxigenic E.coli (ETEC). Mempunyai 2 faktor virulensi
yang penting yaitu faktor kolonisasi yang menyebabkan bakteri
ini melekat pada enterosit pada usus halus dan enterotoksin (heat
labile (HL) dan heat stabile (ST) yang menyebabkan sekresi
cairan dan elektrolit yang menghasilkan watery diarrhea. ETEC
tidak menyebabkan kerusakan brush border atau menginvasi
mukosa.
o Enterophatogenic E.coli (EPEC). Mekanisme terjadinya diare
belum jelas. Didapatinya proses perlekatan EPEC ke epitel usus
menyebabkan kerusakan dari membrane mikro vili yang akan
mengganggu permukaan absorbsi dan aktifitas disakaridase.

D. EPIDEMIOLOGI
1. Penyebaran kuman yang menyebabkan diare
Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain
melalui makanan/minuna yang tercemar tinja dan atau kontak langsung
dengan tinja penderita. Beberapa perilaku dapat menyebabkan penyebaran
kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare perilaku tersebut
antara lain :
a. Tidak memberikan ASI ( Air Susi Ibu ) secara penuh 4-6 bulan pada
pertama kehidupan pada bayi yang tidak diberi ASI risiko untuk
menmderita diare lebih besar dari pada bayi yang diberi AsI penuh
dan kemungjinan menderita dehidrasi berat juga lebih besar.
b. Menggunakan botol susu , penggunakan botol ini memudahkan
pencernakan oleh Kuman , karena botol susah dibersihkan
c. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar. Bila makanan
disimpan beberapa jam pada suhu kamar makanan akan tercemar dan
kuman akan berkembang biak.
d. Menggunakan air minum yang tercemar . Air mungkin sudah tercemar
dari sumbernya atau pada saat disimpan di rumah, Perncemaran
dirumah dapat terjadi kalau tempat penyimpanan tidak tertutup atau
apabila tangan tercemar menyentuh air pada saat mengambil air dari
tempat penyimpanan.
e. Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah
membuang tinja anak atau sebelum makan dan menyuapi anak.
f. Tidak membuang tinja ( termasuk tinja bayi ) dengan benar Sering
beranggapan bahwa tinja bayi tidaklah berbahaya padahal
sesungguhnya mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar
sementara itu tinja binatang dapat menyebabkan infeksi pada manusia.

2. Faktor penjamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare


Beberapa faktor pada penjamu dapat meningkatkan insiden beberapa
penyakit dan lamanya diare. Faktor-faktor tersebut adalah :
a. Tidak memberikan ASI sampai 2 Tahun. ASI mengandung antibodi
yang dapat melindungi kita terhadap berbagai kuman penyebab diare
seperti : Shigella dan v cholerae
b. Kurang gizi beratnya Penyakit , lama dan risiko kematian karena diare
meningkat pada anak-anak yang menderita gangguan gizi terutama
pada penderita gizi buruk.
c. Campak diare dan desentri sering terjadi dan berakibat berat pada
anak-anak yang sedang menderita campak dalam waktu 4 minggu
terakhir hal ini sebagai akibat dari penurunan kekebalan tubuh
penderita.
d. Imunodefesiensi /Imunosupresi. Keadaan ini mungkin hanya
berlangsung sementara, misalnya sesudah infeksi virus ( seperti
campak ) natau mungkin yang berlangsung lama seperti pada
penderita AIDS ( Automune Deficiensy Syndrome ) pada anak
imunosupresi berat, diare dapat terjadi karena kuman yang tidak
parogen dan mungkin juga berlangsung lama,
e. Segera Proposional , diare lebih banyak terjadi pada golongan Balita
( 55 % )

3. Faktor lingkungan dan perilaku :


Penyakit diare merupakan salah satu penyakiy yang berbasis lingkungan
dua faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja
kedua faktor ini akan berinteraksi bersamadengan perilaku manusia
Apabila factor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta
berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula. Yaitu
melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian
penyakit diare (Lebenthal, 1989; Daldiyono, 1990; Dep Kes RI, 1999;
Yatsuyanagi, 2002).

E. PATOFISIOLOGI
Fungsi utama dari saluran cerna adalah menyiapkan makanan untuk
keperluan hidup sel, pembatasan sekresi empedu dari hepar dan pengeluaran
sisa-sisa makanan yang tidak dicerna. Fungsi tadi memerlukan berbagai
proses fisiologi pencernaan yang majemuk, aktivitas pencernaan itu dapat
berupa: (Sommers,1994; Noerasid, 1999 cit Sinthamurniwaty 2006)
1. Proses masuknya makanan dari mulut kedalam usus.
2. Proses pengunyahan (mastication) : menghaluskan makanan secara
mengunyah dan mencampur.dengan enzim-enzim di rongga mulut
3. Proses penelanan makanan (diglution) : gerakan makanan dari mulut ke
gaster
4. Pencernaan (digestion) : penghancuran makanan secara mekanik,
percampuran dan hidrolisa bahan makanan dengan enzim-enzim
5. Penyerapan makanan (absorption): perjalanan molekul makanan melalui
selaput lendir usus ke dalam. sirkulasi darah dan limfe.

Berdasarkan gangguan fungsi fisiologis saluran cerna dan macam penyebab


dari diare, maka patofisiologi diare dapat dibagi dalam 3 macam kelainan
pokok yang berupa :
1. Kelainan gerakan transmukosal air dan elektrolit (karena toksin)
Gangguan reabsorpsi pada sebagian kecil usus halus sudah dapat
menyebabkan diare, misalnya pada kejadian infeksi. Faktor lain yang juga
cukup penting dalam diare adalah empedu. Ada 4 macam garam empedu
yang terdapat di dalam cairan empedu yang keluar dari kandung empedu.
Dehidroksilasi asam dioksikholik akan menyebabkan sekresi cairan di
jejunum dan kolon, serta akan menghambat absorpsi cairan di dalam
kolon. Ini terjadi karena adanya sentuhan asam dioksikholik secara
langsung pada permukaan mukosa usus. Diduga bakteri mikroflora usus
turut memegang peranan dalam pembentukan asam dioksi kholik tersebut.
Hormon-hormon saluran cerna diduga juga dapat mempengaruhi absorpsi
air pada mukosa. usus manusia, antara lain adalah: gastrin, sekretin,
kholesistokinin dan glukogen. Suatu perubahan PH cairan usus juga.
dapat menyebabkan terjadinya diare, seperti terjadi pada Sindroma
Zollinger Ellison atau pada Jejunitis.
2. Kelainan cepat laju bolus makanan didalam lumen usus (invasive
diarrhea)
Suatu proses absorpsi dapat berlangsung sempurna dan normal bila bolus
makanan tercampur baik dengan enzim-enzim saluran cerna dan. berada
dalam keadaan yang cukup tercerna. Juga. waktu sentuhan yang adekuat
antara khim dan permukaan mukosa usus halus diperlukan untuk absorpsi
yang normal. Permukaan mukosa usus halus kemampuannya berfungsi
sangat kompensatif, ini terbukti pada penderita yang masih dapat hidup
setelah reseksi usus, walaupun waktu lintas menjadi sangat singkat.
Motilitas usus merupakan faktor yang berperanan penting dalam
ketahanan local mukosa usus. Hipomotilitas dan stasis dapat
menyebabkan mikro organisme berkembang biak secara berlebihan
(tumbuh lampau atau overgrowth) yang kemudian dapat merusak mukosa
usus, menimbulkan gangguan digesti dan absorpsi, yang kemudian
menimbulkan diare. Hipermotilitas dapat terjadi karena rangsangan
hormon prostaglandin, gastrin, pankreosimin; dalam hal ini dapat
memberikan efek langsung sebagai diare. Selain itu hipermotilitas juga
dapat terjadi karena pengaruh enterotoksin staphilococcus maupun
kholera atau karena ulkus mikro yang invasif o1eh Shigella atau
Salmonella.Selain uraian di atas haruslah diingat bahwa hubungan antara
aktivitas otot polos usus,gerakan isi lumen usus dan absorpsi mukosa usus
merupakan suatu mekanisme yang sangat kompleks.
3. Kelainan tekanan osmotik dalam lumen usus (virus).
Dalam beberapa keadaan tertentu setiap pembebanan usus yang melebihi
kapasitas dari pencernaan dan absorpsinya akan menimbulkan diare.
Adanya malabsorpsi dari hidrat arang, lemak dan zat putih telur akan
menimbulkan kenaikan daya tekanan osmotik intra luminal, sehingga
akan dapat menimbulkan gangguan absorpsi air. Malabsorpsi hidrat arang
pada umumnya sebagai malabsorpsi laktosa yang terjadi karena defesiensi
enzim laktase. Dalam hal ini laktosa yang terdapat dalam susu tidak
sempurna mengalami hidrolisis dan kurang di absorpsi oleh usus halus.
Kemudian bakteri-bakteri dalam usus besar memecah laktosa menjadi
monosakharida dan fermentasi seterusnya menjadi gugusan asam organik
dengan rantai atom karbon yang lebih pendek yang terdiri atas 2-4 atom
karbon. Molekul-molekul inilah yang secara aktif dapat menahan air
dalam lumen kolon hingga terjadi diare. Defisiensi laktase sekunder atau
dalam pengertian yang lebih luas sebagai defisiensi disakharidase
(meliputi sukrase, maltase, isomaltase dan trehalase) dapat terjadi pada
setiap kelainan pada mukosa usus halus. Hal tersebut dapat terjadi karena
enzim-enzim tadi terdapat pada brush border epitel mukosa usus. Asam-
asam lemak berantai panjang tidak dapat menyebabkan tingginya tekanan
osmotik dalam lumen usus karena asam ini tidak larut dalam air.

F. MANIFESTASI KLINIS
1. Menurut Suriadi (2001), Manifestasi klinis diare yaitu :
a. Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer
b. Demam
c. Kembung
d. Anoreksia
e. Lemah

2. Manifestasi klinis diare yaitu (Nelwan, 2001; Procop et al, 2003)


Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah
dan/atau demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut.
Diare yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan
medis yang adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan
cairan di badan yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena
gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang lanjut. Karena
kehilangan cairan seseorang merasa haus, berat badan berkurang, mata
menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun
serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air
yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang,
yang mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan
merangsang pusat pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan
lebih dalam (kussmaul). Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk
mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat naik kembali normal. Pada
keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi, bikarbonat standard
juga rendah, pCO2 normal dan base excess sangat negatif.
Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa
renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah
menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-
ujung ekstremitas dingin dan kadang sianosis. Karena kehilangan kalium
pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.

G. KOMPLIKASI
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera
kehilangan cairan secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang
cepat. Kehilangan elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia
dan asidosis metabolik.(Hendarwanto, 1996; Ciesla et al, 2003)
Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis, sehingga
syok hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat
timbul Tubular Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi
organ. Komplikasi ini dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan
tidak adekuat sehingga tidak tecapai rehidrasi yang optimal. (Nelwan, 2001;
Soewondo, 2002; Thielman & Guerrant, 2004)
Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang disebabkan
terbanyak oleh EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal, anemia
hemolisis, dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan
meningkat setelah infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti diare, tetapi
penggunaan antibiotik untuk terjadinya HUS masih kontroversi.
Menurut SPM Kesehatan Anak IDAI (2004) dan SPM Kesehatan Anak
RSUD Wates (2001), Komplikasi Diare yaitu:
Kehilangan air dan elektrolit : dehidrasi, asidosis metabolic
Syok
Kejang
Sepsis
Gagal Ginjal Akut
Ileus Paralitik
Malnutrisi
Gangguan tumbuh kembang

H. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN PENUNJANG LAINNYA


Pemeriksaan Laboratorium yang dapat dilakukan pada diare adalah
sebagai berikut :
a. Lekosit Feses (Stool Leukocytes): Merupakan pemeriksaan awal terhadap
diare kronik. Lekosit dalan feses menunjukkan adanya inflamasi intestinal.
Kultur Bacteri dan pemeriksaan parasit diindikasikan untuk menentukan
adanya infeksi. Jika pasien dalam keadaan immunocompromisedd, penting
sekali kultur organisma yang tidak biasa seperti Kriptokokus,Isospora dan
M.Avium Intracellulare. Pada pasien yang sudah mendapat antibiotik,
toksin C difficle harus diperiksa.
b. Volume Feses: Jika cairan diare tidak terdapat lekosit atau eritrosit, infeksi
enteric atau imfalasi sedikit kemungkinannya sebagai penyebab diare.
Feses 24 jam harus dikumpulkan untuk mengukur output harian. Sekali
diare harus dicatat (>250 ml/day), kemudian perlu juga ditentukan apakah
terjadi steatore atau diare tanpa malabsorbsi lemak.
c. Mengukur Berat dan Kuantitatif fecal fat pada feses 24 jam: Jika berat
feses >300/g24jam mengkonfirmasikan adanya diare. Berat lebih dari
1000-1500 gr mengesankan proses sektori. Jika fecal fat lebih dari 10g/24h
menunjukkan proses malabsorbstif.
d. Lemak Feses : Sekresi lemak feses harian < 6g/hari. Untuk menetapkan
suatu steatore, lemak feses kualitatif dapat menolong yaitu >100 bercak
merak orange per lapang pandang dari sample noda sudan adalah
positif. False negatif dapat terjadi jika pasien diet rendah lemak. Test
standard untuk mengumpulkan feses selama 72 jam biasanya dilakukan
pada tahap akhir. Eksresi yang banyak dari lemak dapat disebabkan
malabsorbsi mukosa intestinal sekunder atau insufisiensi pancreas.
e. Osmolalitas Feses : Dipeerlukan dalam evaluasi untuk menentukan diare
osmotic atau diare sekretori. Elekrolit feses Na,K dan Osmolalitas harus
diperiksa. Osmolalitas feses normal adalah 290 mosm. Osmotic gap feses
adalah 290 mosm dikurangi 2 kali konsentrasi elektrolit faeces (Na&K)
dimana nilai normalnya <50 mosm. Anion organic yang tidak dapat diukur,
metabolit karbohidrat primer (asetat,propionat dan butirat) yang bernilai
untuk anion gap, terjadi dari degradasi bakteri terhadap karbohidrat di
kolon kedalam asam lemak rantai pendek. Selanjutnya bakteri fecal
mendegradasi yang terkumpul dalam suatu tempat. Jika feses bertahan
beberapa jam sebelum osmolalitas diperiksa, osmotic gap seperti tinggi.
Diare dengan normal atau osmotic gap yang rendah biasanya menunjukkan
diare sekretori. Sebalinya osmotic gap tinggi menunjukkan suatu diare
osmotic.

I. PENCEGAHAN DIARE
Kegiatan pencegahan penyakit diare yang benar dan efektif yang dapat
dilakukan adalah: (Kementrian Kesehatan RI, 2011)
a. Perilaku Sehat
1. Pemberian ASI
ASI adalah makanan paling baik untuk bayi. Komponen zat
makanan tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk
dicerna dan diserap secara optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup
untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 6 bulan. Tidak ada
makanan lain yang dibutuhkan selama masa ini.
ASI bersifat steril, berbeda dengan sumber susu lain seperti susu
formula atau cairan lain yang disiapkan dengan air atau bahan-bahan
dapat terkontaminasi dalam botol yang kotor. Pemberian ASI saja,
tanpa cairan atau makanan lain dan tanpa menggunakan botol,
menghindarkan anak dari bahaya bakteri dan organisme lain yang
akan menyebabkan diare. Keadaan seperti ini di sebut disusui secara
penuh (memberikan ASI Eksklusif).
Bayi harus disusui secara penuh sampai mereka berumur 6 bulan.
Setelah 6 bulan dari kehidupannya, pemberian ASI harus diteruskan
sambil ditambahkan dengan makanan lain (proses menyapih).
ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan
adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut
memberikan perlindungan terhadap diare. Pada bayi yang baru lahir,
pemberian ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4 kali lebih
besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan
susu botol. Flora normal usus bayi yang disusui mencegah tumbuhnya
bakteri penyebab botol untuk susu formula, berisiko tinggi
menyebabkan diare yang dapat mengakibatkan terjadinya gizi buruk.
2. Makanan Pendamping ASI
Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara
bertahap mulai dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Perilaku
pemberian makanan pendamping ASI yang baik meliputi perhatian
terhadap kapan, apa, dan bagaimana makanan pendamping ASI
diberikan.
Ada beberapa saran untuk meningkatkan pemberian makanan
pendamping ASI, yaitu:
1) Perkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 6 bulan dan
dapat teruskan pemberian ASI. Tambahkan macam makanan
setelah anak berumur 9 bulan atau lebih. Berikan makanan lebih
sering (4x sehari). Setelah anak berumur 1 tahun, berikan semua
makanan yang dimasak dengan baik, 4-6 x sehari, serta teruskan
pemberian ASI bila mungkin.
2) Tambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi /bubur dan biji-
bijian untuk energi. Tambahkan hasil olahan susu, telur, ikan,
daging, kacang-kacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna hijau
ke dalam makanannya.
3) Cuci tangan sebelum meyiapkan makanan dan meyuapi anak.
Suapi anak dengan sendok yang bersih.
4) Masak makanan dengan benar, simpan sisanya pada tempat yang
dingin dan panaskan dengan benar sebelum diberikan kepada anak.
3. Menggunakan Air Bersih Yang Cukup
Penularan kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui
Face-Oral kuman tersebut dapat ditularkan bila masuk ke dalam mulut
melalui makanan, minuman atau benda yang tercemar dengan tinja,
misalnya jari-jari tangan, makanan yang wadah atau tempat makan-
minum yang dicuci dengan air tercemar.
Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar
bersih mempunyai risiko menderita diare lebih kecil dibanding dengan
masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih.
Masyarakat dapat mengurangi risiko terhadap serangan diare yaitu
dengan menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari
kontaminasi mulai dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah.
Yang harus diperhatikan oleh keluarga :
1) Ambil air dari sumber air yang bersih
2) Simpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup serta gunakan
gayung khusus untuk mengambil air.
3) Jaga sumber air dari pencemaran oleh binatang dan untuk mandi
anak-anak
4) Minum air yang sudah matang (dimasak sampai mendidih)
5) Cuci semua peralatan masak dan peralatan makan dengan air
yang bersih dan cukup.
4. Mencuci Tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang
penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan.
Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar,
sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan,
sebelum menyuapi makan anak dan sebelum makan, mempunyai
dampak dalam kejadian diare ( Menurunkan angka kejadian diare
sebesar 47%).
5. Menggunakan Jamban
Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya
penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan
risiko terhadap penyakit diare. Keluarga yang tidak mempunyai
jamban harus membuat jamban dan keluarga harus buang air besar di
jamban.
Yang harus diperhatikan oleh keluarga :
1. Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat
dipakai oleh seluruh anggota keluarga.
2. Bersihkan jamban secara teratur.
3. Gunakan alas kaki bila akan buang air besar.

6. Membuang Tinja Bayi Yang Benar


Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi itu tidak berbahaya.
Hal ini tidak benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit
pada anak-anak dan orang tuanya. Tinja bayi harus dibuang secara
benar.
Yang harus diperhatikan oleh keluarga:
1. Kumpulkan segera tinja bayi dan buang di jamban
2. Bantu anak buang air besar di tempat yang bersih dan mudah di
jangkau olehnya.
3. Bila tidak ada jamban, pilih tempat untuk membuang tinja seperti
di dalam lubang atau di kebun kemudian ditimbun.
4. Bersihkan dengan benar setelah buang air besar dan cuci tangan
dengan sabun.

7. Pemberian Imunisasi Campak


Pemberian imunisasi campak pada bayi sangat penting untuk
mencegah agar bayi tidak terkena penyakit campak. Anak yang sakit
campak sering disertai diare, sehingga pemberian imunisasi campak
juga dapat mencegah diare. Oleh karena itu berilah imunisasi campak
segera setelah bayi berumur 9 bulan.

b. Penyehatan Lingkungan
1. Penyediaan Air Bersih
Mengingat bahwa ada beberapa penyakit yang dapat ditularkan
melalui air antara lain adalah diare, kolera, disentri, hepatitis, penyakit
kulit, penyakit mata, dan berbagai penyakit lainnya, maka penyediaan
air bersih baik secara kuantitas dan kualitas mutlak diperlukan dalam
memenuhi kebutuhan air sehari-hari termasuk untuk menjaga
kebersihan diri dan lingkungan. Untuk mencegah terjadinya penyakit
tersebut, penyediaan air bersih yang cukup disetiap rumah tangga harus
tersedia. Disamping itu perilaku hidup bersih harus tetap dilaksanakan.
2. Pengelolaan Sampah
Sampah merupakan sumber penyakit dan tempat berkembang
biaknya vektor penyakit seperti lalat, nyamuk, tikus, kecoa dsb. Selain
itu sampah dapat mencemari tanah dan menimbulkan gangguan
kenyamanan dan estetika seperti bau yang tidak sedap dan
pemandangan yang tidak enak dilihat. Oleh karena itu pengelolaan
sampah sangat penting, untuk mencegah penularan penyakit tersebut.
Tempat sampah harus disediakan, sampah harus dikumpulkan setiap
hari dan dibuang ke tempat penampungan sementara. Bila tidak
terjangkau oleh pelayanan pembuangan sampah ke tempat pembuangan
akhir dapat dilakukan pemusnahan sampah dengan cara ditimbun atau
dibakar.
3. Sarana Pembuangan Air Limbah
Air limbah baik limbah pabrik atau limbah rumah tangga harus
dikelola sedemikian rupa agar tidak menjadi sumber penularan
penyakit. Sarana pembuangan air limbah yang tidak memenuhi syarat
akan menimbulkan bau, mengganggu estetika dan dapat menjadi tempat
perindukan nyamuk dan bersarangnya tikus, kondisi ini dapat
berpotensi menularkan penyakit seperti leptospirosis, filariasis untuk
daerah yang endemis filaria. Bila ada saluran pembuangan air limbah di
halaman, secara rutin harus dibersihkan, agar air limbah dapat mengalir,
sehingga tidak menimbulkan bau yang tidak sedap dan tidak menjadi
tempat perindukan nyamuk.

J. PENATALAKSANAAN
Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip tatalaksana diare pada balita
adalah LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung
oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi
bukan satu-satunya cara untuk mengatasi diare tetapi memperbaiki kondisi
usus serta mempercepat penyembuhan/menghentikan diare dan mencegah
anak kekurangan gizi akibat diare juga menjadi cara untuk mengobati diare.
Adapun program LINTAS Diare (Lima Langkah Tuntaskan Diare) yaitu:
1. Berikan Oralit
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari
rumah tangga dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila
tidak tersedia berikan cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur,
air matang. Oralit saat ini yang beredar di pasaran sudah oralit yang baru
dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat mengurangi rasa mual dan
muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare untuk
mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa minum harus
segera di bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan
melalui infus.
Derajat dehidrasi dibagi dalam 3 klasifikasi :
a. Diare tanpa dehidrasi
Tanda diare tanpa dehidrasi, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau
lebih :
Keadaan Umum : baik
Mata : Normal
Rasa haus : Normal, minum biasa
Turgor kulit : kembali cepat
Dosis oralit bagi penderita diare tanpa dehidrasi sbb :
Umur < 1 tahun : - gelas setiap kali anak mencret
Umur 1 4 tahun : - 1 gelas setiap kali anak mencret
Umur diatas 5 Tahun : 1 1 gelas setiap kali anak
mencret
b. Diare dehidrasi Ringan/Sedang
Diare dengan dehidrasi Ringan/Sedang, bila terdapat 2 tanda di
bawah ini atau lebih:
Keadaan Umum : Gelisah, rewel
Mata : Cekung
Rasa haus : Haus, ingin minum banyak
Turgor kulit : Kembali lambat
Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg bb dan
selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa
dehidrasi.
c. Diare dehidrasi berat
Diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih:
Keadaan Umum : Lesu, lunglai, atau tidak sadar
Mata : Cekung
Rasa haus : Tidak bisa minum atau malas minum
Turgor kulit : Kembali sangat lambat (lebih dari 2 detik)
Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke
Puskesmas untuk di infus.
ORALIT

2. Berikan obat Zinc


Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam
tubuh. Zinc dapat menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide
Synthase), dimana ekskresi enzim ini meningkat selama diare dan
mengakibatkan hipersekresi epitel usus. Zinc juga berperan dalam
epitelisasi dinding usus yang mengalami kerusakan morfologi dan fungsi
selama kejadian diare.
Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama
dan tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar,
mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare
pada 3 bulan berikutnya.(Black, 2003). Penelitian di Indonesia
menunjukkan bahwa Zinc mempunyai efek protektif terhadap diare
sebanyak 11 % dan menurut hasil pilot study menunjukkan bahwa Zinc
mempunyai tingkat hasil guna sebesar 67 % (Hidayat 1998 dan Soenarto
2007). Berdasarkan bukti ini semua anak diare harus diberi Zinc segera
saat anak mengalami diare.
Dosis pemberian Zinc pada balita:
Umur < 6 bulan : tablet ( 10 Mg ) per hari selama 10 hari
Umur > 6 bulan : 1 tablet ( 20 mg) per hari selama 10 hari.
Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti.
Cara pemberian tablet zinc:
Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air matang atau ASI, sesudah larut
berikan pada anak diare.

ZINC

3. Pemberian ASI / Makanan :


Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi
pada penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta
mencegah berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum Asi harus
lebih sering di beri ASI. Anak yang minum susu formula juga diberikan
lebih sering dari biasanya. Anak uis 6 bulan atau lebih termasuk bayi
yang telah mendapatkan makanan padat harus diberikan makanan yang
mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit dan lebih sering.
Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan selama 2
minggu untuk membantu pemulihan berat badan.
4. Pemberian Antibiotika hanya atas indikasi
Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya
kejadian diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika
hanya bermanfaat pada penderita diare dengan darah (sebagian besar
karena shigellosis), suspek kolera.
Obat-obatan Anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang
menderita diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak
di anjurkan kecuali muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah
dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi anak, bahkan sebagian besar
menimbulkan efek samping yang bebahaya dan bisa berakibat fatal. Obat
anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit
(amuba, giardia).
5. Pemberian Nasehat
Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus
diberi nasehat tentang :
a. Cara memberikan cairan dan obat di rumah
b. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila :
Diare lebih sering
Muntah berulang
Sangat haus
Makan/minum sedikit
Timbul demam
Tinja berdarah
Tidak membaik dalam 3 hari.

Menurut Kapita Selekta Kedokteran (2000) dan SPM Kesehatan


Anak RSUD Wates (2001), Penatalaksanaan Medis diare yaitu :
1. Resusitasi cairan dan elektrolit
a. Rencana Pengobatan A, digunakan untuk :
Mengatasi diare tanpa dehidrasi
Meneruskan terapi diare di rumah
Memberikan terapi awal bila anak diare lagi
Tiga cara dasar rencana Pengobatan A :
1) Berikan lebih banyak cairan daripada biasanya untuk mencegah
dehidrasi (oralit, makanan cair : sup, air matang). Berikan cairan ini
sebanyak anak mau dan terus diberikan hingga diare berhenti.
Kebutuhan oralit per kelompok umur
Umur Ddiberikan Setiap Yang Disediakan
Bab
< 12 bulan 50-100 ml 400 ml / hari (2 bungkus)
1-4 tahun 100-200 ml 600-800 ml / hari (3-4
bungkus)
> 5 tahun 200-300 ml 800-1000 ml / hari (4-5
bungkus)
Dewasa 300-400 ml 1.200-2.800 ml / hari
Cara memberikan oralit :
o Berikan sesendok teh tiap 1-2 menit untuk anak < 2 tahun
o Berikan beberapa teguk dari gelas untuk anak lebih tua
o Bila anak muntah, tunggu 10 menit, kemudian berikan cairan lebih
sedikit (sesendok teh tiap 1-2 menit)
o Bila diare belanjut setelah bungkus oralit habis, beritahu ibu untuk
memberikan cairan lain atau kembali ke petugas untuk mendapatkan
tambahan oralit.
2. Beri anak makanan untuk mencegah kurang gizi :
o Teruskan pemberian ASI
o Untuk anak < 6 bln dan belum mendapatkan makanan padat dapat
diberikan susu yang dicairkan dengan air yang sebanding selama 2 hari.
o Bila anak > / = 6 bulan atau telah mendapat makanan padat :
- Berikan bubur atau campuran tepung lainnya, bila mungkin
dicampur dengan kacang-kacangan, sayur, daging, tam-bahkan 1 atau
2 sendok teh minyak sayur tiap porsi.
- Berikan sari buah segar atau pisang halus untuk menambah kalium
- Dorong anak untuk makan berikan sedikitnya 6 kali sehari
- Berikan makanan yang sama setelah diare berhenti dan berikan
makanan tambahan setiap hari selama 2 minggu.
- Bawa anak kepada petugas bila anak tidak membaik selama 3 hari
atau anak mengalami : bab sering kali, muntah berulang, sangat haus
sekali, makan minum sedikit, demam, tinja berdarah

2. Rencana Pengobatan B
Dehidrasi tidak berat (ringan-sedang); rehidrasi dengan oralit 75
ml / kg BB dalam 3 jam pertama atau bila berat badan anak tidak
diketahui dan atau memudahkan dilapangan, berikan oralit sesuai
tabel :
Jumlah oralit yang diberikan 3 jam pertama :
Umur < 1 tahun 1-5 > 5tahun Dewasa
tahun
Jumlah 300 ml 600 ml 1.200 ml 2.400 ml
oralit
Setelah 3-4 jam, nilai kembali, kemudian pilih rencana A, B, atau C
untuk melanjutkan pengobatan :
Bila tidak ada dehidrasi ganti ke rencana A
Bila ada dehidrasi tak berat atau ringan/sedang, ulangi rencana B
tetapi tawarkan makanan, susu dan sari bu-ah seperti rencana A
Bila dehidrasi berat, ganti dengan rencana C

3. Rencana Pengobatan C
Dehidrasi berat : rehidrasi parenteral / cairan intravena segera.
Beri 100 ml/kg BB cairan RL, Asering atau garam normal (larutan
yang hanya mengandung glukosa tidak boleh diberikan).
Umur 30 ml/kg BB 70 ml/kg BB
< 12 bulan 1 jam pertama 5 jam kemudian
> 1 tahun jam pertama 21/2 jam kemudian
Rehidrasi parenteral :
RL atau Asering untuk resusitasi / rehidrasi
D1/4S atau KN1B untuk maintenan (umur < 3 bulan)
D1/2S atau KN3A untuk maintenan (umur > 3 bulan)
Ulangi bila nadi masih lemah atau tidak teraba
Nilai kembali tiap 1-2 jam. Bila rehidrasi belum tercapai percepat
tetesan infuse
Juga berikan oralit 5 ml/kg BB/jam bila penderita bisa minum.
Biasanya setelah 3-4 jam (bayi) atau 1-2 jam (anak)
Setelah 3-6 jam (bayi) atau 3 jam (anak) nilai lagi, kemudian pilih
rencana A, B, C untuk melanjutkan pengobatan.
2. Obat-obat anti diare meliputi antimotilitas (loperamid,
difenoksilat, kodein, opium), adsorben (norit, kaolin, smekta).
3. Obat anti muntah : prometazin , domperidon, klorpromazin
4. Antibiotik hanya diberikan untuk disentri dan tersangka kolera :
Metronidazol 50 mg/kgBB/hari
5. Hiponatremia (Na > 155 mEq/L), dikoreksi dengan D1/2S.
Penurunan kadar Na tidak boleh lebih dari 10 mEq per hari karena
bisa menyebabkan edema otak
6. Hiponatremia (Na < 130 mEq/L), dikoreksi dengan RL atau NaCl
7. Hiperkalemia (K > 5 mEq/L), dikoreksi dengan kalsium glukonas
perlahan-lahan 5-10 menit sambil memantau detak jantung
8. Hipokalemia (K, 3,5 mEq/L), dikoreksi dengan KCl
DAFTAR PUSTAKA

AIDS info net. 2008. Diarrhea. Diakses pada www.aidsinfonet.org

Avikar, Anupkumar, dkk. 2008. Role of Escherichia coli in acute diarrhoea in


tribal preschool children of central India. Journal Compilation Paediatric
and Perinatal Epidemiology, No. 22, 4046.

Chakraborty, Subhra, dkk. 2001. Concomitant Infection of


Enterotoxigenic Escherichia coli in an Outbreak of Cholera Caused
by Vibrio cholera O1 and O139 in Ahmedabad, India. JOURNAL OF
CLINICAL MICROBIOLOGY Vol. 39, No. 9 p. 32413246.

Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit


dan Penyehatan Lingkungan. 2008. Buku Saku Petugas Kesehatan LINTAS
DIARE. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Doengoes, M.E., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.

Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second


Edition. New Jersey: Upper Saddle River

Komite Medis RS. Dr. Sardjito. 2005. Standar Pelayanan Medis RS DR. Sardjito.
Yogyakarta: MEDIKA Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

Mattingly, David., Seward,Charles. 2006. Bedside Diagnosis 13th Edition.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second


Edition. New Jersey: Upper Saddle River

Mubarak, W. I., B.A. Santoso., K. Rozikin., and S.Patonah. 2006. Ilmu


Keperawatan komunitas 2: Teori & Aplikasi dalam Praktik dengan
Pendekatan Asuhan Keperawatan Komunitas, Gerontik, dan Keluarga.
Jakarta: Sagung Seto.

Purwo Sudarmo S., Gama H., Hadinegoro S. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak: Infeksi dan Penyakit Tropis. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.


Jakarta: Prima Medika

Sudoyo, Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

Tjaniadi, Periska, dkk. 2003. ANTIMICROBIAL RESISTANCE OF


BACTERIAL PATHOGENS ASSOCIATED WITH DIARRHEAL
PATIENTS IN INDONESIA. Am. J. Trop. Med. Hyg., 68(6) pp. 666670.

The Ohio State University Medical Center. 2006. Diarrhea. Diakses


padawww.healthinfotranslations.com
Wiyadi, N. 2007. Book 2 Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat (K3M).FK UGM.
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai