TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Global initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) definisi
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan
diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
penyakit.1
Di Indonesia tidak ada yang akurat tentang kekerapan PPOK. Berdasarkan Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dari waktu ke waktu tampak bahwa sekitar sepertiga
morbiditas dan mortalitas di Indonesia adalah penyakit paru, termasuk didalamnya PPOK.
Pada Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan Republik Indonesia (SKRT)
1992, PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat ke-6 dari sepuluh penyebab
tersering kematian di Indonesia. Pada SKRT 1995 menduduki peringkat kelima. Diperkirakan
Diperkirakan jumlah pasien PPOK sedang hingga berat Asia tahun 2006 mencapai
56,6 juta pasiens dengan prevalens 6,3%. Angka prevalens berkisar 3,5-6,7%, seperti di Cina
dengan angka kasus mencapai 38,160 juta jiwa, Jepang sebanyak 5.014 juta jiwa dan
Vietnam sebesar 2.068 juta jiwa. Di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta pasien dengan
prevalens 5,5%. Angka ini bisa meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok karena
90% pasien PPOK adalah perokok atau mantan perokok.1 Di negara Amerika serikat
dibutuhkan dana sekitar 29,5 US$ setahun untuk penatalaksanaan PPOK dengan biaya tak
kurang dari 50 tahun hanya 7,7% serta sebagian penderita adalah laki-laki. Pada orang
normal penurunan faal paru yaitu volume ekspirasi detik pertama 28 ml per tahun, sedangkan
pada pasien PPOK antara 50-80 ml. Di RS Persahabatan sebagai pusat rujukan paru nasional,
PPOK menduduki peringkat ke-5 dari jumlah penderita yang berobat jalan serta menduduki
rokok bersama partikel berbahaya lainnya menyebabkan kerusakan jaringan paru, disfungsi
mukosilier dan inflamasi saluran napas dan sistemik. Mekanisme tersebut diperberat dengan
berulangnya eksaserbasi penyakit dan berperan pada terjadinya hiperinflasi dinamik paru,
keterbatasan aliran udara ekspirasi, perubahan vaskuler paru dan disfungsi otot perifer yang
memberikan gejala sesak napas, batuk disertai produksi sputum, kelelahan, intolerans latihan,
depresi dan kecemasan yang seluruhnya menjadi faktor penentu kualiti hidup pasien PPOK.18
Tidak banyak abnormalitas yang dijumpai pada pemeriksaan fisik. Wheezing tidak selalu
ditemukan dan tidak berkorelasi dengan keparahan obstruksi. Pemeriksaan klinis yang selalu
dijumpai pada PPOK simptomatik adalah waktu ekspirasi memanjang yang paling baik di
dengar di depan laring saat manuver forced expiratory. Ekspirasi yang > 4 detik suatu
indikasi yang bermakna dari obstruksi. Jika penyakit bertambah berat, kelainan fisik
bertambah jelas. Tampak barrel chest, pursed lip breathing, badan tambah kurus.19
PPOK merupakan diagnosis fungsional sehingga foto toraks hanya dapat memberi
arah diagnosis PPOK. Pada tipe emfisema terlihat hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal
melebar, diafragma mendatar, jantung menggantung atau pendulum. Pada tipe bronkitis
kronik, foto toraks bisa normal atau corakan vaskuler bertambah pada 21% kasus.19
Spirometri dapat dengan akurat digunakan untuk mendiagnosa PPOK dan menilai
derajat keparahan penyakit. Spirometri sekarang menjadi baku emas untuk mendiagnosa
paksa 1 detik (VEP 1 ) dan penurunan kapasitas vital paksa (KVP). Nilai VEP 1 /KVP selalu
kurang dari 70% nilai normal. VEP 1 merupakan parameter yang paling umum dipakai unutk
seperti American Thoracic Society (ATS), European Respiratory Society (ERS), British
Thoracic Society (BTS) dan terakhir adalah Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Tabel II.1. Klassifikasi Derajat Keparahan PPOK dari Beberapa Panduan 20,21
Derajat I Ringan Ringan Derajat 0 Derajat I
50 VEP1 70 VEP1 60VEP1<80 (beresiko) (Ringan)
Derajat I 80VEP1
(Ringan)
80VEP1
Derajat II Sedang Sedang Derajat IIa Derajat II
35 50 40 (Sedang) (Sedang)
VEP1<50 VEP1<70 VEP1<60 50VEP1<80 50VEP1<80
Derajat IIb Derajat III
30VEP1<50 (Berat)
30VEP1<50
II.2. Mekanisme Pernapasan Dan Disfungsi Otot Skletal Pada Penyakit Paru Obstruktif
Kronik
PPOK merupakan suatu penyakit progresif yang mengakibatkan kemunduran fungsi paru
dan pertukaran gas secara bertahap. Manifestasi dini dari gejala PPOK adalah sesak napas
dengan kerusakan dan remodelling jaringan paru, kurangnya elastic recoil, perubahan
ventilasi dan perfusi, peningkatan frekuensi napas membuat sesak napas semakin menonjol
ketika beraktivitas.22
Kelainan saluran napas dan parenkim paru yang terjadi berpengaruh pada kerja otot-otot
respirasi. Usaha inspirasi pasien PPOK meningkat lebih dari empat kali dibandingkan orang
normal. Kehilangan elastic recoil menyebabkan volume paru saat relaksasi meningkat dan
terjadi penutupan saluran napas kecil pada awal ekspirasi (hiperinflasi statis). Ventilasi
semenit saat istirahat meningkat 50% sebagai kompensasi terhadap gangguan pertukaran gas.
Keterbatasan aliran udara ekspirasi yang terjadi pada 60% pasien PPOK menghambat proses
pengosongan paru sehingga inspirasi dimulai pada saat paru belum mencapai volume
Penelitian terkini menyatakan bahwa PPOK bukan hanya sebagai penyakit saluran
napas yang hanya memberikan gejala di saluran napas saja tetapi juga memiliki efek sistemik
diantaranya inflamasi sistemik, kehilangan berat badan, gangguan nutrisi, disfungsi otot
rangka, penyakit kardiovaskular, gangguan sistem saraf dan efek pada tulang rangka.
Disfungsi otot didefinisikan sebagai keadaan berkurangnya kekuatan dan atau ketahanan otot.
Kekuatan otot adalah kemampuan untuk menghasilkan tenaga maksimal dan ketahanan otot
adalah kemampuan otot mempertahankan kerja dengan beban tertentu selama beberapa
waktu.24 Disfungsi otot rangka menjadi penyebab utama keterbatasan aktiviti atau intolerans
latihan pada pasien PPOK selain beberapa faktor lain yang diperkirakan dapat menjelaskan
terjadinya kemunduran otot rangka pada pasien PPOK. Kurangnya aktivitas, kurangnya
penggunaan otot rangka menyebabkan atrophy otot rangka. Hal lain yang juga berperan
perubahan biokimiawi tubuh dan fungsi organ secara bermakna. lnflamasi sistemik dianggap
menjadi dasar terjadinya kaheksia, kehilangan berat badan, osteoporosis, muscle wasting,
Perubahan otot rangka pasien PPOK terutama terjadi pada otot-otot tungkai seperti
otot quadriseps. Otot ini mengalami kehilangan serat tipe I (tipe aerobik), pengurangan enzim
oksidatif dan meningkatnya apoptosis.27,28 Gosker dkk mendapatkan persentase serat otot
tipe l sebanyak 16% pada pasien emfisema dibandingkan dengan kontrol 45%.28 Kelemahan
otot juga berhubungan dengan level lnterleukin-8 dalam sirkulasi. Faktor lain yang
menyebabkan kelemahan otot adalah stres oksidatif. Tavilani H pada tahun 2012 telah
membuktikan terjadinya penurunan kapasitas antioksidan plasma pada pasien PPOK dan juga
perokok serta terjadinya peningkatan stres oksidatif pada kedua kelompok ini.29 Saat latihan
terjadi peningkatan produksi radikal bebas oleh mitokondria dan jika mekanisme pertahanan
tidak mencukupi akan terjadi proses oksidasi lemak dan protein. Atrofi otot dapat dilihat pada
otot secara keseluruhan atau pada tingkat miosit tetapi dapat juga dinilai dengan
memperkirakan kehilangan fat-free mass di tungkai. Perubahan otot rangka ini disebabkan
oleh berubahnya gaya hidup pasien PPOK. Kemampuan oksidatif otot ini akan berkurang
dari keadaan asidosis laktat akan lebih mudah terjadi pada latihan yang bersifat incremental.
Asidosis laktat menjadi alasan mengapa pasien akan lebih awal menyelesaikan latihannya
jantung sering dilaporkan sebagai faktor penyerta pada PPOK. Gangguan atau penyakit
tersebut dapat memperburuk toleransi latihan pada pasien PPOK. Crisafulli dkk mendapatkan
prevalens sindrom metabolik sebanyak 61% dan penyakit jantung 24% sebagai penyerta pada
Kerusakan Disfungsi
jaringan mukosilier
Inflamasi Eksaserbasi
lokal dan
i t ik
Progresifitas penyakit
diterapkan pada penyakit paru kronik misalnya penyakit interstisial, fibrosis kistik,
bronkiektasis, bentuk dada abnormal, persiapan operasi dan evaluasi setelah operasi.
Rehabilitasi dapat juga digunakan pada pascatrauma paru akut. penderita yang menggunakan
ventilator yang lama dan penderita dengan gejala respirasi yang tidak stabil.30 Individu
dengan penyakit pernapasan yang kronik seperti PPOK sering mengalami gejala-gejala yang
mengganggu seperti sesak napas dan kehilangan nafsu makan, keterbatasan aktivitas dan
Tujuan utama rehabilitasi paru adalah mengurangi sesak napas dan menghilangkan
rasa takut penderita akan timbulnya sesak napas yang menghambat penderita untuk
arah potensi fisik, medik, mental, emosional, ekonomi, sosial sepenuhnya menurut
Mereka di dorong untuk secara aktif terlibat dalam usaha-usaha pemeliharaan kesehatan,
lebih mandiri dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari, dan tidak terlalu bergantung pada
petugas kesehatan atau sumber-sumber daya medis lain yang mahal. Tiap usaha harus
dilakukan untuk membawa penderita ke arah perbaikan fisik yang maksimal dan memelihara
pekerjaannya sehari-hari. Jika hal ini tidak mungkin, maka diusahakan latihan bekerja yang
lebih ringan. Bahkan jika tidak mungkin memperoleh pekerjaan yang lebih menguntungkan,
titik berat harus diletakkan agar penderita mempunyai kepercayaan diri semaksimal mungkin
Definisi awal yang dianut oleh Komite Rehabilitasi Paru American College of Chest
Physician (ACCP) sejak tahun 1974 menyatakan bahwa rehabilitasi paru adalah suatu seni
pengobatan dimana melalui diagnosis yang tepat, terapi, dukungan psikologis, dan edukasi,
mengembalikan penderita kepada tingkat kapasitas fungsional tertinggi yang masih mungkin
Society ) pada tahun 1999 Rehabilitasi paru adalah suatu program dengan multidisiplin yang
memberikan perhatian pada pasien PPOK melalui suatu disain yang dapat mengoptimalkan
kemampuan fisik dan kehidupan sosial serta mampu mandiri. Melibatkan berbagai spektrum
seperti strategi pengobatan, latihan fisik, edukasi, nutrisi, dukungan psikososial dan
kedisiplinan yang merupakan suatu kesatuan pada managemen terapi jangka panjang
penderita PPOK.34
paru adalah pelayanan langsung multidisiplin secara terus menerus kepada seseorang dengan
penyakit paru dan keluarganya, menggunakan interdisiplin tim spesialis, dengan tujuan
meningkatkan dan mempertahankan tingkat kemampuan tertinggi untuk mandiri dan berguna
bagi lingkungannya.30
Rehabilitasi paru merupakan program yang telah mantap dan diterima secara luas
sebagai penyempurnaan terapi standard penderita PPOK. Tujuan utama dari program ini
adalah :
management.
lingkungannya
Rehabilitasi paru secara menyeluruh mencakup beberapa hal yaitu evaluasi penderita,
edukasi dan dukungan psikososial,latihan relaksasi, latihan pernapasan, latihan fisik dada,
kandidat pasien yang tepat untuk diberikan program latihan. Pasien PPOK yang dianjurkan
mengikuti program rehabilitasi paru adalah pasien dengan derajat 2 atau PPOK sedang atau
ringan dan sangat berat juga dapat dianjurkan untuk melakukan rehabilitasi paru. Rehabilitasi
paru secara umum diindikasikan untuk penderita PPOK yang telah mengalami gejala
pernapasan yang menetap, penurunan kapasitas latihan, penurunan aktivitas dan penurunan
kualitas hidup. Akan tetapi sebenarnya tidak ada suatu penurunan fungsi paru spesifik yang
dijadikan standar pada program rehabilitasi paru. Kontraindikasi relatif rehabilitasi paru
adalah pasien yang tidak dapat berjalan disebabkan kelainan ortopedi atau saraf, angina
pektoris tidak stabil atau infark miokard, gangguan psikiatrik atau kognitif tidak dapat
Tampilan Klinis
Beresiko Simptomatik Eksaserbasi Gagal napas
Intervensi
Berhenti merokok
Management penyakit
Rehabilitasi Paru
Lain lain
Gejala
VEP1
Gambar II.2. Gambaran pasien PPOK yang harus diberikan rehabilitasi paru 34
a. Wawancara
tentang program, mengetahui riwayat penyakit dan problem psikososial. Anggota keluarga
dan lingkungannya dilibatkan dalam wawancara ini. Komunikasi dengan dokter yang
merawat dan petugas rehabilitasi penting untuk menentukan prioriti pertanyaan medis dalam
mengawali program sehingga setiap individu mendapatkan jenis program yang sesuai dengan
harapan.
b. Evaluasi medis
penderita serta therapy yang diberikan selama ini apakah sudah optimal.34 Riwayat penyakit
penyerta harus diperhatikan untuk menentukan tingkat program. Data dasar harus dicatat
termasuk faal paru, kemampuan uji latih, analisis gas darah (AGDA), foto toraks, elektro
c. Uji diagnostik
Uji faal paru digunakan untuk menentukan karakteristik penyakit paru dan derajat
kelainan. Spirometri digunakan untuk mengukur faal paru. Parameter yang sering diukur
adalah kapasiti difusi, tahanan jalan napas dan tekanan maksimal respirasi. Uji latih
selama latihan sehingga dapat menentukan intensiti latihan yang aman. Toleransi latihan juga
ditentukan oleh persepsi gejala sesak napas. Pengukuran yang dilakukan selama monitoring
adalah besarnya beban kerja, heart rate, EKG, oksigen arteri, analisis gas darah, konsumsi
oksigen (VO2) dan gejala sesak napas. Pemeriksaan AGDA sebelum dan selama latihan
Keberhasilan rehabilitasi tidak hanya ditentukan oleh penanganan masalah fisis pasien
tetapi juga masalah psikologi, emosi dan sosial. Penderita dengan problem psikososial sering
sering ditemukan pada PPOK, pasien menjadi depresi, takut, cemas dan sangat tergantung
kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Gejala sesak yang progresif adalah gejala
yang sangat ditakuti karena sedikit aktiviti akan bertambah sesak sehingga menghasilkan rasa
takut dan cemas yang berlebih. Pada akhirnya aktiviti penderita akan terbatas. Status
psikososial dan perhatian terhadap masalahnya dapat ditentukan waktu wawancara misalnya
tingkat dukungan keluarga dan lingkungannya, aktiviti harian, hobi dan tingkat
nonverbal seperti ekspresi wajah, sikap tubuh, sikap tangan dan gerakan tubuh. Kelainan
kognitif yang terbatas pada pasien dapat secara baik diidentifikasi. Anggota keluarga dan
lingkungan dapat dimasukkan dalam proses seleksi dan program bila memungkinkan.
penderita. Target harus realistik dan objektif sesuai dengan program. Keluarga dan
(ICIDH) WHO, penyakit paru diklasifikasikan menjadi empat tingkat yaitu patologi,
impairment, disability dan handicap. Impairment saluran napas merupakan hilangnya atau
abnormaliti psikologis, fisiologis, struktur anatomi atau fungsi akibat penyakit saluran napas.
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan udara yang terperangkap pada uji faal paru atau
penyakit paru menunjukkan ketidakmampuan untuk melakukan aktiviti normal. Pada keadaan
ini terjadi penurunan fungsi dinamis dan keterbatasan kerja fisis. Pada rehabilitasi paru
keadaan disability ditentukan oleh uji lapangan seperti uji jalan dalam waktu yang ditentukan
dan kuesioner indeks sesak untuk mengukur derajat sesak. Handicap saluran napas adalah
suatu keadaan akibat impairment dan disability sehingga pasien tidak mampu berperan dalam
masyarakat seperti yang diharapkan, misalnya penurunan kinerja latihan saat uji jalan dalam
Edukasi pasien bertujuan agar setiap pasien PPOK memahami kondisi penyakitnya
dan keterbatasan aktifitas yang disebabkan oleh progresifiti PPOK. Edukasi program
komponen haruslah mencakup review terapi yang telah digunakan selama ini, pemakaian
oksigen, mekanisme penyakit, modifikasi gaya hidup. Pasien PPOK selayaknya memahami
penyakit yang diderita agar meningkatkan kepercayaan diri dan kemandirian. Pasien harus
mengerti bagaimana memakai obat inhalasi secara tepat. Kebiasaan merokok harus
dihentikan karena dapat memperburuk kapasiti fungsional pasien dan juga karena pasien
yang masih tetap merokok biasanya akan menolak program rehabilitasi dengan alasan yang
tidak jelas. Penderita PPOK cenderung untuk kehilangan berat badannya, terutama bagi
penderita dengan derajat obstruksi yang berat. Kehilangan berat badan selalu dihubungkan
dengan tingkat kematian yang tinggi. Oleh karena itu, jika hal ini dapat diatasi maka akan
meningkatkan survival rate. Dibutuhkan dukungan nutrisi pada penderita PPOK. Obesitas
pada penderita PPOK juga harus dikurangi untuk menghindari komplikasi pada
mencegah depresi yang akan berakibat menurunkan efektifiti rehabilitasi paru. Pasien PPOK
harus dihindari dari keadaan depresi yang juga dapat menjadi alasan drop out program
rehabilitasi. Prevalens serangan panik pada pasien PPOK sepuluh kali lebih besar daripada
orang normal. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya partisipasi penderita dalam kegiatan-
kegiatan sosial termasuk dalam hal hubungan seksual. Bimbingan psikologis sebaiknya
dilakukan terhadap pasien PPOK terutama mereka yang memiliki kecenderungan mengalami
serangan panik. Psikoterapi baik dalam bentuk penyuluhan atau edukasi maupun terapi
relaksasi dan desentisasi sesak napas yang diintegrasikan dalam komponen rehabilitasi paru
lainnya diharapkan dapat mengurangi kecemasan, depresi, dan sesak napas, serta
Penderita PPOK yang mengalami insufisiensi pernapasan selalu merasa tegang, cemas
dan takut. Untuk mengatasi keadaan ini penderita berusaha membuat posisi yang
menguntungkan terutama bagi gerakan diafragmanya. Sikap ini dicapai dengan memutar
bahu ke depan dan membungkukkan badan ke depan pula. Sikap ini selalu diambil setiap
akan memulai latihan pernapasan dan terapi fisik dada . Agar penderita memahami, latihan
ini harus diperagakan. Latihan relaksasi hendaknya dilakukan di ruangan yang tenang dan
Diafragma dan otot interkostal merupakan otot-otot pernapasan yang paling penting.
Pada orang normal dalam keadaan istirahat, pengaruh gerakan diafragma sebesar 65% dan
volume tidal. Bila ventilasi meningkat barulah digunakan otot-otot bantu pernapasan (seperti
skalenus, sternokleidomastoideus, otot penyangga tulang belakang) ini terjadi bila ventilasi
melampaui 50 l/menit. Pada penderita PPOK terdapat hambatan aliran udara terutama pada
waktu ekspirasi. Pada umumnya letak diafragma rendah dan posisi sangkar toraks sangat
tinggi sehingga secara mekanis otot-otot pernapasan bekerja kurang efektif. Fungsi diafragma
penderita PPOK kurang dari 35% volume tidal, akibatnya penderita selalu menggunakan
otot-otot bantu pernapasan. Latihan otot-otot pernapasan akan meningkatkan kekuatan otot
pernapasan, meningkatkan tekanan ekspirasi (PE max) sekitar 37%. Latihan pernapasan
meliputi:
Melatih kembali penderita untuk menggunakan diafragma dengan baik dan merelaksasi
a.1.1.Sebelum melakukan latihan, bila terdapat obstruksi saluran napas yang reversibel
oksigen di rumah.
a.1.2. Posisi penderita bisa duduk, telentang, setengah duduk, tidur miring ke kiri atau ke
kanan, mendatar .
a.1.3. Penderita meletakkan salah satu tangannya di atas perut bagian tengah, tangan
yang lain di atas dada. Akan dirasakan perut bagian atas mengembang dan tulang
memang turun pada waktu inspirasi. Saat gerakan dada minimal, dinding dada
a.1.4.Penderita menarik napas melalui hidung dan saat ekspirasi pelan-pelan melalui
mulut (pursed lips breathing), selama inspirasi, diafragma sengaja dibuat aktif dan
a.1.5. Selama ekspirasi penderita dapat menggunakan kontraksi otot perut untuk
atas dinding perut untuk membantu aktivitas ini. Latihan pernapasan pernapasan
diafragma sebaiknya dilakukan bersamaan dengan latihan berjalan atau naik tangga
36
Tujuan program ini adalah mengurangi napas pendek dan aktiviti otot asesorius,
mencegah kolaps saluran napas kecil selama ekspirasi, meningkatkan P02 dan menurunkan
PC02. Pursed lips breathing (PLB) dilakukan dengan cara menarik napas (inspirasi) secara
biasa beberapa detik melalui hidung (bukan menarik napas dalam) dengan mulut tertutup,
kemudian mengeluarkan napas (ekspirasi) pelan-pelan melalui mulut dengan posisi seperti
diperkenankan mengeluarkan napas terlalu keras. PLB dilakukan dengan atau tanpa kontraksi
otot abdomen selama ekspirasi. Selama PLB tidak ada udara ekspirasi yang mengalir melalui
hidung, karena terjadi elevasi involunter dari palatum molle yang menutup lubang nasofaring.
Dengan pursed lips breathing (PLB) akan terjadi peningkatan tekanan pada rongga mulut,
kemudian tekanan ini akan diteruskan melalui cabang-cabang bronkus sehingga dapat
mencegah air trapping dan kolaps saluran napas kecil pada waktu ekspirasi. Hal ini akan
menurunkan volume residu, kapasitas vital meningkat dan distribusi ventilasi merata pada
paru sehingga dapat memperbaiki pertukaran gas di alveol. Selain itu PLB dapat menurunkan
ventilasi semenit, frekuensi napas, meningkatkan volume tidal, PaO2 saturasi oksigen darah,
menurunkan PaCO2 dan memberikan keuntungan subjektif karena mengurangi rasa sesak
napas pada penderita. Pursed lips breathing akan menjadi lebih efektif bila dilakukan
bersama-sama dengan pernapasan diafragma. Ventilasi alveoler yang efektif terlihat setelah
Batuk merupakan cara yang efektif untuk membersihkan benda asing atau sekret dan
saluran pernapasan. Batuk yang efektif harus memenuhui kriteria: 1) Kapasitas vital yang
intratorakal yang cukup untuk mendorong udara pada fase ekspulsi. Cara melakukan batuk
yang baik: Posisi badan membungkuk sedikit ke depan sehingga memberi kesempatan luas
kepada otot dinding perut untuk berkontraksi, sehingga menimbulkan tekanan intratorak.
Tungkai bawah fleksi pada paha dan lutut, lengan menyilang di depan perut. Penderita
diminta menarik napas melalui hidung, kemudian menahan napas sejenak, disusul batuk
dengan mengkontraksikan otot-otot dinding perut serta badan sedikit membungkuk ke depan.
Cara ini diulangi dengan satu fase inspirasi dan dua tahap fase ekspulsi. Latihan diulang
sampai penderita menguasai. Penderita yang mengeluh sesak napas saat latihan batuk,
Timbunan sekret yang sangat kental jika tidak dikeluarkan akan menyumbat saluran
napas dan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kuman. Infeksi mengakibatkan
radang yang menambah obstruksi saluran napas. Bila berlangsung terus sehingga
mengganggu mekanisme batuk dan gerakan mukosilier, maka timbunan sekret merupakan
penyulit yang cukup serius. Terapi fisik (fisioterapi) dada ditujukan untuk melepaskan dan
membantu menggerakkan sekret dan saluran napas kecil ke trakea, dapat dilakukan dengan
cara drainase postural, perkusi dinding dada, vibrasi menggunakan tangan (manual) atau
dengan bantuan alat (mekanik). Perkusi dengan vibrasi cepat, ketukan dengan telapak tangan
(clapping), atau memakai rompi perkusi listrik serta latihan batuk akan memperbaiki
mobilisasi dan klirens sekret bronkus dan fungsi paru terutama pada penderita PPOK dengan
produksi sputum yang meningkat (>30 ml/ hari). Drainase postural adalah cara
membersihkan jalan napas dari lendir dengan meletakkan penderita pada berbagai posisi pada
waktu tertentu sehingga gravitasi akan membantu aliran lendir. Lendir digerakkan dari
diletakkan lebih tinggi daripada bronkus utama. Tindakan ini dilakukan 2 kali sehari selama
5 menit. Sebelum dilakukan drainase postural sebaiknya penderita minum banyak atau
Latihan rekondisi merupakan kunci kesuksesan dalam program latihan pada pasien
PPOK. Masalah yang sering dihadapi adalah bagaimana mendisain pola latihan secara
mungkin sudah terjadi. Program latihan harus mempertimbangkan tiga hal utama yaitu
intensiti, spesifisiti dan reversibiliti. Latihan harus dilakukan sedikitnya tiga hingga lima hari
seminggu dan intensiti latihan antara 40-80 % dari cadangan ambilan oksigen (perbedaan
antara ambilan oksigen pada waktu istirahat dengan ambilan oksigen maksimal). Latihan
dilakukan selama lebih dari 20 menit secara kontiniu atau dengan interval. Latihan fisis
sebanyak 20 sesi terbukti memberi manfaat yang lebih baik daripada 10 sesi. Sebagian
program rehabilitasi melakukan latihan 3 kali seminggu diawasi langsung dengan durasi 3-
lntensiti latihan yang rendah memperbaiki gejala pasien PPOK, kualiti hidup dan
beberapa aspek aktifiti harian. Manfaat fisiologis lebih besar didapat pada intensiti latihan
yang lebih berat .lntensiti latihan berat pada orang normal adalah intensitas tertentu yang
dapat meningkatkan kadar laktat dalam darah. lntensiti melebihi 60% kapasiti puncak latihan
pada latihan tungkai dengan menggunakan treadmill, sepeda statis atau dengan latihan
berjalan secara incremental. Aktifiti latihan juga dilakukan terhadap otor-otot lengan dengan
menggunakan arm cycle ergometer, free weights dan elastic bands. Latihan terhadap otot
peningkatan ambilan oksigen sebanyak 16% dan peningkatan ventilasi 24% sewaktu
Endurance exercise dilakukan dengan cara berjalan atau bersepeda termasuk latihan
yang sering dilakukan dalam program rehabilitasi paru. Durasi latihan efektif harus melebihi
30 menit. Beberapa pasien sulit diperoleh durasi latihan yang kontiniu dan sebagai alternatif
dapat dilakukan latihan secara interval dengan cara membagi durasi latihan menjadi beberapa
sesi dengan selingan istirahat atau latihan dengan intensiti lebih rendah. Strength exercise
dapat memberikan perbaikan massa dan kekuatan otot daripada endurance exercise. Oca dkk
melaporkan bahwa latihan bersepeda meningkatkan kapasiti fungsional pasien PPOK sebesar
19% lebih besar daripada uji jalan 6 menit yang hanya meningkatkan 1% kapasiti fungsional
pasien.38
Latihan fisik dapat mengurangi gejala sesak napas dengan cara mengurangi
hiperinflasi dinamik pada pasien PPOK. Hiperinflasi dinamik terjadi pada saat latihan fisik
hingga terjadi air trapping. Latihan fisik menurunkan kebutuhan ventilasi dan frekuensi napas
sehingga memberikan waktu yang cukup untuk ekspirasi dan mengurangi hiperinflasi paru.
Desensitisasi perasaan sesak terjadi di otak melalui mekanisme yang belum dapat dijelaskan.
Kecemasan dan depresi pada pasien PPOK berkurang sebagai efek dari peningkatan kapasiti
latihan.25
kelompok otot kecil secara berulang. Alasan dilakukannya latihan ini karena pada pasien
PPOK biasanya terjadi kelemahan otot perifer yang juga berperan pada kelelahan pada waktu
latihan. Latihan yang dilakukan pada otot perifer dapat mengurangi sesak pada pasien. Spruit
mengalami kelemahan otot tungkai. Terdapat hasil bermakna pada peningkatan jarak uji jalan
6 menit sebesar 54 meter tetapi tidak terdapat perbedaan hasil antara resistance dan
(BTS) adalah 54 meter sedangkan menurut American Thoracic Society (ATS) 50 meter.39
Gambar II.4. Latihan fisik yang dapat dilakukan pada program rehabilitasi paru37
keterbatasan, gejala dan sifat psikososial untuk berfungsi dalam berbagai peran yang
diinginkan dalam masyarakat dan merasa puas akan peran tersebut. Kualitas hidup dapat
bidang misalnya kemampuan fisik, okupasi, psikologis, interaksi sosial, hobi dan rekreasi.
merujuk paling sedikit pada salah satu dari 4 domain atau komponen penting yaitu sensasi
somatik, fungsi fisis, status emosi, atau psikososial dan interaksi sosial.
Pengukuran kualitas hidup biasanya menggunakan kuesioner yang dapat mewakili 4 domain
tersebut. Akan tetapi kuesioner kesehatan umum kurang sensitif terhadap derajat berat
penyakit PPOK maka sering digunakan pengukuran spesifik misalnya St. Georges
Questionnaire (CCQ), MRC (Medical Research Council) Dyspnoe Scale, BODE Index, dan
juga CAT (COPD assessment Test) yang merupakan kuesinoer paling baru yang sedang
dikembangkan.14
CAT pertama kali diperkenalkan pada tahun 2009, merupakan lembar penilaian yang
mudah dan ringkas, dapat dipergunakan dalam praktik kedokteran sehari-hari, merupakan
lembar penilaian yang dapat digunakan untuk menilai seluruh aspek pada penderita PPOK,
dan juga meningkatkan komunikasi antara dokter-pasien. Walaupun CAT hanya terdiri dari
beberapa buah pertanyaan saja, namun sudah mencakup area luas yang dapat menilai kualitas
hidup pasien. Validasi terhadap CAT telah dilakukan di Amerika Serikat dan di beberapa
Berdasarkan data yang telah diambil dari enam negara telah membuktikan bahwa
pengukuran CAT telah melingkupi seluruh penilaian pasien PPOK. Data tersebut juga telah
membuktikan bahwa CAT relevan dengan populasi PPOK dan dapat digunakan secara
global.
tersebut merupakan pertanyaan yang sangat mudah. Penderita harus menjawab dengan
memberi tanda silang pada angka yang memberikan gambaran terbaik kondisinya saat itu.
Dokter tidak boleh mengarahkan jawaban yang akan diberikan kepada pasien. Setiap
pertanyaan memiliki nilai dari 0 sampai 5. 0 artinya kondisinya sangat baik dan 5 berarti
kondisinya sangat tidak baik. Namun lembar penilaian tidak memberikan nilai ukur terhadap
skor 0-5 untuk setiap pertanyaan yang sudah ada, oleh karena itu untuk memudahkan proses
pengisian lembar CAT, maka peneliti memberi penjelasan terhadap makna skor 0-5 dari
f. Apakah ada kekhawatiran untuk keluar dari rumah akibat penyakit yang
dideritanya
Pada awal tahun 1960 Balke mengembangkan uji sederhana untuk mengevaluasi
kapasitas fungsional dengan mengukur jarak jalan dalam periode waktu tertentu. Uji jalan 12
menit dikembangkan untuk menilai hasil latihan orang sehat dan penderita bronkitis kronik.
Uji jalan 6 menit dikembangkan dan ternyata hasilnya sebaik 12 menit, lebih mudah
ditoleransi pasien dan lebih menggambarkan keadaan aktivitas sehari-hari. Indikasi utama uji
jalan 6 menit adalah untuk mengukur respon pengobatan pasien dengan kelainan jantung atau
paru derajat ringan sampai berat. Indikasi lain adalah untuk mengukur status fungsional
pasien dan memprediksi mortaliti dan morbiditi penyakit. Uji jalan 6 menit mempunyai
Asap rokok
Inflamasi berulang
Perubahan struktur
PPOK
Penurunan kapasitas
fungsional
Penurunan kualitas
hidup
Rehabilitasi paru
Peningkatan Peningkatan
kapasitas kualitas hidup
fungsional
Perlakuan
Rehabilitasi 8 minggu
Analisis statistik
Gambar II.6. Kerangka Konsep
II.7 Hipotesis
II.7.1 Adanya peningkatan kualitas hidup penderita PPOK setelah menjalani program
rehabilitasi paru