Anda di halaman 1dari 1

Nama : Aulia Utami

Kelas : XI IPA2

Mengkaji Peradilan Kasus BLBI

Jika ada kasus-kasus peradilan yang tergolong menarik untuk dikaji dalam dunia akademis, kasus Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah satu di antaranya. Proses hukum kasus BLBI sedang diperiksa di
tingkat pengadilan, baik untuk penyalahgunaan dana BLBI yang melibatkan pemilik dan pengelola bank
maupun penyaluran dana BLBI yang mendudukkan mantan Direksi Bank Indonesia sebagai terdakwa.
Perbandingan kedua proses hukum tersebut akan sangat menarik karena kedua persoalan hukum tersebut
dapat diuji tingkat independensi peradilan dan logika hukum di balik penanganan kedua persoalan hukum
tersebut. Vonis hakim dan tuntutan jaksa dapat dijadikan ujian seberapa jauh kasus tersebut telah diuji secara
adil, jujur, dan tidak memihak. Paradigma hukum dan peraturan perundang-undangan dapat dijadikan
landasan untuk pengujian tersebut.

Sebagai catatan awal perlu dikemukakan bahwa BLBI lahir sebagai upaya mengatasi krisis perbankan
nasional yang kemudian melahirkan instrumen moneter untuk menjawab krisis ekonomi yang mulai
menghantam Indonesia sejak pertengahan 1997 dan menjadi tidak dapat dikendalikan saat memasuki 1998.
Krisis ekonomi mulai memiliki pijakan situasional ketika pemerintah mencabut izin operasional 16 bank
swasta nasional, yang memunculkan tanggung jawab pemerintah untuk memberikan dana talangan terhadap
simpanan antarbank serta dana pihak ketiga lainnya. Kebutuhan dana talangan dalam jumlah triliunan rupiah
tersebut jelas tidak dapat dipecahkan melalui instrumen ekonomi, tetapi harus melalui keputusan politik
untuk mendukung instrumen
moneter.

Krisis ekonomi kemudian diperparah lagi dengan munculnya krisis politik yang mulai menggelinding pada
Februari 1988, ketika para mahasiswa menuntut Presiden Suharto mengundurkan diri. Mendekati
mundurnya Soeharto pada Mei 1998 membuat masyarakat secara bersamaan menarik dana dari bank, yang
kemudian menimbulkan sejumlah bank mengalami kalah kliring. Situasi darurat seperti itu telah mendorong
Bank Indonesia untuk mengambil tindakan penyelamatan industri perbankan nasional dengan jalan
menyuntikkan dana segar ke bankbank tersebut, bantuan likuiditas perbankan.

Persoalan yang kemudian muncul adalah kalangan pemilik bank ternyata tidak menggunakan dana BLBI
untuk kepentingan menjadikan bank terhindar dari proses kehancuran, tetapi menggunakan sebagian besar
untuk kepentingan kelompok usaha sendiri. Tindakan pemilik bank tersebut dalam konteks hukum
perbankan disebut sebagai pelanggaran Batas Maksimum Penggunaan Kredit (BMPK). Pelanggaran BMPK,
menurut UU Perbankan 1992, jelas merupakan tindak pidana. Tindakan tidak menghentikan proses kliring
dan pengucuran dana BLBI sebagai pilihan lain, yang kemudian membawa tiga mantan Direksi Bank
Indonesia ke pengadilan dan mantan Gubernur Bank Indonesia Soedradjat Djiwandono sebagai tersangka
dalam kasus penyaluran dana BLBI.

Persoalan yang selanjutnya menarik untuk dikaji adalah peradilan terhadap pihak-pihak yang
menyalahgunakan dana BLBI dan proses hukum terhadap tiga mantan Direksi Bank Indonesia Hasil
penelitian yang baru saja dilakukan oleh Judicial Watch Indonesia (JWI) memperlihatkan kecenderungan
buruk-nya penanganan kasus-kasus perbankan tersebut, yang diperlihatkan mulai dari kelemahan penyidikan
kasus di kepolisian sampai putusan hakim yang tidak mencerminkan tingkat kesalahan para terdakwa.
Sebagian besar terdakwa dijatuhi hukuman antara delapan bulan sampai dua tahun penjara untuk kerugian
negara triliunan rupiah. Padahal, pelanggaran BMPK adalah perbuatan pidana yang serius dengan ancaman
hukuman penjara di atas lima tahun.

Anda mungkin juga menyukai