Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan masyarakat miskin kota di perkotaan merupakan kegiatan sehari hari

masyarakat miskin kota di perkotaan sesuai dengan ketentuan politik/perundang-undangan

yang berlaku. Karena semua kehidupan masyarakat dalam suatu negara diatur oleh negara

melalui perundang-undangan atau politik suatu negara, baik kehidupan di pemerintahan pusat

maupun pemerintahan daerah termasuk kehidupan masyarakat miskin kota.

Sejarah mencatat bahwa politik sudah ada semenjak ribuan tahun yang lalu.

Perkenalan kata politik sendiri tercetus pada era yunani jauh sebelum pemerintahan modern

yang berkembang saat ini. Dalam konteks ini politik lebih dipahami sebagai segala sesuatu

yang berkaitan dengan, Polis secara harfiah merupakan perwujudan negara kota pada era

yunani dan sebagai wujud organiasi-organisasi sosial yang paling tinggi di masa itu)1.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan polis akan dibahas dan dirumuskan secara

bersama-sama yang kemudian dikaitkan dengan cikal bakal pemahaman tentang politik dan

afiliasinya terhadap sesuatu yang berkaitan dengan negara.

Represntasi polis itu sendiri pada masa tersebut merupakan wujud dari bentukan

pemerintahan-pemerintahan kecil yang ada di Yunani, sehingga tidak mengherankan jika

kemudian pengertian tentang polis ataupun tentang politik pada masa kini dikaitkan dengan

segala urusan yang berkaitan dengan negara atau pemerintahan.

Seiring berkembangan jaman dan era pemerintahan, pemaknaan politik kini kian

beragam. Tidak kaku dengan hal yang berbau tentang negara, kini pemahaman dan arti akan

politik memiliki pengertian yang lebih luas. Para pakar ilmu politik modern seperti David

Easton, Hannah Arendt, Andre Heywood sampai peneliti lokal Miriam Budiarjo mencoba
mengembangkan pemahaman kita akan konsepsi ini. Bahasan dan ulasan teori-teori para

pemikir tersebut membuka ruang-ruang baru untuk mengkaji apa saja yang bisa di katakan

politik dan bagaimana aplikasinya secara umum.

Kondisi masyarakat perkotaan bayangannya berada pada kehidupan yang tertata

sesuai tata ruang dengan akses yang memadai, namun pada kenyataannya tidak semua

masyarakat kota berada pada kondisi tersebut. Disamping kehidupan masyarakat yang berada

pada kondisi lingkungan yang tetata dengan akses memadai, masih terdapat masyrakat miskin

kota yang berada pda jalur-jalur hijau, tanah-tanah negara yang belum digunakan dan di

pinggr-pinggir kali, dengan kondisi lingkunan yang kumuh, serta rawan penggusuran setiap

saat. Dengan kata lain kehidupannya penuh dengan ketidak-pastian sesuai dengan kebijakan

politik pemerintah setempat yang tidak pasti. Untuk melindungi kepentingannya masyarakat

miskin kota meakuan kegiatan politik informal dengan membetuk organisi diantaranya brupa

paguyuban, kelompok arisan.

Kebikajan pemerintah tentang masyarakat miskin kota penuh ketifak pastian.

Misalnya tentang lahan hijau, pemerintah pusat atau provinsi mengeluarkan ketentuan lahan

hijau, tetapi pemerintah desa/kelurahan mengeluarkan ijin untk menggunakan lahan sebagai

pemukiman dan dikeluarkan SPPT-nya. Ketika ada penggusuran pihak desa/kelurahan tidak

bertanggungjawan. Atau sebaliknya masyarakat sudah tahu lahan hiau tetapi mendirikan

bangunan, karena terdesak kebutuhan tempat tinggal dan tidak mampu membeli di tempat

yang sesuai dengan tata kota. Dalam kondisi tersebut masyarakat miskin kota selalu menjadi

korban, kesuali di DKI Jakarta pada tahun 2015sam[p[ai dengan 2016 masyarakat yang

digusur ditempatkan di apartemen. (data faktualnya) ?

Senada dengan. Harold Laswel1politik is how to get what when and how,)2 politik itu

dapat melintasi batas ruang dan waktu. Tidak hanya batasan ruang secara administratif

12 Harold Laswal
semata. Kutipan dari Laswell menggambarkan bahwa politik itu ada dimana saja, pada level

masyarakat baik desa ataupun kota, bahkan bisa terjadi di lingkungan perumahaan di perko-

kota besar termasuk masyarakat miskin kota yang mendiami jalur hijau ata laham pemerintah

yang bekum digunakan.

Berbicara tentang kota sebagian besar akan beranggapan kota sebagai pusat kegiatan

ekonomi. Mudahnya akses dan melimpahnya sumber pengasilan yang ditawarkan di

perkotaan membuat perpindahan manusia ke perkotaan tidak dapat dihindarkan, baik dari

desa ke kota maupun kota ke kota. Pertimbangan lain yang menjadi pertimbangan adalah

fasilitas-fasilitas umum yang di tawarkan. Wilayah perkotaan, khususnya kota-kota besar,

selalu menawarkan fasilitas yang lebih banyak dan lebih baik dibanding dengan kawasan

pedesaan. Faktor pendidikan, kesehatan, ketersediaan listrik dan lain-lain sering kali

dijadikan alasan untuk bertahan dan menetap di kota. Akan tetapi hal ini menimbulkan

permasalahan bagi kota. Jumlah penduduk yang semakin meningkat dan tidak diimbanginya

ketersediaan lapangan pekerjaan dan tempat tinggal secara tidak langsung membuat dilema

tersendiri, yaitu menimbulkan fenomena yang sering kita sebut dengan kemiskinan.

Kemiskinan sering kita jumpai di kota-kota besar. Ibu kota yang besar seperti Jakarta

saja tidak terhindar dari banyaknya orang miskin yang jalur-jalur hijau, tanah-tanah negara

yang belum digunakan dan di pinggr-pinggir kali, dengan kondisi lingkunan yang kumuh,

serta rawan penggusuran setiap saat. Meski perputaran uang dan geliat ekonomi yang pesat di

area perkotaan nyatanya tidak menjamin semua mendapat kue ekonomi yang sama.

Akhirnya alih-alih mendapatkan penghidupan yang layak, para individu yang berpindah ke

kota justru tidak dapat berbuat banyak. Alasanya beragam, dari terbatasnya lapangan

pekerjaan sampai ketiadaan keahlian khusus yang dimiliki justru membuat cita-cita mereka

untuk merubah nasib di perkotaan menjadi sirna.


Masalah-masalah yang timbul pada masyarakat pada masyarakat miskin kota

terbatasnya akses akan pendapatan akhirnya memaksa mereka bekerja serabutan atau bekerja

apa saja agar mendapatkan penghasilan, hal ini lah yang menimbulkan lahirnya sektor

informal. Ada banyak istilah untuk menyebut sektor informal, mulai dari istilah

ekonomi bayangan (shadow economy), black economy atau underground

economy. Tetapi, apapun istilahnya, ciri-ciri yang menandai sector

informal adalah : bersifat marginal, kegiatannya tidak teratur, tidak

tersentuh peraturan, bermodal kecil, bersifat harian, tempat tidak tetap,

berdiri sendiri, berlaku dikalangan yang berpenghasilan rendah, tidak

membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, dijalankan oleh

lingkungan kecil atau keluarga, tidak mengenal system perbankan,

pembukuan maupun perkreditan...3 di kawasan perkotaan.

Mayarakat miskin kota menyiasatinya dengan bekerja sebagai pedagang kaki lima,

penarik becak, buruh, pekerja yang menawarkan jasa bahkan pemulung lahir akibat

terbatasnya akses pekerjaan pada sektor-sektor formal.

Masalah yang pelik kemudian yang menjadi perhatian penulis adalah bagaimana

dengan ketersediaan tempat tinggal atau lahan hunian bagi para pendatang? Mengingat

wilayah perkotaan yang biasanya tidak lebih luas dibanding desa, ketersediaan tanah atau

lahan tinggal seolah menjadi hal yang sangat mewah dan sulit di miliki bagi warga

pendatang, terlebih yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan informal.


Kondisi perkotaan
Bagaimana masyarakat miskin kota hidup di lingkungan perkotaan
Bagainana politik memperlalukaukan kereka(pemda memperlakukan denga kebijakan)
Masalah-masalah yang timbul pada masyarakat
Bagaimana mereka(masyarakat menyiasatinya)

Anda mungkin juga menyukai