Anda di halaman 1dari 31

Difteri adalah penyakit akut yang mengancam nyawa yang disebabkan Corynebacterium

diphtheria, terutama menyerang tonsil, faring,laring, hidung, adakalanya menyerang selaput


lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Corynebacterium diphtheriaea
adalah organisme yang minimal melakukan invasive, secara umum jarang memasuki aliran
darah, tetapi berkembang local pada membrane mukosa atau pada jaringan yang rusak dan
menghasilkan exotoxin yang paten, yang tersebar keseluruh tubuh melalui aliran darah dan
system limpatik. Cara penularan adalah melalui kontak dengan penderita atau carrier; jarang
sekali penularan melalui peralatan yang tercemar oleh discharge dari lesi penderita difteri.
Penyakit ini ditandai dengan adanya membrane semu di tonsil dan sekitarnya. Tindakan
pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara luas (massal)
dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang
mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen acellular pertussis: (DTaP, yang
digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung whole cell pertussis (DTP).

BAB I PENDAHULUAN EPIDEMIOLOGI DIFTERI


Difteria masih merupakan penyakit endemic dibanyak negara di dunia. Pada awal tahun 1980-an
terjadi peningkatan insidensi kasus difteria pada negara bekas Uni Soviet karena kekacauan
program imunisasi, dan pada tahun 1990-an masih terjadi epidemic yang besar di Rusia dan
Ukraina. Pada tahun 2000-an epidemic difteria masih terjadi dan menjalar ke negara-negara
tetangga.1 Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang sering menyebabkan
kematian. Namun sejak mulai diadakannya program imunisasi DPT(di Indonesia pada tahun
1974), maka kasus dan kematian akibat difteria berkurang sangat banyak. Angaka mortalitas
berkisar 5-10%, sedangkan angka kematian di Indonesia menurut laporan Parwati S. Basuki yang
didapatkan dari rumah sakit di kota Jakarta(RSCM), Bandung(RSHS), Makasar(RSWS),
Senmarang(RSK), dan Palembang(RSMH) rata-rata sebesar 15%.1 Difteria adalah penyakit yang
jarang terjadi, biasanya menyerang remaja dan orang dewasa. Di Amerika Serikat selama tahun
1980-1996 terdapat 71% kasus yang menyerang usia kurang dari 14 tahun. Pada tahun 1994
terdapat lebih dari 39.000 kasus difteria dengan kematian 1100 kasus (CFR= 2,82%), sebagian
besar menyerang usia lebih dari 15 tahun. Di Ekuador, Amerika Selatan, pada tahun 1993-1994
terjadi ledakan kasus sebedsar 200 kasus, yang 50%-nya adalah anak berusia 15 tahun atau
lebih.1 Dari tahun 1980 sampai 2010, 55 kasus difteri dilaporkan CDC Nasional dilaporkan
Penyakit Surveillance System. Sebagian besar kasus (77%) menyerang usia 15 tahun dan lebih
,empat dari lima kasus fatal terjadi di kalangan anak-anak yang tidak divaksinasi, kasus fatal
yang kelima adalah seorang laki-laki, dalam 75 tahun kembali ke Amerika Serikat dari negara
dengan penyakit endemic.9 Difteri tetap endemik di banyak bagian dunia berkembang, termasuk
beberapa negara Karibia dan Amerika Latin, Eropa Timur, Asia Tenggara, dan Afrika. 9Dari
wabah ini mayoritas kasus telah terjadi di kalangan remaja dan orang dewasa, bukan anak-anak.
Karena, banyak dari remaja dan orang dewasa belum menerima vaksinasi rutin anak atau dosis
booster toksoid difteri. 9 Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar,
Semarang, dan Palembang, Parwati S.Basuki melaporkan angka yang berbeda. Selama tahun
1991-1996, dari 473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27% usia kurang dari 1 tahun, 24%
usia 5-9 tahun, dan 4% usia diatas 10 tahun. Berdasarkan suatu KLB difteria di kota Semarang
pada tahun 2003, dilaporakan bahwa dari 33 pasien sebanyak 46% berusia 15-44 tahun serta
30% berusia 5-14 tahun.1 Khusus provinsi Sumatera Selatan, selama tahun 2003-2009 penemuan
kasus difteri cenderung terjadi penurunan, kasus terbanyak pada tahun 2007 (12 kasus) dan
terendah pada tahun 2003 (2 kasus), meskipun demikian Sumatera Selatan merupakan provinsi
terbesar kedua untuk kasus difteri pada tahun 2008.10 Meskipun difteri sekarang dilaporkan
hanya jarang di Amerika Serikat, di era prevaccine, penyakit ini adalah salah satu penyebab
paling umum dari penyakit dan kematian pada anak-anak.9

BAB II PEMBAHASAN EPIDEMIOLOGI DIFTERI


1. Definisi Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring,laring,
hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau
vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri.
Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah
inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri
faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus
yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan
membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.6 Difteri hidung
biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes).
Infeksi subklinis (atau kolonisasi ) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan
myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif,timbul satu
minggu setelah gejala klinis difteri.5 Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak
dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari
impetigo.(Kadun,2006)
2. Penyebab Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae. Berbentuk batang
gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive,
tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Exotoxin yang diproduksi oleh bakteri
merupakan suatu protein yang tidak tahan terhadap panas dan cahaya. Bakteri dapat
memproduksi toksin bila terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toksigen.Toxin difteri ini,
karena mempunyai efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants dari
Corynebacterium diphtheriae ini yaitu : type mitis, type intermedius dan type
gravis.Corynebacterium diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage lysis
menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk
tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang
virulen.Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas
dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa.1,2,5 Organisme ini
terlokalisasi di tenggorokan yang meradang bila bakteri ini tumbuh dan mengeluarkan
eksotoksin yang ampuh. Sel jaringan mati, bersama dengan leukosit, eritosit, dan bakteri
membentuk eksudat berwarna kelabu suram yang disebut pseudomembran pada faring. Di dalam
pseudomembran, bakteri berkembang serta menghasilkan racun. Jika pseudomembran ini meluas
sampai ke trakea, maka saluran nafas akan tersumbat dan si penderita akan kesulitan bernafas.
Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang
serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi
terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun
dengan drastis.4 3. Triad

Epidemiologi Difteria
3.1. Host Manusia adalah inang atau host alamiah satu-satunya bagi Corynebacterium
dhiptheriae. Terjadinya penyakit dan kematian yang tertinggi ialah pada anak anak berusia 2
sampai 5 tahun. Pada orang dewasa, difteri terjadi dengan frekuensi rendah.
3.2. Agent Corynebacterium diphtheria
3.3. Environment Penyakit ini dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi
rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam
menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. 4.
Cara Penularan Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita
maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa
inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection. Masa
inkubasi penyakit difteri ini 2 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi,
sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang diserang terutama
saluran pernafasan bagian atas. 3 Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah
tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar
mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu
membaran putih keabu-abuan(psedomembrane). Membran ini sukar diangkat dan mudah
berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan
exotoxin yang memberikan gejala-gejala yang lebih berat dan Kelenjer getah bening yang berada
disekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung toksin. Eksotoksin dapat mengenai
jantung dapat menyebabkan miyocarditisct toksik atau mengenai jaringan perifer sehingga
timbul paralisis terutama pada otot-otot pernafasan. Toksini ini juga dapat menimbulkan nekrosis
fokal pada hati dan ginjal, malahan dapat timbul nefritis interstisial. Penderita yang paling berat
didapatkan pada difterifauncial dan faringea karena terjadi penyumbatan membran pada laring
dan trakea sehingga saluran nafas ada obstruksi dan terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa
mengakibatkan kematian, ini akibat komplikasi yang seriing pada bronkopneumoni.3 Sumber :
http://obatpropolis.com/penyakit-difteri 5. Masa Inkubasi dan Klinis Masa inkubasi difteri adalah
2-5 hari (berkisar, 1-10 hari). Penyakit ini dapat melibatkan hampir semua membrane mukosa.
Gambaran klinik tergantung pada lokasi anatomi yang dikenai. Beberapa tipe difteri berdasarkan
lokasi anatomi adalah : 1. Difteria Hidung Gejalanya paling ringan dan jarang terjadi ( hanya 2%
). Mula-mula hanya tampak pilek, tetapi kemudian sekret yang keluar tercampur darah sedikit
yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat pula mencapai laring dan
faring. Penderita diobati seperti penderita lainnya seperti anti toksin dan terapi antibiotic. Bila
tidak diobati akan berlangsung mingguan dan merupakan sumber utama penularan.6 2. Difteria
Faring dan Tonsil Paling sering dijumpai (kurang lebih 75%). Gejala mungkin ringan. Hanya
berupa radang pada selaput lender dan tidak membentuk pseudomembran sedangkan diagnosis
dapat dibuat atas dasar hasil biakan yang positif. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas
pada penderita. Pada penyakit yang lebih berat, mulainya seperti radang akut tenggorok dengan
suhu yang tidak terlalu tinggi, dapat ditemukan pada pseudomembran yang mula-mula hanya
berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring. Napas berbau
dan timbul pembengkakan kelenjar regional sehingga leher tampak seperti leher sapi (bull neck).
Brennernan dan Mc Quarne (1956) menyatakan bahwa setiap bercak keputihan diluar tonsil
dapat dianggap sebagai difteria, sedangkan Herdarshee menegaskan lebih lanjut bahwa setiap
membrane yang menutupi dinding posterior faring atau menutupi seluruh permukaan tonsil baik
satu maupun kedua sisi dapat dinggap sebagai difteria. 6 Dapat terjadi salah menelan dan suara
serak serta stidor insprasi walaupun belum terjadi sumbatan faring. Hal ini disebabakan oleh
paresis palatum mole. Pada pemeriksaan darah dapat terjadi penurunan kadar hemoglobin dan
leukositisis, polimofonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin, sedangakan pada
urin mungkin dapat ditemukan albuminaria ringan.6 3. Difteria Laring dan Trakea Dengan gejala
tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat
lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri
paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas. 5 Lebih sering sebagai
penjalaran difteria faring dan tonsil ( 3 kali lebih banyak ) daripada primer mengenai laring.
Gejala gangguan napas berupa suara serak dan stidor inspirasi jelas dan berat dapat timbul sesak
napas hebat, sinosis dan tampak retraksi suprastemal serta epigastrium. Pembesaran kelenjar
regional akan menyebabkan bull neck ( leher sapi ). Pada pemeriksaan laring tampak kemerahan,
sembab, banyak secret dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak
dan payah sekali maka harus segera ditolong dengan tindakan trakeostomi sebagai pertolongan
pertama.6 4. Difteria Cutaneous ( kulit ) Gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina
dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada
difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa apa.5 Di Amerika Serikat, difteri kutaneus
sering dikaitkan dengan orang-orang tunawisma. Merupakan keadaan yang jarang sekali terjadi.
Tan Eng Tie (1965 ) mendapatkan 30% infeksi kulit yang diperiksanya mengandung kuman
difteria. Dapat pula timbul di daerah konjungtiva, vagina dan umbilicus.6 6. Klasifikasi Biasanya
pembagian dibuat menurut tempat atau lokalisasi jaringan yang terkena infeksi.Pembagian
berdasarkan berat ringannya penyakit juga diajukan oleh Beach, dkk (1950) sebagai berikut : 1.
Infeksi Ringan: bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya
nyeri menelan.6 2. Infeksi sedang : bila pseudomembran telah menyerang sampai faring
(dindingbelakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.6 3.Infeksi
berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejalakomplikasi sepertimiokarditis
(radang otot jantung),paralisis (kelemahananggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).6 7.
Pencegahan 1. Isolasi Penderita Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan
setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium
Diphtheriae 6 2. Imunisasi Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria,
pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak-anak usia sekolah
dasar.1,6 3.Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria Dilakukan dengan uji Schick, yaitu
bila hasil uji negatif (mungkin penderita karier pernah mendapat imunisasi), maka harus
diiakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan C. diphtheriae, penderita harus diobati
dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.6 8. Pengobatan 8 Tujuan pengobatan penderita difteria
adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar
penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. 1. Pengobatan Umum Pasien diisolasi sampai
masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya
pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,
pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap
bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier. 2.Pengobatan Khusus
-Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS) Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat
diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka
kematian ini bisa meningkat sampai 30%.Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau
uji mata terlebih dahulu. -Antibiotik Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin,
melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk
difteria digunakan eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.
-Kortikosteroid Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.
3.Pengobatan Penyulit Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap
baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan,
iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
4.Pengobatan Kontak Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan
berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari
sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah
mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria. 5.Pengobatan Karier Karier adalah
mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung
basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100
mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin
diperlukan tindakan tonsilektomi / adenoidektomi.

Copy and WIN : http://bit.ly/copy_win


Difteri adalah suatu penyakita infeksi yang bisa menular yang disebabkan oleh bakteri
coryneabacterium diphteria yang berasal dari membran mukosa hidung dan nasovaring, kulit dan
lesi lain dari orang yang terinfeksi (Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada
Anak)

Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke
sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh
darah.

Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari , walaupun dapat sngkat hanya satu hari dan lama
8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya
sakit tenggorokanyang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8 C 38,9C. Pada
mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membrane
putih/keabu-abuan.3

Kematian terjadi pada 5%-10% dari kasus pernapasan yang terjadi. Imunisasi umum
dengan toksoid difteri selama hidup untuk memberikan kadar antitoksin protektif konstan dan
untuk mengurangi penghuni C. diphtheriae yang merupakan satu-satunya cara pengendalian
efektif untuk penyakit difteri. Penelitian ini tergolong jenis penelitian analitik observasional yang
bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara status imunisasi difteri dengan
meningkatnya kasus difteri di Kabupaten Bangkalan tahun 2010. Status imunisasi difteri yang
dimaksudkan dalam penelitian ini meliputi status imunisasi DPT1, DPT2, DPT3 dan DT booster
beserta cakupan dari imunisasi tersebut. Desain penelitian yang digunakan adalah cross
sectional.

1.2 Rumusan masalah

1.2.1 Bagaimana anatomi fisiologi saluran nafas atas ?

1.2.2 Bagaimana definisi difteri ?

1.2.3 Bagaimana etiologi difteri ?

1.2.4 Bagaimana Patofisiologi difteri ?

1.2.5 Bagaimana klasifikasi difteri ?


1.2.6 Bagaimana Manifestasi difteri ?

1.2.7 Bagaimana Penatalaksanaan difteri ?

1.2.8 Bagaimana Pencegahan difteri ?

1.2.9 Bagaimana komplikasi difteri ?

1.2.10 Bagaimana hasil penelitian difteri ?

1.2.11 Bagaimana system pelayanan kesehatan difteri ?

1.2.12 Bagaimana legal etis difteri ?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mempelajari difteri

1.3.2 Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui Anatomi dan fisiologi traktus respiratorius atas

b. Untuk mengetahui Definisi difteri

c. Untuk mengetahui etiologi difteri

d. Untuk mengetahui patofisiologi dan WOC difteri

e. Untuk mengetahui Klasifikasi difteri

f. Untuk mengetahui Manifestasi difteri

g. Untuk mengetahui Penatalaksanaan difteri

h. Untuk mengetahui Pemeriksaan diagnostic

i. Untuk mengetahui Pencegahan difteri

j. Untuk mengetahui komplikasi difteri

k. Untuk mengetahui hasil penelitian difteri

l. Untuk mengetahui system pelayanan kesehatan difteri

m. Untuk mengetahui legal etis difteri


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi saluran nafas atas

2.1.1 Anatomi

Pada anatomi, tenggorokan bagian dari leher depan sampai kolumna vertebra. Terdiri dari
faring dan laring. Bagian yang terpenting dari tenggorokan adalah epiglottis, ini menutup jika
ada makanan dan minuman yang lewat dan akan menuju ke esophagus. Tenggorakan jika
dipendarahi oleh bermacam-macam pembuluh darah, otot faring, trakea dan esophagus. Tulang
hyoid dan klavikula merupakan salah satu tulang tenggorokan untuk mamalia.2

a. Rongga mulut

Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak di depan
batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah. Bibir dan pipi terutama
disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi oleh saraf fasilais. Vermilion
berwarna merah karena di tutupi oleh lapisan tipis epitel skuamosa. Ruangan di antara mukosa
pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris. Muara duktus kelenjar parotis menghadap
gigi molar kedua atas.2

Gigi ditunjang oleh krista alveolar mandibula dibagian bawah dan krista alveolar maksila di
bagian atas. Gigi pada bayi terdiri dari dua gigi seri, satu gigi taring dan dua gigi geraham. Gigi
dewasa terdiri dari dua gigi seri dan satu gigi taring, dua gigi premolar dan tiga gigi molar.
Permukaan oklusal dari gigi seri berbentuk menyerupai pahat dan gigi taring tajam, sedangkan
gigi premolar dan molar mempunyai permukaan oklusal yang datar. Daerah diantara gigi molar
paling belakang atas dan bawah dikenal dengan trigonum retromolar.2

Palatum dibentuk oleh tulang dari palatum durum dibagian depan dan sebagian besar dari
otot palatum mole dibagian belakang. Palatum mole dapat diangkat untuk faring bagian nasal
dari rongga mulut dan orofaring. Ketidakmampuan palatum mole menutup akan mengakibatkan
bicara yang abnormal (rinolalia aperta) dan kesulitan menelan. Dasar mulut diantara lidah dan
gigi terdapat kelenjar sublingual dan bagian dari kelenjar submandibula. Muara duktus
mandibularis terletak di depan ditepi frenulum lidah. Kegagalan kelenjar liur untuk
mengeluarkan liur menyebabkan mulut menjadi kering, atau xerostomia. Hal ini merupakan
keluhan yang menyulitkan pada beberapa pasien.2

Lidah merupakan organ muskular yang aktif. Dua pertiga bagian depan dapat digerakkan,
sedangkan pangkalnya terfiksasi. Otot dari lidah dipersarafi oleh saraf hipoglosus. Dua pertiga
lidah bagian depan dipersarafi oleh saraf lingualis dan saraf glosofaringeus pada sepertiga lidah
bagian belakang.2

b. Faring

Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang dari mulut, cavum nasi, kranial
atau superior sampai esofagus, laring dan trakea. Faring adalah suatu kantong fibromuskuler
yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong
ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikalis ke-6.
ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan
rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring dibawah berhubungan melaui
aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada
orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang.
Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus
otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring
(hipofaring).2

Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput inferior, kemudian bagian
depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain. Nasofaring membuka ke arah
depan ke hidung melalui koana posterior. Superior, adenoid terletak pada mukosa atap
nasofaring. Disamping, muara tuba eustakhius kartilaginosa terdapat didepan lekukan yang
disebut fosa Rosenmuller. Kedua struktur ini berada diatas batas bebas otot konstriktor faringis
superior. Otot tensor veli palatini, merupakan otot yang menegangkan palatum dan membuka
tuba eustakhius, masuk ke faring melalui ruangan ini. Otot ini membentuk tendon yang melekat
sekitar hamulus tulang untuk memasuki palatum mole. Otot tensor veli palatini dipersarafi oleh
saraf mandibularis melalui ganglion otic.2

Orofaring ke arah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal dalam
kapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut. Didepan tonsila, arkus faring
anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh
otot palatofaringeus otot-otot ini membantu menutupnya orofaring bagian posterior. Semuanya
dipersarafi oleh pleksus faringeus.2

Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot:

1. Mukosa

Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring karena
fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya torak berlapis
yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena
fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.2

Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam
rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena itu faring
dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan.2

2. Palut Lendir (Mucous Blanket)

Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Di bagian atas,
nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak diatas silia dan bergerak sesuai dengan arah
gerak silia ke belakang. Palut lendir ini berfungsi untuk menangkap partikel kotoran yang
terbawa oleh udara yang diisap. Palut lendir ini mengandung enzim Lyzozyme yang penting
untuk proteksi.2

3. Otot

Faring merupakan daerah dimana udara melaluinya dari hidung ke laring juga dilalui oleh
makanan dari rongga mulut ke esofagus. Oleh karena itu, kegagalan dari otot-otot faringeal,
terutama yang menyusun ketiga otot konstriktor faringis, akan menyebabkan kesulitan dalam
menelan dan biasanya juga terjadi aspirasi air liur dan makanan ke dalam cabang trakeobronkial.2

4. Pendarahan

Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang
utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang fausial) serta
dari cabang a.maksila interna yakni cabang palatina superior.2

5. Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif.
Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari n.glosofaring dan serabut
simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif
ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaring yang dipersarafi lansung
oleh cabang n.glosofaring (n.IX).2

6. Kelenjar getah bening

Aliran limfa dari dinding faring dapat melaui 3 saluran yakni superior, media dan inferior.
Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah bening
servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan
kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening
servikal dalam bawah.2

Berdasarkan letak, faring dibagi atas:

1. Nasofaring

Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada
dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang
merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa
faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui oleh
nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis
interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius.2

2. Orofaring

Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya adalah
tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal.
Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina fosa
tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.2

a. Dinding posterior faring

Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau
radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan otot
posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan
n.vagus.2
b. Fosa tonsil

Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah
m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu
ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya
merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang
merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar-benarnya bukan
merupakan kapsul yang sebena-benarnya.2

c. Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus didalamnya.2

Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang
ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya
disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah
intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya
melekat pada dasar lidah.2

Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut
kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam
kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa
makanan.2

Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil.
Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada
tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang tonsil
a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal.2

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada
apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang
menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada
massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.2
Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat meluas
keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar.2

3. Laringofaring (hipofaring)

Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula epiglotis
berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus
tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan)
dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas
anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra
servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat
muara esofagus. 2

Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung
atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak
di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk
oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi.
Valekula disebut juga kantong pil ( pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang
bila menelan pil akan tersangkut disitu.2

Dibawah valekula terdapta epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega)
ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar
dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita
suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau
bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.2

Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring.
Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan
laringoskopi langsung.2

2.1.2 Fisiologi

a.Fungsi faring
Terutama untuk pernapasan, menelan, resonansi suara dan artikulasi. Tiga dari fungsi-fungsi ini
adalah jelas. Fungsi penelanan akan dijelaskan terperinci.

1. Penelanan

Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut ke faring
secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring dan tahap ketiga, jalannya bolus
melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya adalah: pengunyahan
makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan palatum mole mendorong
bolus ke orofaring. Otot supra hiod berkontraksi, elevasi tulang hioid dan laring intrinsik
berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi. Gerakan yang kuat dari
lidah bagian belakang akan mendorong makanan kebawah melalui orofaring, gerakan dibantu
oleh kontraksi otot konstriktor faringis media dan superior. Bolus dibawa melalui introitus
esofagus ketika otot konstriktor faringis inferior berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi.
Peristaltik dibantu oleh gaya berat, menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke
lambung.2

2. Proses berbicara

Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring.
Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring.
Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan
m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior.
Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke atas
belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan
(fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu
pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama m,salpingofaring) oleh
kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada
waktu bersamaan.2

Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi ada
pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan
gerakan palatum.2

2.2 Definisi
Difteri adalah suatu penyakita infeksi yang bisa menular yang disebabkan oleh bakteri
coryneabacterium diphteria yang berasal dari membran mukosa hidung dan nasovaring, kulit dan
lesi lain dari orang yang terinfeksi (Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada
Anak)

Difteri adalah penyakit infeksi yang mendadak yang disebabkan oleh kuman
Coryneabacterium diphteria. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius
bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudo membran dan dilepaskannya eksotoksin
yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal (Ilmu Kesehatan Anak)

2.3 Etiologi

Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf,
tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau
biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Dengan pewarnaan,
kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan
formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih
baik dalam media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa
manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphteroid saprofit yang
mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan
pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.

Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler, medium
tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler, basil ini tumbuh
dengan cepat membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari
warna abu-abu coklat.

Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil
yang dapat memproduksi toksin, yaitu:

Gravis, koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan
hemolisis eritrosit.

Mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis
eritrosit.
Intermediate, koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat
menimbulkan hemolisis eritrosit.

Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis. Karakteristik
jenis gravisialah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen, sedangkan dua jenis
lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bisa memproduksi eksotoksin, akan tetapi virulensinya
berbeda.

Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadang-kadang ada
bentuk grafis atauintermediate yang tidak virulen terhadap manusia. Strain toksigenik ini
mungkin berubah menjadi non-toksigenik, setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang di
laboratorium atau karena pengaruh pemberian bakteriofag. Ciri khas C.diphteriaeadalah
kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupunin vitro. Kemampuan suatu strain
untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa
diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.

Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen dapat diketahui dengan pemeriksaan
produksi toksin, yaitu dengan cara:

1. Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih dipakai sampai saat
sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.

2. Polymerase chain pig inoculation test (PCR)

3. Rapid enzyme immunoassay(EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3 jam, lebih
singkat dibandingkan denganElek precipitin test yang membutuhkan waktu 24 jam.

Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan


adanya basil difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya basil Hoffman,
danCorynebacterium serosis.

Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar perbedaan
bentuk koleni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium terlarut.

Basil dapat membentuk :

o Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang
terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.
o Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan
memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan
jaringan saraf. Minimum lethal dose (MLD) toksin ini adalah 0,02ml. Satu perlima puluh ml
toksin dapat membunuh marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.

Bakteri ini ditularkan dropplet dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang
telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau disekitar
permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan beberapa jenis
bakteri ini menghasilkan teksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada
jantung dan otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria akan mati pada
pemanasan suhu 600C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es,
air, susu dan lender yang telah mengering.

2.4 Pathofisiology dan WOC

Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke
sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh
darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam
sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2
transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini
akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan
biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan
transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.

Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan
selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase melalui
proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2
yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian
polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan jaringan
nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin
banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu
membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang
terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa
melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa
penyembuhan. (1)

Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri


(misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan
nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan penyakit kedalam laring
atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan
pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada
toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah
melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang
bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari,
manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok
adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada
jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system konduksi,.
Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak
neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala
hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.
(4)

2.4 Klasifikasi

Menurut tingkat keparahannya, penyakit difteri dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:

a) Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya
nyeri menelan.

b) Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang rongga
mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.

c) Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi
seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis(kelemahan anggota gerak)
dan nefritis (radang ginjal).

Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien, yaitu:
a) Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan ingus yang bercampur
darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus difteri. Bila tidak diobati akan berlangsung
mingguan dan merupakan sumber utama penularan.

b) Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala radang akut tenggorokan, demam
sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak lemah, nafas berbau, timbul
pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih
keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).

c) Difteri laring ( laryngo tracheal diphtheriae ) dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas
berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan,
pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa
mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.

d) Difteri kutaneus (cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan
pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak seperti sariawan
yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa-apa.

2.5 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala difteri tergantung pada focus infeksi, status kekebalan dan apakah toksin
yang dikeluarkanitu telah memasuki peredaran darah atau belum. Masa inkubasi difteri biasanya
2-5 hari , walaupun dapat sngkat hanya satu hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu.
Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokanyang ringan,
panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8 C 38,9C. Pada mulanya tenggorok hanya
hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membrane putih/keabu-abuan.3
Dalam 24 jam membrane dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle, uvula. Mula-
mula membrane tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal, abu-abu/hitam tergantung
jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai
batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya, shingga sukar diangkat sehingga jika
diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak ada membrane biasanya
tidak membengkak. Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-
hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan.3
Gejala local dan sistemik secara bertahap menghilang dan membrane akan menghilang dan
membrane akan menghilang. Bentuk difteri antara lain bentuk Bullneck atau malignant difteri.
Bentuk ini timbul dengan gejala gejala yang lebih berat dan membrane secara cepat menutupi
faring dan dapat menjalar ke hidung. Udema tonsil dan uvula dapat timbul, dapat disertai
nekrosis. Pembengkakan kelenjar leher, infiltrate ke dalam sel-sel jaringan leher, dari satu telinga
ke telinga yang lain dan mengisi bagian bawah mandibula sehingga member gambaran bullneck.3

Gambaran klinik dibagi menjadi 3 golongan yaitu :

Gejala umum, kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan,
badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan.
a. Gejala local, yang tamapak berupa tonsil yang membengkak ditutupi bercak putihkotor yang
makin lama makin meluas, dan dapat menyumbat saluran nafas. Pseudomembran ini melekat erat
pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini
infeksi berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga
leher menyerupai sapi( bullneck ). Bila difteria mengenai hidung (hanya 2% dari jumlah pasien
difteria) gejala yang timbul berupa pilek, sekret yang keluar bercampur darah yang berasal dari
pseudomembran dalam hidung. Biasanya penyakit ini akan meluas ke bagian tenggorak pada
tonsil, faring dan laring.
b. Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan kerusakan
jaringan tubuh yaitu miokarditis, mengenai saraf cranial menyebabakan kelumpuhan otot
palatum dan otot-otot pernapasan.4

2.6 Penatalaksanaan

2.6.1 Isolasi dan karantina

Penderita di isolasi sampai biakan negative tiga kali berturut-turut setelah masa akut
terlampoi. Kontak penderita di isolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana:

a) Biakan hidung dan tenggorok


b) Seyogyanya dilakukan tes SCHICK (tes kerentanan terhadap diftery)
c) Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.3
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diftery.
Bila kultur (-) / SCHICK test - : bebas isolasi.
Bila kultur + / SCHICK test - : pengobatan karier
Bila kultur + / SCHICK test + / gejala - : anti toksin diftery + penisilin
Bila kultur - / SCHICK test + : toksoid (imunisasi aktif).3

2.6.2 Pengobatan

a. Tindakan Umum

1. Tujuan :
a. Mencegah terjadinya komplikasi

b. Mempertahankan/memperbaiki keadaan umum

c. Mengatasi gejala /akibat yang timbul

2. Jenis Tindakan :

a) Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi

b) Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi, untuk hal ini
dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bilaperlu sonde lambung jika ada kesukaranmenelan
(terutama pada paralysisis palatum molle dan otot-otot faring).

c) Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi (klisma, laksansia,

d) stool softener) untuk mencegah mengedan berlebihan.

e) Bila anak gelisah beri sedative : diazepam/luminal

f) Pemberian antitusif untukmengurangi batuk (difteri laring)

g) Aspirasi sekret secara periodic terutama untuk difteri laring.

h) Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas :

1. Berikan Oksigen
2. Trakeostomi, yang mana disesuaikan dengan tingkat dispneu laryngeal menurut Jackson :
i) Penderita tenang dengan cekungan ringal suprasternal
j) Retraksi suprasternal lebih dalam + cekungan epigastrium dan penderita gelisah
k) Retraksi supra dan infrasternal, penderita gelisah
l) Penderita sangat gelisah, ketakutan, muka pucat kelabu dan akan kehabisan tenaga, lalu tampak
seolah-olah tenang, tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia Trakeostomi hanya
diindikasikan pada tingkat II dan III.

b. Tindakan Spesifik

1. Tujuan :

a. Menetralisir Toksin

b. Eradikasi Kuman

c. Menanggulangi infeksi sekunder

2. Jenis Tindakan (Ada 3 jenis pengobatan) :


1. Serum Anti Difteri (SAD)

Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit.

a) 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil secara
unilateral/bilateral.

b) 80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga melewati tonsil, meluas ke
uvula, palatum molle dan dinding faring.

c) 120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring dan faring,

komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus lanjut.


Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit

Tipe difteri Dosis DS (KI) Cara Pemberian


Difteri hidung 20.000 IM
Difteri tonsil 40.000 IM atau IV
Difteri faring 40.000 IM atau IV
Difteri laring 40.000 IM atau IV
Kombinasi lokasi di atas 80.000 IV
Difteri + penyulit, bullneck 80.000-120.000 IV
Terlambat berobat (>72 jam),80.000-120.000 IV
lokasi dimana saja
SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara melarutkannya dalam
200 cc NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34 tetes/menit). Oleh karena
SAD merupakan suatu serum heterolog maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada
pemberiannya. Untuk mencegah rx anafilaktik ini maka harus dilakukan :

1. Uji Kepekaan

a. Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan sesudah
pemberian SAD terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.

b. Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan ( dosisnya 0,01 cc/kg BB im,

maksimal diulang 3x dengan interval 5-15 menit ).

c. Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.


Uji Kepekaan yang dilakukan terdiri dari :

a) Tes kulit

a. SAD 0,1 cc pengenceran 1:10 dalam NaCl 0,9% intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20
menit.

b. Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.

b) Tes Mata

1 tetes pengenceran SAD 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata
bagian bawah

1 tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya. Hasilnya dilihat setelah 15
20 menit kemudian

Dianggap (+) bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi )

Konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000

Bila salah satu tes kepekaan (+), maka SAD tidak diberikan secara sekaligus (single dose) tetapi
secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensibilisasi)
dengan interval 20 menit. SAD diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai berikut:

0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan

0,1 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan

0,1 cc dari pengenceran 1:10 secara subkutan

0,1 cc tanpa pengenceran secara subkutan

0,3 cc tanpa pengenceran secara subkutan

0,5 cc tanpa pengenceran secara subkutan

1 cc tanpa pengenceran secara subkutan

SAD yang sisa diberikan secara drips IV. Bila ada tanda-tanda reaksi anafilaktik segera berikan

adrenalin 1:1000.

2. Antibiotik

a. Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari


b. Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.

3. Kortikosteroid

a. Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck)

b. Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.

c. Dexamethazon 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia)

2.7 Pemeriksaan Diagnostik

a. Schick test

Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak berguna
untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian. Untuk pemeriksaan ini
digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah
diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin akan timbul vesikel
pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer
antitoksin yang rendah uji schick dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah
kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada
tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang
tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan
menghilang dalam 72 jam.

b. Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis


polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albumin

ringan.

2.8 Komplikasi

1. Gangguan pernapasan

C. Diphtheriae dapat menghasilkan racun yang menginfeksi jaringan di daerah hidung dan
tenggorokan. Infeksi tersebut menghasilkan membaran putih keabu-abuan (psedomembrane)
terdiri dari membran sel-sel mati, bakteri dan zat lainnya. Membran ini dapat menghambat
pernapasan.

2. Kerusakan jantung
Toksin (racun) difteri dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak jaringan lain dalam
tubuh Anda, seperti otot jantung, sehingga menyebabkan komplikasi seperti radang pada otot
jantung (miokarditis). Kerusakan jantung akibat miokarditis muncul sebagai kelainan ringan
pada elektrokardiogram yang menyebabkan gagal jantung kongestif dan kematian mendadak.

3. Kerusakan saraf

Toksin juga dapat menyebabkan kerusakan saraf khususnya pada tenggorokan, di mana
konduksi saraf yang buruk dapat menyebabkan kesulitan menelan. Bahkan saraf pada lengan dan
kaki juga bisa meradang yang menyebabkan otot menjadi lemah. Jika racun ini merusak otot-otot
kontrol yang digunakan untuk bernapas, maka otot-otot ini dapat menjadi lumpuh. Kalau sudah
seperti itu, maka diperlukan alat bantu napas.

2.9 Pencegahan

a. Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri dua
kali berturut-turut negatif.

b. Pencegahan terhadap kontak


Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila dalam
pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati. Bila tidak ada gejala
klinis, maka diberi imunisasi terhadap difteri.
c. Imunisasi
Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi DPT
diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan pada usia 1 tahun dan 4 sampai
6 tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia 2, 3 dan 4 bulan dan boster
dilakukan pada usia 1 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada usia 2 bulan
harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena imunisasi yang didapat dengan
satu kali vaksinasi tidak mempunyai kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang diberikan
adalah 0,5 ml tiap kali pemberian.
Cara Pencegahan
1. Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada
para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi
dan anak-anak.
2. Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara luas
(missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin
yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen acellular pertussis: (DtaP, yang
digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung whole cell pertusis (DTP).
Vaksin yang mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen whole cell
pertussis, dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga telah tersedia.
3. Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di Amerika Serikat (Negara lain
mungkin menggunakan jadwal lain dan tidak memberikan 4 dosis sebagai imunisasi dasar).
a) Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun.
Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama diberikan dengan interval
4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8 minggu; dosis ke-4 diberikan 6-12
bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi
keterlambatan dalam pelaksanaan jadwal tersebut.
Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah); dosis ke-5 ini tidak perlu
diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun. Bila komponen pertusis dari DTP
merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat diberikan vaksin DT.
b) Untuk usia 7 tahun ke atas:
Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan bertambahnya usia maka
dosis booster untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai adalah vaksin dengan
konsentrasi / kadar diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah. Sedangkan untuk mereka yang
sebelumnya belum pernah diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin
serap tetanus dan diphtheria toxoid (Td).
Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 diberikan 6 bulan
hingga 1 tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas dari Swedia menunjukkan bahwa jadwal
pemberian imunisasi ini mungkin tidak memberikan tingkat perlindungan yang memadai pada
kebanyakan remaja, oleh karena itu perlu diberikan dosis tambahan.
Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian dosis Td
setiap 10 tahun kemudian.
4. Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan penderita seperti kepada
para petugas kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar lengkap dan setiap sepuluh
tahun sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka.
5. Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan mereka
(immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin
diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang
ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.
Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
a. Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk difteria kulit
dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan sampel dari
lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus
dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian
antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari
setelah pemberian antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di bawah).
b. Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk penderita dan
terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita. Dilakukan pencucihamaan
menyeluruh.
c. Karantina: Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya berhubungan dengan
pengolahan makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat dengan anak-anak yang
belum diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai mereka
telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan di bawah dan pemeriksaan bakteriologis
menyatakan bahwa mereka bukan carrier.
d. Manajemen Kontak: Semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur dari sample hidung
dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal Benzathine Penicillin (IM: lihat uraian
dibawah untuk dosis pemberian) atau dengan Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan
untuk diberikan kepada semua orang yang tinggal serumah dengan penderita difteria tanpa
melihat status imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak
sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan tersebut hingga hasil pemeriksaan
bakteriologis menyatakan mereka bukan carrier. Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan
imunisasi dasar lengkap perlu diberikan dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir yang
mereka terima sudah lebih dari lima tahun. Sedangkan bagi kontak yang sebelumnya belum
pernah diimunisasi, berikan mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau
DTP-Hib tergantung dari usia mereka.
e. Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian carrier dengan menggunakan kultur dari
sampel yang diambil dari hidung dan tenggorokan tidak bermanfaat.Pencarian carrier dengan
kultur hanya bermanfaat jika dilakukan terhadap kontak yang sangat dekat.
2.10 Hasil penelitian

Kematian terjadi pada 5%-10% dari kasus pernapasan yang terjadi. Imunisasi umum
dengan toksoid difteri selama hidup untuk memberikan kadar antitoksin protektif konstan dan
untuk mengurangi penghuni C. diphtheriae yang merupakan satu-satunya cara pengendalian
efektif untuk penyakit difteri. Penelitian ini tergolong jenis penelitian analitik observasional yang
bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara status imunisasi difteri dengan
meningkatnya kasus difteri di Kabupaten Bangkalan tahun 2010. Status imunisasi difteri yang
dimaksudkan dalam penelitian ini meliputi status imunisasi DPT1, DPT2, DPT3 dan DT booster
beserta cakupan dari imunisasi tersebut. Desain penelitian yang digunakan adalah cross
sectional. Teknik pengambilan sampel yang dilakukan adalah multistage random sampling
dengan jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 51 anak yang terdiri dari 2 anak
penderita, 3 anak karier dan 46 anak lainnya bebas dari kuman C.diphteriae. Penelitian dilakukan
pada bulan September 2010 sampai dengan Oktober 2010 mulai dari pengurusan perizinan
hingga pengambilan data primer. Data didapatkan dari hasil wawancara kepada ibu dari
responden mengenai status imunisasi anaknya. Analisis data yang dilakukan meliputi analisis
univariat dan analisis bivariat. Analisis univariat meliputi persentase dari status imunisasi difteri
serta persentase jumlah penderita dan carrier difteri. Analisis bivariat dilakukan dengan
menggunakan uji Fiesher Exact (setelah uji chi square tidak memenuhi syarat) dengan tingkat
signifikan 95% (p<0,05) untuk mencari hubungan antara variabel bebas (faktor kontak dan status
imunisasi) dengan variabel terikat (keberadaan kuman C.diphterie), serta menggunakan uji
koefisien kontingensia untuk mengetahui kuat hubungan antara kedua variabel. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna pemberian imunisasi difteri dengan
keberadaan kuman C. diphteriae pada anak (p = 0,23 ; C = 0,2), sementara status kontak
berpengaruh terhadap keberadaan kuman C. diphteriae pada anak (p = 0,00 ; C = 0,9). Status
imunisasi pada penelitian ini meliputi imunisasi DPT1 (p = 0,34 ; C = 0,18), imunisasi DPT2 (p
= 0,28 ; C = 0,16), imunisasi DPT3 (p = 0,23 ; C = 0,2), dan imunisasi DT booster (p = 0, 82 ; C
= 0,34) menunjukkan hubungan yang kurang bermakna terhadap keberadaan kuman C.
diphteriae pada anak. Berdasarkan hasil penelitian maka saran yang dianjurkan adalah kebijakan
dalam pengelolaan vaksin hendaknya didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai dan
sesuai dengan pedoman yang ada. Keberhasilan imunisasi didukung oleh kualitas vaksin yang
terjamin mutunya. Selain itu, penyuluhan mengenai imunisasi dan vaksinasi hendaknya lebih
ditingkatkan untuk mencegah terjadinya drop out.

Anda mungkin juga menyukai