Anda di halaman 1dari 3

Ini bukan sebuah tentang soal uang dan kekayaan yang bergelimang, tapi ini

tentang sebuah pekerjaan yang mengandalkan harga diri. Iya. Layaknya posisiku
disini bukanlah pekerjaan yang dianggap penting, disini, di perusahaan yang besar
ini aku hanya sebagai pekerja serabutan. Aku mengerjakan apa saja yang orang-
orang perintahkan, membuat kopi atau teh, mengelap meja pegawai kantor ketika
minuman mereka tak sengaja tumpah. Bahkan tak jarang aku mendapat caci maki
ketika aku luput untuk mengelap sisa kopi mereka yang sudah mengering di meja.
Terkadang aku mondar-mandir dari lantai satu menuju lantai tujuh hanya untuk
mengambil map berkas yang ketinggalan di fotokopi lantai dasar.
Bukan aku tak mensyukuri apa yang aku punya sekarang, terkadang aku
hanay merasa andai saja aku punya kemampuan yang lebih dan bukan hanya
lulusan SMP semata aku bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih dari ini. Tapi aku
beruntung aku punya teman yang juga menjadi Office Boy disini. Aku bisa bekerja
disini juga karena bantuannya, dan tepat hari ini aku sudah tiga bulan bekerja
disini dan tetap seperti biasanya aku merasakan perlakuan buruk mereka.
Mungkin kamu hanya butuh waktu Sar, sebenarnya mereka itu para
pegawai yang ramah dan menyenangkan kok, kata Tantri salah satu temanku di
kantor ini yang juga sebagai OB yang sudah bekerja lebih dari satu tahun silam.
Waktu? Itu salah satu yang tidak aku punya saat ini. Aku tidak punya waktu
hanya untuk menunggu mereka akan ramah. Apa aku harus bekerja selama satu
tahun lebih agar mereka juga baik denganku? Agar mereka tidak mencaci aku
didepan karyawan lainnya? Aku tidak punya waktu untuk itu. Terlalu percuma
hanya untuk semua itu.
Siang ini aku kurang bertenaga untuk melakukan pekerjaanku, sehingga aku
mendapat teguran dari kepala HRD, Pak Antoni.
Maaf pak, saya tidak akan mengulangi kesalahan saya hari ini, hanya saja
saya sedang kurang sehat, katakubukan untuk membela diri, tapi aku yakin
Pak Antoni juga melihat wajahku yang pucatdengan lemah.
Kamu memang terlihat kurang sehat hari ini, kenapa kamu tidak istirahat
saja di rumah? sarannya, Atau jika perlu kamu besok bisa mengambil libur
beberapa hari untuk memulihkan kesehatanmu?
Entah apa yang ada dibenak atasanku ini, baik sekali memberiku libur
cuma-cuma, padahal aku hanya merasa pusing dan meriang saja. Mungkin rejeki
anak sholehah.
Tapi pak, bagaimana dengan pekerjaan sa
Sudahlah, tak usah kau pikirkan soal pekerjaanmu hari ini, saya tidak mau
pegawai saya yang lain ikut-ikutan sakit karena seseorang yang membawa
penyakit kemari.
Terdengar sangat menyakitkan ditelingaku, tapi itu sudah biasa aku
dengarkan dan telingaku sudah cukup kebal akan semua celotehan itu. Aku tidak
bisa berkata apa-apa lagi selain meng-iya-kan saran dari Pak Antoni. Iya. Ini
memang yangterbaik untukku. Saat ini aku hanya perlu untuk istirahat.
Aku kembali ke dapur tempat aku bekerja dan mengambil kunci loker yang
aku letakkan di ruang ganti khusus karyawan. Aku berjalan dengan wajah lemas
dan sekilas menatap wajahku yang semakin pucat ketika aku melewati koridor
kaca.
Eh, Mbak Sari? Kenapa? aku tersadar ketika ada salah satu pegawai yang
menegurku, aku menengok dan mendapati sosok pegawai yang sangat aku
kagumi. Mbak Dinda memang terkenal ramah denagn semua pegawai disini, dia
tidak memandang sebagai apa posisi jabatan yang disandang. Sepertinya dia
hanya tahu satu hal. Ramah adalah jalan keluar menuju semuanya.
Mbak Sari sakit? lanjutnya.
Eh... iya mbak, sedikit kurang enak badan
Kenapa nggak istirahat saja di rumah? Kenapa memaksakan untuk masuk
kerja hari ini? Sudah Mbak Sari mending pulang aja sekarang, urusan sama Pak
Antoni biar saya yang ijinkan, jelasnya.
Sebenarnya saya juga diperingatkan Pak Antoni untuk pulang sekarang
mbak, jelasku.
Ya sudah apa perlu saya antarkan pulang? dia melihat jam tangan
berbentuk hati itu, Tapi saya bentar lagi mau ada meeting, gimana dengan sopir
saya saja? tawarnya.
Tidak usah mbak, saya bisa kok pulang sendiri, saya juga sudah biasa naik
kendaraaan umum. Tidak usah mbak, makasih tawarannya, tolakku dengan halus.
Beneran nggak apa-apa? Mbak sari masih kuat? Kalau begitu ini dia
mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan padaku tiga lembar uang lima puluh
ribuan padaku, buat ongkos pulang sama buat beli obat mbak. Nggak apa-apa
terima saja mbak.
Aku masih termenung dengan kebaikan Mbak Tantri yang dengan rela
memberikan uang padaku, Semoga Allah membalas semua perbuatan mbak ini
ya mbak.
Aamiin mbak, katanya sambil tersenyum manis, yang penting Mbak
Sari pulang dulu sekarang, saya harus meeting dengan klien sekarang, jadi ndak
bisa lama-lama, lanjutnya sambil berlalu meninggalkan aku sendiri yang masih
berdiri dikoridor.
***
Assalamualaikum, aku membuka pintu rumahku yang sederhana ini
dengan hati-hati, bukan karena apa-apa hanya saja pintu rumahku ini sudah
semakin rapuh karena banyak hewan rayap kayu yang dengan rajin memakan
pintu rumahku.
Aku mencari keluargaku disetiap sudut rumah. Tetapi nihil. Tidak ada orang
di rumah ini, tapi kenapa pintu rumahnya tidak dikunci kalau mereka keluar.
Memang tidak ada apa-apa yang dapat diambil seorang maling jika mampir ke
rumahku, tapi setidaknya keluargaku tidak seteledor ini.
Entahlah, aku pergi menuju dapur dan menuangkan segelas air putih untuk
menghilangkan dahaga yang melanda kerongkonganku. Aku membuka nasi
bungkus yang sempat aku beli tadi dekat apotek sewaktu perjalanan pulang. Aku
menyantap makananku dengan tenaga yang tersisa, karena badanku semakin
lemas. Aku hanya

Anda mungkin juga menyukai