Anda di halaman 1dari 28

Keselamatan, Kesehatan, Keamanan (K3)

KPC berkomitmen untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman bagi seluruh
karyawan, tamu, para kontraktor serta setiap orang yang berada dalam area operasional. Kami
memastikan Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan aspek yang tidak hanya menjadi slogan dan
target namun mampu menyatu erat dengan budaya kerja di KPC.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah salah satu prioritas utama KPC. Kami senantiasa memastikan
keselamatan dan kesehatan para karyawan, kontraktor, masyarakat sekitar dan seluruh pihak-pihak yang
bekerja sama dengan kami dengan tujuan utama mencapai zero accident di seluruh wilayah area dan kegiatan
operasi tambang kami. Dalam implementasi dan perbaikan berkesinambungan dari sistem manajemen dan
kinerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja, KPC mengadopsi berbagai standar dan panduan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja baik standar nasional maupun internasional, antara lain OHSAS 18000 serta peraturan dan
perundangan terkait keselamatan dan kesehatan kerja dari Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia.

Penerapan Good Mining Practice pada Aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Good Mining Practice yang kami adopsi memberikan kerangka kerja bagaimana zero accident di KPC dapat
diwujudkan. Keselamatan, Kesehatan, Keamanan Kerja adalah aspek yang tidak terpisahkan sejak tahap awal
desain dan perencaaan tambang, aktivitas operasional sehari-hari, dan pemberian pelatihan intensif mengenai
aspek ini. K3 harus menjadi bagian dari budaya dan etos kerja setiap insan KPC.

Hak dan kewajiban

Kami mewajibkan seluruh anggota perusahaan untuk mematuhi Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah
yang berlaku mengenai keselamatan dan kesehatan kerja. Setiap manajemen wajib untuk menyerbaluaskan
Peraturan dan Prosedur Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) serta Standar Prosedur Operasional (SOP)
kepada seluruh karyawan KPC. Hal ini bertujuan agar seluruh kegiatan di perusahaan kami dapat berjalan
sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Setiap pelanggaran terhadap aturan K3 akan dianggap sebagai
pelanggaran serius terhadap Perusahaan dan akan dikenakan tindakan disiplin sesuai dengan aturan baku
Golden Rules dan Pedoman Tindakan Disiplin.

Alat Perlindungan Diri (APD)

Alat Perlindungan Diri (APD) ini memiliki tujuan untuk memberikan perlindungan kepada karyawan selama
menjalani pekerjaannya. APD yang disediakan oleh KPC telah disesuaikan dengan ketentuan K3. Peralatan
kesehatan disediakan bagi karyawan dan diwajibkan untuk digunakan dan dipelihara serta tidak
disalahgunakan.

Layanan Kesehatan

KPC menyediakan fasilitas klinik kesehatan yang dapat digunakan bagi karyawan dan keluarganya di sekitar
wilayah operasi kami. Kami memperlakukan setiap karyawan dengan adil dan sama terkait dengan layanan dan
manfaat kesehatan yang diterima.
Golden Rules Keselamatan dan Kesehatan Kerja KPC

Dalam upaya menjaga keselamatan dan kesehatan kerja di KPC, kami telah mengembangkan dan menerapkan
aturan-aturan yang bertujuan untuk menjaga kesehatan dan keselamatan karyawannya. Kami telah
mengidentifikasi 11 tipe pekerjaan yang memiliki potensi fatal. Dengan demikian, kami melakukan tinjauan
pada standar kerja, petunjuk pelaksanaan, kriteria audit dan pelatihannya berdasarkan dengan OHSAS 18001
dan mengembangkan Golden Rules (Aturan Baku) yang merupakan aturan baku standar keselamatan kerja.

Sistem Manajemen Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lingkungan (K3L)

KPC menerapkan sistem K3L Prima Nirbhaya dalam mengelola isu yang terkait dengan keselamatan,
kesehatan kerja dan lingkungan. Sistem ini menerapkan basis pendekatan dengan prinsip perencanaan,
pelaksanaan, tinjauan berkala dan tindak lanjut (Plan, Do, Check, Action / PDCA) yang dilaksanakan secara
berkesinambungan. Sistem yang kami implementasikan ini telah sesuai dengan standar ISO 14001 dan OHSAS
18001. KPC sangat memperhatikan kesehatan kerja seluruh karyawan kami. Kami senantiasa melakukan
pencegahan atau berkembangnya suatu penyakit, baik yang disebabkan oleh lingkungan kerja maupun pola
hidup karyawan. Kami melakukan pengawasan-pengawasan mengenai potensi bahaya kesehatan di tempat
kerja seperti kebisingan, kadar debu, penerangan, ventilasi, tekanan panas, kandungan gas beracun, getaran di
alat berat dan program hidup sehat.

Pelatihan K3 bagi Karyawan

Dalam upaya kami mewujudkan kondisi kerja yang aman dan sehat serta memperhatikan keselamatan,
kesehatan kerja dan lingkungan, kami melakukan beberapa pelatihan. Pelatihan ini diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran karyawan kami akan pentingnya keamanan dan kesehatan dalam bekerja.

Pelatihan K3 bagi Istri Karyawan

KPC menyadari bahwa keselamatan dan kesehatan kerja karyawan bukan hanya dipengaruhi oleh lingkungan
kerja, tetapi juga dipengaruhi oleh dukungan istri karyawan. Untuk itu, KPC senantiasa melibatkan istri-istri
karyawan untuk mendukung keselamatan dan kesehatan kerja yang lebih baik. Dengan memberikan pelatihan
kepada istri karyawan, para istri karyawan diharapkan dapat memahami kondisi kerja suami dan mendukung
sepenuhnya sehingga keselamatan dan kesehatan karyawan dapat ditingkatkan.

Penyuluhan HIV/AIDS

Sebagai salah satu bentuk Kepedulian kami terhadap kesehatan para karyawan KPC, kami juga telah
melakukan sosialisasi rutin, awareness dan kelas khusus Pencegahan HIV/AIDS di tempat kerja kepada
seluruh karyawan KPC dan kontraktor kami. Penyuluhan HIV/AIDS yang diberikan, antara lain mencakup
pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS, informasi dasar, cara penularan, efek yang ditimbulkan, cara
pencegahan dan penerapan pola hidup bebas dari risiko HIV/AIDS.

KPC mengadakan check up, survey tentang HIV/AIDS, dan visit secara bersama-sama. Selain itu, kami juga
mengajak Kontraktor yang bekerjasama dengan kami untuk menggalakkan program penyuluhan HIV/ AIDS.

Improvement untuk Tanggap Darurat di KPC

Tanggap darurat di KPC ini bertujuan untuk dengan sigap menyelesaikan segala permasalahaan yang
berkenaan dengan K3 di wilayah operasi KPC. Kami telah melakukan beberapa improvement.

Kampanye Safety Melalui Siaran Radio

Seperti tahun-tahun sebelumnya, KPC menggandeng Radio Gema Wana Prima (GWP) FM untuk
mengkampanyekan pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja. Radio yang pertama kali didirikan oleh salah
satu karyawan KPC ini telah membantu kami dalam sosialisasi pentingnya perilaku aman dan tips gaya hidup
sehat yang dikemas menarik.

Kinerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Untuk mengetahui seberapa efektif usaha-usaha yang kami lakukan dalam menekankan keselamatan dan
kesehatan kerja pada setiap insan KPC, kami melaksanakan evaluasi terhadap kinerja K3 kami setiap
tahunnya. Evaluasi ini dilakukan dengan melihat nilai kekerapan terjadinya kecelakaan yang menyebabkan
kehilangan jam kerja (Lost Time Injury Frequency Rate LTIFR) dan nilai kekerapan terjadinya kecelakan
(Total Recordable Incident Frequency Rate TRIFR). Nilai kecelakaan kerja semakin menurun sejak tahun
2009. Kami akan tetap melakukan tinjauan dan perbaikan pada sistem, prosedur, dan implementasi program-
program keselamatan dan kesehatan kerja untuk meningkatkan kualitas K3 kami.

Audit Keselamatan Kerja

Untuk melengkapi pelaksanaan program keselamatan kerja, kami juga melaksanakan aktivitas-aktivitas, seperti
audit keselamatan kerja dan program observasi perilaku. Dua program ini merupakan program-program
penunjang untuk kelancaran dan efektivitas pengimplementasian K3.

Audit K3

Dalam memastikan kelancaran program keselamatan kerja yang telah dijalankan, kami mengadakan audit
keselamatan secara rutin yaitu sebanyak 4 kali setiap minggu.
Tahap Pelatihan Auditor

Sebelum menjalankan audit K3, tentu saja kami harus memilih auditor-auditor yang berkompeten sehingga
hasil yang diperoleh dari audit K3 juga merupakan hasil yang baik dan mencerminkan keadaan K3 di
perusahaan kami yang sebenarnya. Untuk mencapai hal tersebut, kami memberikan pendidikan terlebih dahulu
kepada calon auditor mengenai sistem audit yang berlaku di KPC. Selanjutnya, calon-calon auditor tersebut
akan mengikuti magang selama 4-6 bulan untuk lebih mengenal dokumen K3, teknik audit, dan praktik-
praktiknya. Calon auditor juga diberi kesempatan untuk belajar mengaudit tempat kerjanya dengan
menunjukkan 3 peluang peningkatan yang dapat dilakukan yang nantinya akan dipresentasikan kepada setiap
General Manager pada divisi yang bersangkutan dan General Manager HSES.

Program Observasi Perilaku (PRINASA)

Selain audit, program observasi perilaku juga dilakukan sebagai salah satu upaya yang terkait dengan
pencegahan kecelakan fatal (Fatality Prevention Elements FPE). Program ini dilaksanakan oleh jajaran
manajemen dan praktisi K3 dengan harapan jumlah fatality dan frekuensi kecelakaan yang menyebabkan
kehilangan jam kerja dapat berkurang. Sejak tahun 2009, kami menetapkan target FPE minimal 60%.

Penanganan Kecelakaan Kerja

Jika terjadi kecelakaan kerja, hal pertama yang harus dilakukan karyawan adalah melaporkan kecelakan
tersebut kepada atasan masing-masing. Pimpinan juga berkewajiban untuk melaporkan setiap kejadian yang
terjadi di area yang merupakan cakupan tanggung jawabnya. Petugas keselamatan wajib membantu
pengumpulan data sehingga petugas dari benefit section dapat menyusun laporan kepada Kantor Tenaga Kerja,
PT JAMSOSTEK, dan perusahaan asuransi dalam waktu kurang dari 48 jam.
Berikut Ini Merupakan 10 Teratas Resiko Penyebab Kecelakaan di Pertambangan:

1. Perilaku dari pekerja


2. Komunikasi yang buruk
3. Interaksi dengan kendaraan
4. Penggunaan Bahan Peledak
5. Listrik
6. Bekerja di Ketinggian
7. Ruang Sempit
8. Api
9. Mengangkat suatu Objek
10. Tanah tidak stabil (longsor)

Untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja, peningkatan keselamatan di pertambangan


terus didorong. Meski efisiensi berjalan terus, pelaku usaha diminta tidak mengabaikan standar
keselamatan.
Dari hasil pengawasan secara administrasi dan fungsional, serta evaluasi atas laporan
perusahaan, selama 2014 ada 48 orang cedera ringan, 78 orang mengalami cedera berat, dan 32
orang meninggal akibat kecelakaan di tambang. Untuk menekan angka kecelakaan di tambang,
perlu penerapan tata kelola yang baik.

Untuk itu tiga pilar utama yakni pemerintah, perusahaan tambang, dan perusahaan jasa
pertambangan serta masyarakat harus terus bersinergi. Mereka harus memiliki satu persepsi
bahwa keselamatan pertambangan bukan tanggung jawab pihak tertentu tetapi tanggung jawab
bersama.

Hal yang selalu diberitahukan pada perusahaan tambang untuk membangun dan
meningkatkan tata kelola perusahaan yang baik dengan berpedoman pada enam prisnsip, yaitu
satu persepsi dalam visi misi, patuh terhadap hukum, kerjasama dalam azas kesetaraan,
transparansi, terukur, dan partisipasi dalam aspek keselamatan pertambangan.

Selain itu perusahaan tambang harus memperhatikan secara serius aspek keselamatan dengan
meningkatkan kompetensi, pengawas, dan pengelolaan keselamatan sesuai regulasi yang ada.

Sebab-Sebab terjadinya Kecelakaan

Suatu kecelakaan sering terjadi yang diakibatkan oleh lebih dari satu sebab. Kecelakaan dapat
dicegah dengan menghilangkan halhal yang menyebabkan kecelakan tersebut. Ada dua sebab
utama terjadinya suatu kecelakaan. Pertama, tindakan yang tidak aman. Kedua, kondisi kerja
yang tidak aman. Orang yang mendapat kecelakaan luka-luka sering kali disebabkan oleh orang
lain atau karena tindakannya sendiri yang tidak menunjang keamanan. Berikut beberapa contoh
tindakan yang tidak aman antara lain:
Memakai peralatan tanpa menerima pelatihan yang tepat
Memakai alat atau peralatan dengan cara yang salah
Tanpa memakai perlengkapan alat pelindung, seperti kacamata pengaman, sarung tangan atau
pelindung
kepala jika pekerjaan tersebut memerlukannya
Bersendang gurau, tidak konsentrasi, bermain-main dengan teman sekerja atau alat
perlengkapan lainnya.
Sikap tergesa-gesa dalam melakukan pekerjaan dan membawa barang berbahaya di tenpat
kerja
Membuat gangguan atau mencegah orang lain dari pekerjaannya atau mengizinkan orang lain
mengambil
alih pekerjaannya, padahal orang tersebut belum mengetahui
pekerjaan tersebut
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pertambangan Minerba

Sesuai amanat Undang-undang Minerba, ada kewajiban dari pemerintah melalui Inspektur
Tambang untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha pertambangan. Adapun obyek
utama pengawasan dilakukan terhadap:

(1) Teknis Pertambangan(2) Konservasi Sumberdaya Mineral dan Batubara; (3) Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) Pertambangan; (4) Keselamatan Operasi Pertambangan; serta (5)
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Reklamasi dan Pascatambang.
Berdasarkan Pasal 140 Ayat 1, UU No. 4 Tahun 2009, pengawasan pertambangan mineral dan
batubara menjadi tanggung jawab menteri dimana menteri melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. Pengawasan tersebut meliputi
administarasi/tata laksana; operasional; kompetensi aparatur; dan pelaksanaan program
pengelolaan usaha pertambangan.

Menteri dapat melimpahkan kepada Gubernur


untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan kewenangan pengelolaan di bidang
usaha pertambangan sebagaimana dimaksud ayat (1) yang dilaksanakan oleh pemerintah
kabupaten/kota (Pasal 140 Ayat 2).

Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan


atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR atau
IUPK (Pasal 140 Ayat 3).

Pengawasan tersebut dilakukan melalui mekanisme evaluasi terhadap laporan rencana dan
pelaksanaan usaha pertambangan dari pemegang ijin (IUP, IPR dan IUPK), dan/atau inspeksi ke
lokasi ijin (IUP, IPR dan IUPK).

Pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan, terdiri dari:

1. Pengawasan Teknis Pertambangan Mineral dan Batubara, meliputi: (a) IUP atau IUPK
Eksplorasi yang terdiri dari: pelaksanaan teknik eksplorasi dan tata cara perhitungan
sumber daya dan cadangan; (b) IUP atau IUPK Operasi Produksi yang terdiri dari
perencanaan dan pelaksanaan konstruksi termasuk pengujian alat pertambangan
(commisioning); perencanaan dan pelaksanaan penambangan; perencanaan dan
pelaksanaan pengolahan dan pemurnian; serta perencanaan dan pelaksanaan
pengangkutan dan penjualan.

2. Pengawasan pemasaran, meliputi: (a) realisasi produksi dan realisasi penjualan, termasuk
kualitas dan kuantitas serta harga mineral dan batubara; (b) kewajiban pemenuhan
kebutuhan mineral atau batubara untuk kepentingan dalam negeri; (c) rencana dan
realisasi kontrak penjualan mineral atau batubara; (d) biaya penjualan yang dikeluarkan;
(e) perencanaan dan realisasi penerimaan negara bukan pajak; (f) biaya pengolahan dan
pemurnian mineral dan/atau batubara.

3. Pengawasan keuangan meliputi: perencanaan anggaran, realisasi anggaran, realisasi


investasi dan pemenuhan kewajiban pembayaran.

4. Pengawasan pengelolaan data mineral dan batubara terdiri dari pengawasan terhadap
kegiatan perolehan, pengadministrasian, pengolahan, penataan, penyimpanan,
pemeliharaan dan pemusnahan data dan/atau informasi.

5. Pengawasan Konservasi Sumberdaya Mineral dan Batubara

Konservasi bahan galian merupakan upaya untuk terwujudnya pengelolaan bahan galian
secara optimal dengan mempertimbangkan berbagai kebutuhan, kemampuan
perkembangan teknologi, ekonomi, sosial budaya, politik dan sektor-sektor lain yang
terkait.

Konservasi bahan galian berazaskan optimalisasi, penghematan, berkelanjutan,


bermanfaat bagi kepentingan rakyat secara luas dan berwawasan lingkungan.

Konservasi bahan galian bertujuan untuk mengupayakan terwujudnya pemanfaatan bahan


galian secara bijaksana, optimal dan mencegah pemborosan bahan galian dengan sasaran
untuk mensejahterakan masyarakat dan melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan.

Konservasi dilakukan dengan cara: (1) Recovery penambangan dan pengolahan;


(2) Pengelolaan dan/atau pemanfaatan cadangan marginal; (3) Pengelolaan dan/atau
pemanfaatan batubara kualitas rendah dan mineral kadar rendah; (4) Pengelolaan
dan/atau pemanfaatan mineral ikutan; (5) Pendataan sumber daya serta cadangan mineral
dan batubara yang tidak tertambang, dan (6) Pendataan dan pengelolaan sisa hasil
pengolahan dan pemurnian.

6. Pengawasan Pengelolaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan

Dalam rangka menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja yang
melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam
rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat
kerja yang aman, efisien dan produktif diperlukan suatu Sistem Manajemen K3.

Sistem Manajemen K3 berdasarkan Permenaker No. Per.05/1996 adalah bagian dari sistem
manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggungjawab,
pelaksanaan, prosedur, proses dan sumberdaya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan,
pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam
rangka pengendalian risiko yang berkaiatan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja
yang aman, efisien dan produktif.
Ruang lingkup dari Sistem Manajemen K3 bervariasi tergantung pada perusahaan, negara dan
faktor lokal. Secara umum, Sistem Manajemen K3 mensyaratkan, antara lain: adanya suatu
Kebijakan K3, struktur organisasi untuk menerapkan kebijakan di atas, Program implementasi,
metode untuk mengevaluasi keberhasilan penerapan dan adanya umpan balik, serta rencana
tindakan perbaikan untuk peningkatan secara berkesinambungan. Sistem Manajemen K3 juga
harus diterapkan dalam pertambangan, baik dalam tambang terbuka maupun tambang bawah
tanah. Penerapan Sistem Manajemen K3 tersebut harus mengacu kepada Kepmen No.555.K
Tahun 1995 tentang K3 Pertambangan Umum.

Penerapan Sistem Manajemen K3 tidak akan berjalan tanpa adanya komitmen terhadap sistem
manajemen tersebut. Oleh karena itu, elemen pertama dan memegang peran yang sangat penting
adalah manajemen puncak harus menyatakan kebijakan dan komitmennya terhadap K3.
Kemudian, untuk kepentingan operasional, maka disusun peraturan K3 perusahaan. Untuk
penerapan kebijakan K3 diperlukan beberapa hal yang masuk dalam elemen organizing, yaitu
Kepala Teknik Tambang, Pengawas Operasional / Teknis, Komite K3, Buku Tambang, pelatihan,
dan tim tanggap darurat. Mengingat skala risiko dan karakteristik tambang bawah tanah, maka
elemen organizing pada Sistem Manajemen K3 Tambang Bawah Tanah ditambah dengan Kepala
Tambang Bawah Tanah, Buku Derek, Buku Kawat, Buku Catatan Ventilasi dan Penyanggaan.

Elemen selanjutnya dalam Sistem Manajemen K3 Pertambangan adalah Planning and


Implementation yang terdiri atas Rencana Kerja Tahunan Teknik dan Lingkungan (RKTTL),
Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB), Rencana Jangka Panjang, Program K3, JSA dan
SOP. Nilai lebih Sistem Manajemen K3 Pertambangan adalah perencanaan yang dibuat oleh
perusahaan tambang harus mendapat persetujuan dari pemerintah. Setiap tahun perusahaan
pertambangan harus menyampaikan dan mempresentasikan RKTTL dan RKAB di depan
pemerintah. RKTTL dan RKAB baru bisa dijalankan dan menjadi acuan setelah disetujui oleh
pemerintah.

Sebagai upaya pemantauan dan pengukuran kinerja dan penerapan K3 di perusahaan diperlukan
evaluasi. Elemen evaluation terdiri atas pemantauan lingkungan kerja, seperti debu,
pencahayaan, getaran, iklim kerja, curah hujan, dan untuk tambang bawah tanah yakni
penyanggaan, ventilasi, drainase, dll.; pemantaun proses kerja seperti peledakan, pengangkutan,
dll.; investigasi kecelakaan; inspeksi dan audit.

Sistem Manajemen K3 yang merupakan sebuah sistem dengan siklus tertutup memiliki sebuah
karakteristik utama yaitu keharusan adanya perbaikan yang berkelanjutan secara terus menerus
(continuous improvement). Oleh karena itu, elemen terakhir Sistem Manajemen K3
Pertambangan adalah adanya action for improvement dimana harus ada peningkatan kinerja dan
budaya K3.

7. Pengelolaan Keselamatan Operasi Pertambangan, yaitu menyangkut: (a) sistem dan


pelaksanaan pemeliharaan/perawatan sarana, prasarana, instalasi dan peralatan
pertambangan; (b) pengamanan instalasi; (c) kelayakan sarana, prasarana instalasi dan
peralatan pertambangan; (d) kompetensi tenaga teknik; dan (e) evaluasi laporan hasil
kajian teknis pertambangan.
Bentuk pelaksanaan pengawasan K3 dan keselamatan operasi pertambangan berupa pengawasan
administratif dan pengawasan operasional/lapangan. Pengawasan administratif
berhubungan dengan dokumen/laporan mengenai bahan peledak (Format IVi /
Rekomendasi), Laporan kecelakaan (Format IIIi; Vi; Vii; VIIi; VIIIi; IXi), Peralatan (dokumen
untuk perijinan), Persetujuan (dokumen kajian, tinggi jenjang, ventilasi, penyanggaan, dan lain-
lain), Laporan pelaksanaan program K3 (Triwulan), serta Rencana Kerja Tahunan Teknis dan
Lingkungan (RKTTL).

Sedangkan pengawasan operasional/lapangan meliputi: (a) Inspeksi Keselamatan dan Kesehatan


Kerja. Inspeksi dilaksanakan oleh PIT/IT berkoordinasi dengan pengawas pusat dan daerah
berdasarkan prosedur tetap dan KTT diposisikan sebagai mitra. Contoh objek yang diinspeksi
antara lain area penambangan, haul road, perbengkelan, pabrik, pengolahan, pelabuhan,
fasilitas/instalasi lainnya; (b) Pemeriksaan / Penyelidikan Kecelakaan; (c) Pemeriksaan /
Penyelidikan Kejadian Berbahaya; (d) Pengujian Kelayakan Sarana dan Peralatan; (e) Pengujian
Kondisi Lingkungan Kerja; (f) Pengujian kelayakan peralatan, sarana dan instalasi
seperti: Sistem Ventilasi, Sistem Penyanggaan, Kestabilan Lereng, Gudang Bahan
Peledak, Penimbunan Bahan Bakar Cair, Kapal Keruk, Kapal Isap, Alat Angkut Orang, Alat
Angkut Barang dan Material, Alat Angkat, Bejana Bertekanan, Instalasi Pipa, Pressure Safety
Valve, Peralatan Listrik; (g) Pengujian/penilaian kompetensi untuk calon Kepala Teknik
Tambang, Juru Ledak, Juru Ukur, Pengawas Operasional (POP; POM; POU), Juru Las (bekerja
sama dengan pihak ke-3), Operator Alat Angkat (bekerja sama dengan pihak ketiga).

Pelaksanaan pengawasan K3 dan keselamatan operasi pertambangan bukan hanya dilakukan oleh
pemerintah pusat, tetapi juga dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi (Dekonsentrasi) dan
Pemerintah Kabupaten/Kota (Desentralisasi). Upaya dekonsentrasi pengawasan K3 dan
keselamatan operasi pertambangan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi antara lain:

Melakukan supervisi terhadap pengawasan K3 dan keselamatan operasi pertambangan


yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota berupa Hasil Inspeksi, Hasil investigasi
kecelakaan/kejadian berbahaya, Proses perizinan dan Rekomendasi.

Melakukan inventarisasi terhadap: Statistik Kecelakaan, Pembelian dan Penggunaan dan


stok bahan peledak serta Jumlah dan jenis perizinan.

Sedangkan upaya desentralisasi pengawasan K3 dan keselamatan operasi pertambangan yang


dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota antara lain: Kabupaten/kota melakukan
pengawasan sesuai kewenangan sebagai daerah otonom; Berpedoman kepada peraturan
perundangan yang berlaku serta juklak dan juknis yang ditetapkan oleh pemerintah;
dan Investigasi bersama daerah dan pusat untuk kecelakaan berakibat mati.

8. Pengawasan Pengelolaan Lindungan Lingkungan Pertambangan

Aspek Pengawasan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Reklamasi dan Pascatambang, meliputi:


(a) Pengelolaan dan pemantauan lingkungan sesuai dengan dokumen pengelolaan lingkungan
atau izin lingkungan yang dimiliki dan telah disetujui; (b) Penataan, pemulihan dan perbaikan
lahan sesuai dengan peruntukannya; (c) Penetapan dan pencairan jaminan reklamasi;
(d) Pengelolaan pascatambang; (e) Penetapan dan pencairan jaminan pascatambang; dan
(f) Pemenuhan baku mutu lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Prinsip-prinsip Lingkungan Hidup, yaitu: (a) perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air
tanah, air laut, dan tanah serta udara; (b) perlindungan keanekaragaman hayati; (c) stabilitas dan
keamanan timbunan batuan penutup, kolam tailing, lahan bekas tambang serta struktur buatan
(man-made structure) lainnya; (d) pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan
peruntukannya; dan (e) menghormati nilai-nilai sosial dan budaya setempat.

Aplikasi Prinsip-prinsip Lingkungan Hidup, antara lain: (a) Pemenuhan baku mutu kualitas air,
tanah dan udara; (b) Mempertahankan buffer zone dalam rangka biodiversity; (c) Melakukan
kajian geoteknik dalam rangka memastikan stabilitas dan keamanan timbunan, dengan
mempertimbangkan kondisi curah hujan tertinggi di lokasi setempat; (d) Melakukan pemulihan
lahan bekas tambang agar berdaya guna dan mempunyai nilai manfaat; (e) Menghormati nilai-
nilai sosial dan budaya setempat; dan (f) Mengembangkan etika lingkungan (responsible
miners).

9. Pengawasan pemanfaatan barang, jasa, teknologi serta kemampuan rekayasa dan rancang
bangun dilakukan terhadap pelaksanaan pemanfaatan barang, jasa, teknologi serta
kemampuan rekayasa dan rancang bangun sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi
pelaksana usaha jasa pertambangan mineral dan batubara.

10. Pengawasan pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan meliputi pelaksanaan


program pengembangan, pelaksanaan uji kompetensi, dan rencana biaya pengembangan.

11. Pengawasan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat terdiri dari


program, pelaksanaan dan biaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.

12. Pengawasan penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi, antara lain: pada
kegiatan eksplorasi, penambangan, pengangkutan, pengolahan dan pemurnian, reklamasi
dan pascatambang sesuai dengan kondisi pemegang IUP/IUPK serta keberadaan lokasi
kegiatan.

13. Pengawasan kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yang menyangkut
kepentingan umum, antara lain: fasilitas umum yang dibangun oleh pemegang IUP atau
IUPK untuk masyarakat sekitar tambang, dan pembiayaan untuk pembangunan atau
penyediaan fasilitas umum.

14. Pengawasan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan IUP, IPR atau IUPK meliputi: luas
wilayah, lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, jangka waktu tahap
kegiatan, penyelesaian masalah pertanahan, penyelesaian perselisihan serta penguasaan,
pengembangan dan penerapan teknologi pertambangan mineral atau batubara.

15. Pengawasan jumlah, jenis dan mutu hasil usaha pertambangan yang terdiri atas: jenis
komoditas tambang, kuantitas dan kualitas produksi untuk setiap lokasi penambangan,
kuantitas dan kualitas pencucian dan/atau pengolahan dan pemurnian, serta tempat
penimbunan sementara (run of mine/ROM), tempat penimbunan (stock pile) dan titik
serah penjualan (at sale point).

Dalam pelaksanaannya, pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan


dapat dilakukan oleh Menteri, Gubernur dan/atau Bupati sesuai dengan kewenangannya masing-
masing. Pengawasan dimaksud meliputi: Administrasi/Tata Laksana, Operasional, Kommpetensi
Aparatur serta Pelaksanaan Program Pengelolaan Usaha Pertambangan.

Pengawasan dilakukan dalam rangka pengawasan dan penjaminan, yaitu: (1) Tingkat kepatuhan
dan pentaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) Pencapaian target dari
rencana kerja yang telah disusun dan disampaikan kepada Pemerintah melalui RKAB dan
RKTTL; (3) Mengetahui sejak dini apabila terjadi penyimpangan berdasarkan ketentuan /
peraturan perundangan ataupun rencana kerja; dan (4) Dapat segera melakukan koreksi bila
terjadi perubahan rencana kerja atau perubahan kebijakan Pemerintah.

Dengan pengawasan diharapkan terciptanya perencanaan tambang yang benar; pelaksanaan


kegiatan pertambangan mengacu pada kaidah pertambangan yang baik; tidak terbuangnya bahan
galian; aktivitas pertambangan berlangsung secara aman, bebas dari: kecelakaan, penyakit akibat
kerja, kejadian berbahaya, dan pencemaran lingkungan; serta termanfaatkannya lahan bekas
tambang secara tepat dan baik yang mendorong meningkatnya perekonomian rakyat.

Oleh karena itu, setiap pemegang ijin (IUP/IUPK) memiliki kewajiban, sebagai berikut:

1. Menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik,

2. Mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia,

3. Meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara,

4. Melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat, dan

5. Mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan.

Adapun dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, wajib melaksanakan:

1. Ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan,

2. Keselamatan operasi pertambangan,

3. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan


pascatambang,

4. Upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara,


5. Pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat,
cair atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media
lingkungan.

Pelaksanaan pengawasan oleh Inspektur Tambang


dilakukan melalui mekanisme kegiatan inspeksi, penyelidikan dan pengujian yang terdiri dari:
(1) Evaluasi terhadap laporan berkala dan/atau sewaktu-waktu; (2) Pemeriksaan berkala atau
sewaktu-waktu; dan (3) Penilaian atas keberhasilan pelaksanaan program dan kegiatan.

Kewenangan Inspektur Tambang dalam melakukan inspeksi, penyelidikan dan pengujian


meliputi: (1) Memasuki tempat kegiatan usaha pertambangan setiap saat; (2) Menghentikan
sementara waktu sebagian atau seluruh kegiatan pertambangan mineral dan batubara apabila
kegiatan pertambangan dinilai dapat membahayakan keselamatan pekerja/buruh tambang,
keselamatan umum, atau menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan; dan
(3) Mengusulkan penghentian sementara menjadi penghentian secara tetap terhadap kegiatan
pertambangan mineral dan batubara kepada Kepala Inspektur Tambang.

Yang dimaksud dengan Kepala Inspektur Tambang (KAIT) adalah pejabat yang secara ex officio
menduduki jabatan: (1) Direktur yang mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang keteknikan
pertambangan mineral dan batubara; (2) Kepala Dinas teknis provinsi yang mempunyai tugas
pokok dan fungsi di bidang pertambangan mineral dan batubara di pemerintah provinsi; atau
(3) Kepala Dinas teknis kabupaten/kota yang mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang
pertambangan mineral dan batubara di pemerintah kabupaten/kota.

Daftar Peraturan Perundang-undangan Terkait Pertambangan

A. UNDANG-UNDANG

1. UUD 1945;

2. UU Gangguan (Hinderordonnantie) 1926;


3. UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing;

4. UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan;

5. UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;

6. UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

7. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;

8. UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;

9. UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara;

10. UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah;

11. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

B. PERATURAN PEMERINTAH

1. PP Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1967;

2. PP Nomor 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja


Dibidang Pertambangan;

3. PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

4. PP Nomor 13 Tahun 2000 tentang Perubahan atas PP Nomor 58 Tahun 1998 tentang Tarif
Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Pertambangan
Dan Energi di Bidang Pertambangan Umum;

5. PP Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 32 Tahun 1969
tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1967;

6. PP Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan;

7. PP Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang
Berlaku Pada Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral;

8. PP Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan
Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan;

9. PP Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran Dan
Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Terutang;
10. PP Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan
Hutan;

11. PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral
Dan Batubara;

12. PP Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan;

13. PP Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan


Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara;

14. PP Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi Dan PascaTambang;

15. PP Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas PP Nomor 23 Tahun 2010 Tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara;

16. PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan;

17. PP Nomor 61 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas PP Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Penggunaan Kawasan Hutan;

C. PERATURAN PRESIDEN

Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di
Bidang Penanaman Modal;

D. PERATURAN MENTERI

PERMEN ESDM Nomor 47 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembuatan Dan Pemanfaatan
Briket Batubara Dan Bahan Bakar Padat Berbasis Batubara;

PERMEN ESDM Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Penerapan Kompetensi
Profesi Bidang Pertambangan Mineral Dan Batubara;

PERMEN ESDM Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi Dan Penutupan Tambang;

PERMEN ESDM Nomor 18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perubahan Penanaman Modal
Dalam Rangka Pelaksanaan Kontrak Karya Dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara;

PERMEN ESDM Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa


Pertambangan Mineral Dan Batubara;
PERMEN ESDM Nomor 33 Tahun 2009 tentang Pelimpahan Sebagian Urusan
Pemerintahan Di Bidang Energi Dan Sumber Daya Mineral Kepada Gubernur Sebagai
Wakil Pemerintah Dalam Rangka Penyelenggaraan Dekonsentrasi Tahun Anggaran 2010;

PERMEN ESDM Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan


Mineral Dan Batubara Untuk Kepentingan Dalam Negeri;

PERMEN ESDM Nomor 5 Tahun 2010 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian


Izin Usaha Di Bidang Energi Dan Sumber Daya Mineral Dalam Rangka Pelayanan
Terpadu Satu Pintu Di BIdang Penanaman Modal Kepada Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal;

PERMEN ESDM Nomor 17 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan Dan Harga
Patokan Penjualan Mineral Dan Batubara;

PERMEN ESDM Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Usaha
Pertambangan Dan Sistem Informasi Wilayah Pertambangan Mineral Dan Batubara;

PERMEN ESDM Nomor 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral
Melalui Kegiatan Pengolahan Dan Pemurnian Mineral;

PERMEN ESDM Nomor 11 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas PERMEN ESDM
Nomor 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan
Pengolahan Dan Pemurnian Mineral;

PERMEN ESDM Nomor 24 Tahun 2012 tentang PERMEN ESDM Nomor 28 Tahun
2009 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral Dan Batubara;

E. PERATURAN MENTERI TERKAIT

PERMEN Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana
Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup;

PERMEN Perdagangan Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin


Usaha Perdagangan;

PERMEN Perdagangan Nomor 46/M-DAG/PER/9/2009 tentang Perubahan Atas


PERMEN Perdagangan Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin
Usaha Perdagangan;
PERMEN Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin
Gangguan Di Daerah;

PERMEN Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai


Kawasan Hutan;

PERMEN Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang


Dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar;

F. Lain-lain

Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996 tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara;

Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2000 tentang Penanggulangan Masalah Pertambangan


Tanpa Izin;

Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2001 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan


Pertambangan Tanpa Izin, Penyalahgunaan Bahan Bakar Minyal Serta Perusakan
Instalasi Ketenagalistrikan dan Pencurian Aliran Listrik;

Keputusan Menteri ESDM Nomor 1086 K/40/MEM/2003 tentang Standardisasi


Kompetensi Tenaga Teknik Khusu Bidang Geologi dan Pertambangan;

Keputusan Menteri ESDM Nomor 1603 K/40/MEM/2003 tentang Pedoman Pencadangan


Wilayah Pertambangan;

Keputusan Menteri ESDM Nomor 0057 K/40/MEM/2004 tentang Perubahan Keputusan


Menteri Pertambangan Dan Energi Nomor 680 K/29/M.PE/1997 tentang Pelaksanaan
Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996 tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara;

Keputusan Menteri ESDM Nomor 1128 K/40/MEM/2004 tentang Kebijakan Batubara


Nasional;

Keputusan Menteri ESDM Nomor 1614 Tahun 2004 tentang Pedoman Pemrosesan
Permohonan Kontrak Karya Dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
Dalam Rangka Penanaman Modal Asing;
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Pertambangan
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Pasal 1 butir (1) disebutkan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam
rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.

B. Usaha pertambangan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka
pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi, studi kelayakan, kostruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan
dan penjualan, serta pasca tambang. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa usaha
pertambangan bahan-bahan galian dibedakan menjadi 8 (delapan) macam yaitu:
1) Penyelidikan umum, adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi
regional dan indikasi adanya mineralisasi.
2) Eksplorasi, adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara
terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas, dan sumber daya terukur
dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.
3) Operasi produksi, adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi,
penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana
pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.
4) Konstruksi, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh
fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.
5) Penambangan, adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral
dan/atau batu bara dan mineral ikutannya.
6) Pengolahan dan pemurnian, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu
mineral dan/atau batu bara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.
7) Pengangkutan, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batu
bara dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan.
2) Penjualan, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral atau
batubara.\

Usaha pertambangan ini dikelompokkan atas:


a. Pertambangan mineral; dan
Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan
kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik
dalam bentuk lepas atau padu. Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan mineral
yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air
tanah.Pertambangan mineral digolongkan atas:
a. Pertambangan mineral radio aktif;
b. Pertambangan mineral logam;
c. Pertambangan mineral bukan logam;
d. Pertambangan batuan.

b. Pertambangan batubara.
Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari
sisa tumbuh-tumbuhan. Pertambangan batubara adalah pertambangan endapan karbon yang
terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.

C. Konsep Pengelolaan Pertambangan


Menurut Sudrajat (2010), cap atau kesan buruk bahwa pertambanganmerupakan kegiatan
usaha yang bersifat zero value sebagai akibat dari kenyataan berkembangnya kegiatan
penambangan yang tidak memenuhi kriteria dan kaidahkaidah teknis yang baik dan benar, adalah
anggapan yang segera harus segera diakhiri. Caranya adalah melakukan penataan konsep
pengelolaan usaha pertambangan yang baik dan benar. Menyadari bahwa industri pertambangan
adalah industri yang akan terus berlangsung sejalan dengan semakin meningkatnya peradaban
manusia, maka yang harus menjadi perhatian semua pihak adalah bagaimana mendorong industri
pertambangan sebagai industri yang dapat memaksimalkan dampak positif dan menekan dampak
negatif seminimal mungkin melalui konsep pengelolaan usaha pertambangan berwawasan jangka
panjang.
Berdasarkan pada pengamatan dan pengalaman Sudrajat (2010), yang bergelut dalam dunia
praktis di lapangan, munculnya sejumlah persoalan yang mengiringi kegiatan usaha
pertambangan di lapangan diantaranya :
a. Terkorbankannya pemilik lahan
Kegiatan usaha pertambangan adalah kegiatan yang cenderung mengorbankan kepentingan
pemegang hak atas lahan. Hal ini sering terjadi lantaran selain kurang bagusnya administrasi
pertanahan di tingkat bawah, juga karena faktor budaya dan adat setempat. Kebiasaan
masyarakat adat di beberapa tempat dalam hal penguasaan hak atas tanah biasanya cukup dengan
adanya pengaturan intern mereka, yaitu saling mengetahui dan menghormati antara batas-batas
tanah. Keadaan tersebut kemudian dimanfaatkan oleh sekelompok orang dengan cara membuat
surat tanah dari desa setempat.
b. Kerusakan lingkungan
Kegiatan usaha pertambangan merupakan kegiatan yang sudah pasti akan menimbulkan
kerusakan dan pencemaran lingkungan adalah fakta yang tidak dapat dibantah. Untuk mengambil
bahan galian tertentu, dilakukan dengan melaksanakan penggalian. Artinya akan terjadi
perombakan atau perubahan permukaan bumi, sesuai karakteristik pembentukan dan keberadaan
bahan galian, yang secara geologis dalam pembentukannya harus memenuhi kondisi geologi
tertentu.
c. Ketimpangan sosial
Kebanyakan kegiatan usaha pertambangan di daerah terpencil dimana keberadaan
masyarakatnya masih hidup dengan sangat sederhana, tingkat pendidikan umumnya hanya
tamatan SD, dan kondisi sosial ekonomi umumnya masih berada di bawah garis kemiskinan. Di
lain pihak, kegiatan usaha pertambangan membawa pendatang dengan tingkat pendidikan cukup,
menerapkan teknologi menengah sampai tinggi, dengan budaya dan kebiasaan yang terkadang
bertolak belakang dengan masyarakat setempat. Kondisi ini menyebabkan munculnya
kesenjangan sosial antara lingkungan pertambangan dengan masyarakat di sekitar usaha
pertambangan berlangsung.

Berangkat dari ketiga permasalahan pertambangan tersebut, Sudrajat (2010), menyatakan


bahwa dalam menjalankan pengelolaan dan pengusahaan bahan galian harus dilakukan dengan
cara yang baik dan benar (good mining practice). Good mining practice meliputi :
1. Penetapan wilayah pertambangan,
2. Penghormatan terhadap pemegang hak atas tanah,
3. Aspek perizinan,
4. Teknis penambangan,
5. Keselamatan dan kesehatan kerja (K3),
6. Lingkungan,
7. Keterkaitan hulu-hilir/konservasi/nilai tambah,
8. pengembangan masyarakat/wilayah di sekitar lokasi kegiatan,
9. Rencana penutupan pasca tambang,
10. Standardisasi.

D. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan


Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat
yang berkeadilan dan berprikemanusiaan. Ketersediaan sumberdaya alam dalam meningkatkan
pembangunan sangat terbatas dan tidak merata, sedangkan permintaan sumberdaya alam terus
meningkat, akibat peningkatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan penduduk. (Syahputra,
2005) Syahputra (2005), menambahkan pula bahwa dalam rangka upaya mengendalikan
pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat pembangunan maka, perlu dilakukan perencanaan
pembangunan yang dilandasi prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip pembangunan
berkelanjutan dilakukan dengan memadukan kemampuan lingkungan, sumber daya alam dan
teknologi ke dalam proses pembangunan untuk menjamin generasi masa ini dan generasi masa
mendatang.
Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2010 tentang reklamasi
dan pasca tambang prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan
meliputi :
1. Perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut, dan tanah serta udara
berdasarkan standar baku mutu atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan;
2. Perlindungan dan pemulihan keanekaragaman hayati;
3. Penjaminan terhadap stabilitas dan keamanan timbunan batuan penutup, kolam tailing, lahan
bekas tambang, dan struktur buatan lainnya;
4. Pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya;
5. Memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya setempat; dan
6. Perlindungan terhadap kuantitas airtanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Kebijakan lingkungan berlandaskan pada manajemen lingkungan dan tergantung pada
tinggi rendahnya orientasi. Orientasi kebijakan lingkungan yang umum dikenal adalah orientasi
kebijakan memenuhi peraturan lingkungan (compliance oriented) dan yang berusaha melebihi
standar peraturan tersebut (beyond compliance). Para pemangku kepentingan dalam kegiatan
penambangan mineral bukan logam adalah para pengambil kebijakan yang sudah seharusnya
memprioritaskan pengelolaan lingkungan pada level tertinggi.
Kebijakan yang berorientasi pada pemenuhan peraturan perundangundangan (regulation
compliance) merupakan awal pemikiran manajemen lingkungan. Perusahaan berusaha
semaksimal mungkin untuk menghindari penalti-denda lingkungan, klaim dari masyarakat
sekitar, dll. Kebijakan ini menggunakan metoda reaktif, ad-hoc dan pendekatan end of pipe
(menanggulangi masalah polusi dan limbah pada hasil akhirnya, seperti lewat penyaring udara,
teknologi pengolah air limbah dll). (Purwanto, 2002)
Kebijakan yang berorientasi setelah pemenuhan berangkat dari cara tradisional dalam
menangani isu lingkungan karena cara reaktif, ad-hoc dan pendekatan end of pipe terbukti tidak
efektif. Seiring kompetisi yang semakin meningkat dalam pasar global yang semakin
berkembang, hukum lingkungan dan peraturan menerapkan standar baru bagi sektor bisnis
diseluruh bagian dunia. (Purwanto 2002). Soerjani (2007), menyatakan bahwa pengelolaan
lingkungan ditujukan kepada perilaku dan perbuatan yang ramah lingkungan dalam semua sektor
tindakan. Jadi, istilah lingkungan tidak boleh diobral sehingga maknanya menjadi kabur atau
bahkan hilang artinya. Teknologi harus ramah lingkungan, jadi tidak perlu ada teknologi
lingkungan, karena teknologi memang sudah harus ramah lingkungan. Demikian pula dengan
kesehatan lingkungan. Perilaku ekonomi juga harus ramah lingkungan, artinya hemat sumber
daya (tenaga, pikiran, materi dan waktu dengan hasil kegiatan yang optimal).

E. Pendekatan Pengelolaan Lingkungan


Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor :1453.K/29/MEM/2000
membagi pendekatan pengelolaan lingkungan ke dalam 3 jenis :
1. Pendekatan Teknologi
Memuat semua cara/teknik pengelolaan lingkungan fisik maupun biologi yang
direncanakan /diperlukan untuk mencegah/mengurangi/menanggulangi dampak kegiatan
Pertambangan sehingga kelestarian lingkungan lebih lanjut dapat dipertahankan dan bahkan
untuk memperbaiki/meningkatkan daya dukungnya seperti :
a) Pencegahan erosi, longsoran dan sedimentasi dengan penghijauan dan terasering.
b) Penggunaan lahan secara terencana dengan memperhatikan konservasi lahan.
c) Mengurangi terjadinya pencemaran pantai laut, apabila lokasi kegiatan terletak ditepi pantai
d) Membangun kolam pengendapan disekitar daerah kegiatan untuk menahan lumpur oleh aliran
permukaan
e) Membuat cek dam dan turap
f) Penimbunan kembali lubang-lubang bekas tambang
g) Penataan lahan
2. Pendekatan Ekonomi Sosial dan Budaya
Pada bagian ini dirinci semua bantuan dan kerjasama aparatur pemerintah terkait yang
diperlukan oleh pemprakarsa untuk menanggulangi dampak-dampak lingkungan kegiatan
Pertambangan ditinjau dari segi biaya, kemudahan, sosial ekonomi, misalnya :
1. Bantuan biaya dan kemudahan untuk operasi pengelolaan lingkungan
a) Kemudahan/keringanan bea masuk pengadaan peralatan
b) Keringanan syarat pinjaman/kredit bank
c) Kebijaksanaan dan penyelenggaraan penyaluran penduduk yang tergusur dari lahan tempat
tinggalnya atau lahan mata pencahariannya
2. Penanggulangan masalah sosial, ekonomi dan sosial budaya, antara lain:
a) Pelaksanaan ganti rugi ditempuh dengan cara-cara yang tepat
b) Kebijaksanaan dan penyelenggaraan penyaluran penduduk yang tergusur dari lahan tempat
tinggalnya atau lahan mata pencahariannya
c) Pendidikan dan pelatihan bagi penduduk yang mengalami perubahan pola kehidupan dan
sumber penghidupan
d) Penggunaan tenaga kerja setempat yang bila perlu didahului dengan latihan keterampilan
e) Penyelamatan benda bersejarah dan tempat yang dikeramatkan masyarakat
3. Pendekatan Institusi
Pada bagian ini dirinci kegiatan setiap instansi/badan/lembaga lain yang terlibat/ perlu
dilibatkan dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan kegiatan penanggulangan dampak
rencana kegiatan pertambangan umum ditinjau dari segi kewenangan, tanggung jawab dan
keterkaitan antar instansi/badan/lembaga, misalnya :
a) Pengembangan mekanisme kerjasama/koordinasi antar instansi Peraturan perundang-undangan
yang menunjang pengelolaan lingkungan
b) Pengawasan baik intern maupun ekstern yang meliputi pengawasan oleh aparat pemerintah dan
masyarakat
c) Perencanaan prasarana dan sarana umum, baik relokasi maupun baru
F. Rehabilitasi Lahan
Reklamasi Lahan Pasca Penambangan adalah suatu upaya pemanfaatan lahan pasca
penambangan melalui rona perbaikan lingkungan fisik terutama pada bentang lahan yang telah
dirusak. Upaya ini dilakukan untuk mengembalikan secara ekologis atau difungsikan menurut
rencana peruntukannya dengan melihat konsep tata ruang dan kewilayahan secara ekologis.
Kewajiban reklamasi lahan bisa dilakukan oleh pengusaha secara langsung mereklamasi lahan
atau memberikan sejumlah uang sebagai jaminan akan melakukan reklamasi. Yudhistira, (2008).
Berdasarkan data dari Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral pada Tahun 2005
terdapat 186 perusahaan tambang yang masih aktif dengan total luas areal sekitar 57.703 ha dan
hanya 20.086 ha yang telah direklamasi oleh para perusahaan yang memperoleh kontrak pada
lahan tersebut. Sebagian lahan tersebut dikembalikan kepada petani untuk diusahakan kembali
menjadi lahan pertanian. Sebagian pengusaha tidak mereklamasi lahan dan meninggalkan begitu
saja.
Almaida (2008), Kewajiban pasca tambang yang bersifat fisik mempunyai dimensi
ekonomi dan sosial yang sangat tinggi dan berpotensi menimbulkan konflik pada masyarakat
dengan pemerintah dan juga usaha pertambangan. Oleh karena itu pengelolaan pasca tambang
bukan merupakan masalah fisik, tetapi merupakan political will pemerintah untuk meregulasi
secara benar dengan memperhatikan kaidah lingkungan. Kemudian mengimplementasikannya
dengan mengedepankan kepentingan masyarakat lokal dan mengacu kepada falfasah ekonomi
dan sosial serta akuntabilitas yang dapat dipercaya.

PROSES PERTAMBANGAN
Dalam proses penambangan batubara ada banyak proses yang perlu
dilakukan. dalam penambangan batubara juga tidak boleh ditinggalkan
aspek lingkungan, agar setelah penambangan selesai dilakukan, lingkungan
dapat dikembalikan ke keadaan yang baik.

1. Persiapan

Kegiatan ini merupakan kegiatan tambahan dalam tahap penambangan.


Kegiatan ini bertujuan mendukung kelancaran kegiatan penambangan. Pada
tahap ini akan dibangun jalan tambang (acces road), stockpile, dll.

2. Pembersihan lahan (land clearing)

Kegiatan yang dilakukan untuk membersihkan daerah yang akan


ditambang mulai dari semak belukar hingga pepohonan yang berukuran
besar. Alat yang biasa digunakan adalah buldozer ripper dan dengan
menggunakan bantuan mesin potong chainsaw untuk menebang pohon
dengan diameter lebih besar dari 30 cm.

3. Pengupasan Tanah Pucuk (top soil)

Maksud pemindahan tanah pucuk adalah untuk menyelamatkan tanah


tersebut agar tidak rusak sehingga masih mempunyai unsur tanah yang
masih asli, sehingga tanah pucuk ini dapat diguanakan dan ditanami kembali
untuk kegiatan reklamasi.
Tanah pucuk yang dikupas tersebut akan dipindahkan ke tempat
penyimpanan sementara atau langsung di pindahkan ke timbunan. Hal
tersebut bergantung pada perencanaan dari perusahaan.

4. Pengupasan Tanah Penutup (stripping overburden)


Bila material tanah penutup merupakan material lunak (soft rock) maka
tanah penutup tersebut akan dilakukan penggalian bebas. Namun bila
materialnya merupakan material kuat, maka terlebih dahulu dilakukan
pembongkaran dengan peledakan (blasting) kemudian dilakukan kegiatan
penggalian. Peledakan yang akan dilakukan perlu dirancang sedemikian rupa
hingga sesuai dengan produksi yang diinginkan.

5. Penimbunan Tanah Penutup (overburden removal)


Tanah penutup dapat ditimbun dengan dua cara yaitu backfilling dan
penimbunan langsung. Tanah penutup yang akan dijadikan
material backfilling biasanya akan ditimbun ke penimbunan sementara pada
saat taambang baru dibuka.

6. Penambangan Batubara (coal getting)

Untuk melakukan penambangan batubara (coal getting) itu sendiri,


terlebih dahulu dilakukan kegiatan coal cleaning. Maksud dari kegiatan coal
cleaning ini adalah untuk membersihkan pengotor yang berasal dari
permukaan batubara (face batubara) yang berupa material sisa tanah
penutup yang masih tertinggal sedikit, serta pengotor lain yang berupa agen
pengendapan (air permukaan, air hujan, longsoran). Selanjutnya dilakukan
kegiatan coal gettinghingga pemuatan ke alat angkutnya. Untuk lapisan
batubara yang keras, maka terlebih dahulu dilakukan penggaruan.

7. Pengangkutan Batubara ke (coal hauling)

Setelah dilakukan kegiatan coal getting, kegiatan lanjutan adalah


pengangkutan batubara (coal hauling) dari lokasi tambang (pit)
menuju stockpile atau langsung ke unit pengolahan.
8. Pengupasan parting (parting removal)
Parting batubara yang memisahkan dua lapisan atau lebih batubara
peerlu dipindahkan agar tidak mengganggu dalam penambangan batubara.

9. Backfilling (dari tempat penyimpanan sementara)


Tanah penutup maupun tanah pucuk yang sebelumnya disimpan di
tempat penyimpanan sementara akan diangkut kembali ke daerah yang
telah tertambang (mined out). Kegiatn ini dimaksudkan agar pit bekas
tambang tidak meninggalkan lubang yang besar dan digunakan untuk
rehabilitasi lahan pasca tambang.

10. Perataan dan Rehabilitasi Tanah (spreading)

Terdiri dari pekerjaan penimbunan, perataan, pembentukan, dan


penebaran tanah pucuk diatas disposal overburden yang telah di backfilling,
agar daerah bekas tambang dapat ditanami kembali untuk pemulihan
lingkungan hidup (reclamation).

11. Penghijauan (reclamation)

Merupakan proses untuk penanaman kembali lahan bekas tambang,


dengan tanaman yang sesuai atau hampir sama seperti pada saat tambang
belum dibuka.

12. Kontrol (monitoring)


Kegiatan ini ditujukan untuk pemantauan terhadap aplikasi rencana awal
penambangan. kontrol akan dilakukan terhadap lereng tambang, timbunan,
ataupun lingkungan, baik terhadap pit yang sedang aktif maupun pit yang
telah ditambang.

Anda mungkin juga menyukai