Anda di halaman 1dari 13

Pertusis pada Anak 4 Tahun

Timy Christian Tahun (102012358)


Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
Telp: 021 569 42061, Fax: 021 5631731
Email: timytahun@gmail.com
__________________________________________________________________________

PENDAHULUAN

Pertusis atau batuk rejan atau batuk 100 hari merupakan salah satu penyakit
menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak tahun 1500-an. Penyebab
tersering dari pertusis adalah bakteri gram (-) Bordetella pertussis.1
Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang
dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih mungkin terinfeksi
oleh B. pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau anak yang belum diimunisasi.
Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena menyerang bukan
hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara maju. Namun
setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian dapat ditekan, dengan
semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pertusis diharapkan tidak
ditemukan lagi, meskipun ada kasusnya namun tidak signifikan1,6.

Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
manifestasiklinis, fotorontgen, dan pemeriksaan penunjang lainnya, diharapkan para klinisi
mampu memberikan penanganan yang tepat dan cepat sehingga derajat penyakit pertusis
tidak menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut.

ISI
Skenario 8
Seorang anak perempuan berusia 4 tahun dibawah ke puskesmas karena batuk sejak 2
minggu yang lalu. Saat batuk anak menjadi kesulitan bernapas karena batuk terus menerus
yang tidak kunjung berhenti, wajah menjadi merah-kebiruan, kadang disertai bunyi saat anak
berusaha menarik nafas. Di antara episode batuk, anak tampak baik-baik saja. Selain itu anak
juga mengalami demam naik-turun tapi tidak terlalu tinggi.

1
Anamnesis
Pada anamesis kita bisa menanyakan secara alloanamnesis atau autoanamnesis. Pada kasus
ini kita perlu menanyakan kepada orangtuanya.1
Nama anak?
Usia anak?
Nama ayah?
Nama ibu?
Keluhan utama?
Keluhan penyerta?
Riwayat penyakit sekarang dan menahun?
Apakah sudah pernah imunisasi?
Social dan lingkungan

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik paru-paru harus meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi. Pada inspeksi, yang harus dilihat apakah terdapat kelainan
patologis atau hanya fisiologis dengan melihat pengembangan paru-paru
saat bernapas. Palpasi dapat menilai hal-hal seperti berikut:2
Simetri atau asimetri dada, yang dapat diperoleh dari adanya
benjolan yang abnormal, pembesaran kelenjar limfe pada aksila dan
lain-lain.
Adanya fremitus suara, merupakan getaran pada daerah toraks
pada saat anak bicara atau menangis yang sama dalam kedua sisi
toraks. Apabila suaranya meninggi, maka terjadi konsolidasi seperti
pada pneumonia. Apabila menurun, maka terjadi obstruksi,
atelektaksis, pleuritis, efusi pleura, dan tumor pada paru-
paru. Caranya dengan meletakkan telapak tangan kanan dan kiri
pada daerah dada atau punggung.

Perkusi dapat dilakukan dengan cara langsung atau tidak langsung. Cara
langsung dapat dilakukan dengan mengetukkan ujung jari atau jari
telunjuk langsung ke dinding dada. Sedangkan cara tidak langsung dapat
dilakukan dengan cara meletakkan satu jari pada dinding dada dan
mengetuknya dengan jari tangan lainnya yang dimulai dari atas ke bawah

2
atau dari kanan ke kiri dengan membandingkannya. Hasil dari
pemeriksaan ini adalah :2
Sonor merupakan suara paru-paru normal.
Redup atau pekak merupakan suara perkusi yang berkurang
normalnya pada daerah scapula, diafragma, hati dan jantung. Suara
pekak atau redup ini biasanya terdapat konsolidasi jaringan paru-
paru seperti pada atelektasi, pneumonia lobaris dan lain-lain.
Hipersonor atau timpani yang terjadi apabila udara dalam paru-paru
atau pleura bertambah, seperti pada emfisema paru-paru atau
pneumotoraks.

Auskultasi berguna untuk menilai suara nafas dasar dan suara nafas
tambahan, yang
dilakukan pada seluruh dada dan punggung. Bandingkan suara napas dari
kanan ke kiri,
kemudian dari bagian atas ke bawah, dan tekan daerah stestoskop
yang kuat. Khusus pada bayi, suara napasnya akan lebih keras karena
dinding dadanya masih tipis.Suara nafas normal dihasilkan dari getaran
udara ketika melalui jalan nafas dari laring ke alveoli, dengan sifat bersih.
Berikut merupakan suara nafas normal:2
a) Bronchial : sering juga disebut dengan Tubular sound karena
suara ini dihasilkan oleh udara yang melalui suatu tube (pipa),
suaranya terdengar keras, nyaring, dengan hembusan yang lembut.
Fase ekspirasinya lebih panjang daripada inspirasi, dan tidak ada
henti diantara kedua fase tersebut. Normal terdengar di atas
trachea atau daerah suprasternal notch.
b) Bronchovesikular : merupakan gabungan dari suara nafas bronchial
dan vesikular. Suaranya terdengar nyaring dan dengan intensitas
yang sedang. Inspirasi sama panjang dengan ekspirasi. Suara ini
terdengar di daerah thoraks dimana bronchi tertutup oleh dinding
dada.
c) Vesikular : terdengar lembut, halus, seperti angin sepoi-sepoi.
Inspirasi lebih panjang dari ekspirasi, ekspirasi terdengar seperti
tiupan.

3
Bunyi nafas tambahan atau abnormal pula adalah seperti berikut:
a) Wheezing : Adalah bunyi seperti bersiul, kontinu, yang durasinya
lebih lama dari krekels. Terdengar selama : inspirasi dan ekspirasi,
secara klinis lebih jelas pada saat ekspirasi. Penyebabnya adalah
akibat udara melewati jalan napas yang menyempit / tersumbat
sebagian. Dapat dihilangkan dengan batuk. Dengan karakter suara
nyaring, suara terus menerus yang berhubungan dengan aliran
udara melalui jalan nafas yang menyempit (seperti pada asma dan
bronchitis kronik). Wheezing dapat terjadi oleh karena perubahan
temperature, allergen, latihan jasmani, dan bahan iritan terhadap
bronkus.
b) Ronchi : Adalah bunyi tambahan yang terdengar selama ekspirasi.
Penyebabnya adalah karena gerakan udara melewati jalan napas
yang menyempit akibat obstruksi napas, dapat berupa sumbatan
akibat sekresi, odema, atau tumor.
Ronchi kering : suatu bunyi tambahan yang terdengar kontinyu
terutama waktu ekspirasi disertai adanya mucus/secret pada
bronkus. Ada yang high pitch misalnya pada asma dan low pitch
oleh karena secret yang meningkat pada bronkus yang besar yang
dapat juga terdengar waktu inspirasi.
Ronchi basah (krepitasi) : bunyi tambahan yang terdengar tidak
kontinyu pada waktu inspirasi seperti bunyi ranting kering yang
terbakar, disebabkan oleh secret di dalam
alveoliatau bronkiolus. Ronki basah dapat halus, sedang, dan kasar.
Ronki halus dan sedang dapat disebabkan cairan di alveoli misalnya
pada pneumonia dan edema paru, sedangkan ronki kasar misalnya
pada bronkiekstatis.
Perbedaan ronchi dan mengi adalah, mengi berasal dari bronkus
dan bronkiolus yang lebih kecil salurannya, terdengar bersuara
tinggi dan bersiul. Biasanya terdengar jelas pada pasien asma.
Ronchi pula berasal dari bronki dan bronkiolus yang lebih besar
salurannya, mempunyai suara yang rendah, sonor.

4
c) Pleural friction rub : Adalah suara tambahan yang timbul akibat
terjadinya
peradangan pada pleura sehingga permukaan pleura menjadi kasar.
Karakter suara adalah kasar, berciut, disertai keluhan nyeri pleura. T
erdengar selama akhir inspirasi dan permulaan ekspirasi. Tidak
dapat dihilangkan dengan dibatukkan. Terdengar sangat baik
pada permukaan anterior lateral bawah toraks. Terdengar seperti bu
nyi gesekan
jari tangan dengan kuat di dekat telinga, jelas terdengar pada akhir
inspirasi dan permulaan ekspirasi, dan biasanya disertai juga
dengan keluhan nyeri pleura. Bunyi ini dapat menghilang ketika
nafas ditahan. Sering didapatkan pada pneumonia, infark paru, dan
tuberculosis.

Pemeriksaan Penunjang

Hasil isolasi B.pertussis tertinggi diperoleh pada stadium kataral, dan


biasanya tidak dapat ditemukan lagi setelah 4 minggu pertama sakit. 2
Bahan pemeriksaan berupa usapan nasofaring penderita atau dengan
menampung batuk secara langsung pada perbenihan. Pemeriksaan
serologi, direct fluorescent antibody (DFA) lebih cepat dari biakan kuman
tetapi jarang dipakai karena memerlukan keahlian. Pemeriksaan
penunjang yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin meliputi
hemoglobin, hematokrit, leukosit, dan thrombosit. Selain itu, pemeriksaan
radiologi, biakan sputum atau bilas lambung juga boleh dilakukan. Karena
kasus tuberkulosis masih banyak di Indonesia, dianjurkan untuk
melakukan uji tuberkulin pada anak. Pertusis ditandai dengan leukositosis
(15.000-100.000 sel/mm3) dengan limfositosis yang dominan terutama
pada stadium paroksismal.2
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk melihat kelainan pada volume dan
struktur paru, serta untuk mendeteksi apakah terdapat infiltrat pada
paru.Dari pemeriksaan radiologi, ditemukan infiltrat perihilar.

5
Working Diagnosis
Pada kasus didapatkan seorang anak laki-laki usia 5 tahun, dengan
keluhan batuk sejak 2 mingguyang lalu. Anak tampak sakit ringan, tidak
disertai keluhan lain. Suhu 37,2oC, frekuensi nafas dan nadi normal. Dari
hasil laboratorium,didapatkan leukositosis pada anak tersebut. Foto
thoraks memberikan hasil infiltrat perihilar. Dari anamnesis dan
pemeriksaan di atas, working diagnosis untuk kasus ini adalah pertusis.3

Differential Diagnosis

1. TB Paru
Pada tahun 2000, 11% daripada 8,3 juta kasus tuberkulosis (TB)
adalah TB pada anak. Kasus TB pada anak di negara-negara dengan
taraf ekonomi rendah adalah sebanyak 15% daripada insiden total TB
berbanding 6% di Amerika Serikat. Meningkatnya infeksi TB dan HIV pada orang
dewasa memberikan impek yang besar kepada insidens TB pada anak. Infeksi TB
boleh mengenai pelbagai organ, 60-80% kasus TB adalah TB paru. Gejala yang
timbul pada anak adalah batuk, mengi, dispnea, anoreksia, berat badan turun dalam 2-
3 bulan, demam, dan malaise. Gambaran radiologi yang sering ditemukan pada kasus
TB pada anak adalah adenofati hilus, sekitar 50% ditemukan pada anak dengan kasus
asimtomatik. Diagnosis TB ditegakkan dengan uji tuberkulin atau Mantoux test,
gambaran radiologis, dan ditemukan basil tahan asam.3
2. Asma
Asma bronchial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversibel dimana
trakheobronkhial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu.3

Etiologi
Bordetella pertussis adalah bakteri yang mengandung beberapa komponen
yaitu Pertusis Toxin (PT), Filamentous Hemagglutinin (FHA), aglutinogen, endotoksin, dan
protein lainnya. Morfologi bakteri ini adalah coccobasil kecil, gram negatif, mempunyai
kapsul, tidak bergerak, dan tidak berspora. Manusia merupakan reservoir tunggal bagi
B.pertussis dan B.parapertussis, menyebar melalui droplet dan dengan pewarnaan toluidin
biru dapat terlihat granula bipolar metakromatik. Bakteri ini aerob murni dan membentuk
asam tapi tidak membentuk gas dari glukosa dan laktosa. Untuk biakan isolasi

6
primer B.pertussis, dapat digunakan medium perbenihan Bordet-Gengou, dengan medium
transport Regan-Lowe. B.pertussis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 55oC.4

Epidemiologi
Pertusis merupakan penyakit menular dengan tingkat penularan
yang tinggi, dengan angka serangan setinggi 100% pada individu rentan
yang terpajan pada aerosol droplet pada rentangyang rapat. Penularan
lebih tinggi terjadi pada kelompok masyarakat yang padat penduduknya.
Sumber penularan pertusis adalah orang dewasa karier. Penyakit ini
ditularkan melalui aerosol droplet dan memegang benda-benda yang
terkontaminasi sekret nasofaring. Epidemi penyakit ini terjadi di beberapa
negara, seperti di Amerika Serikat selama tahun 1977-1980 terdapat
102.500 penderita pertusis. Pada tahun 1983 di Indonesia diperkirakan
terdapat 819.500 penderita pertusis dengan angka kematian 23.100
orang. Penyebaran penyakit ini terdapat di seluruh dunia dan dapat
menyerang semua peringkat umur. Penderita terbanyak adalah anak di
bawah 1 tahun. Sekitar 35% kasus di Amerika Serikat terjadi pada bayi
berusia kurang dari 6 bulan. Bayi kulit hitam pada usia muda mempunyai
insidens lebih tinggi dari bayi kulit putih. Pertusis juga lebih sering
menyerang anak perempuan berbanding anak laki-laki.3

Patofisiologi
Penularan pertusis adalah melalui droplet aerosol yang masuk ke saluran pernapasan.
B.pertussis akan mengikat silia sel epitel, kemudian bakteri ini akan bermultiplikasi dan
mengeluarkan toksin. Toksin dari bakteri ini akan mengakibatkan proses inflamasi dan
nekrosis trakea serta bronkus. Mukosa akan mengalami kongesti dan infiltrasi dari
limfosit dan leukosit polimorfonuklear. Di samping itu, terjadi hiperplasia dari jaringan
limfoid peribronkial diikuti oleh proses nekrosis pada lapisan basal dan
pertengahan epitel bronkus. Lesi ini merupakan tanda khas pada
pertusis.5
Mekanisme patogenesis infeksi oleh B.pertussis terjadi dalam empat
tahap; perlekatan
sel bakteri pada sel epitel saluran pernafasan, perlawanan terhadap meka

7
nisme pertahanan host,kerusakan lokal, dan akhirnya timbul penyakit
sistemik. Beberapa komponen sel bakteri inimemainkan peran dalam
patogenesis pertusis, yang akan dijelaskan di bawah.
Pertusis toxin (PT) memainkan peran penting dalam patogenesis
pertusis, dimana ia memfasilitasi perlekatan B.pertussis pada silia
sel epitel saluran pernafasan. Namun dipercayai PT bukan bekerja
sendiri dalam menghasilkan batuk paroksismal, karena
B.parapertussis turut menghasilkan gejala klinis yang sama
meskipun bakteri tersebut tidak mengekspresi PT.
Filamentous hemagglutinin (FHA) merupakan komponen dinding sel
pada semua species Bordetella, dan turut membantu dalam
perlekatan sel bakteri.
Adenylate cyclase toxin merupakan enzim selular yang
mengganggu metabolisme sel host,dan sangat berperan dalam
penghancuran sel bersilia.
Seperti halnya pada bakteri Gram negatif yang lain, B.pertussis
memproduksi lipopolisakharida (LPS; endotoksin). Toksisitas dari
endotoksin ini relatif lebih rendah dibanding endotoksin pada basil
enterik yang lain. Endotoksin ini bersifat imunogenik, dan
merupakan faktor perlekatan sel bakteri.
Komponen lain yang ditemukan adalah tracheal cytotoxin dan
tracheal colonization factor
B.pertussis tidak memasuki jaringan, sehingga tidak ditemukan
dalam darah. Fungsi silia yang terganggu menyebabkan aliran mukus
terhambat dan terjadi penggumpalan mukus. Penumpukan mukus ini
mengakibatkan obstruksi paru, kemudian terjadi gangguan pertukaran
oksigen sehingga menyebabkan hipoksemia dan sianosis. Peran antibodi
baik lokal maupun sistemik sangat berhubungan dengan proteksi tubuh
terhadap pertussis. Stimulasi antibodi dapat menghalang perlekatan
bakteri ini, sehingga akhirnya bakteri ini berangsur-angsur hilang dari
saluran pernapasan, sekresi mukus akan berkurang, dan gerak silia akan
pulih.5

8
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis dari pertusis bergantung kepada beberapa faktor,
antara lain umur, statusimunisasi atau infeksi, adanya antibodi pasif, dan
genetik host. Masa inkubasi untuk rata-rata kasus adalah 7 hingga 10 hari,
perjalanan penyakitnya berlangsung sekitar 6 hingga 8 minggu.2
Gejala awal bersifat tidak spesifik, seringkali tidak beserta demam
atau demam ringan. Perjalanan klinis penyakit ini berlangsung dalam tiga
stadium yaitu stadium kataralis, paroksismal, dan konvalesen.
Stadium kataralis
Terjadi kongesti dan rhinorrhea, disertai demam, infeksi konjungtiva
dan lakrimasi. Saat gejala-gejala ini berkurang, batuk mulai timbul
sebagai batuk pendek, kering, dan intermitten. Selama stadium ini,
gejala yang timbul seringkali sulit dibedakan dengan common cold.
Kuman paling mudah diisolasi pada tahap ini. Batuk mula-mula
timbul pada malam hari, kemudian turut timbul pada siang hari dan
menjadi semakin hebat. Stadium ini berkisar antara 7-10 hari.
Stadium paroksismal/spasmodik
Batuk mulai berkembang menjadi paroksismal yang tidak berhenti-
henti, menjadi tanda khas pada pertusis. Batuk juga ditandai
dengan whooping yaitu pada akhir serangan batuk, anak menarik
nafas dengan cepat sehingga terdengar bunyi melengking, dan bisa
diakhiri dengan muntah. Pada anak yang lebih tua, gejala
whooping ini mungkin tidak terdengar, sedangkan pada bayi yang
lebih muda,
gejala yang lebih sering didapatkan adalah apneu, sianosis,
dan muntah. Stadium ini berlangsung sekitar 10-14 hari.
Stadium konvalesens
Stadium ini ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah,
serangan paroksismal menurun. Batuk biasanya masih menetap
untuk beberapa waktu, dan akan menghilang dalam 4 hingga 6
minggu. Pada beberapa penderita, batuk paroksismal dapat kembali
dengan gejala whooping dan muntah. Episode ini bisa berulang-
ulang untuk beberapa bulan, dan sering dihubungkan dengan
infeksi saluran nafas bagian atas.

9
Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati keparahan
batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan penyembuhan
tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk menilai kemajuan penyakit
dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak penyakit, mencegah atau
mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada
perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi,
keadaan ini disempurnakan dalam 48-72 jam1,5
Pada kasus ringan, umumnya anak-anak umur 6 bulan, dilakukan pengobatan
rawat jalan. Sedangkan pada anak < 6 bulan perlu dirawat di Rumah sakit. Selain itu, anak
dengan penyulit juga perlu dirawat, misalnya pada anak dengan pneumonia, kejang,
dehidrasi, gizi buruk, henti napas lama, atau kebiruan setelah batuk.
Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor terus, pada
keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan oleh personel perawat
kesehatan.Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian makan, muntah, dan
perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan.Paroksismal khas yang tidak
membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut lamanya kurang dari 45 detik, perubahan
warna merah tetapi tidak biru, bradikardi, atau desaturasi oksigen yang secara spontan selesai
pada akhir paroksismal, berteriak atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir
paroksismal, mengeluarkan sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak
berespons1,5.
Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor-faktor
yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat diberikan
pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada bayi dengan
pneumonia dan distres pernapasan. Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai
atau diperkuat karena kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran
infeksi.Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat (maksimum 2
g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan baku. Beberapa pakar lebih menyukai
preparatestolat tetapi etilsuksinat dan stearat juga manjur. Penelitian kecil
eritromicinetilsuksinat yang diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua
dosis, dengan dosis 60 mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga dosis, dan
eritromicinestolatdiberikan dengan dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis

10
menunjukkan pelenyapan organisme pada 98% anak. Azitromisin, Claritomisin,Ampisillin,
Rifampin, Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin generasi pertama
dan ke-2 tidak. Pada penelitian klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk
pelenyapan B. pertussis dan merupakan satu-satunya agen dengan kemanjuran yang
terbukti.4,5,6

Komplikasi
Terdapat tiga komplikasi major dari pertusis yaitu pada saluran
pernafasan, pada sistem saraf pusat, dan malnutrisi. Pada saluran
pernafasan, komplikasi yang dapat
timbul adalah bronkopneumonia. Komplikasi ini paling sering terjadi dan m
enyebabkan
kematian terutama pada bayi kurang dari 1 tahun. Lendir kental dapat me
nyumbat bronkiolus,sehingga dapat menyebabkan atelektasis. Selain itu,
emfisema turut dapat terjadi, karena batuk yang hebat sehingga alveolus
pecah.
Komplikasi yang dapat terjadi pada sistem saraf pusat antara lain
adalah anoksia,ensefalopati, perdarahan cerebral, di mana semua ini
dapat mengakibatkan kejang. Komplikasi sistem saraf pusat sering terjadi
pada bayi lebih muda.
Komplikasi malnutrisi terjadi akibat muntah yang berterusan,
terutama pada bayi. Gangguan elektrolit yang terjadi juga dapat
mengakibatkan kejang. Komplikasi minor yang dapat terjadi adalah otitis
media, karena batuk hebat, kuman masuk melalui tuba eustachius ke
telinga tengah.4

Pencegahan

Imunisasi aktif
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang dengan
jarak 8 minggu.Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis, difteria dan
tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat
dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu.Anak-anak berumur > 7 tahun
tidak rutin diimunisasi.4,5,6
Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens infeksi

11
pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai sumber infeksi B.pertussis pada
bayi-bayi non imun.Vaksin pertusismonovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol
epidemi diantara orang dewasa yang terpapar.
Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum seperti
eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi panas, mengantuk,
dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko
terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per
oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam.
Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit panas, kelainan
neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang. Riwayat keluarga
adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi
pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian
vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang
demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis 3 jam, high
picth cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak
dapat diterangkan 400C dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis.6

Kesimpulan

Pertusis merupakan penyakit yang sangat cepat menular melalui inhalasi


droplet, tersebar diseluruh dunia. Meskipun penyakit ini dapat
menginfeksi semua peringkat umur, anak-anak lebih muda yang
terinfeksi B.pertussis lebih rentan mengalami komplikasi dari kuman
tersebut. Program imunisasi yang direncanakan untuk bayi adalah cara
terbaik untuk mencegah bayi dari terinfeksi oleh kuman B.pertussis.
.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rudolph CD, Rudolph AM. The respiratory system. In: Rudolphs


pediatrics. 21st ed. New York: McGraw-Hill, Medical Pub. Division;
2003.p.1910-88.2.
2. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugmans infectious diseases of
children. 11th ed.USA: Mosby, Inc; 2004.p.443-60.3.

12
3. Elzouki AY et al. Textbook of clinical pediatrics. 2nd ed. Volume 1.
Heidelberg: Springer;2012.p.1005-20, 1053-60.
4. Smyth A. Pneumonia due to viral and atypical organisms and their
sequelae. Br Med Bull(2002); 61(1):247-262.5.
5. Fisher RG, Boyce TG. Moffets pediatric infectious disease. 4th ed.
USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2005.p.132-234.6.
6. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropic pada anak. Ed.2. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC; 2005.h.19-29.

13

Anda mungkin juga menyukai