Anda di halaman 1dari 30

PATOLOGI DALAM KEPERAWATAN

MAKALAH

disusun oleh

Anindianti Sukma 162310101133

Fatihul Matlub Ulum 162310101179

Sukma Ningrum 162310101194

Rosita Milandani 162310101258

Dies Rut Setyoningsih 162310101260

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2017
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Patologi


Patologi merupakan ilmu yang mempelajari penyakit yang meliputi
pengetahuan dan pemahaman dari fungsi dan struktur penyakit mulai dari tingkat
molekuler sampai pengaruhnya terhadap individu. Patologi merupakan subyek
yang selalu mengalami perubahan, penyempurnaan, dan perluasan sebagai
aplikasi metode-metode ilmiah yang baru dalam memahami pengetahuan
tentang penyakit. Patologi mempunyai tujuan untuk mengidentifikasi penyebab
suatu penyakit, yang akhirnya akan memberikan petunjuk dasar pada program
pencegahan suatu penyakit. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa patologi
adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang penyakit dengan tujuan
mengidentifikasi penyebab dari suatu penyakit tersebut agar bisa melakukan
pencegahan atau pengobatan.

2.2 Inflamasi
Inflamasi merupakan respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh
cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi
(sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu. Inflamasi
(peradangan) merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang memiliki
vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun endogen. Dalam arti yang paling
sederhana, inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk
menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan
nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel. Dengan begitu, dapat disimpulkan
bahwa peradangan atau inflamasi adalah suatu reaksi kompleks jaringan ikat
yang merupakan respon protektif tubuh oleh kerusakan jaringan dalam upaya
pemulihan pada jaringan yang rusak tersebut.
2.2.1 Klasifikasi inflamasi/peradangan
a. Radang Akut
Radang akut merupakan respon langsung dan dini terhadap agen jejas
yang relatif singkat, hanya berlangsung beberapa jam atau hari. Radang
memiliki tiga komponen penting : (1) perubahan penampang pembuluh darah
dengan akibat aliran darah meningkat, (2) perubahan struktural pada pembuluh
darah mikro yang memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan
sirkulasi darah, dan (3) agregasi leukosit di lokasi jejas. Cairan kaya akan
protein dan sel darah putih yang tertimbun dalam ruang ekstravaskular sebagai
akibat reaksi radang, disebut eksudat. Kejadian pada proses radang akut
sebagian besar dimungkinkan oleh produksi dan pelepasan berbagai macam
mediator kimia. Meskipun jenis pengaruh jejas dapat bermacam-macam dan dan
jaringan yang menyertai radang berbeda, mediator yang dilepaskan sama,
sehingga respon terhadap radang tampak stereotip. Jadi infeksi yang disebabkan
oleh kuman; jejas karena panas, dingin atau tenaga radiasi; jejas listrik atau
bahan kimia, dan trauma mekanik semua akan memberi reaksi radang segera
yang sama. Meskipun pada dasarnya reaksi radang itu stereotip, intensitas dan
luasnya tergantung pada derajat parah jejas dan kemampuan bereaksi tubuh.
Radang akut dapat terbatas hanya pada tempat jejas dan menimbulkan tanda dan
gejala-gejala lokal, atau dapat ekstensif dan menyebabkan tanda dan gejala
sistemik, maupun mengikut-sertakan pertahanan tubuh sekunder, seperti jaringan
limfoid.
b. Radang Kronik
Radang kronik disebabkan oleh rangsang yang menetap, seringkali dapat
terjadi dalam waktu yang lama hingga berminggu-minggu bahkan berbulan-
bulan, menyebabkan infiltrasi mononuklir dan proliferasi fibroblas. Hal ini
merupakan manifestasi pemulihan yang mengikuti radang. Radang kronik dapat
timbul menyusul radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik.
Perubahan radang akut menjadi kronik berlangsung bila respon radang akut
tidak dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang menetap atau terdapat
gangguan pada proses penyembuhan normal.

2.2.2 Mediator Inflamasi


Mediator inflamasi kimiawi ada yang dilepas atau dihasilkan oleh sel dan juga
oleh plasma.

1. Mediator kimiawi yang dilepas


a. Histamin
Secara luas, histamin merupakan merupakan mediator kimiawi pada
radang akut. Histamin mengakibatkan dilatasi vaskuler dan naiknya
permeabilitas vaskuler. Histamin disimpan dalam sel mast, basofil,
eusinofil dan trombosit. Kemudian, histamin yang dilepaskan dari
tempat-tempat tersebut dengan dirangsang oleh komplemen C3a dan C5a
serta oleh protein lisosom yang dilepas oleh neutrofil.
b. Lisosom
Dilepas dari neutrofil, termasuk protein kationik yang dapat
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan protease netral yang dapat
mengaktifkan komplemen.
c. Prostaglandin
Merupakan golongan asam lemak rantai panjang derivat dari asam
arakhidonat dan disintesis oleh beberapa jenis sel. Beberapa
prostaglandin potensial menaikkan permeabilitas vaskuler yang
disebabkan oleh komponen lain. Lainnya termasuk penggumpalan
trombosit (prostaglandin I2 adalah penghambat,sedangkan prostaglandin
A2 adalah stimulator)
d. Leukotrien
Kelompok ini juga disintesis dari asam arakhidonat, terutama dalam
neutrofil.Dan kelihatannya juga memiliki kemampuan vasoaktif.
e. 5-hidroksitriptamin (serotonin)
Ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi dalam sel mast dan trombosit.
Serotonin merupakan bahan vasokonstriktor yang kuat.
f. Sitokinin
Merupakan keluarga dari chemical messenger yang dilepas oleh limfosit.
Selain peranan utamanya dalam hipersensitivitas tipe IV, sitokin juga
mempunyai kemampuan vasoaktif atau kemotaksis.
2. Faktor plasma
Plasma terdiri atas empat bagian kecil sistem enzimatik yaitu
komplemen, kinin, faktor koagulasi, dan sistem fibrinolitik yang saling
berhubungan dan membentuk berbagai mediator inflamasi.
a. Sistem komplemen
Sistem komplemen merupakan bagian dari sistem protein enzimatik,
dapat diaktifkan sepanjang reaksi radang akut yang berlangsung melalui
berbagai jalan:
- Pada jaringan nekrosis, enzim yang mampu mengaktifkan
komplemen dibebaskan dari sel yang telah mati.
- Selama infeksi berlangsung, kompleks antigen-antibodi yang
terbentuk dapat mengaktifkan komplemen melalui jalan klasik,
sedangkan endotoksin bakteri gram negative mengaktifkan
komplemen melalui jalan alternative.
- Produksi kinin, koagulasi dan system fibrinolitik dapat mengaktifkan
komplemen. Di dalamnya terdapat:
C5a : kemotaksis untuk neutrofil; meningkatkan
permeabilitas vaskuler; membebaskan histamine dari sel mast
C3a : mempunyai sifat yang sama dengan C5a, tetapi
kurang aktif
C567 : kemotaksis untuk neutrofil
C56789 : mempunyai aktivitas sitolitik
C4b, 2a, 3b : opsonisasi bakteri (member fasilitas fagositosis
oleh makrofag).
b. Sistem kinin
Kinin merupakan peptide dari 9-11 asam amino. Faktor permeabilitas
vaskuler yang paling penting adalah bradikinin. Sistem kinin diaktifkan
oleh factor koagulasi XII. Bradikinin juga merupakan mediator kimiawi
dari rasa sakit yang merupakan salah satu tanda kardinal radang akut.
c. Sistem koagulasi
Sistem koagulasi bertanggung jawab terhadap perubahan fibrinogen
menjadi fibrin, suatu komplemen utama dari eksudat radang akut. Faktor
XII koagulasi sekali diaktifkan dengan cara kontak dengan materi
ekstraseluler (misalnya lamina basalis) dan berbagai enzim proteolitik
yang berasal dari bakteri dapat mengaktifkan koagulasi, system kinin,
dan fibrinolitik.
d. Sistem fibrinolitik
Plasmin bertanggung jawab terhadap lisisnya fibrin menjadi produk
fibrin yang rendah yang mungkin mempunyai efek local pada
permeabilitas vaskuler.

2.2.3 Proses terjadinya inflamasi


Proses terjadinya peradangan yaitu bila sel-sel atau jaringan tubuh
mengalami cedera atau mati, selama hospes tetap hidup ada respon yang
menyolok pada jaringan hidup disekitarnya. Respon terhadap cedera ini
dinamakan peradangan. Yang lebih khusus peradangan adalah reaksi vascular
yang hasilnya merupakan pengiriman cairan, zat-zat yang terlarut dan sel-sel
dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial pada daerah cedera atau
nekrosis. Reaksi peradangan sebenarnya adalah peristiwa yang dikoordinasi
dengan baik yang dinamis dan continue. Untuk menimbulkan reaksi peradangan
maka jaringan harus hidup dan harus memiliki mikrosirkulasi fungsional,
sehingga menyebabkan rangkaian reaksi yang terjadi pada jaringan yang cedera.

Pada proses peradangan terjadi pelepasan histamin dan zat-zat humoral


kedalam cairan jaringan sekitarnya. Akibat dari sekresi histamin tersebut yaitu:

1. Rubor (kemerahan)
Terjadinya warna kemerahan ini karena arteri yang mengedarkan darah
ke daerah tersebut berdilatasi sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke
tempat cedera.
2. Kalor (rasa panas)
Rasa panas dan warna kemerahan terjadi secara bersamaan. Dimana rasa
panas disebabkan karena jumlah darah lebih banyak ditempat radang daripada
didaerah lain di sekitar radang. Fenomena panas ini terjadi di permukaan kulit.
Sedangkan jika terjadi jauh di dalam tubuh tidak dapat kita lihat dan rasakan.

3. Dolor (rasa sakit)


Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan beberapa hal :
- Adanya peregangan jaringan akibat edema sehingga terjadi
peningkatan tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa nyeri.
- Adanya pengeluaran zat-zat kimia atau mediator nyeri seperti
prostaglandin, histamin, bradikinin yang dapat merangsang saraf-saraf
perifer di sekitar radang sehingga dirasakan nyeri.
4. Tumor (pembengkakan)
Gejala paling nyata pada peradangan adalah pembengkakan yang
disebabkan oleh terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler, adanya
peningkatan aliran darah dan cairan ke jaringan yang mengalami cedera
sehingga protein plasma dapat keluar dari pembuluh darah ke ruang interstitium.
5. Fungsiolaesa
Fungsiolaesa merupakan gangguan fungsi dari jaringan yang terkena
inflamasi dan sekitarnya akibat proses inflamasi.

Setiap luka pada jaringan yang terjadi peradangan akan menimbulkan


reaksi vaskuler. Mulanya, terjadi dilatasi lokal dari arteriol dan kapiler sehingga
plasma akan merembes keluar. Selanjutnya cairan berkumpul di daerah sekitar
luka sehingga menyebabkan edema, kemudian fibrin akan membentuk semacam
jala yang akan menutupi saluran limfe sehingga penyebaran mikroorganisme
dapat dibatasi. Mikroorganisme tersebut dibungkus oleh phagosit, hal ini
merupakan prose phagositosis dalam proses inflamasi. Kemudian, dimulailah
digesti dalam sel yang mengakibatkan perubahan PH menjadi asam.

Selanjutnya akan keluar protease selluler yang akan menyebabkan lysis


leukosit. Setelah itu, makrofag mononuclear besar akan tiba di lokasi infeksi
untuk membungkus sisa-sisa leukosit, dan akhirnya terjadi pencairan (resolusi)
pada proses inflamasi lokal. Cairan kaya protein dan sel darah putih yang
tertimbun dalam ruang ekstravaskuler sebagai akibat reaksi radang disebut
eksudat. Perbedaan antara eksudan dan transudat yaitu, eksudat adalah cairan
radang ekstravaskular dengan berat jenis tinggi dan mengandung protein 2-4 mg
% serta sel-sel darah putih melakukan emigrasi. Sedangkan transudat adalah
cairan dalam ruang interstitial yang terjadi hanya sebagai akibat tekanan
hidrostatik. Berat jenis transudat pada umumnya kurang dari 1.020 yang
menggambarkan kandungan protein yang rendah.

Proses peradangan juga bisa diawali dengan masuknya mikroorganisme


penyebab sakit. Mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh umumnya
memiliki suatu zat yang bersifat racun yang dikenal sebagai pirogen eksogen.
Dengan masuknya mikroorganisme tersebut, tubuh akan berusaha melawan dan
mencegahnya dengan memerintahkan leukosit, makrofag, dan limfosit untuk
memakannya. Proses ini dinamakan proses fagositosit.

Dengan adanya proses fagositosit ini, leukosit, makrofag, dan limfosit


akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (khususnya
interleukin 1/IL-1) yang berfungsi sebagai anti injeksi. Pirogen endogen yang
keluar akan merangsang sel-sel endotel hipotalamus (sel penyusun hipotalamus)
untuk mengeluarkan suatu substansi yakni asam arakhidonat yang bisa keluar
dengan adanya bantuan enzim fosfolipase A2.

Selanjutnya, asam arakhidonat yang dikeluarkan oleh hipotalamus akan


memacu pengeluaran prostaglandin dengan bantuan enzim siklooksigenase.
Pengeluaran prostaglandin mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus.
Sebagai kompensasinya, hipotalamus akan meningkatkan suhu tubuh diatas
normal. Akibatnya, mesin akan merasa bahwa suhu tubuh berada di bawah batas
normal sehingga terjadilah respon menggigil untuk menghasilkan panas tubuh
yang lebih banyak.

2.3 Infeksi
Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berproliferasi di
dalam tubuh yang menyebabkan sakit atau beberapa penyakit yang disebabkan
oleh pertumbuhan organisme patogenik dalam tubuh.

Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh :

a. Bakteri

Bakteri merupakan penyebab terbanyak dari infeksi. Ratusan spesies


bakteri dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan dapat hidup didalam
tubuhnya. Bakteri bisa masuk antara lain melalui udara, tanah, air, makanan,
cairan dan jaringan tubuh dan benda mati lainnya.
b. Virus
Virus terutama berisi asam nukleat (nukleat acid) karenanya harus masuk
dalam sel hidup untuk di produksi.
c. Parasit
Parasit hidup dalam organisme hidup lain, termasuk kelompok parasit
adalah protozoa, cacing dan arthropoda.

Tipe mikroorganisme penyebab infeksi yaitu :


1) Kolonisasi
Merupakan suatu proses dimana benih mikroorganisme menjadi flora
yang menetap/residen. Mikroorganisme bisa tumbuh dan berkembang biak tetapi
tidak bisa menimbulkan penyakit. Infeksi terjadi ketika mikroorganisme yang
menetap tadi sukses menginvasi/menyerang bagian tubuh/host manusia yang
system pertahanannya tidak efektif dan pathogen menyebabkan kerusakan
jaringan.
2) Infeksi local
Spesifik dan terbatas pada bagian tubuh dimana mikroorganisme tinggal.
3) Infeksi Sistemik
Terjadi bila microorganisme menyebar kebagian tubuh yang lain dan
menimbulkan kerusakan.
4) Bakterimia
Terjadi ketika didalam darah ditemukan adanya bakteri.
5) Septikimia
Multiplikasi bakteri dalam darah sebagai hasil dari infeksi sistemik.
6) Infeksi akut
Infeksi yang muncul dalam waktu singkat.
7) Infeksi kronik
Infeksi yang terjadi secara lambat dalam periode yang lama (dalam
hitungan bulan/tahun).

2.3.1 Rantai Infeksi


Proses terjadinya infeksi seperti rantai yang saling terkait antar berbagai
faktor yang saling mempengaruhi, yaitu agen infeksi, reservoir, portal of exit,
cara penularan, portal of entry dan host atau penjamu yang rentan.
Agen infeksi

Host/pejamu Reservoir
Portal de exit Portal de entry

Cara penularan

1) Agen Infeksi
Mikroorganisme yang termasuk dalam agen infeksi antara lain bakteri,
virus, jamur dan protozoa. Mikroorganisme dikulit bisa merupakan flora
transient maupun resident. Mikroorganisme transient normalnya ada dan
jumlahnya stabil, organisme ini bisa hidup dan berbiak dikulit. Organisme
transient melekat pada kulit saat seseorang kontak dengan objek atau orang lain
dalam aktivitas normal. Organisme ini siap ditularkan kecuali dengan cuci
tangan. Organisme residen tidak dengan mudah bisa dihilangkan melalui cuci
tangan dengan sabun dan detergen biasa kecuali bila gosokan dilakukan dengan
seksama. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi tergantung pada: jumlah
mikroorganisme, virulensi (kemampuan menyebabkan penyakit), kemampuan
untuk masuk dan bertahan hidup dalam host serta kerentanan dalam
host/pejamu.

2) Reservoir (sumber mikroorganisme)


Adalah tempat dimana mikroorganisme pathogen dapat hidup baik
berkembang biak atau tidak. Yang bisa berkembang sebagai reservoir adalah
manusia, binatang, makanan, air, serangga dan benda lain. Kebanyakan reservoir
adalah tubuh manusia, terutama dikulit, mukosa, cairan atau drainase. Adanya
mikroorganisme pathogen dalam tubuh tidak selalu menyebabkan penyakit pada
hostnya. Sehingga reservoir yang didalamnya terdapat mikroorganisme pathogen
bisa menyebabkan orang lain bisa menjadi sakit (carier). Kuman dapat hidup dan
berkembang biak dalam reservoir jika karakteristik reservoirnya cocok dengan
kuman. Karakteristik tersebut adalah air, suhu, ph, udara dan pencahayaan.
3) Portal of exit
Mikroorganisme yang hidup didalam reservoir harus menemukan jalan
keluar untuk masuk ke dalam host dan menyebabkan infeksi. Sebelum
menimbulkan infeksi, mikroorganisme harus keluar terlebih dahulu dari
reservoirnya. Jika reservoirnya manusia, kuman dapat keluar melalui saluran
pencernaan, pernafasan, perkemihan, genetalia, kulit, membrane mukosa yang
rusak serta darah.
4) Cara penularan
Kuman dapat berpindah atau menular ke orang lain dengan berbagai cara
seperti kontak langsung dengan penderita melalui oral, fekal, kulit atau
darahnya. Kontak tidak langsung melalui jarum atau balutan bekas luka
penderita, peralatan yang terkontaminasi, makanan yang diolah tidak tepat,
melalui vector nyamuk atau lalat.
5) Portal masuk
Sebelum seseorang terinfeksi, mikroorganisme harus masuk dalam
tubuh. Kulit merupakan barier pelindung tubuh terhadap masuknya kuman
infeksius. Rusaknya kulit atau ketidakutuhan kulit dapat menjadi portal masuk.
Mikroba dapat masuk kedalam tubuh melalui rute yang sama dengan portal
keluar. Faktor-faktor yang menurunkan daya tahan tubuh memperbesar
kesempatan pathogen masuk kedalam tubuh.

6) Daya tahan hospes (manusia)


Seseorang terkena infeksi bergantung pada kerentanan terhadap agen
infeksius. Kerentanan bergantung pada derajat ketahanan tubuh individu
terhadap pathogen. Meskipun seseorang secara konstan kontak dengan
mikroorganisme dalam jumlah yang besar, infeksi tidak akan terjadi sampai
individu rentan terhadap kekuatan dan jumlah mikroorganisme tersebut.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap kuman yaitu
usia, keturunan, stress (fisik dan emosional), status nutrisi, terafi medis,
pemberian obat dan penyakit penyerta.

2.3.2 Proses Infeksi


Infeksi terjadi secara progresif dan beratnya infeksi pada klien tergantung
dari tingkat infeksi, patogenisitas mikroorganisme dan kerentanan penjamu.
Dengan proses perawatan yang tepat, maka akan meminimalisir penyebaran dan
meminimalkan penyakit. Perkembangan infeksi mempengaruhi tingkat asuhan
keperawatan yang diberikan. Berbagai komponen dari system imun memberikan
jaringan kompleks mekanisme yang sangat baik yang jika utuh, berfungsi
mempertahankan tubuh terhadap mikroorganisme asing dan sel-sel ganas.
Pada beberapa keadaan, komponen-komponen baik respon spesifik
maupun non spesifik bisa gagal dan hal tersebut bisa mengakibatkan kerusakan
pertahanan hospes. Orang-orang yang mendapat infeksi yang disebabkan oleh
defisiensi dalam pertahanan dari segi hospesnya disebut hospes yang melemah.
Sedangkan orang-orang dengan kerusakan mayor yang berhubungan dengan
respon imun spesifik disebut hospes yang terimunosupres.Ciri-ciri umum yang
berkaitan dengan hospes yang melemah adalah : infeksi berulang, infeksi kronik,
ruam kulit, diare, kerusakan pertumbuhan dan meningkatnya kerentanan
terhadap kanker tertentu.

2.3.3 Respon Tubuh Terhadap Infeksi

Respon tubuh atau respon imun itu dikeluarkan dengan tujuan untuk
menetralkan efek toksin atau mengeliminasi bakteri yang masuk dalam tubuh.
Dan umumnya gambaran biologik spesifik mikroba menentukan mekanisme
imun mana yang digunakan dalam proteksi di dalam tubuh. Karena, suatu zat
dalam sistem imun bekerja sesuai dengan substansi zat asingnya atau berkerja
sesuai fungsi dan sangat kompleks. Begitu juga dengan respon imun terhadap
bakteri, khususnya bakteri ekstraseluler dan intraseluler memiliki karakteristik
tertentu pula.

Imunitas sendiri memiliki arti yaitu kemampuan tubuh untuk melawan


bakteri atau virus yang menyerang tubuh. Seperti contohnya yaitu melakukan
suntikan imunasasi dengan cara menginjeksikan suatu vaksin kedalam tubuh
dengan tujuan untuk membentengi tubuh agar tidak terserang virus atau suatu
bakteri. Dalam hal ini sistem imun memiliki sel memori yaitu memori sel B dan
sel T. Memori sel B dan sel T dapat membantu melindungi tubuh dari infeksi
ulang oleh patogen yang menginfeksi tubuh dimasa lalu. Hal ini disebut imunitas
dan imunitas bisa bersifat aktif dan pasif.

Penjelasan dari imunitas aktif sendiri yaitu kekebalan yang dihasilkan


pada saat ada respon kekebalan terhadap patogen yang menghasilkan sel
memori. Beberapa sel memori dapat memberikan respon selama seumur hidup
atau bersifat permanen. Hal ini seperti halnya melakukan imunisasi. Imunisasi
dilakukan karena dilakukan dengan disengaja seseorang oleh patogen untuk
menimbulkan atau memprovokasi respon dari kekebalan tubuh dan
pembentukan sel-sel memori khusus untuk patogen tersebut. Patogen ini sering
diinjeksikan. Namun hanya sebagian patogen ini melemah tidak keseluruhan
melemah tau patogen mati yang digunakan. Hal ini dapat membuat respon tubuh
bagi orang diinjeksikan tidak mengalami penurunan kesehatan atau sakit. Dan
dalam hal ini bisa saja orang yang diinjeksikan dan dapat diterima tubuh dapat
kebal dari penyakit seperti polio,cacar air , gondok dan sebagainya.

Imunitas pasif terjai apabila seseorang ditransfer antibodi yang belum


pernah terinfeksi patogen. Namun hal ini hanya belaku beberapa hari atau
minggu saja. Imunitas pasif diperoleh pada saat masih janin yang diperoleh dari
darah ibunya dan disaat mendapatkan ASI. Dan juga ada imunitas bawaan yaitu
bawaan sejak lahir yang mebantu melindungi tubuh dari patogen.Bagian yang
utama dan yang terpenting untuk mencegah masuknya mikroorganisme
berbahaya dalam tubuh manusia adalah kulit. Kenapa kulit, karena kulit
bertindak sebagai penghalang dan merupakan sebuah tameng masuknya
mikroorganisme yang berbahaya bagi organ vital tubuh .

Sekresi alami yang dilakukan dari tubuh kita juga membantu mencegah
pertumbuhan mikroba dalam tubuh kita. Sistem vital seperti pernapasan,
pencernaan, urogenital dan pencegahan oleh lapisan lendir dari lapisan epitel
dari sistem ini. Cairan penting yang protektif dalam tubuh kita adalah asam pada
lambung, air liur di dalam mulut dan air mata dari mata. Sel darah putih hadir
dalam darah manusia juga melindungi tubuh dari berbagai infeksi. Makrofag
dalam jaringan membantu dalam penghancuran mikroba berbahaya masuk ke
dalam tubuh.

1. Sistem Imun Non-Spesifik (Innate Immunity)

Sistem imun non-spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam


menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, karena dapat memberikan
respon langsung terhadap antigen. Sistem tersebut disebut non-spesifik karena
tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu. (Bratawidjaja dan Rengganis,
2009). Sebagai elemen pertama dari sistem imun untuk menemukan agen
penyerang, respon imun non-spesifik diaktifkan lebih cepat daripada respon
imun spesifik namun dengan durasi yang lebih singkat (Delves and Ivan, 2000).

Komponen-kompenen sistem imun non-spesifik terdiri atas:

a. Pertahanan fisik/mekanik

Dalam sistem pertahanan fisik atau mekanik ini, kulit, selaput lendir, silia
saluran napas, batuk dan bersin akan mencegah masuknya berbagai kuman
patogen ke dalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput
lendir yang rusak oleh asap rokok akan meninggikan risiko infeksi
(Baratawidjaja dan Rengganis, 2009).

Menurut Baratawidjaja dan Rengganis (2010), mekanisme imunitas


non-spesifik terhadap bakteri pada tingkat sawar fisik seperti kulit atau
permukaan mukosa:

1. Bakteri yang bersifat simbiotik atau komensal yang ditemukan pada kulit
menempati daerah terbatas pada kulit dan menggunakan hanya sedikit
nutrient, sehingga kolonisasi kolonisasi oleh mikroorganisme patogen
sulit terjadi.
2. Kulit merupakan sawar fisik efektif dan pertumbuhan bakteri dihambat
sehingga agen patogen yang menempel akan dihambat oleh pH rendah
dari asam laktat yang terkandung dalam sebum yang dilepas kelenjar
keringat.
3. Sekret dipermukaan mukosa mengandung enzim destruktif seperti
lisozim yang menghancurkan dinding sel bakteri.
4. Saluran napas dilindungi oleh gerakan mukosiliar sehingga lapisan
mukosa secara terus menerus digerakkan menuju arah nasofaring.
5. Bakteri ditangkap oleh mukus sehingga dapat disingkirkan dari saluran
napas.
6. Sekresi mukosa saluran napas dan saluran cerna mengandung peptida
antimikrobial yang dapat memusnahkan mikroba pathogen.
7. Mikroba patogen yang berhasil menembus sawar fisik dan masuk ke
jaringan dibawahnya dapat simusnahkan dengan bantuan komplemen dan
dicerna oleh fagosit.
b. Pertahanan Biokimiawi

Pertahanan biokimiawi adalah seperti asam hidroklorida dalam lambung,


enzim proteolitik dalam usus, serta lisozim dalam keringat, air mata, dan air susu
(Baratawidjaja dan Rengganis, 2009). Lisozim dalam keringat, ludah, air mata
dan air susu ibu, melindungi tubuh terhadap berbagai kuman postif-Gram oleh
karena dapat menghancurkan lapisan peptidoglikan dinding bakteri. Air susu ibu
juga mengandung laktooksidase dan asam neuraminik yang mempunyai sifat
antibakterial terhafap E.koli dan stafilokokus (Baratawidjaja dan Rengganis,
2010).

c. Pertahanan Humoral
1) Komplemen

Sistem komplemen tersusun lebih dari 20 protein plasma. Sistem ini


mempunyai fungsi antimikroba non-spesifik dan merupakan sistem aplikasi
yang efektif untuk memperkuat mekanisme pertahanan non-spesifik dan spesifik
(Wahab dan Julia, 2002). Berbagai bahan seperti antigen dan kompleks imun
dapat mengaktivsi komplemen sehingga menghasilkan berbagai mediator yang
mempunyai sifat biologi yang aktif, yang menyebabkan lisis bakteri atau sel,
memproduksi mediator pro-inflamasi yang dapat memperkuat proses dan
solubilisasi kompleks antigen-antibodi. Komplemen memiliki 3 jalur, yaitu jalur
klasik, alternatif dan membrane attack pathway. (Darwin, 2005).

2) Interferon

Interferon adalah sitokin berupa glikoprotein yang diproduksi makrofag


yang diaktifkan, sel NK dan berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus dan
dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus. IFN mempunya sifat antivirus
dan dapat menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus menjadi resisten
terhadap virus. Di samping itu,IFN juga adapat mengaktifkan sel NK. Sel yang
diinfeksi virus atau menjadi ganas akan menunjukkan perubahan pada
permukaannya yang akan dikenal dan dihancurkan sel NK. Dengan demikian
penyebaran virus dapat dicegah (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).

3) C-Reactive Protein

CRP merupakan salah satu protein fase akut, termasuk golongan protein
yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai respons
imunitas non-spesifik. CRP mengikat berbagai mikroorganisme yang
membentuk kompleks dam mengaktifkan komplemen jalur klasik. Pengukuran
CRP berguna untuk menilai aktivitas penyakit inflamasi. CRP dapat meningkat
100x atau lebih dan berperan pada imunitas non-spesifik yang dengan bantuan
Ca++ dapat mengikat berbagai molekul antara lain fosforilkolin yang ditemukan
pada permukaan bakteri/jamur dan dapat mengaktifkan komplemen (jalur
klasik). CRP juga mengikat protein C dari pneumokok dan berupa opsonin.
Peningkatan sintesis CRP akan meningkatkam viskositas plasma sehingga laju
endap darah juga akan meningkat. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukan
infeksi yang persisten (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009).

d. Pertahanan Seluler
1) Fagosit

Sel utama yang berperan dalam pertahanan nons-pesifik adalah sel


mononuklear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklear atau granulosit.
Sel-sel ini berperan sebagai sel yang menangkap antigen, mengolah dan
selanjutnya mempresentasikannya kepada sel T, yang dikenal sebagai sel penyaji
atau APC. Kedua sel tersebut berasal dari sel asal hemopoietik. Granulosit hidup
pendek, mengandung granul yang berisikan enzim hidrolitik. Beberapa granul
berisikan pula laktoferin yang bersifat bakterisidal (Baratawidjaja dan
Rengganis, 2009)

2) Makrofag

Monosit ditemukan dalam sirkulasi, tetapi dalam jumlah yang lebih


sedikit dibanding neutrofil. Monosit bermigrasi ke jaringan dan di sana
berdiferensiasi menjadi makrofag yang seterusnya hidup dalam jaringan sebagai
makrofag residen. Sel kuppfer adalah makrofag dalam hati, histiosit dalam
jaringan ikat, makrofag alveolar di paru, sel glia di otak, dan sel langerhans di
kulit.
Makrofag dapat hidup lama, mempunyai beberapa granul dan melepas
berbagai bahan, antara lain lisozim, komplemen, interferon dan sitokin yang
semuanya memberikan kontribusi dalam pertahanan nonspesifik dan spesifik
(Mardjono dan Shidarta, 2006).
3) Sel NK (Natural Killer)
Jumlah sel NK sekitar 5-15% dari limfosit dalam sirkulasi dan 45% dari
limfosit dalam jaringan. Sel tersebut berfungsi dalam imunitas nonspesifik
terhadap virus dan sel tumor. Secara morfologis sel NK merupakan limfosit
dengan granul besar. Ciri-cirinya yaitu memiliki banyak sekali sitoplasma
(limfosit T dan B hanya sedikit), granul sitoplasma azurofilik, pseudopodia dan
nukleus eksentris (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009).

2. Sistem Imun Spesifik (Aquired Immunity)

Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda


yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali terpajan
dengan tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik. Pajanan tersebut
menimbulkan sensitifitatasi, sehingga antigen yang sama dan masuk tubuh
untuk kedua kali akan dikenal lebih cepat dan kemudian dihancurkan. Oleh
karena itu, sistem tersebut disebut spesifik. Untuk menghancurkan benda
asing yang berbahaya bagi tubuh, sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa
bantuan sistem imun nonspesifik. Namun pada umumnya terjalin kerjasama
yang baik antara sistem imun nonspesifik dan spesifik seperti antara
komplemen-fagosit-antibodi dan antara makrofag dengan sel T (Baratawidjaja
dan Rengganis, 2010).

Sistem pertahanan spesifik terutama tergantung pada sel-sel limfoid. Ada


dua populasi utama sel limfoid, yaitu sel T dan sel B. Rasio sel T terhadap sel B
sekitar 3 : 1. Limfosit berkembang pada organ limfoid primer, sel T berkembang
di timus, sedangkan sel B di hepar janin atau di sumsum tulang. Kedua jenis sel
tersebut kemudian akan bermigrasi ke jaringan limfoid sekunder, tempatnya
merespon antigen (Wahab dan Julia, 2002).

Sistem imun spesifik terdiri atas sistem humoral dan sistem seluler. Pada
imunitas humoral, sel B melepas antibodi untuk menyingkirkan mikroba
ekstraselular. Pada imunitas seluler, sel T mengaktifkan makrofag sebagai
efektor untuk menghancurkan mikroba atau mengaktifkan sel CTC/Tc
sebagai efektor yang menghancurkan sel terinfeksi (Baratawidjaja dan
Rengganis, 2010).

a. Sistem Imun Spesifik Humoral

Limfosit B atau sel B berperan dalam sistem imun spesifik humoral. Sel
B tersebut berasal dari sel asal multipoten. Pada unggas sel asal tersebut akan
berdiferensiasi menjadi sel B di dalam alat yang disebut Bursa Fabricius yang
terletak dekat kloaka. Bila sel B dirangsang oleh benda asing, maka sel tersebut
akan berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk
zat antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum. Fungsi
utama antibodi ini ialah untuk pertahanan terhadap infeksi virus, bakteri
(ekstraselular), dan dapat menetralkan toksinnya.

Sel B merupakan asal dari sel plasma yang membentuk imunoglobulin


(Ig) yang terdiri atas IgG, IgM, IgA, IgE dan IgD. IgD berfungsi sebagai
opsonin, dapat mengaglutinasikan kuman/virus, menetralisir toksin dan virus,
mengaktifkan komplemen (jalur klasik) dan berperanan pada Antibody
Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC). ADCC tidak hanya merusak sel
tunggal tetapi juga mikroorganisme multiselular seperti telur skistosoma,
kanker, penolakan transplan, sedang ADCC melalui neutrofil dan eosinofil
berperan pada imunitas parasit. IgM dibentuk terdahulu pada respons imun
primer sehingga kadar IgM yang tinggi menunjukkan adanya infeksi dini.
IgM merupakan aglutinator antigen serta aktivator komplemen (jalur klasik)
yang poten. IgA ditemukan sedikit dalam sekresi saluran napas, cerna dan
kemih, air mata, keringat, ludah dan air susu ibu dalam bentuk IgA sekretori
(sIgA). IgA dan sIgA dapat menetralisir toksin, virus, mengaglutinasikan
kuman dan mengaktifkan komplemen (jalur alternatif). IgE berperanan pada
alergi, infeksi cacing, skistosomiasis, penyakit hidatid, trikinosis. Peranan
IgD belum banyak diketahui dan diduga mempunyai efek antibodi pada alergi
makanan dan autoantigen (Baratawidjaja, 1993).

Sel B mengenali epitop pada permukaan antigen dengan menggunakan


molekul antibodi. Jika dirangsang melalui kontak langsung, sel B berproliferasi,
dan klon yang dihasilkan dapat mengeluarkan antibodi yang spesifisitas adalah
sama dengan reseptor permukaan sel yang mengikat epitop tersebut. Tanggapan
biasanya melibatkan klon yang berbeda dari limfosit dan oleh karena itu disebut
sebagai poliklonal. Untuk setiap epitop terdapat beberapa klon limfosit yang
berbeda dengan berbagai sel B reseptor, yang masing-masing mengenali epitop
dengan cara yang sedikit berbeda dan dengan kekuatan mengikat yang berbeda
pula (afinitas) (Delves and Ivan, 2000).

b. Sistem Imun Spesifik Seluler

Imunitas seluler ditengahi oleh sekelompok limfosit yang berdiferensiasi

di bawah pengaruh timus (Thymus), sehingga diberi nama sel T. Cabang efektor
imunitas spesifik ini dilaksanakan langsung oleh limfosit yang tersensitisasi
spesifik atau oleh produk-produk sel spesifik yang dibentuk pada interaksi antara
imunogen dengan limfosit-limfosit tersensitisasi spesifik. Produk-produk sel
spesifikasi ini ialah limfokin-limfokin termasuk penghambat migrasi (migration
inhibition factor = MIF), sitotoksin, interferon dan lain sebagainya yang menjadi
efektor molekul-molekul dari imunitas seluler (Delves and Ivan, 2000).

Sel T merupakan 65-80% dari semua limfosit dalam sirkulasi.


Kebanyakan sel T mempunyai 3 glikoprotein permukaan yang dapat diketahui
dengan antibodi monoklonal T11, T1 dan T3 (singkatan T berasal dari Ortho
yang membuat antibodi tersebut) (Delves and Ivan, 2000). Fungsi sel T
umumnya ialah:

1. Membantu sel B dalam memproduksi antibodi


2. Mengenal dan menghancurkan sel yang diinfeksi virus
3. Mengaktifkan makrofag dalam fagositosis
4. Mengontrol ambang dan kualitas sistem imun (Baratawidjaya dan
Rengganis, 2009).
Pada tubuh ditemui beberapa jenis sel T, yaitu Thelper atau Th;
Tinducer, Tdelayed hypersensitivity atau Td, Tcytotoxic atau Tc dan
Tsupressor atau Ts. Thelper atau Th membantu sel B dalam pembuatan
antibodi. Untuk membuat antibodi terhadap kebanyakan antigen, baik sel B
maupun sel T harus mampu mengenali kembali bagian-bagian tertentu dari
antigennya. Th bekerja sama juga dengan Tc dalam pengenalan kembali sel-sel
yang dilanda infeksi viral dan jaringan cangkokan alogenik. Th membuat dan
melepaskan limfokin yang diperlukan untuk menggalakkan makrofag dan tipe
sel lainnya. Tinducer adalah istilah yang digunakan untuk Th yang sedang
menggalakkan jenis sel T lainnya. Tdelayed hypersensitivity atau Td adalah
sel T yang bertanggungjawab atas pengarahan makrofag dan sel-sel inflamasi
lainnya ke tempat-tempat dimana terjadi reaksi hipersensitivitas yang terlambat.
Mungkin sekali Td bukan suatu sub jenis sel T melainkan kelompok Th yang
sangat aktif. Tcitotoxic atau Tc adalah sel T yang bertugas memusnahkan sel
atau jaringan cangkokan alogenik dan sel-sel yang dilanda infeksi viral, yang
dikenali kembali dalam interaksi dengan berbagai antigen dalam MHC molekul
pada permukaaan sel tujuannya. Tsupressor atau Ts mengatur kegiatan sel T
lain dan sel B. Sel tersebut dapat dikelompokkan dalam 2 golongan , yaitu Tc
yang dapat menekan aktivitas sel yang memiliki reseptor antigen spesifik atau
yang non-spesifik (Black, 2002).

2.3.4 Faktor yang mempengaruhi proses infeksi:


a. Sumber penyakit : Sumber penyakit ikutmempengaruhi apakah infeksi
bereaksi cepat atau lambat.
b. Kuman penyebab : Kuman penyebab menentukan jumlah mikroorganisme
yang masuk, dan kemampuan mikroorganisme yang masuk.
c. Cara membebaskan sumber dari kuman : cara membebaskan kuman dapat
menentukan apakah proses infeksi cepat teratasi atau diperlambat,seperti tingkat
keasaman( PH ), suhu, penyinaran ( cahaya ), dan lain-lain.
d. Cara penularan : Cara penularan seperti kontak langsung, melalui makanan
atau udara, dapat menyebabkan penyebaran kuman ke dalam tubuh.
e. Cara masuknya kuman : Proses penyebaran patogen berbeda, bergantung dari
sifat penyebarannya.
f. Daya tahan tubuh : Daya tahan tubuh yang baik tentunnya dapat mempercepat
proses penyembuhan dari infeksi.
Selain faktor tersebut di atas, terdapat faktor lain seperti status gizi atau
nutrisi, tingkat stress tubuh, faktor usia, atau kebiasaan yang tidak sehat.

2.3.4 Tahap Infeksi


1) Periode inkubasi
Interval antara masuknya pathogen kedalam tubuh dan munculnya gejala
pertama.
2) Tahap prodromal
Interval dari awitan tanda dan gejala non spesifik (malaise, demam
ringan, keletihan) sampai gejala yang spesifik. Selama masa ini, mikroorganisme
tumbuh dan berkembang biak dan klien lebih mampu menyebarkan penyakit ke
orang lain.
3) Tahap sakit
Klien memanifestasikan tanda dan gejala yang spesifik terhadap jenis
infeksi.
4) Pemulihan
Interval saat munculnya gejala akut infeksi.

2.3.5 Pertahanan Terhadap Infeksi


Tubuh memiliki pertahanan normal terhadap infeksi. Flora normal tubuh
yang tinggal didalam dan luar tubuh melindungi seseorang dari beberapa
pathogen. Setiap system organ memiliki mekanisme pertahanan terhadap agen
infeksius. Flora normal, system pertahanan tubuh dan inflamasi adalah
pertahanan non spesifik yang melindungi terhadap mikroorganisme.
1) Flora normal
Secara normal tubuh memiliki mikroorganisme yang ada pada lapisan
permukaan dan didalam kulit, saliva, mukosa oral dan saluran gastrointestinal.
Manusia secara normal mengekskresi setiap hari triliyunan mikroba melalui
usus. Flora normal biasanya tidak menyebabkan sakit tetapi biasanya justru turut
berperan dalam memelihara kesehatan. Flora ini bersaing dengan
mikroorganisme penyebab penyakit untuk mendapatkan makanan. Flora normal
juga mengekskresi substansi antibakteri dalam usus. Flora normal kulit
menggunakan tindakan protektif dengan menghambat multiplikasi organisme
yang menempel dikulit. Flora normal dalam jumlah banyak mempertahankan
keseimbangan yang sensitive dengan mikroorganisme lain untuk mencegah
infeksi. Setiap faktor yang mengganggu keseimbangan ini mengakibatkan
individu semakin beresiko mendapatkan penyakit infeksi.
2) Pertahanan system tubuh
Sejumlah system organ tubuh memiliki pertahanan unik terhadap
mikroorganisme. Kulit, saluran pernafasan dan saluran gastrointestinal sangat
mudah dimasuki oleh mikroorganisme. Organisme pathogen dengan mudah
menempel pada permukaan kulit, di inhalasi melalui pernafasan atau dicerna
melalui makanan. Setiap system organ memiliki mekanisme pertahanan yang
secara fisiologis disesuaikan dengan struktur dan fungsinya. Berikut ini adalah
mekanisme pertahanan normal terhadap infeksi :
3) Inflamasi
Inflamasi merupakan reaksi protektif vaskular dengan menghantarkan
cairan, produk darah dan nutrien ke jaringan interstisial ke daerah cidera. Proses
ini menetralisasi dan mengeliminasi patogen atau jaringan mati (nekrotik) dan
memulai cara-cara perbaikan jaringan tubuh. Tanda inflamasi termasuk bengkak,
kemerahan, panas, nyeri/nyeri tekan, dan hilangnya fungsi bagian tubuh yang
terinflamasi. Bila inflamasi menjadi sistemik akan muncul tanda dan gejala
demam, leukositas, malaise, anoreksia, mual, muntah dan pembesaran kelenjar
limfe.
Respon inflamasi dapat dicetuskan oleh agen fisik, kimiawi atau
mikroorganisme. Respon inflamasi termasuk hal berikut ini:
a) Respon seluler dan vaskuler
Arteriol yang menyuplai darah yang terinfeksi atau yang cidera
berdilatasi, memungkinkan lebih banyak darah masuk dala sirkulasi.
Peningkatan darah tersebut menyebabkan kemerahan pada inflamasi. Gejala
hangat lokal dihasilkan dari volume darah yang meningkat pada area
yanginflamasi. Cidera menyebabkan nekrosis jaringan dan akibatnya tubuh
mengeluarkan histamin, bradikinin, prostaglandin dan serotonin. Mediator
kimiawi tersebut meningkatkan permeabilitas pembuluh darah kecil. Cairan,
protein dan sel memasuki ruang interstisial, akibatnya muncul edema lokal.
Tanda lain inflamasi adalah nyeri. Pembengkakan jaringan yang terinflamasi
meningkatkan tekanan pada ujung syaraf yang mengakibatkan nyeri.
b) Pembentukan eksudat inflamasi
akumulasi cairan dan jaringan mati serta SDP membentuk eksudat pada
daerah inflamasi. Eksudat dapat berupa serosa (jernih seperti plasma),
sanguinosa (mengandung sel darah merah) atau purulen (mengandung SDP dan
bakteri). Akhirnya eksudat disapu melalui drainase limfatik. Trombosit dan
protein plasma seperti fibrinogen membentuk matriks yang berbentuk jala pada
tempat inflamasi untuk mencegah penyebaran.
c) Perbaikan jaringan
Sel yang rusak akhirnya digantikan oleh sel baru yang sehat. Sel baru
mengalami maturasi bertahap sampai sel tersebut mencapai karakteristik struktur
dan bentuk yang sama dengan sel sebelumnya.
g. Respon Imun
Saat mikroorganisme masuk dalam tubuh, pertama kali akan diserang
oleh monosit. Sisa mikroorganisme tersebut yang akan memicu respon imun.
Materi asing yang tertinggal (antigen) menyebabkan rentetan respon yang
mengubah susunan biologis tubuh. Setelah antigen masuk dala tubuh, antigen
tersebut bergerak ke darah atau limfe dan memulai imunitas seluler atau
humural.

1) Imunitas selular
Ada kelas limfosit, limfosit T (CD4T) dan limfosit B (sel B). Limfosit T
memainkan peran utama dalam imunitas seluler. Ada reseptor antigen pada
membran permukaan limfosit CD4T. Bila antigen bertemu dengan sel yang
reseptor permukaannya sesuai dengan antigen, maka akan terjadi ikatan. Ikatan
ini mengaktifkan limfosit CD4T untuk membagi diri dengan cepat untuk
membentuk sel yang peka. Limfosit yang peka bergerak ke daerah inflamasi,
berikatan dengan antigen dan melepaskan limfokin. Limfokin menarik &
menstimulasi makrofag untuk menyerang antigen.
2) Imunitas humoral
Stimulasi sel B akan memicu respon imun humoral, menyebabkan
sintesa imunoglobulin/antibodi yang akan membunuh antigen. Sel B plasma dan
sel B memori akan terbentuk apabila sel B berikatan dengan satu antigen.
Sel B mensintesis antibodi dalam jumlah besar untuk mempertahankan
imunitas, sedangkan sel B memori untuk mempersiapkan tubuh menghadapi
invasi antigen.
3) Antibodi
Merupakan protein bermolekul besar, terbagi menjadi imunoglobulin A,
M, D, E, G. Imunoglobulin M dibentuk pada saat kontak awal dengan antigen,
sedangkan IgG menandakan infeksi yang terakhir. Pembentukan antibodi
merupakan dasar melakukan imunisasi.
4) Komplemen
Merupakan senyawa protein yang ditemukan dalam serum darah.
Komplemen diaktifkan saat antigen dan antibodi terikat. Komplemen diaktifkan,
maka akan terjadi serangkaian proses katalitik.
5) Interferon
Pada saat tertentu diinvasi oleh virus. Interferon akan mengganggu
kemampuan virus dalam bermultiplikasi.
2.3.6 Perbedaan Antara Peradangan dan Infeksi
Peradangan adalah reaksi jaringan terhadap agen merugikan.
Infeksi adalah masuknya dan pertumbuhan organisme penyebab
penyakit.
Peradangan adalah reaksi terhadap infeksi. Infeksi merupakan salah satu
penyebab paling umum dari reaksi inflamasi.

2.3.7 Infeksi nosokomial

Infeksi nosokomial menurut WHO adalah adanya infeksi yang tampak


pada pasien ketika berada didalam rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya,
dimana infeksi tersebut tidak tampak pada saat pasien diterima dirumah sakit.
Yang disebut infeksi nosokomial ini termasuk juga adanya tanda tanda infeksi
setelah pasien keluar dari rumah sakit dan juga termasuk infeksi pada petugas
petugas yang bekerja di fasilitas kesehatan. Infeksi yang tampak setelah 48 jam
pasien diterima dirumah sakit biasanya diduga sebagai suatu infeksi nosokomial.

Pembagian infeksi nosokomial:

1. Infeksi saluran kemih ( UTI )


Merupakan infeksi yang paling sering terjadi. Sekitar 80% infeksi
saluran kemih ini berhubungan dengan pemasangan kateter. Patogen
dapat berasal dari flora normal saluran cerna , misalnya E. coli ataupun
didapat dari rumah sakit, misalnya Klebsiella Multiresisten.
2. Infeksi luka operasi / infeksi daerah operasi ( ILO / IDO )
Infeksi ini cukup sering terjadi dari 0,5 sampai 15 %, tergantung tipe
operasi dan penyakit yang mendasarinya. Kriteria dari infeksi ini yaitu
ditemukan discharge purulen disekitar luka atau insisi dari drain atau
sellulitis yang meluas dari luka pasca operasi.
3. Pneumonia nosokomial ( VAP )
Mikroorganisme patogen menginfeksi saluran pernafasan bagian atas
dan bronchus dan menyebabkan infeksi pada paru ( pneumonia ).
4. Bakteremia nosokomial ( BSI )
Tipe infeksi nosokomial ini merupakan proporsi kecil dari infeksi
nosokomial (sekitar 5 %), tetapi angka kejadian fatal nya tinggi, lebih
dari 50% untuk beberapa organisme patogen. Faktor resiko yang utama
dalam mempangaruhi infeksi nosokomial ini adalah lamanya kateterisasi,
level aseptik dan pemeliharaan yang kontinyu dari kateter.
5. Infeksi nosokomial lainnya
Sebagai contoh, misalnya :
Infeksi pada kulit dan jaringan lunak,
Gastroenteritis
Sinusitis dan infeksi saluran cerna lainnya, infeksi pada mata dan
konjungtiva.
Endometritis dan infeksi lainnya dari organ reproduksi setelah
melahirkan.

Bakteri dapat menyebabkan infeksi nosokomial dengan beberapa cara:


1. Flora tetap atau sementara pada pasien ( endogen )
Bakteri yang awalnya merupakan flora normal dapat menyebabkan
infeksi oleh karen adanya perpindahan dari habitat alami ke luar, misalnya
pindah kesaluran kemih, atau adanya kerusakan jaringan (luka), atau tidak
adekuat pemberian antibiotik sehingga diikuti adanya pertumbuhan kuman yang
berlebihan.
2. Flora dari pasien atau petugas rumah sakit ( exogen )
Bakteri dapat berpindah diantara pasien :
Melalui kontak langsung diantara pasien..
Melalui udara.
Melalui petugas yang terkontaminasi melalui perawatan pasien,
Melalui objek objek yang terkontaminasi oleh pasien, termasuk peralatan,
tangan petugas, tamu atau sumber linkungan lain,
3. Flora yang berasal dari lingkungan kesehatan.
Beberapa tipe organisme dapat bertahan dengan baik pada lingkungan rumah
sakit, misalnya didalam air, area yang lembab, dan kadang kadang pada produk
yang steril atau desinfektan,

Faktor faktor yang mempengaruhi berkembangnya infeksi nosokomial:

Antimikroba
Sebelum diperkenalkan pelatihan dasar mengenai kebersihan dan pemberian
antimikroba, hampir semua infeksi dirumah sakit berasal dari sumber luar yang
patogen. Juga disebabkan oleh mikroorganisme yang bukan flora normal dari
pasien itu sendiri . Perkembangan terapi antibiotik sebagai terapi infeksi bakteri
digunakan untuk menurunkan angka kematian dari berbagai penyakit infeksi.
Hampir semua infeksi yang didapatkan dirumah sakit disebabkan oleh
mikroorganisme yang umumnya sering terdapat pada populasi umum, misalnya
pada pasien pasien yang ada di dirumah sakit.
Kerentanan pasien
usia, status imun, penyakit yang mendasarinya, serta intervensi dari
terapi. Pasien yang mengalami penyait kronik seperti tumor ganas, leukemia,
diabetes mellitus, gagal ginjal, atau AIDS, mempunyai kerentanan yang
meningkat terhadap infeksi opurtunistik.
Faktor lingkungan
Pasien dengan infeksi atau dengan carrier berpotensi menularkan
penyakit pada pasien lain atau petugas di rumah sakit.
Resistensi bakteri
dimana banyak strain bakteri yang resisten terhadap berbagai
antimikroba. Resistensi strain bakteri menjadi menetap dan dapat berkembang
menjadi endemik di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA

ABIGAIL PHEILIA YT, (2014) UJI EFEKTIVITAS ANTIINFLAMASI

EKSTRAK DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)

TIKUS PUTIH JANTAN GALUR Sprague Dawley YANG DIINDUKSI

KARAGENIN. Universitas Lampung, Fakultas Kedokteran.

Ahmad. 2010. KONSEP DASAR INFEKSI. Retrieved :

https://www.academia.edu/9069276/BAB_I_PEMBAHASAN_1._

Konsep_Dasar_Infeksi ( diakses 17 Desember 2017 )

Arimbi, dkk., 2013. Buku Ajar Patologi Umum Veteriner. Surabaya : Airlangga

Press

Glandys. 2013. PATOLOGI. Retrieved :

https://www.scribd.com/doc/169321659/makalah-patologi ( diakses

17 Desember 2017 )

Hartono, Andry. 2013. Dasar-dasar Patofisiologi Penyakit. Tangerang Selatan :

BINARUPA AKSARA Publisher

Hikmat. 2014. PERBEDAAN ANTARA PERADANGAN DAN INFEKSI.

Retrieved : http://kliksma.com/2014/11/perbedaan-antara-

peradangan-dan-infeksi.html ( diakses 17 Desember

2017 )

Munasir, Zakiudin. 2001. Respons Imun Terhadap Infeksi Bakteri.

http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/43779499/2-4-4.pdf?
AWSAccessKeyId=AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires=14875898

12&Signature=NxYKnHy7ZaVloHbIVqqBse4kCIc%3D&response-

content-disposition=inline%3B%20filename

%3DRespons_Imun_Terhadap_Infeksi_Bakteri.pdf. [ diakses pada

tanggal 20 Februari 2017]

Robbins, S dan Kumar, V. 1992. Buku Ajar Patologi 1. Surabaya : EGC

Spector, W.G . 1980. An Introduction To General Pathology. London : Longman

Group Limited. Terjemahan oleh Soetjipto, NS. Dkk . 1993. Pengantar

Patologi Umum. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Wahab, Samik dan Julia, Madani. 2002. Sistem Imun, Imunisasi, & Penyakit

Imun. Jakarta : Widya Medika.

Insani, Gabriela. 2015 http://dokumen.tips/documents/sistem-imun-spesifik-dan-

non-spesifik-55cf4a76cf9c7.html [diakses pada tanggal 24 Februari

2017]

Anda mungkin juga menyukai