Anda di halaman 1dari 8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kulit Pepaya

Selain buah, bagian tanaman pepaya lainnya juga menyimpan manfaat

serupa dengan buah. Salah satu bagian penting tetapi lebih sering dibuang sebagai

limbah rumah tangga adalah getah buah pepaya. Komponen limbah ini juga

memiliki manfaat. Hal ini terkait dengan kandungan getah pepaya yang kurang

lebih sama dengan daging buahnya (http://khasiatdaunpepaya.blogspot.

co.id/2012/10/membedah-kandungan-kulit-pepaya.html, 2012).

Kulit pepaya mengandung 3 jenis enzim pengurai protein, yaitu enzim

papain, kimopapain, dan lisozim. Komposisi enzim dalam getah pepaya adalah

10% papain, 45% kimopapain, dan 20% lisozim (Winarno, 1995).

1. Papain

papain adalah salah satuenzim proteolitik yang dihasilkan dari isolasi

penyadapan getah buahpepaya (Carica papaya, L.).(Elisa Novriyanti 2013)

Aktivitas papain dipengaruhi banyak faktor, seperti suhu, pH, dan sisi aktifnya

yang mengandung gugus sulfhidril. Papain mempunyai daya tahan panas lebih tinggi

daripada enzim lain. Keaktifan enzim papain hanya menurun 20% pada pemanasan 70 0C

selama 30 menit pada pH 7,0. (elisanovriyanti.blogspot.2013.enzim-papain).

Aktifitas enzim papain rendah pada suhu kamar, meningkat pada suhu 55oC, dan

5
mencapai optimum pada suhu 65oC 80oC. Aktifitas enzim papain akan berhenti

pada suhu 90oC.

2. Kimopapain

Daya kerja enzim ini mirip dengan papain baik terhadap senyawa-senyawa

penghambat maupun aktifitas sintetiknya. Bedanya dengan papain, daya tahannya

lebih besar. Disamping itu kimopapain lebih tahan pada pH rendah, dan punya

kestabilan mantap pada pH 2,0 (Winarno, 1983).

3. Lisozim

Menurut Winarno (1983), lisozim mempunyai residu terminal amino dan

residu terminal karboksil leusin. Bagian dalam enzim bersifat polar sehingga

dapat larut dalam air.

Gambar 2.1. Produksi Buah Pepaya

6
2.2. Hubungan Getah Pepaya dan Suhu dalam Ekstraksi

Krim santan adalah emulsi minyak dalam air. Minyak bukan merupakan

fasa molar (diskontinu) dan air merupakan fasa molar (kontinu). Diantara minyak

dan air terdapat pemantap yang berperan memantapkan system emulsi. Menurut

Suhadidjono dan Samsiah, zat pemantap tersebut adalah protein.

Karena protein dapat dipecah oleh enzim protease, maka digunakan getah

pepaya untuk memecah zat pemantap menjadi molekul-molekul sederhana yang

tidak dapat berfungsi sebagai zat pemantap. Enzim protease akan memecah

peptida menjadi bagian-bagian yang lebih kecil (Wingrove dan Caret, 1981).

Reaksi pemecahan ini menurut Greig-Smith P. (1983) adalah sebagai berikut :

O O

Enz-SH + R-C-NH-R Enz-S-C-R + H2N-R

O O

Enz-S-C-R + H2O Enz-SH + R-C-OH

Gugus SH yang terdapat pada bagian aktif enzim ini, berperan sebagai katalisator

dalam proses hidrolisa ikatan peptida (Wirahadikusuma, 1981).

Menurut Brown dan Lemas (1997), kecepatan reaksi enzim dipengaruhi

oleh konsentrasi dan temperature. Aktifitas enzim menurut Soeharsona (1989),

juga dipengaruhi oleh pH, adanya zat penghambat, kadar substrat, dan jenis

substrat.

7
1. Pengaruh Konsentrasi Enzim

Dalam reaksi enzim dikenal dengan kecepatan reaksi hidrolisis, penguraian

atau reaksi katalis yang disebut kecepatan reaksi enzim (Winarno, 1983).

Menurut Brown dan Lemas (1997), kecepatan reaksi enzim dipengaruhi

oleh konsentrasi zat itu sendiri. Kecepatan reaksi berbanding lurus dengan

konsentrasi enzim. Semakin tinggi konsentrasi enzim semakin tinggi pula

kecepatan reaksi enzim tersebut.

Untuk menerangkan hal ini menurut Soeharsona (1989), dapat digunakan

asa keseimbangan Michaelis-Menten sebagai berikut :

K1 K3
E+S ES E+P
K2

E adalah kadar enzim, S adalah kadar substrat, ES adalah kompleks enzim

substrat dan P adalah produk, kecepatan pembentukkan kompleks ES adalah :

-d (ES)/dt = K1 ES = K1 (Et ES) S

Sedangkan kecepatan peruraian kompleks ES adalah

-d (ES)/dt = K2 ES + K3 ES

Pada keadaan seimbang, kecepatan pembentukkan kompleks ES sama dengan

peruraian kompleks ES, maka :

K1 (Et ES) S = K2 ES + K3 ES

K 1 ( Et ES ) S
ES=
K 1 K 3

K 1+ K 3
Bila tetapan Michaelis-Menten (KM) =
K1

8
Et S
Maka ES =
K M+S

Reaksi enzimatik sebagaimana dicantumkan di atas terdiri dari dua tahap,

yaitu terbentuknya kompleks ES dan terurainya kompleks ES menjadi produk.

Oleh karena itu kecepatan reaksi mula-mula tergantung dari kadar kompleks ES.

Vo = K3 ES

Sebaliknya kecepatan maksimal akan tergantung dari enzim total (Et).

Vo maks = K3 Et

Berpegang dari kedua persamaan itu maka diperoleh suatu rumus kecepatan awal

(Vo) sebagai berikut :\

Vo = Vmaks . ES

Et

= Vmaks . S

KM + S

2. Pengaruh Temperatur

Kecepatan reaksi meningkat dengan meningkatnya temperatur sampai batas

tertentu (Soeharsono, 1989).

Menurut Winarno (1983), istilah yang digunakan untuk menyatakan

pengaruh temperature pada laju reaksi adalah koefisien suhu Q10, yaitu laju

kecepatan reaksi enzim pada suhu (to + 10oC) per laju kecepatan reaksi enzim

pada suhu to.

9
Temperatur mempunyai pengaruh yang saling berlawanan terhadap aktifitas

enzim. Naiknya temperature akan menaikkan atktifitas enzim dan sebaliknya akan

mendenaturasi enzim (Ottaway dan Apps, 1984).

Ketaren (1986), menerangkan bahwa kebanyakkan enzim mempunyai

temperatur optimum antara 40oC sampai 50oC, tetapi kisaran ini bisa lebih tinggi

terutama pada enzim tanaman. Pada umumnya suhu kritis enzim menurut

Soeharsono (1989) terletak antara 55oC sampai 60oC.

3. Pengaruh pH

Pada umumnya enzim bersifat amfolitik, yang berarti enzim mempunyai

konstanta disolasi pada gugus asam maupun gugus basanya, terutama pada gugus

keaktifan enzim akibat perubahan pH lingkungan disebabkan terjadinya

perubahan ionisasi enzim, substrat atau kompleks enzim substrat (Winarno, 1983).

Enzim menunjukkan aktifitas maksimum pada pH yang disebut pH

optimum, yang umumnya pH 4,5 (Harrow dan Mazur, 1954). Diluar pH optimum

kecepatan reaksi enzim menjadi berkurang dan pad pH yang terlalu asam atau

basa enzim menjadi aktif. Suatu enzim mempunyai pH optimum yang berbeda-

beda tergantung pada berbagai bentuk buffer, partikel-partikel substrat dan asam

enzim (Kleiner dan Orten, 1975).

10
2.3. Minyak Kelapa

Minyak kelapa merupakan ester dari gliserol dengan asam lemak yang

membentuk gliserida. Mutu minyak tergantung dari bahan baku dan proses

pengolahannya (Djatmiko, Achyas dan Ketaren, 1985).

Menurut ketaren, minyak kelapa berdasarkan kandungan lemaknya

digolongkan ke dalam minyak asam laurat, karena kandungan asam lauratnya

paling besar jika dibandingkan dengan asam lemak lainnya.

Berdasarkan tingkat ketidakjenuhannys ysng dinyatakan dengan bilangan

iod, maka minyak kelapa berkisar antara 7,5 sampai 10,5 (Ketaren, 1986).

Komposisi asam lemak minyak kelapa dapat dilihat pada tabel 2.4. dari

tabel tersebut dapat dilihat bahwa minyak kelapa mempunyai asam lemak jenuh

93% dan asam lemak tidak jenuh 7%.

Tabel 2.4. komposisi asam lemak minyak kelapa

Asam lemak Kejenuhan Rumus Kimia Jumlah


Asam kaprilat Jenuh C7H17COOH 8
Asam kaprat Jenuh C9H19COOH 7
Asam laurat Jenuh C11H23COOH 48
Asam miristat Jenuh C13H27COOH 19
Asam palmitat Jenuh C15H31COOH 7
Asam stearate Jenuh C17H35COOH 4
Asam oleat Tidak jenuh C17H33COOH 6
Asam linoleat Tidak jenuh C17H31COOH 1
Sumber : Tressler dan Woodroof (1976)

Menurut Suhadidjono dan Samsiah (1988), minyak kelapa tahan terhadap

oksidasi karena kadar asam tidak jenuhnya relatif rendah. Tetapi adanya asam

lemak bebas sangat mengganggu hasil minyak bila adanya dalam jumlah yang

11
cukup banyak. Karena asam lemak tersebut bersifat volatile dan larut dalam

minyak sehingga menyebabkan warna dan bau yang tidak disukai.

Standar mutu minyak kelapa menurut SH adalah kadar air minyak

maksimum setengah persen, angka iod 8 sampai 10 persen, angka penyabunan

255 sampai 265, kadar asam lemak bebas maksimum 5 persen dan tidak

mengandung logam berbahaya (Setiaji dan Prayugo, 2006).

12

Anda mungkin juga menyukai