Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Cabai Jawa.
Cabe jawa (Piper retrofractum. Vahl) termasuk famili Piperaceae, yang tumbuh memanjat dan
merupakan salah satu jenis tanaman obat yang banyak digunakan di Indonesia. Manfaat utama
cabe jawa yaitu buahnya sebagai bahan campuran ramuan jamu. Di Madura cabe jawa digunakan
sebagai ramuan penghangat badan yang dapat dicampur dengan kopi, teh, dan susu. Cabe jawa
juga dapat digunakan sebagai obat luar, diantaranya untuk pengobatan penyakit beri-beri dan
reumatik (Burkill, 1935). Mardjodisiswojo dan Sudarso (1975) melaporkan cabe jawa dapat
dimanfaatkan untuk mengobati tekanan darah rendah, influenza, cholera, sakit kepala, lemah
sahwat, bronchitis menahun dan sesak napas. Penggunaan buah cabe jawa dalam bentuk seduhan
menurut Saroni et al. (1992) cukup aman karena termasuk jenis simplisia yang tidak berbahaya
(relatively harmless). Penggunaan cabe jawa dalam bentuk simplisia termasuk 10 besar bahan
baku yang diserap oleh industry obat tradisional, dan menempati peringkat ke-enam, yaitu 9,5%
dari total simplisia. Pemakaian simplisia ini menunjukkan adanya peningkatan ratarata per tahun
20,81% dalam kurun waktu 1985-1990 (Januwati et al., 2000). Kebutuhan cabe jawa
berdasarkan ragam penggunaan (khasiat obat) adalah 47,73% (Kemala at al., 2003). Cabe jawa
merupakan salah satu dari 9 tanaman unggulan Badan Pengawasan Obat dan Makanan dan
dikelompokkan sebagai tanaman berkhasiat afrodisiak (Sampurno, 2003). Di Indonesia cabe
jawa banyak ditemukan terutama di Jawa, Sumatera, Bali, Nusatenggara dan Kalimantan. Daerah
sentra produksi utamanya adalah di Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep),
Lamongan dan Lampung. Sampai saat ini belum diketahui apakah karakteristik tanaman cabe
jawa yang dibudidayakan tersebut sama atau tidak. Hasil karakterisasi terhadap populasi
pertanaman cabe jawa di 4 kabupaten di Madura pada tahun 1993 menunjukkan bahwa variasi
tanaman cabe jawa lebih kecil bahkan secara visual hampir sama (Rostiana et al., 1994). Untuk
memastikan sifat pembeda dari masing masing tipe perlu dilakukan pengamatan. Dalam
penelitian ini dikaji sifat morfologi daun, batang dan buah serta kandungan mutu cabe jawa dari
berbagai sentra produksi. Hasil inventarisasi tanaman cabe jawa di sentra produksi tahun
1992/1993 memperlihatkan bahwa di Madura ditemukan cabe jawa dengan tipe buah yang
berbeda ukuran (besar, sedang, dan kecil) dengan warna bervariasi, dan mutu berlainan. Cabe
jawa dari Kabupaten Sumenep memiliki kandungan minyak 1,56-1,66% (Rostiana et al., 1994;
Yuliani et al., 2001). Sementara hasil eksplorasi tahun 2003 (Rostiana et al., 2003) menunjukkan
bahwa kandungan piperin, oleoresin dan minyak atsiri aksesi cabe jawa yang berhasil
dikumpulkan dari beberapa sentra produksi juga berbeda beda. Kadar piperin tertinggi (17,24%)
diperoleh pada aksesi asal Bali, dengan bentuk buah lonjong, pipih, dan kecil serta berwarna
kuning. Sedangkan kadar minyak atsiri tertinggi (1,40%) diperoleh dari aksesi asal Pamekasan.
Cabe jawa yang berasal dari Sumenep menunjukan
kadar oleoresin tertinggi yaitu 6,10% (Rostiana et al., 2003). Dengan demikian, perbedaan
komponen produksi dari masing-masing tipe cabe jawa yang tersebar di sentra produksi belum
diketahui dengan jelas. Oleh karena itu dilakukan karakterisasi sifat-sifat tersebut di lokasi yang
sama untuk menentukan pembeda dari masing-masing tipe cabe jawa yang ada.

2. Hipogonadisme
Hipoganadisme adalah suatu keadaan dimana terjadi difisiensi hormon gonad.
Hipogonadisme adalah berkurangnya atau menurunnya hormone androgen sehingga
mempengaruhi fungsi dan ciri seks dari kelamin baik pria dan wanita.
2.1 Struktur dan Fungsi Kelenjar Gonad
a. Testis
o Anatomi
Testis adalah organ utama dari sistem reproduksi pria. Testis kiri dan kanan merupakan
kelenjar yang terbungkus skrotum. Testis tersusun atas tubulus seminiferus. Testis
berkembang di dalam rongga abdomen sewaktu janin dan turun melalui saluran inguinalis
kanan dan kiri masuk ke dalam skrotum menjelang akhir kehamilan. Testis ini terletak oblik
menggantung pada urat-urat spermatik di dalam skrotum.
Diantara tubulus-tubulus testis terdapat sarang-sarang sel yang mengandung granula lemak,
sel interstisium leydig yang mensekresi testosteron.
o Fisiologi testis
a) Organ endokrin
Testis mensekresikan sejumlah besar androgen, terutama testosteron, tetapi testis juga
mensekresikan sedikit estrogen. Androgen adalah hormon seks sterol yang efeknya
maskulinisasi. Androgen disekresikan oleh korteks adrenal. Testosteron disekresikan oleh sel
interstisiil, yaitu sel-sel yang terletak di dalam ruang antara tubula-tubula seminiferus testis
atas rangsangan hormon perangsang sel interstisiil (ICSH) dari hipofisis yang sebenarnya
adalah bahan yang sama dengan Luteinizing Hormon (LH). Pengeluaran testosteron
bertambah dengan nyata pada masa pubertas dan bertanggung jawab atas pengembangan
sifat-sifat kelamin sekunder yaitu pertumbuhan jenggot, suara lebih berat, pembesaran
genetalia. Nilai normal testosteron adalah 3-10 mg/dl.
Efek:
Efek testosteron pada fetus merangsang deferensiasi dan perkembangan genital ke arah pria.
Pada masa pubertas hormon ini akan merangsang perkembangan tanda-tanda seks sekunder
seperti perkembangan bentuk tubuh. Pertumbuhan dan perkembangan alat genital, distribusi
rambut tubuh, pembesaran larynx dan penebalan pita suara serta perkembangan sifat agresif.
Mekanisme kerja:
Testosteron berikatan dengan suatu reseptor intra sel dan kompleks esterol-reseptor
kemudian berikatan dengan DNA di nukleus, menyebabkan transkripsi berbagai gen. Selain
itu testosteron dirubah menjadi dihidrotestosteron (DHT) oleh sa-reduktase di beberapa
jaringan sasaran dan DHT berikatan dengan reseptor intra sel yang sama seperti testosteron.
DHT bersirkulasi dengan kadar plasma 10% kadar testosteron, kompleks testosteron reseptor
kurang stabil bila dibandingkan dengan kompleks DHT-reseptor di sel sasaran dan
transformasi kompleks tersebut ke DNA sel kurang sempurna. Sehingga pembentukan DHT
adalah salah satu cara untuk meningkatkan efek testosteron dalam jaringan sasaran.
Kompleks testoteron-reseptor berperan dalam pematangan struktur dan duktus wolffian
sehingga bertanggung jawab terhadap pembentukan genetalia interna pria selama
pertumbuhan. Tetapi kompleks DHT-reseptor diperlukan untuk membentuk genetalia
eksterna pria. Kompleks DHT-reseptor juga berperan dalam pembesaran prostat dan
mungkin penis pada saat pubertas serta rambut wajah, jerawat dan pengenduran temporal
garis rambut. Dipihak lain peningkatan masa otot dan munculnya dorongan seks dan libido
pria lebih tergantung pada testosteron dari pada ke DHT.
b) Organ reproduksi
Testis adalah organ tempat spermatozoa dibentuk dan testosteron dihasilkan. Testosteron
untuk mempertahankan spermatogenesis sementara FSH diperlukan untuk memulai dan
mempertahankan spermatogenesis.
2.2 Etiologi Hipogonadisme
a. Primer
o Infeksi kelenjar gonad
o Atropi kelenjar gonad
b. Skunder
o Kerusakan hipothalamus untuk mensekresi GnRH.
o Hipersekresi prolaktin di hipofisis anterior
o Hiposekresi FSH dan LH

2.3 Patofisiologi

2.4 Manifestasi Klinik


1) Defisiensi hormon pada masa kanak-kanak (prepubertas)
Gambaran klinisnya adalah enukoidisme, orang-orang enukoid yang berusia di atas 20
tahun, biasanya tinggi, bahu sempit dan otot kecil (konfigurasi tubuh yang mirip dengan
wanita dewasa). Selain itu genitalia kecil, suara memiliki nada tinggi, pertumbuhan rambut
pubis wanita yaitu segitiga dengan dasar di atas, bukan pola segitiga yang dasarnya di bawah
seperti yang dijumpai pada pria normal.
2) Difisiensi post pubertas
Pada pria dewasa mengalami penurunan sebagian libido, kadang-kadang mengalami hot
flashes, biasanya lebih mudah tersinggung, pasif dan menderita depresi dibanding dengan
yang memiliki testis utuh. Selain itu terjadi impotensi, pengurangan progresif rambut dan
bulu tubuh, jenggot dan berkurangnya pertumbuhan otot.
3) Dampak Terhadap Sistem Lain
1. Sistem Reproduksi
o Atropi testis dan ovarium
o Impotensi
o Kehilangan/penurunan libido
o Genetalia kecil
o Atropi payudara
2. Sistem Muskuloskeletal
o Otot kecil
o Pertumbuhan otot kurang
3. Sistem Integumen
o Pertumbuhan rambut tubuh jarang

2.5 Pemeriksaan Diagnostik


1. CT Scan otak, untuk melihat adanya tumor pada hipofise/hipothalamus
2. Pengambilan kadar testoteron serum
3. Kadar gonadotropi serum dan kariotip
4. Test stimulasi dengan klomifen
5. Test stimulasi Gn RH
6. Test stimulasi HCG
7. Analisis semen untuk kuantitas dan kwalitas sperma.

2.6 Penatalaksanaan Medis


Dengan pemberian testoteron dengan dosis yang sesuai untuk hasil yang maksimal
dikombinasikan dengan HCG diberikan 3x seminggu dalam waktu 4-6 bulan sampai kadar
testoteron normal. Setelah 6 bulan terapi, bila jumlah sperma tetap sedikit maka pegobatan
dihentikan, bila jumlah sperma meningkat maka terapi diteruskan.

3. Prosedur uji klinik


Uji klinis merupakan penelitian eksperimental yang agresif dengan melibatkan manusia
secara perorangan dinamakan randomized controlled trials (RCT) atau clinical trials (uji
klinis). Uji klinis didefinisikan sebagai setiap penelitian pada subjek manusia yang
dimaksudkan untuk menemukan atau memastikan efek klinik, farmakologi dan atau
farmakodinamik lainnya dari produk yang diteliti, dan atau untuk mengidentifikasi setiap
reaksi yang tidak diinginkan terhadap produk yang diteliti, dan atau untuk mempelajari
absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dari produk yang diteliti dengan tujuan untuk
memastikan keamanan dan atau efektifitasnya.
Cara uji klinik yang baik didefinisikan sebagai suatu standar kualitas etik dan ilmiah
internasional untuk mendesain, melaksanakan , mencatat, dan melaporkan uji klinis yang
melibatkan partisipasi subjek manusia. Mematuhi standar ini memberi kepastian kepada
publik bahwa hak, keamanan dan kesejahteraan subjek uji klinis dilindungi, sesuai dengan
prinsip yang berasal dari Deklarasi Helsinki dan bahwa data uji klinis tersebut dapat
dipercaya. Uji coba pada manusia dilakukan jika diperoleh kesan, bahwa uji coba pada hewan
cukup aman dan memuaskan. Walaupun begitu uji klinik (clinical trial) obat baru pada
manusia masih dilakukan dalam beberapa tahap sebagai berikut:
Tahap I: Untuk pertama kali obat dicobakan pada manusia. Subjek disini terdiri dari
sukarelawan yang sehat (20-80). Uji coba fase I ini dilakukan di suatu rumah sakit atau
lembaga dengan pengawasan yang ketat oleh para ahli. Perhatian ditujukan untuk mengetahui
farmakokinetika dan farmakodinamika obat pada orang yang sehat. Dari segi etik riset, uji
klinik tahap I umumnya tergolong riset non terapeutik.
Tahap II: Obat dicobakan pada sekelompok kecil penderita yang diharapkan akan mendapat
manfaat terapeutik atau diagnostik dari obat tersebut. Subjek diseleksi dengan ketat dan
diawasi oleh ahli yang kompeten. Tujuan utama dari tahap ini adalah untuk mengetahui
apakah obat baru ini mempunyai efek terapeutik pada penderita. Disamping itu dicatat pula
data lain seperti pada tahap I.
Tahap III: Obat diberikan pada sejumlah besar penderita dengan kondisi yang menyerupai
keadaan dimana obat dipakai sehari-hari dimasyarakat. Ini berarti bahwa seleksi pasien tidak
terlalu ketat dan obat mungkin diberikan oleh dokter umum atau orang-orang yang tidak ahli
benar. Efek samping yang agak jarang dijumpai mungkin telah dapat terlihat pada tahap ini.
Bila hasil uji klinik tahap III ini dinilai aman dan efektif maka obat dapat dipasarkan.
Tahap IV: Disini dapat dikumpulkan data efektivitas maupun efek samping obat dalam
penggunaan jangka panjang. Demikian pula kemungkinan timbulnya kecenderungan
penggunaan berlebihan atau penyalahgunaan.

@ Deklarasi Helsinki
Dalam riset biomedik pada manusia terdapat paduan yang tercantum dalam Deklarasi
Helsinki (1964) dari World Medical Association (WMA), yang direvisi di Tokyo (1975), di
Venesia (1983), di Hongkong (1989), serta International Ethical Guidelines for biomedical
Research Involving Human Subjects oleh Council for International Organization of Medical
Sciences (CIOMS) dan WHO (1993). Dalam Deklarasi Helsinki tercantum prinsip-prinsip
dasar riset, etik riset kedokteran yang dikombinasikan dengan pengobatan (riset klinik) dan
riset biomedik non terapeutik pada manusia (riset biomedik non klinik), yang berbunyi
sebagai berikut:
Prinsip dasar
1. Riset biomedik pada subjek manusia harus memenuhi prinsip-prinsip ilmiah dan
berdasarkan eksperimen laboratorium hewan percobaan dan pengetahuan yang adekuat dari
literature ilmiah.
2.Disain dan pelaksanaan eksperimen pada manusia harus dituangkan dalam suatu protocol
untuk kemudian diajukan kepada suatu komisi independen yang ditugaskan untuk
mempertimbangkan, member komentar dan bimbingan.
3.Riset biomedik pada manusia hanya boleh dikerjakan oleh orang-orang dengan kualifikasi
keilmuan yang cukup dan diawasi oleh tenaga medik yang kompeten. Tanggung jawab atas
manusia yang diteliti terletak pada tenaga medik yang kompeten dan bukan pada manusia
yang diteliti, walaupun subjek telah memberikan persetujuannya.
4.Riset biomedik pada manusia tidak boleh dikerjakan kecuali bila kepentingan tujuan
penelitian tersebut sepadan denga resik yang akan dihadapi subjek.
5.Setiap penelitian pada subjek manusia harus diketahui oleh peneliti secara seksama
mengenai resiko yang mungkin timbul dan manfaat potensial, baik bagi subjek maupun bagi
orang lain. Kepentingan subjek harus lebih diutamakan dari pada kepentingan ilmu
pengetahuan maupun kepentingan masyarakat.
6.Dalam penelitian, hak seseorang untuk melindungi integritas dirinya harus selalu dihormati.
Penelitian harus berusaha menekan sekecil mungkin dampak penelitian terhadap integritas
mental, fisik dan kepribadian seubjek.
7.Seorang dokter tidak diperbolehkan ikut dalam proyek riset dengan subjek manusia kalau ia
tidak dapat memperkirakan bahaya apa yang mungkin timbul. Dokter juga harus
menghentikan penelitian bila bahaya yang dijumpai ternyata melampaui manfaat yang
diharapkan.
8.Dalam mempublikasikan hasil penemuannya, maka harus dilaporkan hasil yang akurat.
Eksperimen yang dilakukan tanpa mengindahkan prinsip-prinsip yang digariskan dalam
Deklarasi Helsinki tidak boleh diterima untuk publikasi.
9.Dalam setiap riset pada manusia, maka kebanyakan subjek yang bersangkutan harus diberi
tahu tentang tujuan, metoda, manfaat serta bahaya potensial dan rasa tidak enak yang akan
dialami. Kepada subjek juga harus dijelaskan bahwa ia bebas untuk menolak berpartisipasi
dalam penelitian dan bila ia ikut berpartisipasi ia bebas untuk mengundurkan diri setiap saat.
Dokter harus meminta persetujuan setelah penjelasan dari subjek dan ini sebaiknya dalam
bentuk ttertulis.
10.Dalam meminta persetujuan setelah penjelasan ini, dokter harus berhati-hati bilamana ada
kemungkinan bahwa pasien merasa tergantung dari dokternya atau dalam keadaan dimana
subjek memberi persetujuan dibawah paksaan. Dalam keadaan seperti ini, persetujuan pasien
hendaknya diminta oleh dokter lain yang ikut dalam riset dan tidak terikat oleh hubungan
dokter pasien dengan subjek yang bersangkutan.
11.Untuk penderita yang tidak kompeten secara hukum, maka persetujuan setelah penjelasan
harus diminta dari pelindungnya yang sah menurut hukum setempat. Bila keadaan fisik atau
mental subjek tidak memungkinkan untuk memberi persetujuan setelah penjelasan atau bila
subjek masih anak dibawah umur, izin diminta dari keluarganya sesuai dengan hukum yang
berlaku setempat.
12.Dalam protokol riset selalu harus dicantumkan pernyataan tentang norma-norma etik yang
dilaksanakan dan telah sesuai dengan prinsip-prinsip Deklarasi Helsinki.

@ Riset kedokteran yang dikombiasikan dengan pengobatan (riset klinik)


1.Dalam mengobati penderita, dokter harus bebas menggunakan cara diagnosis atau terapi
yang baru, bila dirasakan bahwa cara ini memberi harapan untuk menyelamatkan jiwa,
memulihkan kesehatan atau mengurangi penderitaa.
2.Manfaat, bahaya dan rasa tidak enak yang dimbulkan oleh suatu metoda baru haruslah
ditimbang terhadap kelebihan dari metoda diagnosis dan terapi yang ada pada saat itu.
3.Dalam setiap studi kedokteran, setiap pasien (termasuk pasien dalam kelompok kontrol)
harus mendapat metoda diagnosis dan terapi yang baik.
4.Penolakan pasien untuk berpartisipasi dalam suatu studi sama sekali tidak boleh
mempengaruhi hubungan dokter-pasien.
5.Bila dokter menganggap esensial untu tidak meminta persetujuan setelah penjelasan maka
alasanya harus dicantumkan dalam protocol riset dan disampaikan kepada panitia yang
independen.
6.Dokter dapat mengkombinasikan riset kedokteran dengan pengobatan untuk mendapat
pengetahuan kedokteran yang baru, tetapi hanya bila riset ini mempunyai nilai diagnosis atau
terapeutik terhadap pasien yang bersangkutan.

Riset biomedik non terapeutik pada manusia (riset biomedik non klinik)
1.Dalam tugas biomedik pada manusia dengan tujuan ilmiah murni, adalah tugas dokter untuk
tetap menjadi pelindung nyawa dan kesehatan manusia yang diteliti.
2.Subjek harus sukarelawan, baik orang sehat atau pasien dimana disain penelitian tidak
berhubungan dengan penyakit yang diderita.
3.Penelitian atau kelompok peneliti harus menghentikan riset bila dipertimbangkan bahwa
riset dilajutkan akan membahayakan orang yang diteliti.
4.Dalam melakukan riset pada manusia, kepentingan ilmu pengetahuan atau kepentingan
masyarakat tidak boleh didahulukan daripada pertimbangan kesejahteraan subjek.

Anda mungkin juga menyukai