Anda di halaman 1dari 22

Sindrom nefrotik adalah penyakit ginjal dengan proteinuria, hipoalbuminemia

edema, dan. Nefrotik-range proteinuria adalah 3 gram per hari atau lebih. Pada
koleksi urin spot tunggal, itu adalah 2 g protein per gram kreatinin urin. Ada
beberapa penyebab yang spesifik banyak sindrom nefrotik. Ini termasuk penyakit
ginjal seperti minimal-change nephropathy, focal glomerulosclerosis, and
membranous nephropathy. Sindrom nefrotik juga bisa terjadi akibat penyakit
sistemik yang mempengaruhi organ lain selain ginjal, seperti diabetes, amiloidosis,
dan lupus eritematosus. Sindrom nefrotik dapat mempengaruhi orang dewasa dan
anak-anak, dari kedua jenis kelamin dan ras apapun. Hal itu dapat terjadi dalam
bentuk yang khas, atau dalam hubungan dengan sindrom nefritik. Yang terakhir
berkonotasi peradangan glomerulus, dengan hematuria dan fungsi ginjal terganggu.

Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak,
merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif,
hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta sembab. Yang dimaksud proteinuria masif
adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat badan/hari atau lebih.
Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Selain gejala-
gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula hipertensi, hematuri, bahkan kadang-
kadang azotemia.

Syndroma nefrotik merupakan keadaan klinik di mana terjadi sindroma nefrotik.


Syndroma nefrotik merupakan keadaan klinik dimana terjadi proteinuria massif ( > 3,5
g/hari, hipoalbuminemia, udema dan hiperlipidemia, biasanya kadar BUN normal.

Menurut Robson dari 1400 kasus, beberapa glomerulonefritis primer merupakan


penyebab dari 78 % sindroma Nefrotik pada orang dewasa da 93 % pada anak-anak. Dari
22 % daRI orang dewasa keadaan ini disebabkan oleh gangguan sistemik (terutama
diabetes, amiloidosis dan thrombosis vena renalis, gangguan-gangguan sistemik tersebut
secara sekunder juga mempengaruhi ginjal atau mungkin juga akibat respon abnormal
terhadap obat-obatan atau allergen-alergen lainnya. Terdapat keadaan histologist yang
ditemukan pada nefrotik syndrome yang termasuk kategori umum glomerulonefritis,
yaitu perubahan minimal, perubahan membranosa, perubahan proliferates dan campuran
perubahan membranosa dan proliferative glumerulonefritis. Glumerulonefritis fokal lebih
jarang menyebabkan sindromanefrotik.

Glomerulonefritis (GN) perubahan minimal pada lesi yang khas dari nefrotik syndrome
pada anak (69%) dan merupakan penyebab dari 18 % kasus yang dialami orang dewasa.
Glumerulonefritis perubahan minimal ini merupakan bentuk utama dari dari
glumerulonefritis dimana mekanisme patogenetik imun tampaknya tidak ikut berperan.
Kedaan ini biasanya berhasil di obati dengan kortikosteroid. Pada sebagian kecil pasien
yang tidak memberikan respon terhadap terapi steroid, maka kadang-kadang penyakit
dapat ditekan dengan menggunakan obat imunosupresif, seperti siklofosfamida (cytoksin)
atau azatioprin (Imuran). Sebagian kecil pasien yang tidak dapat sembuh biasanya
mengalami relaps yang lama, membaik lalu memburuk lagi yang berakhir dengan uremia.
Glomerulonefritis (GN) perubahan membranosa merupakan penyebab dari 25 % kasus
nefrotik sindroma pada orang dewasa dan hanya 2 % pada anak-anak. Sekitar 95 %
pasien ini menderita azotemia dan meninggal akibat uremia dalam waktu 10 sampai 20
tahun. Perubahan histologis yang terutama adalah penebalan membran dasar yang dapat
terlihat baik oleh mikroskop electron maupun mikroskop cahaya.

Glomerulonefritis perubahan proliferative dan membranoproliferatif merupakan


penyebab dari 35 % sisa kasus pada orang dewasa yang menderita nefrotik dindroma dan
22 % pada anak-anak. GN perubahan proliferative ditrandai oleh hiperselularitas dan
sekaligus penebalan membrane dasar. Respon terhadap terapi pada berbagai jenis
glomerulonefritis ini umumnya tidak baik dan secara progresif terjadi gagal ginjal.

Kejadian awal dari kebanyakan kasus ini merupakan suatu reaksi antigen-antibodi pada
glomerulus yang meningkatkan permeabilitas Membran Dasar Glomerulus, proteinuria
massif dan hipoalbumia. Pasien-pasien yang menderita sindroma nefrotik biasanya
mengeluarkan 5-15 gr protein per 24 jam. Hipoalbuminemia, dengan menurunkan
tekanan osmotic koloid (COP), cendrung menimbulkan transudasi keluarnya cairan dari
ruang vascular ke ruang interstisium. Ini merupakan mekanisme langsung penyebab
terjadinya udema, hipovolumia akibat penurunan Aliran Plasma Ginjal (RPF) dan
Kecepatan Filtrasi Glomerular (GFR) mengaktifkan reseptor volume antrium kiri.
Akibatnya terjadi peningkatanproduksi ADH. Garam dan air diiretensi oleh ginjal,
sehingga memperberat udema. Berulangnya rangkaian kejadian tersebut mengakibatkan
terjadinya udema massif, tetapi jumlah protein yang dikeluarkan tidak berbanding
langsung dengan beratnya udema, karena setiap orang berbeda kecepatan sintetis
proteinnya untuk pengganti yang telah hilang. Penyebab hiperlipidemia yang sering
menyertai sindroma nefrotik tidak jelas. Kolesterol serum, fosfolipid dan trigliserida
biasanya mengalami peningkatan, perhatikan bahwa mekanisme udema nefrotik berbeda
dengan mekanisme Glomerulonefritis poststreptokokus Akut (APSGN).

Sindrom nefrotik kongenital

Sindrom nefrotik kongenital (Congenital nephrotic syndrome, CNS) adalah sebuah


sindrom kelainan ginjal yang sangat jarang terjadi, biasanya ditandai dengan simtoma
proteinuria berat, hipoproteinemia dan edema yang dapat diamati segera setelah
terjadinya persalinan. Pada umumnya, CNS disebabkan oleh defisiensi komponen
penyusun glomerular filtration barrier, terutama nefrin dan podosin. Terapi CNS dapat
berupa infusi albumin untuk mencegah terjadinya edema yang dapat merenggut jiwa
penderita, asupan gizi dengan kalori sangat tinggi dan hormon tiroksin.

Epeidemiologi

Biopsi studi pada anak dengan sindrom nefrotik telah menunjukkan sejenis histologi di
India dan Turki, dibandingkan dengan apa yang diharapkan di negara Barat. Pada orang
dewasa Pakistan dengan sindrom nefrotik., Spektrum histologis dari biopsi ginjal
ditemukan untuk menjadi serupa dengan yang terlihat di negara-negara barat.
Di sebagian Afrika dan Timur Tengah (misalnya, Mesir), penyakit glomerular dapat
berhubungan dengan infeksi urogenital schistosomal [20] Namun, apa yang disebut
sindrom nefrotik tropis (misalnya, dari penyakit parasit seperti malaria atau
schistosomiasis). Mungkin tidak menjadi entitas yang benar.

Doe dkk melaporkan penyebab sindrom nefrotik pada anak-anak Afrika dan tidak
menemukan bukti untuk peran mendominasi steroid tahan glomerulopathies tropis,
melainkan biopsi ginjal yang paling sering menunjukkan temuan histologis khas
(glomerulosklerosis fokal dan segmental dan penyakit perubahan minimal).

Sambungan dari sindrom nefrotik terhadap malaria quartan tidak mapan. Memang,
Pakasa dan Sumaili meminta perhatian terhadap penurunan nyata dari parasit terkait
sindrom nefrotik di Kongo. Ada kemungkinan bahwa hubungan yang dirasakan antara
sindrom nefrotik dan infeksi parasit adalah kebetulan, karena didukung oleh peningkatan
berkelanjutan dan mungkin terjadinya penyakit ginjal kronis di Kongo.

Karena diabetes adalah penyebab utama sindrom nefrotik, Indian Amerika, Hispanik, dan
Afrika-Amerika memiliki insiden yang lebih tinggi sindrom nefrotik daripada orang kulit
putih. HIV nefropati merupakan komplikasi infeksi HIV yang tidak biasa dalam putih, hal
ini terlihat dengan frekuensi yang lebih besar di Afrika Amerika glomerulosklerosis fokal
tampaknya overrepresented di Afrika-Amerika anak-anak, dibandingkan dengan anak
putih, sebagai penyebab nefrotik. sindrom.

Ada dominasi laki-laki dalam terjadinya sindrom nefrotik, karena ada untuk penyakit
ginjal kronis pada umumnya. Ini overrepresentation pria juga terlihat di membranous
nephropathy paraneoplastic. Namun, nefritis lupus mempengaruhi kebanyakan wanita.

Penyebab

Penyebab yang sering dijumpai adalah :

Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport,


miksedema.
Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.
Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular.
Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-
Schnlein, sarkoidosis.
Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.

Penyebab utama umum dari sindrom nefrotik termasuk penyakit ginjal seperti minimal-
perubahan nefropati, membranous nephropathy, dan glomerulosklerosis fokal. Penyebab
sekunder termasuk penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, lupus eritematosus, dan
amiloidosis. Glomerulosklerosis fokal kongenital dan herediter mungkin hasil dari mutasi
gen yang kode untuk protein podocyte, termasuk nephrin, podocin, atau saluran kation 6
protein. Sindrom nefrotik dapat hasil dari penyalahgunaan obat, seperti heroin.
Nefrotik-range proteinuria terjadi pada trimester ketiga kehamilan adalah temuan klasik
preeklamsia. Dalam kondisi itu, juga dikenal sebagai toksemia, hipertensi berkembang
juga. Hal itu dapat terjadi de novo atau dapat ditumpangkan pada lain penyakit ginjal
kronis. Dalam kasus terakhir, akan telah ada sebelumnya proteinuria yang akan
memburuk selama kehamilan.

Obat dapat menyebabkan sindrom nefrotik. Ini termasuk kejadian yang sangat jarang
minimal-perubahan nefropati dengan penggunaan NSAID, dan terjadinya nefropati
membranosa dengan administrasi emas dan penisilamin, obat yang lebih tua yang
digunakan untuk penyakit rematik, ada juga laporan dari glomerulosklerosis fokal dalam
hubungan dengan intravena bifosfonat. Lithium dan interferon terapi juga terlibat dalam
glomerulosklerosis fokal dari jenis runtuh.

Nefrotik-range proteinuria dapat terjadi dengan penggunaan agen antikanker, seperti


bevacizumab, yang menghambat faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) [14].
Namun, gambaran klinis dari komplikasi ini adalah dari microangiopathy trombotik
daripada sindrom nefrotik per se . Katerkaitan membranous nephropathy dengan dengan
kanker adalah dilema klinis. Asosiasi ini mungkin hasil dari cedera kompleks kebal
terhadap glomerulus yang disebabkan oleh antigen kanker.

Terdapat sekitar 6000 kasus baru membranous nephropathy per tahun di Amerika Serikat,
ada 1,5 juta kasus baru kanker nonskin. Oleh karena itu, dari sudut pandang ahli onkologi
itu, masalah membranous nephropathy paraneoplastik adalah sepele.
Meskipun demikian, analisis dilakukan dengan hati-hati dari Perancis menyarankan
bahwa tingkat kanker pada orang dengan nefropati membranosa adalah sekitar 10-kali
lipat lebih tinggi daripada di populasi umum, terutama pada individu di atas usia 65
tahun.Dalam penelitian tersebut., 50% dari kasus membranous nephropathy didiagnosis
sebelum diagnosis kanker. Dengan demikian, pada beberapa pasien dengan nefropati
membranosa, orang harus mempertimbangkan kemungkinan kanker terdiagnosis.

Gejala klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

Sindrom nefrotik primer.

Faktor penyebab Sindrom nefrotik primer, tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik
primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada
glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada
anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu
salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1
tahun.
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan
menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children).
Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop
cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron
dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologik
sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi
ISKDC (International Study of Kidney Diseases in Children, 1970) serta Habib dan
Kleinknecht (1971).

Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer

Kelainan minimal (KM)


Glomerulosklerosis (GS):
1. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
2. Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
1. GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
2. GNMP tipe II dengan deposit intramembran
3. GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom nefrotik
tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan minimal
jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.

Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan


data-data di luar negeri. Wila Wirya 5 menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal
dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer 6 di
Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom
nefrotik primer yang dibiopsi.

Sindrom nefrotik sekunder

Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau
sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.

Patofisiologi

Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik,


namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang
dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang
endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut
menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler
glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat.
Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya
tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang
interstitial.

Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan
aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-glikoprotein sebagai perangsang lipase.
Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan
pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal.

Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler.


Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari
ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume
plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan
natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk
menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya
mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik
plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.

Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu rentetan


aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan air,
sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis
ini dikenal dengan teori underfill.

Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah
sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik
menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru
memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan
kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut
teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan
tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer
mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema
terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill
ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan
aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.

Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan
mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada
waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus
mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.

Manifestasi klinis

Sembab. Manifestasi klinik utama adalah sembab, yang tampak pada sekitar 95% anak
dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga keluarga
mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten;
biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang
rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi
menyeluruh dan masif (anasarka). Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering
tampak sebagai sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi
bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak,
meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan sembab hebat,
kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab biasanya tampak lebih hebat
pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut
disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.
Gangguan gastrointestinal Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan
penyakit sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang
disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang
meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-
kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena sembab
dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia
dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom
nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps
ani. Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka
pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat
diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.
Gangguan psikososial Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya
pada penyakit berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap
anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah
merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh
anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama
menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu.9 Manifestasi klinik
yang paling sering dijumpai adalah sembab, didapatkan pada 95% penderita. Sembab
paling parah biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik tipe kelainan minimal (SNKM).
Bila ringan, sembab biasanya terbatas pada daerah yang mempunyai resistensi jaringan
yang rendah, misal daerah periorbita, skrotum, labia. Sembab bersifat menyeluruh,
dependen dan pitting. Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-anak
dengan asites akan mengalami restriksi pernafasan, dengan kompensasi berupa
tachypnea. Akibat sembab kulit, anak tampak lebih pucat.
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian International
Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien SNKM
mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur.
Proteinuria Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40
mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien
SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe
yang lain.
Hipoalbuminemia Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin
serum < 2.5 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan
umumnya, berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan
VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi
sampai 1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.
Hematuria Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik,
namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.
Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit.
Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum biasanya terjadi
pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan SNKM.
Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada
pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut
berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan secara tidak langsung dengan
kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat
normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan
ekogenisitas yang normal.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang.

Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata, perut, tungkai,
atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga
dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.
Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata,
tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang ditemukan
hipertensi.
Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai hematuria.
Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia,
dan laju endap darah yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan
kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.

Studi diagnostik untuk sindrom nefrotik di antaranya adalah :

urinalisis
pemeriksaan sedimen Urine
pengukuran protein Urin
serum albumin
Serologi untuk infeksi dan kelainan kekebalan tubuh
ultrasonografi ginjal
biopsi ginjal
Pada bayi dengan sindrom nefrotik, pengujian genetik untuk mutasi NPHS1 dan NPHS2
mungkin berguna. Ini adalah mutasi nephrin dan podocin, masing-masing.
Pada anak dengan steroid tahan sindrom nefrotik, pengujian untuk mutasi NPHS2 dapat
diindikasikan.
Penelitian selanjutnya untuk biomarker kemih dimana penyebab dan keparahan sindrom
nefrotik dapat diidentifikasi.

Pemeriksaan Urinalisis

Urinalisis adalah tes pertama kali digunakan dalam diagnosis sindrom nefrotik.
Proteinuria nefrotik akan terlihat oleh 3 + atau 4 + pada dipstick bacaan, atau dengan
pengujian semikuantitatif oleh asam sulfosalicylic. Sebuah 3 + membaca merupakan 300
mg / dL dari protein urin atau lebih, yaitu 3 g / L atau lebih dan dengan demikian dalam
kisaran nefrotik. Pemeriksaan dipsticks Kimia albumin adalah protein utama yang diuji.
Glukosuria menunjuk diabetes.
Pemeriksaan Sedimen Urine
Waxy casts mark proteinuric renal disease. Dengan menggunakan mikroskop
polarisasi, orang dapat melihat tubuh lemak oval dan juga cast lemak. Pada sindrom
nefrotik, terjadi karena filtrasi glomerular dari lipoprotein, penyerapan ini oleh sel-sel
tubular yang kemudian jatuh ke dalam urin. Dilihat polarizer, mayat lemak oval dan gips
lemak menyebabkan penampilanSalib Malta .
Adanya lebih dari 2 sel darah merah (sel darah merah) per bidang daya tinggi merupakan
indikasi dari microhematuria. Microhematuria dapat terjadi di membranous nephropathy
tapi tidak di minimal-perubahan nefropati.
Penyakit glomerular dapat memungkinkan sel darah merah untuk melintasi membran
glomerulus ruang bawah tanah yang rusak, dan sel darah merah di sedimen kemudian
dapat berubah bentuk, atau dismorfik. Hal ini menunjukkan penyakit glomerulus dengan
peradangan dan kerusakan struktur normal (yaitu, nefritis, dan dengan demikian gambar
nefritik, dengan hematuria, oliguria, azotemia, dan hipertensi). Ini bisa terjadi pada,
misalnya, sindrom nefrotik berkaitan dengan nefropati IgA atau glomerulonefritis
proliferatif.
Lebih dari 2 granular casts di seluruh sedimen merupakan biomarker untuk penyakit
parenkim ginjal. Variabel kaliber granular gips titik ke fungsi ginjal berkurang.
Pengukuran protein urin Protein urin diukur dengan koleksi tepat atau kumpulan titik
tunggal. Sebuah koleksi yang berjadwal biasanya dilakukan selama 24-jam, mulai pukul
7 pagi dan finishing pada hari berikutnya pada waktu yang sama. Pada individu sehat,
tidak ada lebih dari 150 mg protein total dalam koleksi urin 24-jam.
Kumpulan titik tunggal urin jauh lebih mudah untuk mendapatkan. Ketika rasio protein
urin untuk kreatinin urin lebih besar dari 2 g / g, ini sesuai dengan 3 g protein urin per
hari atau lebih. Dengan tepat jenis protein urin adalah kepentingan potensial. Ini dapat
diuji dengan elektroforesis protein urin. Proteinuria yang tidak termasuk albumin dapat
menunjukkan proteinuria meluap yang terjadi pada paraproteinemias, seperti multiple
myeloma.
Dalam kasus proteinuria selektif, mungkin ada kebocoran muatan-selektif albumin di
seluruh penghalang glomerulus, mungkin karena muatan negatif berkurang pada
penghalang itu, sedangkan proteinurias nonselektif akan menunjuk cedera glomerulus
yang lebih substansial dan mungkin juga untuk respon yang lebih rendah untuk
pengobatan prednison .
Tes serum untuk fungsi ginjal Tes serum untuk fungsi ginjal sangat penting. Serum
kreatinin akan berada dalam kisaran normal pada sindrom nefrotik tidak rumit, seperti
yang terjadi di minimal-perubahan nefropati. Pada anak-anak, tingkat kreatinin serum
akan lebih rendah daripada pada orang dewasa. Tingkat dewasa kreatinin serum normal
adalah sekitar 1 mg / dL, sedangkan untuk anak berusia 5 tahun akan menjadi sekitar 0,5
mg / dL. Nilai lebih tinggi dari ini mengindikasikan fungsi ginjal berkurang.

DIAGNOSIS BANDING

Sembab non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal, edema
Quincke.
Glomerulonefritis akut
Lupus sistemik eritematosus.
Diabetic Nephropathy
Focal Segmental Glomerulosclerosis
Glomerulonephritis, Chronic
Glomerulonephritis, Membranous
HIV Nephropathy
IgA Nephropathy
Light Chain-Associated Renal Disorders
Minimal-Change Disease
Nephritis, Radiation
Sickle Cell Nephropathy

Penyulit

Shock akibat sepsis, emboli atau hipovolemia


Thrombosis akibat hiperkoagulabilitas
Infeksi
Hambatan pertumbuhan
Gagal ginjal akut atau kronik
Efek samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi, osteoporosis, gangguan
emosi dan perilaku.

Penanganan

Pengobatan spesifik
Pengobatan spesifik dari sindrom nefrotik tergantung pada penyebab penyakit itu. Pada
minimal-perubahan nefropati, glukokortikosteroid, seperti prednison, digunakan. Anak-
anak yang kambuh setelah keberhasilan penggunaan prednison atau yang tidak
menanggapi prednison (yaitu, mereka dengan steroid-tahan penyakit) dapat diobati
dengan rituximab, antibodi terhadap sel-B. Rituximab juga telah digunakan di
membranous nephropathy pada orang dewasa.
Dalam beberapa bentuk nefritis lupus, prednison dan siklofosfamid berguna.
Amiloidosis sekunder dengan sindrom nefrotik dapat menanggapi pengobatan anti-
inflamasi dari penyakit primer.
Dalam membranous nephropathy, manajemen hamil tanpa imunosupresi dapat digunakan
untuk 6 bulan pertama, pada pasien dengan risiko rendah untuk kemajuan (yaitu, mereka
yang memiliki tingkat kreatinin serum <1,5 mg / dL). Pasien dengan insufisiensi ginjal
(kreatinin serum tingkat> 1,5 mg / dL) mempunyai risiko lebih besar untuk
pengembangan stadium akhir penyakit ginjal dan harus menerima terapi imunosupresif.
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa
memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus.
Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari.
Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom
nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel berikut :
Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom nefrotik
RemisiKambuh Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama
3 hari berturut-turut.Proteinuria 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam
Kambuh tidak sering selama 3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami
remisi.
Kambuh sering
Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12
Responsif-steroid bulan.

Dependen-steroid Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal, atau 4
kali kambuh pada setiap periode 12 bulan.
Resisten-steroid
Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.
Responder lambat
Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid,
Nonresponder awal atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan.

Nonresponder lambat Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60
mg/m2/hari selama 4 minggu.

Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa


tambahan terapi lain.

Resisten-steroid sejak terapi awal.

Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid.

PROTOKOL PENGOBATAN

International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk


memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis
maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan
sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4
minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.

Sindrom nefrotik serangan pertama

Perbaiki keadaan umum penderita :


Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke bagian gizi
diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau albumin
konsentrat.
Berantas infeksi.
Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.
Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka. Diuretik
diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Jika ada hipertensi, dapat
ditambahkan obat antihipertensi.
Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah diagnosis
sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita mengalami remisi
spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu
diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan keadaan,
segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.

Sindrom nefrotik kambuh (relapse)

Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse ditegakkan.
Perbaiki keadaan umum penderita.
Sindrom nefrotik kambuh tidak sering
Adalah sindrom nefrotik yang kambuh 4 kali dalam masa 12 bulan.
1. Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari,
diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
2. Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari
dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison
diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu, kemudian 30
mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya
10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari
diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan.
Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons
terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra
steroid, atau untuk biopsi ginjal.

Farmakoterapi

Kortikosteroid Kortikosteroid (prednison), cyclophosphamide, dan siklosporin


digunakan untuk menginduksi remisi pada sindrom nefrotik. Diuretik digunakan untuk
mengurangi edema. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan angiotensin II
reseptor blocker diberikan untuk mengurangi proteinuria.
Pengobatan harus ditentukan oleh jenis patologi ginjal menyebabkan sindrom nefrotik.
Minimal-perubahan penyakit memiliki respon yang sangat baik terhadap kortikosteroid,
sedangkan di glomerulosklerosis fokal, hanya 20% pasien merespon baik terhadap
kortikosteroid. Biopsi ginjal sangat membantu untuk membedakan minimal-perubahan
penyakit dan variannya seperti nefropati IgM dan nefropati C1q. Percobaan acak Sangat
sedikit yang tersedia untuk memandu pengobatan untuk minimal-perubahan penyakit
pada orang dewasa. Prednisone dalam kursus singkat dari durasi 12-20 minggu tetap
menjadi andalan pengobatan untuk pasien dengan minimal-perubahan penyakit.
Obat imunosupresif selain steroid biasanya disediakan untuk pasien resisten
steroid dengan edema persisten, atau untuk steroid tergantung pasien dengan steroid yang
signifikan terkait efek samping.
Cyclophosphamide Cyclophosphamide dapat bermanfaat bagi pasien yang sering
kambuh steroid sensitif sindrom nefrotik. Komplikasi yang terkait termasuk penekanan
sumsum tulang, rambut rontok, azoospermia, sistitis hemoragik, keganasan, mutasi, dan
infertilitas.
Siklosporin Siklosporin diindikasikan bila kambuh terjadi setelah pengobatan
siklofosfamid. Siklosporin mungkin lebih baik dalam laki-laki pubertas yang berisiko
terkena siklofosfamid akibat azoospermia. Siklosporin adalah terapi perawatan yang
sangat efektif untuk pasien dengan steroid-sensitif sindrom nefrotik yang mampu
menghentikan steroid atau mengambil dosis yang lebih rendah, namun, beberapa bukti
menunjukkan bahwa meskipun remisi dipertahankan selama siklosporin diberikan,
kambuh sering terjadi ketika pengobatan dihentikan .
Siklosporin dapat nefrotoksik dan dapat menyebabkan hirsutisme, hipertensi, dan
hipertrofi gingiva.
Untuk glomerulosklerosis fokal, predisone, siklosporin, dan siklofosfamid semuanya
telah digunakan dalam pengobatan. Kortikosteroid harus menjadi agen lini pertama,
dengan siklofosfamid atau siklosporin sebagai cadangan untuk steroid resisten kasus.
Mofetil dan rituximab juga telah digunakan dalam mengobati glomerulosklerosis fokal.
Namun, data tentang penggunaan 2 agen yang terakhir tidak meyakinkan.
Untuk nefropati membranosa idiopatik, prednison bersama dengan klorambusil atau
siklofosfamid tetap penting untuk pengobatan. Obat lain yang telah digunakan untuk
pengobatan adalah siklosporin, kortikotropin sintetis, dan rituximab.
Rituximab Rituximab telah efektif pada beberapa kasus sindrom nefrotik yang kambuh
setelah pengobatan prednison atau dalam kasus yang resisten terhadap pengobatan
prednison. Obat ini adalah antibodi murine atau melawan antigen CD20 sel B. Ini
mungkin diberikannya manfaatnya oleh produksi antibodi menekan. Efek negatifnya
menyebabkan imunosupresi tidak dapat diabaikan.

Intervensi Diet

Tujuan diet pada penderita sindrom Nefrotik adalah untuk mengganti kehilangan protein
terutama albumin atau mengurangi edema dan menjaga keseimbangan cairan tubuh
Selain itu juga bertujuan memonitor hiperkolesterolimia dan penumpukan trigliserida
serta mengontrol hipertensi dan engatasi anoreksia

Diet pada pasien dengan sindrom nefrotik harus menyediakan energi yang cukup (kalori)
dan asupan protein yang cukup (1-2 g / kg / hari).
Tambahan protein diet adalah tidak ada nilai terbukti. Diet tanpa garam ditambahkan
akan membantu untuk membatasi kelebihan cairan.
Pengelolaan hiperlipidemia bisa penting beberapa jika negara nefrotik terjadi
berkepanjangan.
Restriksi cairan per se tidak diperlukan.
Ada pembatasan aktivitas tidak untuk pasien dengan sindrom nefrotik. Kegiatan yang
sedang berlangsung, daripada bedrest, akan mengurangi risiko pembekuan darah.

Syarat Diet

Energi cukup untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen positif, yaitu 35 kkal/kg


BBI/hari
Protein sedang, yaitu 1,0 g/kg BBA, atau 0,8 g/kg BBA ditambah dengan jumlah protein
yang dikeluarkan melalui urine. Utamakan penggunaan protein yang bernilai biologi
tinggi
Lemak sedang, yaitu 15 29 % dari kebutuhan energy total. Perbandingan lemak jenuh,
lemak jenuh tunggal dan lemak jenuh ganda adalah : 1: 1:1.
Karbohidrat sebagai sisa kebutuhan energy. Utamakan penggunaan karbohidrat kompleks
Natrium dibatasi, yaitu 1- 4 g sehari, tergantung berat ringannya edema.
Kolesterol dibatasi < 300mg, begitu pula gula murni, bila ada peningkatan trigliserida
darah.
Cairan disesuaikan dengan banyaknya cairan yang dikeluarkan melalui urine ditambah
500 ml pengganti cairan yang dikeluarkan melalui kulit dan pernafasan.

Jenis dan Indikasi Pemberian;

Karena gejala penyakit bersifat sangat individual, diet disusun secara individual, dengan
menyatakan banyak protein dan natrium yang dibutuhkan didalam diet. Misalnya: Diet
Sindroma Nefrotik, Energi: 1750 kkal, Protein: 50 g, Na: 2 g.

PROGNOSIS

Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang
baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan
relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan
steroid. Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :

Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
Disertai hipertensi.
Disertai hematuria.
Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.

DAFTAR PUSTAKA
Wong W. Idiopathic nephrotic syndrome in New Zealand children, demographic, clinical
features, initial management and outcome after twelve-month follow-up: results of a
three-year national surveillance study. J Paediatr Child Health. May 2007;43(5):337-41.
Kumar J, Gulati S, Sharma AP, Sharma RK, Gupta RK. Histopathological spectrum of
childhood nephrotic syndrome in Indian children. Pediatr Nephrol. Jul 2003;18(7):657-
60.
Ozkaya N, Cakar N, Ekim M, Kara N, Akkk N, Yalinkaya F. Primary nephrotic
syndrome during childhood in Turkey. Pediatr Int. Aug 2004;46(4):436-8.
Kazi JI, Mubarak M. Pattern of glomerulonephritides in adult nephrotic patientsreport
from SIUT. J Pak Med Assoc. Nov 2007;57(11):574.
Barsoum R. The changing face of schistosomal glomerulopathy. Kidney Int.
2004;66:2472-2484.
Doe JY, Funk M, Mengel M, et al. Nephrotic syndrome in African children: lack of
evidence for tropical nephrotic syndrome?. Nephrol Dial Transplant. 2006;21:672-
676.
Pakasa NM, Sumaili EK. The nephrotic syndrome in the Democratic Republic of
Congo. N Engl J Med. Mar 9 2006;354(10):1085-6.
Sumaili EK, Krzesinski JM, Zinga CV, Cohen EP, Delanaye P, Munyanga SM, et al.
Prevalence of chronic kidney disease in Kinshasa: results of a pilot study from the
Democratic Republic of Congo. Nephrol Dial Transplant. Jan 2009;24(1):117-22.
Kopp JB, Winkler C. HIV-associated nephropathy in African Americans. Kidney Int
Suppl. Feb 2003;S43-9.
Bonilla-Felix M, Parra C, Dajani T, Ferris M, Swinford RD, Portman RJ. Changing
patterns in the histopathology of idiopathic nephrotic syndrome in children. Kidney Int.
May 1999;55(5):1885-90.
Arneil GC, Lam CN. Long-term assessment of steroid therapy in childhood
nephrosis. Lancet. Oct 15 1966;2(7468):819-21.
Donadio JV Jr, Torres VE, Velosa JA, Wagoner RD, Holley KE, Okamura M. Idiopathic
membranous nephropathy: the natural history of untreated patients. Kidney Int. Mar
1988;33(3):708-15.
Jude EB, Anderson SG, Cruickshank JK, et al. Natural history and prognostic factors of
diabetic nephropathy in type 2 diabetes. Quart J Med. 2002;95:371-7.
Varghese SA, Powell TB, Budisavljevic MN, et al. Urine biomarkers predict the cause of
glomerular disease. J Am Soc Nephrol. 2007;18:913-22.
Cohen EP, Lemann J. The role of the laboratory in evaluation of kidney function.Clin
Chem. 1991;37:785-796.
Gupta K, Iskandar SS, Daeihagh P, et al. Distribution of pathologic findings in
individuals with nephrotic proteinuria according to serum albumin. Nephrol Dial
Transplant. May 2008;23(5):1595-9.
Palmer SC, Nand K, Strippoli GF. Interventions for minimal change disease in adults
with nephrotic syndrome. Cochrane Database Syst Rev. Jan 23 2008;CD001537.
Waldman M, Crew RJ, Valeri A, Busch J, Stokes B, Markowitz G, et al. Adult minimal-
change disease: clinical characteristics, treatment, and outcomes. Clin J Am Soc Nephrol.
May 2007;2(3):445-53.
Fervenza FC, Abraham RS, Erickson SB, et al. Rituximab therapy in idiopathic
membranous nephropathy: a two year study. Clin J Am Soc Nephrol. 2010;5:2188-2198.
du Buf-Vereijken PW, Branten AJ, Wetzels JF. Idiopathic membranous nephropathy:
outline and rationale of a treatment strategy. Am J Kidney Dis. Dec 2005;46(6):1012-29.
Gulati A, Sinha A, Jordan SC, Hari P, Dinda AK, Sharma S, et al. Efficacy and safety of
treatment with rituximab for difficult steroid-resistant and -dependent nephrotic
syndrome: multicentric report. Clin J Am Soc Nephrol. Dec 2010;5(12):2207-12.
Chen M, Li H, Li XY, et al. Tacrolimus Combined With Corticosteroids in Treatment of
Nephrotic Idiopathic Membranous Nephropathy: A Multicenter Randomized Controlled
Trial. Am J Med Sci. Mar 2010;339(3):233-8.
Roberti I, Vyas S. Long-term outcome of children with steroid-resistant nephrotic
syndrome treated with tacrolimus. Pediatr Nephrol. Mar 9 2010
Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede
SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-
426.
International Study of Kidney Disease in Children, 1978. Nephrotic syndrome in
children. Prediction of histopathology from clinical and laboratory chracteristics at time
of diagnosis. Kidney Int 13 : 159.
Feehally J, Johnson RJ, 2000. Introduction to Glomerular Disease : Clinical
Presentations. In : Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive Clinical Nephrology.
London : Mosby; p. 5 : 21.1-4.
A Report of the International Study of Kidney Disease in Children, 1981. The primary
nephrotic syndrome in children : Identification of patients with minimal change nephrotic
syndrome from initial response to prednison. J Pediatr 98 : 561.
Kaysen GA, 1992. Proteinuria and the nephrotic syndrome. In : Schrier RW, editor. Renal
and electrolyte disorders. 4th edition. Boston : Little, Brown and Company pp. 681-726.

PROTEINURIA

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ginjal merupakan organ terpenting dalam mempertahankan homeostatis cairan tubuh
secara baik. Berbagai fungsi ginjal untuk mempertahankan homeostatik dengan
mengatur volume cairan, keseimbangan osmotik, asam basa, eskresi sisa metabolisme,
sistem pengaturan hormonal dan metabolisme. Ginjal terletak dalam rongga abdomen,
retroperitonial primer kiri dan kanan kolumna vertebralis, dikelilingi oleh lemak dan
jaringan ikat di belakang peritonium (Syaifuddin, 2012:446).

Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia
darah (dan lingkungan dalam tubuh) dengan mengekskresikan zat terlarut dan air secara
selektif. Apabila kedua ginjal karena sesuatu hal gagal menjalankan fungsinya, akan
terjadi kematian dalam waktu 3 sampai 4 minggu. Fungsi vital ginjal dicapai dengan
filtrasi plasma darah melalui glomelurus diikuti dengan reabsorbsi sejumlah zat terlarut
dan air dalam jumlahyang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan
air diekskresikan keluar tubuh dalam urine melalui sistem pengumpul urine (Price,
2005a:867).
Tes kimia terhadap urine telah sangat disederhanakan dengan digunakannya carik kertas
impregnasi yang dapat mendeteksi zat-zat seperti glukosa, aseton, bilirubin, protein, dan
darah. Yang penting pada penyakit ginjal adalah deteksi adanya protein atau darah dalam
urine, pengukuran osmolalitas atau berat jenis, dan pemeriksaan mikroskopik urine
(Price, 2005b:895).
Suatu kondisi dimana terlalu banyak protein yang terkandung dalam urin disebut
proteinuria. proteinuria adalah manifestasi besar penyakit ginjal dan merupakan indikator
perburukan fungsi ginjal.Baik pada penyakit ginjal diabetes maupun pada penyakit ginjal
non diabetes.Proteinuria merupakan gejala utama pada sindrom nefrotik, sedangkan
gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kehilangan protein melalui
urin menyebabkan terjadinya hipoalbuminemia. Dalam keadaan normal, walaupun
terdapat sejumlah protein yang cukup besar atau beberapa gram protein plasma yang
melalui nefron setiap hari, hanya sedikit yang muncul didalam urin.Ini disebabkan 2
faktor utama yang berperan yaitu, Filtrasi glomerulus danReabsorbsi protein tubulus.

2.2. Tujuan
1. Mengetahui definisi, penyebab, patofisiologi, dan jenis proteinuria.
2. Mengetahui pemeriksaan dan cara mengukur protein di dalam urin.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Proteinuria


Jumlah protein normal dalam urin adalah <150 mg/hari. Sebagian besar dari protein
merupakan hasil dari glikoprotein kental yang disekresikan secara fisiologis oleh sel
tubulus, yang dinamakan protein Tamm-Horsfall. Protein dalam jumlah yang banyak
diindentifikasikan adanya penyakit ginjal yang signifikan (Davey, 2005).
Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin manusia yang melebihi nilai normalnya
yaitu lebih dari 150 mg/24 jam atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m. Dalam
keadaan normal, protein di dalam urin sampai sejumlah tertentu masih dianggap
fungsional. Ada kepustakaan yang menuliskan bahwa protein urin masih dianggap
fisiologis jika jumlahnya kurang dari 150 mg/hari pada dewasa (pada anak-anak
140mg/m2), tetapi ada juga yang menuliskan, jumlahnya tidak lebih 200 mg/hari
(Bawazier, 2009a:956).

2.2. Penyebab Proteinuria


Menurut (Rubenstein, 2007a:223) proteinuria dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai
berikut:
- Penyakit glomelurus: glomerulonefritis, glomeruloskerosis (diabetik dan
hipertensi). Deposit amiloid glomerulus.
- Penyakit tubulus (akibat gangguan reabsorpsi atau protein yang disaring); nefritis
interstisialis kronis, fase poliurik pada nekrosis tubulus akut, sindrom fanconi, toksin
tubulus (aminoglikosid, timah, kadmium).
- Penyakit non-ginjal: demam, olahraga berat, gagal jantung, proteinuria ortostatik,
suatu keadaan yang tidak berbahaya pada 2% remaja dimana terjadi proteinuria dalam
posisi tegak namun tidak saat berbaring.
- Penyakit saluraan kemih: infeksi, tumor, kalkuli.
- Peningkatan produksi protein yang bisa disaring; rantai panjang imunoglobulin
(protein Bence Jones) pada mieloma, mioglobinuria, hemoglobinuria.
Trombosis vena renalis adalah sebab sekaligus akibat dari proteinuria.

2.3. Patofisiologi Proteinuria


Menurut (Bawazier, 2009b:956) Proteinuria dapat meningkat melalui salah satu cara dari
ke-4 jalan dibawah ini :
1. Perubahan permeabilitas glomerulus yang mengikuti peningkatan filtrasi dari protein
plasma normal terutama albumin.
2. Kegagalan tubulus mengabsorbsi sejumlah kecil protein yang normal difiltrasi
3. Filtrasi glomerulus dari sirkulasi abnormal, Low Molecular Weight Protein (LMWP)
dalam jumlah melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus.
4. Sekresi yang meningkat dari makuloprotein uroepitel dan sekresi IgA (Imunoglobulin
A) dalam respon untuk inflamasi.
Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin tergantung mekanisme jejas pada
ginjal yang berakibat hilangnya protein. Sejumlah besar protein secara normal melewati
kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki urin. Muatan dan selektivitas dinding
glomerulus mencegah transportasi albumin, globulin dan protein dengan berat molekul
besar lainnya untuk menembus dinding glomerulus. Jika sawar ini rusak, terdapat
kebocoran protein plasma dalam urin (protein glomerulus). Protein yang lebih kecil
(<20kDal) secara bebas disaring tetapi diabsorbsi kembali oleh tubulus proksimal. Pada
individu normal ekskresi kurang dari 150 mg/hari dari protein total dan albumin hanya
sekitar 30 mg/hari ; sisa protein pada urin akan diekskresi oleh tubulus (Tamm Horsfall,
Imunoglobulin A dan Urokinase) atau sejumlah kecil -2 mikroglobulin, apoprotein,
enzim dan hormon peptida (Bawazier,2009c:956).

2.4. Jenis Proteinuria


2.4.1. Proteinuria Fisiologis
Menurut (Bawazier, 2009d:957) Dalam mendiagnosis adanya kelainan atau penyakit
ginjal tidak selalu adanya proteinuria. Proteinuria juga dapat ditemukan dalam keadaan
fisiologis yang jumlahnya kurang dari 200 mg/hari dan bersifat sementara. Pada keadaan
demam tinggi, gagal jantung, latihan fisik yang kuat dapat mencapai lebih dari 1
gram/hari. Proteinuria fisiologis dapat terjadi pada masa remaja dan juga pada pasien
lordotik ( ortostatik proteinuria).

2.4.2. Proteinuria Patologis


Menurut (Bawazier, 2009e:957) indikator perburukan fungsi ginjal merupakan
manifestasi dari penyakit ginjal. Dikatakan patologis bila protein dalam urin lebih dari
150 mg / 24 jam atau 200 mg / 24 jam. 3 macam proteinuria patologis:
a. Proteinuria glomerulus
Bentuk ini hampir disemua penyakit ginjal, dimana albumin protein yang dominan pada
urin (60-90%) pada urin, sedangkan sisanya protein dengan berat molekul rendah
ditemukan hanya dalam jumlah sedikit (Bawazier, 2009f:957).
Ada 2 faktor utama sebagai penyebab filtrasi glomerulus meningkat yaitu ketika barier
filtrasi diubah oleh penyakit yang dipengaruhi oleh glomerulus pada sejumlah kapasitas
tubulus yang berlebihan menyebabkan proteinuria. Dan faktor kedua yaitu peningkatan
tekanan kapiler glomerulus menyebabkan gangguan hemodinamik. Filtrasi menyebabkan
proteinuria glomerulus oleh tekanan difus yang meningkat tanpa perubahan apapun pada
permeabilitas intrinsik dinding kapiler glomerulus. Akibat terjadinya kebocoran pada
glomerulus yang berhubungan dengan kenaikan permeabilitas membran basal glomerulus
terhadap protein akan menyebabkan timbulnya proteinuria. Contoh dari proteinuria
glomerulus, mikroalbuminuria (jumlah 30-300 mg/hari), normal: tidak lebih dari 30
mg/hari, merupakan marker penurunan faal ginjal LFG dan penyakit kardiovaskular
sistemik. proteinuria klinis, jumlahnya 1-5 mg/hari (Bawazier, 2009g:957).
b. Proteinuria tubular
Ditemukannya protein berat molekul rendah antara 100-150 mg/hari terdiri atas -2
mikroglobulin. Disebabkan karenarenal tubular asidosis (RTA), sarkoidosis, sindrom
Fankoni, pielonefritis kronis dan akibat cangkok ginjal (Bawazier, 2009h:958).
c. Overflow proteinuria
Ekskresi protein dengan berat molekul < 40000 Dalton Light Chain Imunoglobulin,
protein ini disebut dengan protein Bences Jones. Terjadi karena kelainan filtrasi dari
glomerulus dan kemampuan reabsorbsi tubulus proksimal (Bawazier, 2009i:958).
2.5. Pemeriksaan Protein di Dalam Urin
Dalam anamnesis harus dicari mengenai adanya infeksi baru-baru ini (saluran kemih atau
sebagai penyebab glomerulonefritis). Penyakit ginjal (termasuk riwayat keluarga), obat-
obatan, dan pekerjaan. Pemeriksaan fisik bisa normal namun bisa ada edema, hipertensi,
gagal jantung, atau tanda-tanda gagal ginjal (Rubenstein, 2007b:223).
Pemeriksaan penunjang
Kreatinin, ureum, dan elektrolit serum serta pengumpulan urin 24-jam untuk melakukan
pemeriksaan kandungan protein dan klirens kreatinin. Protein serum untuk mencari
albumin dan elektroforesis protein (serum dan urin) untuk gamopati monoklonal. Glukosa
darah untuk diabetes. Komplemen serum (bisa rendah pada glomerulonefritis), antibodi
antinuklear (lupus eritematosus sistemik/SLE), antibodi sitoplasmik antineu trofil
(vaskulitis sistemik), kadar krioglobulin. Rontgen polos abdomen dan ultrasonografi
traktus renalis untuk mencari batu, kelainan struktural, dan melihan ukuran ginjal
(Rubenstein, 2007c:223).

2.6. Cara Mengukur Protein di Dalam Urin


Metode yang dipakai untuk mengukur proteinuria saat ini sangat bervariasi dan
bermakna. Metode dipstik mendeteksi sebagian besar albumin dan memberikan hasil
positif palsu bila pH >7,0 dan bila urin sangat pekat atau terkontaminasi darah. Urin yang
sangat encer menutupi proteinuria pada pemeriksaan dipstik.Jika proteinuria yang tidak
mengndung albumin dalam jumlah cukup banyak akan menjadi negatif palsu.Ini terutama
sangat penting untuk menentukan protein Bence Jones pada urin pasien dengan multipelk
mieloma.Tes untuk mengukur konsentrasi urin total secara benar seperti pada presipitasi
dengan asam sulfosalisilat atau asam triklorasetat.Sekarang ini, dipstik yang sangat
sensitif tersedia di pasaran dengan kemampuan mengukur mikroalbuminuria (30-300
mg/hari) dan merupakan petanda awal dari penyakit glomerulus yang terlihat untuk
memprediksi jejas glomerulus pada nefropati diabetik dini (Bawazier, 2009j:960).
BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin manusia yang melebihi nilai normalnya
yaitu lebih dari 150 mg/24 jam atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m.
Proteinuria dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adalah: penyakit
glomelurus, penyakit tubulus, penyakit non-ginja, penyakit saluraan kemih, peningkatan
produksi protein yang bisa disaring.
Proteinuria dibedakan menjadi 2 yaitu, proteinuria fisiologis dan proteinuria
patologis. Disebut Proteinuria fisiologis apabila terdapat kandungan protein dalam urin
yang jumlahnya kurang dari 200 mg/hari dan bersifat sementara. Sedangkan disebut
proteinuria patologis apabila terdapat kandungan protein dalam urin yang jumlahnya
lebih dari 150/hari atu 200 mg/24 hari.
Metode yang dipakai untuk mengukur proteinuria saat ini sangat bervariasi dan
bermakna. Metode dipstik mendeteksi sebagian besar albumin dan memberikan hasil
positif palsu bila pH >7,0 dan bila urin sangat pekat atau terkontaminasi darah. Urin yang
sangat encer menutupi proteinuria pada pemeriksaan dipstik.Jika proteinuria yang tidak
mengndung albumin dalam jumlah cukup banyak akan menjadi negatif palsu.
KEPUSTAKAAN

Rubenstein D, Wayne D, dan Bradley J.(2007). Lecture Note: Kedokteran klinis (Edisi 6).
Jakarta: Erlangga.
Price S.A,dan Wilson L.M. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit (Edisi 6). Jakarta: EGC.
Syaifuddin. (2012). Anatomi Fisiologi: Kurikulum Berbasis Kompetensi Untuk
Keperawatan & Kebidanan (Edisi 4). Jakarta: EGC.
Bawazier L.A. (2009). Ginjal Hipertensi: Proteinuria. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi,
B., Alwi, I., Simadibrata, K,M., Setiati, S. (edisi. V) Buku Ajar Ilmu Peyakit
Dalam. Jakarta: Interna Publising 956 961.
Pramana P.D, Mayetti, Kadri H. (2013). Hubungan antara Proteinuria dan
Hipoalbuminemia pada Anak dengan Sindrom Nefrotik yang Dirawat di RSUP Dr. M.
Djamil Padang periode 2009-2012. Jurnal Kesehatan Andalas, 2(2), 90-93.

Anda mungkin juga menyukai