Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Istilah tunagrahita mungkin masih asing bagi pendengaran meskipun bukan tidak
mungkin setiap hari berhadapan dengan salah seorang siswa yang sebenarnya mengalami
ketunagrahitaan. Banyak yang berasumsi bahwa anak tunagrahita sama dengan anak idiot.
Asumsi tersebut kurang tepat karena sesungguhnya anak tunagrahita terdiri atas beberapa
klasifikasi. Tunagrahita ialah istilah yang digunakan untuk anak yang memiliki
perkembangan intelegensi yang terlambat. Setiap klasifikasi selalu diukur dengan tingkat IQ
mereka, yang terbagi menjadi tiga kelas yakni tunagrahita ringan, tunagrahita sedang dan
tunagrahita berat.
Banyak terminologi (istilah) yang digunakan untuk menyebut mereka yang kondisi
kecerdasannya di bawah rata-rata. Dalam bahasa Indonesia, istilah yang pernah digunakan,
misalnya lemah otak, lemah ingatan, lemah pikiran, terbelakang mental, retardasi mental,
cacat grahita, dan tunagrahita. Dalam bahasa asing (Inggris) dikenal dengan beberapa istilah,
yaitu mental retardation, mental deficiency, mentally handcapped, feebleminded dan lain-
lain.
Kata mental dalam peristilahan di atas adalah fungsi kecerdasan intelektual, dan bukan
kondisi psikologi. Adapun peristilahan di Indonesia mengenai penyandang tunagrahita,
mengalami perkembangan, yaitu lemah pikiran, lemah ingatan, digunakan sekitar tahun 1967,
terbelakang mental, digunakan sejak tahun 1967 hingga tahun 1983, tunagrahita digunakan
sejak tahun 1983 hingga sekarang dan diperkuat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No.
72/1991 tentang Pendidikan Luar Biasa.
Semua istilah yang digunakan disebabkan oleh perbedaan latar belakang keilmuan dan
kepentingan para ahli yang mengemukakannya. Namun, semua istilah tersebut tertuju pada
pengetian yang sama yaitu menggambarkan kondisi terlambat dan terbatasnya perkembangan
kecerdasan seseorang sedemikian rupa jika dibandingkan dengan rata-rata atau anak pada
umumnya disertai dengan keterbatasan dalam perilaku penyesuaian. Kondisi ini berlangsung
pada masa perkembangan. Dari latar belakang di atas maka kami mencoba menyusun
makalah yang berjudul Anak Berkebutuhan Khusus Tunagrahita.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat kami ambil rumusan masalahnya
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan anak tunagrahita?
2. Apa saja klasifikasi tunagrahita?
3. Apa penyebab seorang anak mengalami ketunagrahitaan?
4. Bagaimana upaya mencegah agar seorang anak tidak mengalami ketunagrahitaan?
5. Bagaimana karakteristik anak tunagrahita?
6. Apa saja kebutuhan pendidikan bagi tunagrahita?
7. Bagaimana cara memberikan layanan bagi anak tunagrahita?
8. Bagaimana strategi dan media yang digunakan untuk mendidik anak tunagrahita?
9. Bagaimana cara mengevaluasi hasil belajar anak tunagrahita?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini:
1. Memahami pengertian dari tunagrahita,
2. Mengetahui klasifikasi anak tunagrahita,
3. Memahami penyebab seorang anak mengalami ketunagrahitaan,
4. Mengetahui upaya pencegahan terhadap tunagrahita,
5. Mengetahui karakteristik tunagrahita,
6. Mengetahui kebutuhan pendidikan bagi anak tunagrahita,
7. Memahami cara memberikan layanan bagi anak tunagrahita
8. Mengetahui strategi dan media yang dapat digunakan untuk mendidik anak tunagrahita, dan
9. Mengetahui bagaimana cara mengevaluasi anak tunagrahita.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tunagrahita


Tunagrahita termasuk dalam golongan anak berkebutuhan khusus (ABK). Pendidikan
secara khusus untuk penyandang tunagrahita lebih dikenal dengan sebutan sekolah luar biasa
(SLB). Pengertian tunagahita pun bermacam-macam.
Tunagrahita ialah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai
kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Istilah lain untuk tunagrahita ialah sebutan untuk
anak dengan hendaya atau penurunan kemampuan atau berkurangnya kemampuan dalam segi
kekuatan, nilai, kualitas, dan kuantitas.
Pengertian lain mengenai tunagrahita ialah cacat ganda. Seseorang yang mempunyai
kelainan mental, atau tingkah laku akibat kecerdasan yang terganggu. Istilah cacat ganda
yang digunakan karena adanya cacat mental yang dibarengi dengan cacat fisik. Misalnya
cacat intelegensi yang mereka alami disertai dengan keterbelakangan penglihatan (cacat
mata). Ada juga yang disertai dengan gangguan pendengaran.
Namun, tidak semua anak tunagrahita memiliki cacat fisik. Contohnya pada tunagrahita
ringan. Masalah tunagrahita ringan lebih banyak pada kemampuan daya tangkap yang
kurang. Secara global pengertian tunagrahita ialah anak berkebutuhan khusus yang memiliki
keterbelakangan dalam intelegensi, fisik, emosional, dan sosial yang membutuhkan perlakuan
khusus supaya dapat berkembang pada kemampuan yang maksimal.
Berbagai definisi telah dikemukakan oleh para ahli. Salah satu definisi yang diterima
secara luas dan menjadi rujukan utama ialah definisi yang dirumuskan Grossman (1983) yang
secara resmi digunakan AAMD (American Association on Mental Deficiency) sebagai
berikut.
Mental retardaction refers to significantly subaverage general Intellectual functioning
resulting in or adaptive behavior and manifested during the developmental period. Artinya,
ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara nyata (signifikan) berada
di bawah rata-rata (normal) bersamaan dengan kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian
diri dan semua ini berlangsung (termanifestasi) pada masa perkembangannya.
Sejalan dengan definisi tersebut, AFMR (1987) menggariskan bahwa seseorang yang
dikategorikan tunagrahita harus melebihi komponen keadaan kecerdasannya yang jelas-jelas
di bawah rata-rata, adanya ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan norma dan
tuntutan yang berlaku di masyarakat.
Dari definisi tersebut, beberapa hal yang perlu kita perhatikan adalah sebagai berikut:
a. Fungsi Intelektual umum secara signifikan berada dibawah rata-rata, maksudnya bahwa
kekurangan itu harus benar-benar menyakinkan sehingga yang bersangkutan memerlukan
layanan pendidikan khusus. Sebagai contoh: anak normal rata-rata IQ 100, sedangkan anak
tunagrahita memiliki IQ paling tinggi 70.
b. Kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian (perilaku adaptif), maksudnya bahwa yang
bersagkutan tidak/kurang memiliki kesanggupan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang
sesuai dengan usianya. Ia hanya mampu melakukan pekerjaan seperti yang dapat dilakukan
oleh anak yang usianya lebih muda darinya.
c. Ketunagrahitaan berlangsung pada periode perkembangan, maksudnya adalah
ketunagrahitaan itu terjadi pada masa perkembanngan, yaitu sejak konsepsi hingga usia 18
tahun.
Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa untuk dikategorikan sebagai penyandang
tunagrahita, seseorang harus memiliki ketiga ciri-ciri tersebut. Apabila seseorang hanya
memiliki salah satu dari ciri-ciri tersebut maka yang brsangkutan belum dapat dikategorikan
sebagai penyandang tunagrahita.

2.2 Klasifikasi Tunagrahita


Anak Tunagrahita terdiri atas beberapa klasifikasi, yaitu :
1. Tunagrahita Ringan
Anak yang tergolong dalam Tunagrahita ringan memiliki banyak kelebihan dan
kemampuan. Mereka mampu dididik dan dilatih. Misalnya, membaca, menulis, berhitung,
menggambar, bahkan menjahit. Tunagrahita ringan lebih mudah diajak berkomunikasi, selain
itu kondisi fisik mereka juga tidak terlihat begitu mencolok. Mereka mampu mengurus
dirinya sendiri untuk berlindung dari bahaya apapun. Karena itu anak tunagrahita ringan tidak
memerlukan pengawasan ekstra, mereka hanya perlu terus dilatih dan dididik.
2. Tunagrahita Sedang
Tidak jauh berbeda dengan anak tunagrahita ringan. Anak tunagrahita sedang pun
mampu untuk diajak berkomunikasi. Namun, kelemahannya mereka tidak begitu mahir dalam
menulis, membaca, dan berhitung. Tetapi, mereka paham untuk menjawab pertanyan dari
orang lain, contohnya, ia tahu siapa namanya, alamat rumah, umur, nama orangtuanya, ,ereka
akan mampu menjawab dengan jelas. Sedikit perhatian dan pengawasan dibutuhkan untuk
perkembangan mental dan social anak tunagrahita sedang.
3. Tunagrahita Berat
Anak tunagrahita berat dapat disebut juga Idiot. Karena dalam kegiatan sehari- harinya
membutuhkan pengawasan, perhatian, bahkan pelayananyang maksimal. Mereka tidak dapat
mengurus dirinya sendiri. Asumsi anak tunagrahita sama dengan idiot tepat digunakan jika
anak tunagrahita tergolong dalam tunagrahita berat.

2.3 Faktor Penyebab Tunagrahita


Seseorang menjadi tunagrahita disebabkan oleh berbagai faktor. Para ahli membagi faktor
penyebab tersebut atas beberapa kelompok. Strauss membagi faktor penyebab
ketunagrahitaan menjadi dua gugus yaitu endogen dan eksogen. Faktor endogen apabila letak
penyebabnya pada sel keturunan dan eksogen adalah hal-hal di luar sel keturunan, misalnya
infeksi, virus menyerang otak, benturan kepala yang keras, radiasi, dan lain-lain.
Cara lain yang sering digunakan dalam pengelompokan faktor penyebab ketunagrahitaan
adalah berdasarkan waktu terjadinya, yaitu faktor yang terjadi sebelum lahir (prenatal), saat
kelahiran (natal), dan setelah lahir (postnatal). Berikut ini beberapa penyebab ketunagrahitaan
yang sering ditemukan baik yang berasal dari faktor keturunan maupun faktor lingkungan.
1. Faktor keturunan
Penyebab kelainan yang berkaitan dengan faktor keturunan, meliputi hal berikut:
a. Kelainan kromosom, dapat dilihat dari bentuk dan nomornya. Dilihat dari bentuk dapat
berupa inversi (kelainan yang menyebabkan berubahnya urutan gene karena melihatnya
kromosom; delesi (kegagalanmeiosis, yaitu salah satu pasangan tidak membelah sehingga
terjadi kekurangan kromosom pada salah satu sel); duplikasi (kromosom tidak berhasil
memisahkan diri sehingga trejadi kelebihan kromosom pada salah satu sel lainnya)
translokasi ( adanbya kromosom yang patah dan patahnya menempel pada kromosom lain).
b. Kelainan gen. Kelainan ini terjadi pada waktu imunisasi, tidak selamanya tampak dari luar
(tetap dalam tingkat genotif). Ada 2 hal yang perlu diperhatikan untuk memahaminya, yaitu
kekuatan kelainan tersebut, dan tempat gena (lucos)yang mendapat kelainan.
2. Gangguan metabolisme dan gizi
Metabolisme dan gizi merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan
individu terutama perkembangan sel-sel otak. Kegagalan metabolisme dan kegagalan
pemenuhan kebutuhan gizi dapat mengakibatkan terjadinya gangguan fisik dan mental pada
individu. Kelainan yang disebabkan oleh kegagalan metabolisme dan gizi, antara lain
phenylketonuria (akibat metabolisme saccharide yang menjadi tempat penyimpanan asam
mucopolysaccharide dalam hati, limpa kecil, dan otak ) dan gejala yang tampak berupa
ketidak normalan tinggi badan ,kerangka tubuh yang tidak proporsional , telapak tangan lebar
dan pendek, persendian kaku, lidah lebar dan menonjol, dan tuna grahita; cretinism (keadaan
hypohydroidism kronik yang terjadi selama masa janin atau saat dilahirkan ) dengan gejala
kelainan yang tampak adalah ketidaknormalan fisik yang khas dan ketunagrahitaan.
3. Infeksi dan keracunan
Keadaan ini disebabkan oleh terjangkitnya penyakit-penyakit selama janin masih
berada didalam kandungan . penyakit yang dimaksut antara lain rubella yang mengakibatkan
ketunagrahitaan serta adanya kelainan pendengaran , penyakit jantung bawaan, berat badan
sangat kueang ketika lahir, syphilis bawaan, syndrome gravidity beracun, hampir pada semua
kasus berakibat ketunagrahitaan.
4. Trauma dan zat radioaktif
Terjadinya trauma terutama pada otak ketika bayi dilahirkan atau terkena radiasi zat
radioaktif saat hamil dapat mengakibatkan ketunagrahitaan. Trauma yang terjadi pada saat
dilahirkan biasanya disebabkan oleh kelahiran yang sulit sehingga memerluka alat bantuan.
Ketidaktepatan penyinaran atau radiasi sinarX selama bayi dalam kandungan mengakibatkan
cacat mental microsephaly.
5. Masalah pada kelahiran
Masalah yang terjadi pada saat kelahiran,misalnya kelahiran yang disertai hypoxia
yang dipastikan bayi akan menderita kerusakan otak ,kejang dan napas pendek. Kerusakan
juga dapat disebabkan oleh trauma mekanis terutama pada kelahiran yang sulit
6. Faktor lingkungan
Banyak faktor lingkungan yang diduga menjadi penyebab terjadinya ketunagrahitaan.
Telah banyak penelitian yang digunakan untuk pembuktian hal ini, salah satunya adalah
penemuan patton & Polloway bahwa bermacam-macam pengalaman negatif atau kegagalan
dalam melakukan interaksi yang terjadi selama periode perkembangan menjadi salah satu
penyebab ketunagrahitaan .
Latar belakang pendidikan orangtua sering juga dihubungkan dengan masalah-masalah
perkembangan. Kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikian dini serta
kurangnya pengetahuan dalam memberikan rangsangan poitif dalam masa perkembangan
anak menjadi penyebab salah sau timbulnya gangguan.

2.4 Upaya Pencegahan Tunagrahita


Beberapa alternatif upaya pencegahan timbulnya ketunagrahitaan adalah sebagai berikut :
1. Diagnostik prenatal
Adalah suatu usaha yang dilakukan untuk memeriksa kehamilan. Dengan usaha ini
diharapkan dapat ditemukan kemungkinan adanya kelainan-kelainan pada janin, baik berupa
kelainan kromosom maupun kelainan enzim yang diperlukan bagi perkembangan janin.
Seandainya ditemukan adanya kelainan, maka tindakan selanjutnya diserahkan kepada ibu
hamil atau keluarganya atau pertimbangan-pertimbangan dari dokter ahli dalam masalah
tersebut.
2. Imunisasi
Dilakukan terhadap ibu hamil maupun anak-anak balita. Dengan imunisasi ini dapat
mencegah timbulnya penyakit-penyakit yang menganggu perkembangan bayi/anak.
3. Tes darah
Dilakukan terhadap pasangan-pasangan yang akan menikah untuk menghindari kemungkinan
menurunkan benih-benih yang berkelainan.
4. Pemeliharaan kesehatan
Terutama bagi ibu-ibu hamil. Hal ini terutama menyangkut pemeriksaan kesehatan selama
hamil, penediaan gizi/nutrisi serta vitamin yang memadai, menghindari radiasi, dan
sebagainya.
5. Program KB
Diperlukan untuk mengatur kehamilan dan menciptakan keluarga yang sejahtera baik dalam
segi fisik maupun psikis. Keluarga kecil lebih memungkinkan terbinanya hubungan afeksi
yang relative lebih baik serta terjaminnya kebutuhan fisik yang relative lebih baik pula.
6. Sanitasi lingkungan
Yaitu mengupayakan terjaganya suatu lingkungan yang bersih dan sehat, sehingga dapat
mencegah timbulnya penyakit-penyakit yang membahayakan perkembangan anak.
7. Penyuluhan genetik
Yaitu suatu usaha mengkomunikasikan berbagai informasi yang berkaitan dengan masalah
genetika dan masalah-masalah yang ditimbulkannya. Ini dapat dilakukan melalui media
cetak, elektronik, maupun secara langsung melalui posyandu atau klinik-klinik kesehatan.
8. Tidakan operasi
Diperlukan terutama bagi kelahiran dengan resiko tinggi untuk mencegah kelainan-kelainan
yang ditimbulkan pada waktu kelahiran.
9. Intervensi dini
Program ini diperlukan terutama bagi para orang tua agar secara dini dapat membantu
perkembangan anak-anaknya.

2.5 Karakteristik Anak Tunagrahita


Karakteristik atau ciri-ciri anak tunagrahita dapat dilihat dari segi :
1. Fisik (Penampilan)
o Hampir sama dengan anak normal
o Kematangan motorik lambat
o Koordinasi gerak kurang
o Anak tunagrahita berat dapat kelihatan
2. Intelektual
o Sulit mempelajari hal-hal akademik.
o Anak tunagrahita ringan, kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 12
tahun dengan IQ antara 50 70.
o Anak tunagrahita sedang kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 7, 8
tahun IQ antara 30 50
o Anak tunagrahita berat kemampuan belajarnya setaraf anak normal usia 3 4 tahun, dengan
IQ 30 ke bawah.
3. Sosial dan Emosi
o Bergaul dengan anak yang lebih muda.
o Suka menyendiri
o Mudah dipengaruhi
o Kurang dinamis
o Kurang pertimbangan/kontrol diri
o Kurang konsentrasi
o Mudah dipengaruh
o Tidak dapat memimpin dirinya maupun orang lain.

Sedangkan karateristik tuna grahita menurut tingkatnya yaitu :


a. Karakteristik Anak Tunagrahita Ringan
Anak tunagrahita ringan yang lancar berbicara tetapi kurang pembendaharaan kata-
katanya. Mereka mengalami kesulitan berfikir abstrak, tetapi mereka masih dapat mengikuti
pelajaran akademik baik di sekolah biasa maupun di sekolah khusus, pada umur 16 tahun
baru mencapai umur kecerdasan yang sama dengan anak umur tahun, tetapi itupun hanya
sebagian dari mereka, sebagian tidak dapat mencapai umur kecerdasan seperti itu.
b. Karakteristik anak Tunagrahita Sedang
Anak tunagrahita sedang hampir tidak bisa mempelajari pelajaran-pelajaran
akademik. Perkembangan bahasanya lebih terbatas, tetapi dapat membedakan bahaya dan
bukan bahaya. Mereka masih mempunyai potensi untuk belajar memelihara diri dan
menyesuaikan diri terhadap lingkungan, dan dapat mempelajari beberapa pekerjaan yang
mempunyai arti ekonomi pada umur dewasa mereka baru mencapai kecerdasan yang sama
dengan anak umur 7 tahun atau 8 tahun. R. P. Mandey and Jhon Wiles (1959) menyatakan :
imbeciles have the intelligence of a child of up seven years. Maksudnya ialah anak
tunagrahita sedang dapat mencapai umur kecerdasan yang sama dengan anak normal usia
tujuh tahun.
c. Karakteristik Anak Tunagrahita Berat dan Sangat berat
Anak tunagrahita berat dan sangat berat sepanjang hidupnya akan selalu tergantung
pada pertolongan dan bantuan orang lain. Mereka tidak dapat memelihara diri sendiri (makan,
berpakaian, ke WC dan sebagainya harus dibantu). Pada umumnya mereka tidak dapat
membedakan yang berbahaya dengan yang tidak berbahaya, tidak mungkin berpartisipasi
dengan lingkungan sekitarnya, dan jika sedang berbicara maka kata-katanya dan ucapannya
sangat sederhana. Kecerdasan seseorang anak tunagrahita berat dan sangat berat hanya dapat
berkembang paling tinggi seperti anak normal yang berumur 3 atau 4 tahun.

2.6 Kebutuhan Pendidikan bagi Tunagrahita


Anak tunagrahita sangat memerlukan pendidikan serta layanan khusus yang berbeda
dengan anak-anak pada umumnya. Ada beberapa pendidikan dan layanan khusus yang
disediakan untuk anak tunagrahita, yaitu:
1. Kelas Transisi
Kelas ini diperuntukkan bagi anak yang memerlukan layanan khusus termasuk anak
tunagrahita. Kelas transisi sedapat mungkin berada disekolah reguler, sehingga pada saat
tertentu anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas persiapan
dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan modifikasi sesuai kebutuhan
anak.
2. Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-C,C1)
Layanan pendidikan untuk anak tunagrahita model ini diberikan pada Sekolah Luar
Biasa. Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan pembimbing/pengajar guru khusus dan
teman sekelas yang dianggap sama keampuannya (tunagrahita). Kegiatan belajar mengajar
sepanjang hari penuh di kelas khusus. Untuk anak tunagrahita ringan dapat bersekolah di
SLB-C, sedangkan anak tunagrahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1.
3. Pendidikan terpadu
Layanan pendidikan pada model ini diselenggarakan di sekolah reguler. Anak
tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler di kelas yang sama dengan bimbingan
guru reguler. Untuk matapelajaran tertentu, jika anak mempunyai kesulitan, anak tunagrahita
akan mendapat bimbingan/remedial dari Guru Pembimbing Khusus (GPK) dari SLB terdekat,
pada ruang khusus atau ruang sumber. Biasanya anak yang belajar di sekolah terpadu adalah
anak yang tergolong tunagrahita ringan, yang termasuk kedalam kategori borderline yang
biasanya mempunyai kesulitan-kesulitan dalam belajar (Learning Difficulties) atau disebut
dengan lamban belajar (Slow Learner).
4. Program sekolah di rumah
Progam ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita yang tidak mampu mengkuti
pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya, misalnya: sakit. Proram dilaksanakan
di rumah dengan cara mendatangkan guru PLB (GPK) atau terapis. Hal ini dilaksanakan atas
kerjasama antara orangtua, sekolah, dan masyarakat.
5. Pendidikan inklusif
Sejalan dengan perkembangan layaan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus,
terdapat kecenderungan baru yaitu model Pendidikan Inklusif. Model ini menekankan pada
keterpaduan penuh, menghilangkan labelisasi anak dengan prinsip Education for All.
Layanan pendidikan inklusif diselenggarakan pada sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar
bersama-sama dengan anak reguler, pada kelas dan guru/pembimbing yang sama. Pada kelas
inklusi, siswa dibimbing oleh 2 (dua) orang guru, satu guru reguler dan satu lagu guru
khusus. Guna guru khusus untuk memberikan bantuan kepada siswa tunagrahita jika anak
tersenut mempunyai kesulitan di dalam kelas. Semua anak diberlakukan dan mempunyai hak
serta kewajiban yang sama. Tapi saat ini pelayanan pendidikan inklusif masih dalam tahap
rintisan
6. Panti (Griya) Rehabilitasi
Panti ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita pada tingkat berat, yang mempunyai
kemampuan pada tingkat sangat rendah, dan pada umumnya memiliki kelainan ganda seperti
penglihatan, pendengaran, atau motorik. Program di panti lebih terfokus pada perawatan.
Pengembangan dalam panti ini terbatas dalam hal :
a. Pengenalan diri
b. Sensorimotor dan persepsi
c. Motorik kasar dan ambulasi (pindah dari satu temapt ke tempat lain)
d. Kemampuan berbahasa dan dan komunikasi
e. Bina diri dan kemampuan sosial
Menurut Somantri (2005) beberapa model latihan pendahuluan yang berfungsi sebagai
pendukung dalam pengembangan kemampuan bahasa dan bicaranya, antara lain sebagai
berikut.
Latihan pernapasan.
Latihan ini dapat dilakukan meniup lilin pada jarak tertentu, meniup harmonica, dan lain-lain.
Latihan otot bicara seperti lidah, bibir dan rahang.
Dalam latihan ini, anak tunagrahita disuruh mengunyah, menelan, batuk-batuk, atau
menggerakkan bibir, lidah, dan rahanggnya. Saranya dapat menggunakan permen karet yang
dikunyah dan dipindah-pindahkan dari kenan ke kiri.
Latihan pita suara.
Latihan ini diarahkan untuk menyebutkan nama-nama benda yang ada di sekitar dengan
menggunakan kata lembaga, yaitu daftar kata yang disusun sesuai dengan tingkat kesulitan
konsonan tertentu, dapat dimasukkan pula menirukan suara macam-macam binatang dan
benda-benda lain disekitarnya sebagai improvisasi, seperti suara kucing, anjing, bebek, dan
lain-lain.
Dalam memberikan terapi perilaku pada anak tunagrahita, seorang terapis harus memiliki
sikap sebagaimana yang dipersyaratkan dalam pendidikan humanistic, yaitu penerimaan
secara hangat, antusias tinggi, ketulusan dan kesungguhan, serta menaruh empati yang tinggi
terhadap kondisi anak tunagrahita. Tanpa dilengkapi persyaratan tersebut, penerapan tekhnik
modifikasi perilaku pada anak tunagrahita tidak banyak memberikan hasil yang berarti.
Apabila dalam pelaksanaannya mereka mampu memahami dan melakukan dengan baik,
dapat diberikan penguat, baik penguat primer yang berupa makanan atau minuman, atau
penguat sosial seperti senyuman, perhatian persetujuan dan lain-lain. Secara bertahap
kondisinya terus ditingkatkan sesuai dengan tahapan yang diperlukan, dengan memerhatikan
usia mental dan usia kalendernya.
Jenis terapi perilaku yang dapat dilakukan untuk anak tunagrahita yaitu melalui kegiatan
bermain (kegiatan fisik dan/atau psikis yang dilakukan tidak dengan sungguh-sungguh).
Mengingat urgensinya bermain bagi anak tunagrahita, dewasa ini aktivitas bermain
dikembangkan menjadi play therapy.
Terapi permainan yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita bukan sembarang
permainan, tetapi permainan yang memiliki muatan antara lain: (1) setiap permainan
hendaknya memiliki nilai terapi yang berbeda, (2) sosok permainan yang diberikan tidak
terlalu sukar untuk dicerna anak tunagrahita (1976).
Beberapa nilai yang penting dari bermain bagi perkembangan anak tunagrahita, antara
lain sebagai berikut:
1. Pengembangan fungsi fisik, misalnya pernapasan, pertukaran zat, peredaran darah, dan
pencernaan makanan, dapat dibantu dilancarkan melalui kegiatan bermain, baik bantuan pada
satu aspek funsi fisik ataupun lebih.
2. Pengembangan sensomotorik, artinya melalui bermain melatih pengindraan (sensoris)
seperti ketajaman penglihatan, pendengaran, perabaan atau penciuman, di samping melatih
otot dan kemampuan gerak, seperti tangan, kaki, dan gerak tubuh lainnya. Oleh karena itu,
bertambahnya koordinasi aspek sensoris dan aspek motoris dalam bermain, semakin baik
bagi perkembangan anak tunagrahita.
3. Pengembanagan daya khayal, maksudnya melalui bermain, anak tunagrahita diberikan
kesempatan untuk mampu menghayati makna kebebasan sebagai sarana yang diperlukan
untuk pengembangan daya khayal dan krasinya.
4. Pembinaan pribadi, maksudnya dalam bermain anak pun sebenarnya berlatih memperkuat
kemauan, memusatkan perhatian, mengembangkan keuletan, percaya diri, dan lainnya.
5. Pengembangan sosialisasi, yaitu anak harus berbesar hati menunggu giliran, setia, dan jujur.
6. Pengembangan intelektual, Contohnya, peraturan dan skor yang diperoleh dalam
permainan. Secara tidak langsung cara ini sebenarnya merupakan bagian dari pengembangan
intelektual anak tunagrahita.
Beberapa model permainan yang menekankan pada pengembangan kecerdasan dan motorik
halus yang cenderung bersifat individual, antara lain sebagai berikut:
1. Latihan menuangkan air
2. Bermain pasir
3. Bermain tanah liat
4. Meronce manic manic
5. Latihan melipat
6. Mengelem dan menempel
7. Menggunting dan memotong
8. Latihan menyobek
9. Jarum dan benang.
Model permainan lain yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan anak
tunagrahita, yaitu bermain mengandung unsur olahraga. Misalnya, berjalan diatas bangku dan
latihan lain yang menggunakan alat, misalnya menendang bola.
Khusus yang sifatnya kelompok, pengembangan aktivitas bermain pada anak tunagrahita
materinya dapat digali dari permainan-permainan tradisional, pendidikan olahraga, atau
kombinasi keduanya. Misalnya bermain jala ikan, kucing dan tikus, dan lainnya.

2.7 Layanan bagi Anak Tunagrahita


Anak tunagrahita walaupun mengalami hambatan intelektual, dapat
mengaktualisasikan potensinya asalkan mereka diberi kesempatan untuk mengikuti
pendidikan dengan pelayanan khusus. Melalui pelayanan ini mereka akan mampu
melaksanakan tugasnya sehingga dapat memiliki rasa percaya diri dan harga diri. Hal yang
paling penting dalam pendidikan anak tunagrahita adalah memunculkan harga diri sehingga
mereka tidak menarik diri dan masyarakat tidak mengisolasi anak tunagrahita karena mereka
terbukti mampu melakukan sesuatu. Pada akhirnya anak tunagrahita mendapat tempat di hati
masyarakat, seperti anggota masyarakat umumnya.
Untuk mencapai harapan tersebut diperlukan pelayanan yang memiliki ciri-ciri khusus
dan prinsip khusus, sebagai berikut.
a. Ciri-ciri khusus
1. Bahasa yang digunakan
Bahasa yang digunakan dalam berinteraksi dengan anak tunagrahita adalah bahasa sederhana,
tidak berbelit, jelas, dan gunakan kata-kata yang sering didengar oleh anak.
2. Penempatan anak tunagrahita di kelas
Anak tunagrahita ditempatkan di bagian depan kelas dan berdekatan dengan anak yang kira-
kira hampir sama kemampuannya. Apabila ia di kelas anak normal maka ia ditempatkan
dekat anak yang dapat menimbulkan sikap keakraban.
3. Ketersediaan program khusus
Di samping ada program umum yang diperkirakan semua anak di kelas itu dapat
mempelajarinya perlu disediakan program khusus untuk anak tunagrahita yang kemungkinan
mengalami kesulitan.
b. Prinsip khusus
1. Prinsip skala perkembangan mental
Prinsip ini menekankan pada pemahaman guru mengenai usia kecerdasan anak
tunagrahita. Dengan memahami usia ini guru dapat menentukan materi pelajaran yang sesuai
dengan usia mental anak tunagrahita tersebut. Dengan demikian, anak tunagrahita dapat
mempelajari materi yang diberikan guru. Melalui prinsip ini dapat diketahui perbedaan antar
dan intraindividu. Sebagai contoh: A belajar berhitung tentang penjumlahan 1 sampai 5.
Sementara B telah mempelajari penjumlahan 6 sampai 10. Ini menandakan adanya perbedaan
antarindividu. Contoh berikut adalah perbedaan intraindividu, yaitu C mengalami kemajuan
berhitung penjumlahan sampai dengan 20. Tetapi dalam pelajaran membaca mengalami
kesulitan dalam membedakan bentuk huruf.
2. Prinsip kecekatan motorik
Melalui prinsip ini anak tunagrahita dapat mempelajari sesuatu dengan melakukannya. Di
samping itu, dapat melatih motorik anak terutama untuk gerakan yang kurang mereka kuasai.
3. Prinsip keperagaan
Prinsip ini digunakan dalam mengajar anak tunagrahita mengingat keterbatasan anak
tunagrahita dalam berpikir abstrak. Oleh karena sangat penting, dalam mengajar anak
tunagrahita dapat menggunakan alat peraga. Dengan alat peraga anak tunagrahita tidak
verbalisme atau memiliki tanggapan mengenai apa yang dipelajarinya. Dalam menentukan
alat peraga hendaknya tidak abstrak dan menonjolkan pokok materi yang diajarkan.
Contohnya, anak belajar membaca kata bebek, alat peraganya adalah tulisan kata bebek
harus tebal sementara gambar bebek harus tipis. Maksudnya, gambar bebek hanyalah untuk
membantu pengertian anak.
4. Prinsip pengulangan
Berhubung anak tunagrahita cepat lupa mengenai apa yang dipelajarinya maka dalam
mengajar mereka membutuhkan pengulangan-pengulangan disertai contoh yang bervariasi.
Oleh karena itu, dalam mengajar anak tunagrahita janganlah cepat-cepat maju atau pindah ke
bahan berikutnya sebelum guru yakin betul bahwa anak telah memahami betul bahan yang
dipelajarinya. Contohnya, C belajar perkalian 2 (1 x 2, 2 x 2,). Guru harus mengulang
pelajaran itu sampai anak memahami betul arti perkalian. Barulah kemudian menambah
kesulitan materi pelajaran, yakni 3 x 2, 4 x 2, dan seterusnya.Pengulangan-pengulangan
seperti itu, sangat menguntungkan anak tunagrahita karena informasi itu akan sampai pada
pusat penyimpanan memori dan bertahan dalam waktu yang lama.
5. Prinsip korelasi
Maksud prinsip ini adalah bahan pelajaran dalam bidang tertentu hendaknya berhubungan
dengan bidang lainnya atau berkaitan langsung dengan kegiatan kehidupan sehari-hari anak
tunagrahita.
6. Prinsip maju berkelanjutan
Walaupun anak tunagrahita menunjukkan keterlambatan dalam belajar dan perlu
pengulangan, tetapi harus diberi kesempatan untuk mempelajari bahan berikutnya dengan
melalui tahapan yang sederhana. Jadi, maksud prinsip ini adalah pelajaran diulangi dahulu
dan apabila anak menunjukkan kemajuan, segera diberi bahan berikutnya. Contohnya,
menyebut nama-nama hari mulai Senin, Selasa, dan Rabu. Ulangi dahulu nama hari Senin,
Selasa, Rabu, kemudian lanjutkan menyebut Kamis, Jumat Sabtu, Minggu.
7. Prinsip individualisasi
Prinsip ini menekankan perhatian pada perbedaan individual anak tunagrahita. Anak
tunagrahita belajar sesuai dengan iramanya sendiri. Namun, ia harus berinteraksi dengan
teman atau dengan lingkungannya. Jadi, ia tetap belajar bersama dalam satu ruangan dengan
kedalaman dan keluasan materi yang berbeda. Contohnya, pada jam 8.00 murid kelas 3
SDLB belajar berhitung. Materi pelajaran anak-anak itu berbeda-beda sehingga terdiri dari 3
kelompok. Kelompok 1 harus ditunggui barulah ia akan belajar, sedangkan kelompok 2
cukup diberi penjelasan dan langsung mengerjakan tugasnya.

2.8 Strategi dan Media bagi Anak Tunagrahita


A. Strategi
Strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunagrahita pada prinsipnya tidak berbeda
dengan pendidikan pada umumnya. Pada prinsipnya menentukan strategi pembelajaran harus
memperhatikan tujuan pelajaran, karakteristik murid dan ketersediaan sumber (fasilitas).
Strategi yang efektif pada anak tunagrahita belum tentu akan baik bagi anak normal dan anak
berinteligensi tinggi.
Strategi pembelajaran anak tunagrahita ringan yang belajar di sekolah umum akan berbeda
dengan strategi pembelajaran bagi mereka yang belajar di sekolah luar biasa. Berikut
penjelasan tentang macam-macam strategi pengajaran untuk anak tunagrahita:
1. Strategi pengajaran yang diindividualisasikan
Strategi pembelajaran yang diindividualisasikan berbeda maknanya dengan pengajaran
individual. Pengajaran individual adalah pengajaran yang diberikan kepada seorang demi
seorang dalam waktu tertentu dan ruang tertentu pula, sedangkan pengajaran yang
diindividualisasikan diberikan kepada tiap murid meskipun mereka belajar bersama dengan
bidang studi yang sama, tetapi kedalaman dan keluasan materi pelajaran disesuaikan dengan
kemampuan dan kebutuhan tiap anak. Strategi ini tidak menolak sistem klasikal atau
kelompok. Strategi ini memelihara individualitas. Dalam pelaksanaannya guru perlu
melakukan hal-hal berikut ini:
Pengelompokan murid yang memungkinkan murid dapat berinteraksi, bekerja sama, dan
bekerja selaku anggota kelompok dan tidak menjadi anggota tetap dalam kelompok tertentu.
Kedudukan murid dalam kelompok sesuai dengan minat, dan kemampuan belajar yang
hampir sama.
Pengaturan lingkungan belajar yang memungkinkan murid melakukan kegiatan yang beraneka
ragam, dapat berpindah tempat sesuai dengan kebutuhan murid tersebut, serta adanya
keseimbangan antara bagian yang sunyi dan gaduh dalam pekerjaan di kelas. Adanya
petunjuk tentang penggunaan tiap bagian, adanya pengaturan agar memudahkan bantuan dari
orang yang dibutuhkan. Posisi tempat duduk (kursi & meja) dapat berubah-ubah, ukuran
barang dan tata letaknya hendaknya dapat dijangkau oleh murid sehingga memungkinkan
murid dapat mengatur sendiri kebutuhan belajarnya.
Mengadakan pusat belajar (learning centre)
Pusat belajar ini dibentuk pada sudut-sudut ruangan kelas, misalnya sudut bahasa, sudut IPA,
berhitung. Pembagian seperti ini, memungkinkan anak belajar sesuai dengan pilihannya
sendiri. Di pusat belajar itu tersedia pelajaran yang akan dilakukan, tersedianya tujuan
Pembelajaran Khusus sehingga mengarahkan kegiatan belajar yang lebih banyak bernuansa
aplikasi, seperti mengisi, mengatur, menyusun, mengumpulkan, memisahkan,
mengklasifikasi, menggunting, membuat bagan, menyetel, mendengarkan, mengobservasi.
Selain itu, pada tiap pusat belajar tersedia bahan yang dapat dipilih dan digunakan oleh anak
itu sendiri. Melalui strategi ini anak akan maju sesuai dengan irama belajarnya sendiri dengan
tidak terlepas dari interaksi sosial.
2. Strategi kooperatif
Strategi ini relevan dengan kebutuhan anak tunagrahita di mana kecepatan belajarnya
tertinggal dari anak normal. Strategi ini bertitik tolak pada semangat kerja di mana mereka
yang lebih pandai dapat membantu temannya yang lemah (mengalami kesulitan) dalam
suasana kekeluargaan dan keakraban.
Strategi kooperatif memiliki keunggulan, seperti meningkatkan sosialisasi antara anak
tunagrahita dengan anak normal, menumbuhkan penghargaan dan sikap positif anak normal
terhadap prestasi belajar anak tunagrahita sehingga memungkinkan harga diri anak
tunagrahita meningkat, dan memberi kesempatan pada anak tunagrahita untuk
mengembangkan potensinya seoptimal mungkin.
Dalam pelaksanaannya guru harus memiliki kemampuan merumuskan tujuan
pembelajaran, seperti untuk meningkatkan kemampuan akademik dan lebih-lebih untuk
meningkatkan keterampilan bekerja-sama. Selain itu guru dituntut mempunyai keterampilan
untuk mengatur tempat duduk, pengelompokan anak dan besarnya anggota kelompok.
Jonshon D.W (1984) mengemukakan bahwa guru harus mampu merancang bahan pelajaran
dan peran tiap anak yang dapat menunjang terciptanya ketergantungan positif antara anak
tunagrahita ringan dengan anak normal.
Namun, perlu disadari bahwa pengalaman, kesungguhan, dan kecintaan guru terhadap
profesinya merupakan modal utama yang ikut menentukan keberhasilan pembelajaran anak
tunagrahita ringan dengan anak normal.
3. Strategi modifikasi tingkah laku
Strategi ini digunakan apabila menghadapi anak tunagrahita sedang ke bawah atau anak
tunagrahita dengan gangguan lain. Tujuan strategi ini adalah mengubah, menghilangkan atau
mengurangi tingkah laku yang tidak baik ke tingkah laku yang baik. Dalam pelaksanaannya
guru harus terampil memilih tingkah laku yang harus dihilangkan. Sementara itu perlu pula
teknik khusus dalam melaksanakan modifikasi tingkah laku tersebut, seperti reinforcement.
Reinforcement ini merupakan hadiah untuk mendorong anak agar berperilaku baik.
Reinforcement dapat berupa pujian, hadiah atau elusan. Pujian diberikan apabila siswa
menunjukkan perilaku yang dikehendaki oleh guru. Dan pemberian reinforcement itu makin
hari makin dikurangi agar tidak terjadi ketergantungan.
Menurut Irianto (2010) gurudi sekolah inklusi dikenal dengan istilah guru yang
mendidik yakni guru yang mampu menerapkan program pembelajaran yang tidak
mementingkan mata pelajaran apa yang diajarkan atau di kelas berapa dia mengajar. Dengan
demikian guru yang mendidik adalah guru yang dapat bertindak sebagai guru kelas
professional yang berhadapan dengan semua mata pelajaran dan dapat melayani dan
membelajarkan semua siswa tanpa terkecuali. Guru yang mendidik juga ditandai dengan
sikap professional yang selalu belajar dan mempelajari berbagai informasi dasar yang
berkaitan dengan hambatan/kelainan anak dan yang mampu memberikan pengajaran
mendidik yang disesuaikan dengan kateristik dan kebutuhan anak.
Wong, Kauffan dan Lloyd (1991:108-115) memberikan gambaran tentang guru yang
mendidik bagi siswa penyandang tunagrahita di sekolah regular/inklusi, diantaranya adalah:
(1) Punya harapan bahwa siswa akan berhasil, (2) Fleksibel dalam menangani para siswa, (3)
Mempunyai komitmen dalam memperlakukan tiap siswa secara terbuka, (4) melakukan
pendekatan tersusun dengan baik dalam pengajaran, (5) Bersikap hangat, sabar, humoris
kepada siswa, (6) bersikap terbuka dan positif terhadap perbedaan dan kelainan anak-anak
dan orang dewasa, (7) mempunyai kemampuan bekerjasama dengan guru pendidikan khusus
dan bersiat responsive dalam membantu orang lain, (8) mampu memberikan penjelasan yang
dapat diterima oleh semula anak dengan menggunakan penalaran-penalaran yang logis, (9)
mempunyai sikap percaya diri dan kompetensi sebagai seorang guru, (10) punya rasa
keterlibatan professional yang tinggi serta pemuasan professional, (11) tidak gampang
menyerah dan putus asa dalam menghadapi anak, tetapi selalu berfikir kreatif dan inovatif
guna mencari solusi pembelajran yang tepat dan bermartabat yang berlandaskan sendi-sendi
kemanusiaan yang humanistik.

B. Media
Media pembelajaran yang digunakan pada pendidikan anak tunagrahita tidak berbeda
dengan media yang digunakan pada pendidikan anak biasa. Hanya saja pendidikan anak
tunagrahita membutuhkan media seperti alat bantu belajar yang lebih banyak mengingat
keterbatasan kecerdasan intelektualnya. Alat-alat khusus yang ada diantaranya adalah alat
latihan kematangan motorik berupa form board, puzzle; latihan kematangan indra, seperti
latihan perabaan, penciuman; alat latihan untuk mengurus diri sendiri, seperti latihan
memasang kancing, memasang retsluiting; alat latihan konsentrasi, seperti papan
keseimbangan, alat latihan membaca, berhitung, dan lain-lain.
Dalam menciptakan media pendidikan anak tunagrahita, guru perlu memperhatikan
beberapa ketentuan, antara lain (1) bahan tidak berbahaya bagi anak, mudah diperoleh, dapat
digunakan oleh anak; (2) warna tidak mencolok dan tidak abstrak; serta (3) ukurannya harus
dapat digunakan atau diatur penggunaannya oleh anak itu sendiri (ukuran meja dan kursi).

2.9 Evaluasi Belajar untuk Anak Tunagrahita


Berikut ini akan dikemukakan ketentuan-ketentuan khusus dalam melaksanakan evaluasi
belajar anak tunagrahita.
a. Waktu mengadakan evaluasi
Evaluasi belajar anak tunagrahita tidak saja dilakukan pada saat kegiatan belajar
mengajar berakhir atau pada waktu yang telah ditetapkan, seperti waktu tes prestasi belajar
atau tes hasil belajar, tetapi tidak kalah pentingnya evaluasi selama proses belajar mengajar
berlangsung. Pada saat itu dapat dilihat bagaimana reaksi anak, sikap anak, kecepatan atau
kelambatan setiap anak. Apabila ditemukan anak yang lebih cepat dari temannya maka ia
segera diberi bahan pelajaran berikutnya tanpa harus menunggu teman-temanya, sedangkan
anak yang lebih lambat, mendapatkan pengulangan atau penyederhanaan materi pelajaran.
b. Alat evaluasi
Sama halnya dengan alat evaluasi yang digunakan pada pendidikan anak normal maka
alat evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar anak tunagrahita tidak berbeda,
kecuali dalam bentuk dan urutan penggunaannya. Penggunaan alat evaluasi, seperti tulisan,
lisan dan perbuatan bagi anak tunagrahita harus ditinjau lebih dahulu bagaimana keadaan
anak tunagrahita yang akan dievaluasi. Misalnya, anak tunagrahita sedang tidak mungkin
diberikan alat evaluasi tulisan. Mereka diberikan alat evaluasi perbuatan dan bagi anak
tunagrahita ringan dapat diberikan alat evaluasi tulisan maupun lisan karena anak tunagrahita
ringan masih memiliki kemampuan untuk menulis dan membaca serta berhitung walaupun
tidak seperti anak normal pada umumnya. Kemudian, kata tanya yang digunakan adalah kata
yang tidak menuntut uraian (bagaimana, mengapa), tetapi kata apa, siapa atau di mana.
c. Kriteria keberhasilan
Keberhasilan belajar anak tunagrahita agar tidak dibandingkan dengan teman
sekelasnya, tetapi dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh anak itu sendiri dari
waktu ke waktu. Oleh karena itu, penilaian pada anak tunagrahita adalah longitudinal
maksudnya penilaian yang mengacu pada perbandingan prestasi individu atas dirinya sendiri
yang dicapainya kemarin dan hari ini.
d. Pencatatan hasil evaluasi
Pencatatan evaluasi yang telah kita kenal berbentuk kuantitatif, artinya kemampuan
anak dinyatakan dengan angka. Tetapi bentuk seperti ini, bagi anak tunagrahita tidak cukup.
Jadi, harus menggunakan bentuk kuantitatif ditambah dengan kualitatif. Misalnya, dalam
pelajaran Berhitung, si Ano mendapat nilai angka 8. Sebaiknya diikuti dengan penjelasan,
seperti nilai 8 berarti dapat mempelajari penjumlahan 1 sampai 5, pengurangan 1 sampai 3.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tunagrahita ialah sebutan untuk anak dengan hendaya atau penurunan kemampuan atau
berkurangnya kemampuan dalam segi kekuatan, nilai, kualitas, dan kuantitas. Klasifikasi
anak tunagrahita dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu tunagrahita ringan, tunagrahita sedang,
dan tunagrahita berat. Sedangakan faktor penyebab ketunagrahitaan antara lain yaitu,
disebabkan oleh faktor keturunan, gangguan metabolisme dan gizi, infeksi dan keracunan,
trauma dan zat raioaktif, masalah pada kelahiran, dan faktor lingkungan. Ketunagrahitaan
dapat kita cegah dengan cara, diagnostik prenatal, imunisasi, tes darah, pemeliharaan
kesehatan, program KB, sanitasi lingkungan, penyuluhan genetik, tindak operasi, dan
intervensi dini. Karakteristik atau ciri-ciri anak tunagrahita pada umumnya dapat dilihat dari
segi :
1. Fisik (Penampilan)
o Hampir sama dengan anak normal
o Kematangan motorik lambat
o Koordinasi gerak kurang
o Anak tunagrahita berat dapat kelihatan
2. Intelektual
o Sulit mempelajari hal-hal akademik.
o Anak tunagrahita ringan, kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 12
tahun dengan IQ antara 50 70.
o Anak tunagrahita sedang kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 7, 8
tahun IQ antara 30 50
o Anak tunagrahita berat kemampuan belajarnya setaraf anak normal usia 3 4 tahun, dengan
IQ 30 ke bawah.
3. Sosial dan Emosi
o Bergaul dengan anak yang lebih muda.
o Suka menyendiri
o Mudah dipengaruhi
o Kurang dinamis
o Kurang pertimbangan/kontrol diri
o Kurang konsentrasi
o Mudah dipengaruh
o Tidak dapat memimpin dirinya maupun orang lain.
Ada beberapa pendidikan dan layanan khusus yang disediakan untuk anak
tunagrahita, yaitu kelas transisi, sekolah khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-
C,C1), pendidikan terpadu, sekolah di rumah, pendidikan inklusif, dan panti (griya)
rehabilitasi. Layanan pendidikan yang diberikan kepada anak tunagrahita juga memiliki ciri
khusus dan prinsip khusus agar perkembangan mereka meningkat.
Ada beberapa strategi pembelajaran yang dapat digunakan untuk anak tunagrahita
antara lain, strategi pembelajaran yang diindividualisasikan, kooperatif, dan modifikasi
tingkah laku. Begitu pula untuk media pembelajaran yang digunakan untuk anak tunagrahita
tidak jauh berbeda dengan anak normal, hanya saja pendidikan anak tunagrahita
membutuhkan media seperti alat bantu belajar yang lebih banyak mengingat keterbatasan
kecerdasan intelektualnya. Evaluasi belajar anak tunagrahita dapat diukur melalui waktu
mengadakan evaluasi, alat evaluasi yang digunakan, kriteria keberhasilan, pencatatan hasil
evaluasi.

3.2 Saran
Dalam sistem pendidikan saat ini, banyak terdapat sekolah inklusif di mana layanan
pendidikan khusus dan regular dalam satu sistem persekolahan digabungkan. Dengan begitu,
kita sebagai seorang guru sudah seharusnya mempelajari bagaimana cara menangani anak
berkebutuhan khusus, salah satunya anak tunagrahita agar dapat mengembangkan potensi
anak tersebut menjadi lebih baik. Jadi, tidak hanya anak normal saja yang dapat kita
kembangkan potensinya.

DAFTAR PUSTAKA

Adil, Nasrun. 1994. Hubungan Kemampuan Berbicara dengan Penyesuaian Sosial


Anak Tunagrahita Ringan. Medan: Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan
Ciptono, dkk. 2009. Guru Luar Biasa. PT.Mizan Publika
http://annesdecha.blogspot.com (diakses tanggal 03 Nopember 2013, 10:45 WIB)
http://nailarahma-plbuns2012.blogspot.com (diakses tanggal 03 Nopember 2013,
10:03 WIB)
http://wikipedia.com (diakses tanggal 01 Nopember 2013, 17:03 WIB)

Anda mungkin juga menyukai