Tujuan :
- Untuk membimbing anak pada kehidupan yang mandiri.
- Membimbing anak untuk mendapat pengakuan dan tempat yang layak di masyarakat.
Program pendidikan :
- Program pendidikan umum, seperti pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, pendidikan Agama,
Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Kerajian Tangan dan
Kesenian.
- Pembelajaran menggunakan Huruf Braille.
- Orientasi dan Mobilitasi (OM), merupakan kemampuan bergerak dari satu tempat ke tempat lain dengan
menggunakan indera yang masih ada atau masih berfungsi dengan cepat, tepat, aman, seperti :
- Jalan dengan pendamping / ada yang mengawasi.
- Jalan mandiri
- Latihan bantu diri. Alat bantu yang digunakan dalam orientasi dan mobilitas adalah tongkat putih
atau tongkat elektronik, kacamata elektronik, dll
- Belajar Matematika, dengan alat bantu berhitung seperti lidi atau kalkulator. Dapat juga menggunakan
beberapa alat bantu menghitung seperti cubaritmen, taylor frame, dan abacus.
- Program pendidikan jasmani untuk memantapkan latihan orientasi dan mobilitas, dengan menggunakan
petunjuk bunyi-bunyian, bau-bauan, arah angin, dan matahari. Misalnya :
- Lompat tali, anak dikenalkan dengan tali, letak tali. Anak berada di belakang guru. Anak meletakkan
tangannya di bahu / pinggang guru dan belajar bersama.
- Kayang, guru membimbing anak saat melakukan latihan mulai sikap berdiri, sikap tangan, gerak
tubuh, hingga anak dapat melakukan kayang.
- Bowling, Softball, Sepakbola, Basket, Renang, Sepatu roda, Senam, dan Tenis meja.
Program SLB B
- SLB Bagian B, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan secara khusus untuk
peserta didik yang menyandang kelainan pada pendengaran (Tunarungu).
- Bina komunikasi, persepsi bunyi dan irama untuk peserta didik Tunarungu
Tujuan :
- Membentuk optimisme anak untuk keluar dari masalah komunikasi
- Membentuk anak untuk bersosialisasi dan berintegrasi dengan anak sebaya di sekolah maupun di dalam
lingkungan rumah
Program pendidikan :
- Memberikan layanan deteksi dini, diagnosa, konsultasi, fasilitator dan penyediaan alat bantu dengar
( hearing aid ) dan Implant Coachlea, perawatan dan servisnya.
- Memberikan treatment Bina Persepsi Bunyi dan Irama (BPBI), Auditory Verbal dan Bina Wicara secara
kontinyu dan konsisten
- Program habilitasi melalui perbaikan cara komunikasi anak dengan menggunakan pendengaran sebagai
titik tolak dalam berinteraksi dengan lingkungan luar anak.
- Pendekatan komunikasi menggunakan komunikasi secara oral-aural (bukan isyarat) dan metode
pemerolehan bahasa, yaitu Metode Maternal Reflektif. Hal ini memungkinkan anak mampu berbahasa
dan berkomunikasi sebagai dasar untuk menguasai kompetensi yang lain.
Keterbatasan dalam komunikasi oral atau lisan berakibat pada lemahnya daya tangkap dan kemampuan
berbahasa seseorang. Jika seorang anak lemah daya tangkapnya, ia akan merasa minder atau terganggu
secara emosional serta hubungan sosialnya. Metode oral-aural ini bersifat aural, yakni menimbulkan daya
tangkap anak terhadap bahasa yang didengarnya dari ucapan orang lain dan memahami maksudnya.
Sementara itu, bersifat oral berarti agar anak dapat menggunakan bahasa secara lisan dalam pergaulan.
Cara manual dilakukan dengan memainkan bunyi-bunyian di belakang seorang anak. Setelah kemampuan
pendengaran diketahui, anak diajarkan cara berkomunikasi oral, yaitu dengan menirukan bentuk mulut,
merasakan getaran suara di bagian dada, serta ekspresi atau raut muka lawan bicara. Setelah itu, anak
berlatih melafalkan kata-kata, dan kemudian akan diajari pula penggunaan bahasa isyarat dengan tangan.
Program SLB C
- SLB Bagian C, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan secara khusus untuk
peserta didik tunagrahita ringan dan SLB Bagian C1, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan
pelayanan pendidikan secara khusus untuk peserta didik tunagrahita sedang.
- Bina Diri untuk peserta didik Tunagrahita Ringan dan Sedang
Tujuan :
- Membangun ortopedagogik pada anak tunagrahita.
- Agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota
masyarakat.
- Dapat mengembangkan potensi dengan sebaik-baiknya.
- Dapat menolong diri, berdiri sendiri dan berguna bagi masyarakat.
Program pendidikan :
- Program mata pelajaran dasar umum, terdiri dari :
- Pendidikan Agama
- Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
- Bahasa Indonesia
- Bahasa Inggris
- Ilmu Pengetahuan Alam ( IPA )
- Ilmu Pengetahuan Sosial ( IPS )
- Matematika
- SLB Bagian D, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan secara khusus untuk
peserta didik tunadaksa tanpa adanya gangguan kecerdasan dan SLB D1, yaitu lembaga pendidikan yang
memberikan pelayanan pendidikan secara khusus untuk peserta didik tunadaksa yang disertai dengan
gangguan kecerdasan.
- Bina Gerak untuk peserta didik Tunadaksa Ringan
Tujuan :
- Mengembangkan potensi anak seoptimal mungkin.
- Agar anak dapat mandiri, minimal dapat mengurus dirinya sendiri, menjadi lebih baik atau dapat
meningkat kualitas hidupnya.
- Anak dapat mengatasi permasalahan yang timbul sebagai akibat langsung atau tidak langsung dari
kecacatannya.
Program pendidikan :
- Kegiatan identifikasi dan asesmen kemampuan dan ketidakmampuan anak dalam segi fisik, mental,
sosial, akademik, dan keterampilannya.
- Melaksanakan rehabilitasi kepada siswa tunadaksa, yaitu rehabilitasi medis, pendidikan, sosial, dan
keterampilan.
- Pengembangan intelektual dan akademik, membantu perkembangan fisik, meningkatkan perkembangan
emosi dan penerimaan diri anak, mematangkan aspek sosial, mematangkan moral dan spiritual,
meningkatkan ekspresi diri, dan mempersiapkan masa depan anak.
- Pembelajaran dilaksanakan di Ruang Belajar Kita ( RBK ) sebanyak mata pelajaran yang ada, karena di
RBK terdapat banyak sumber dan alat-alat yang dapat membantu pemahaman anak dalam belajar.
Dengan berpindah tempat belajar antar RBK, anak sekaligus latihan gerak mobilitas, juga anak-anak
tidak cepat bosan dengan banyak variasi ruangan serta lingkungannya.
- Program khusus berupa bina gerak, bina diri dan bina wicara serta program pilihan seperti tata boga,
olahraga, perkebunan, tanaman hias, dan pertukangan.
Program SLB E
- SLB Bagian E, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan secara khusus untuk
peserta didik tunalaras.
- Bina pribadi dan sosial untuk peserta didik tunalaras.
Tujuan :
- Membentuk anak berkebutuhan khusus yang berprestasi, terampil, mandiri, berbudi pekerti luhur dan
memasyarakat.
- Agar anak dapat hidup bersosialisasi dan diterima oleh masyarakat.
- Agar anak memiliki ketrampilan dasar sesuai bakat dan minatnya.
- Menumbuh-kembangkan pengamalan agama dan budaya luhur anak.
- Meningkatkan citra harkat dan martabat anak berkebutuhan khusus sehingga tidak mendapatkan
perlakuan diskriminatif dari pihak manapun.
Program pendidikan :
- Program pendidikan umum, seperti pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, pendidikan Agama,
Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Kerajian Tangan dan
Kesenian.
- Pembelajaran dengan pendekatan aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan, serta pendekatan CTL
(Contextual Teacher Learning) secara efektik terus-menerus dan berkesinambungan.
- Penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan
- Terapi perilaku sosial
- Terapi kelompok (peer teaching)
- Mengenalkan anak pada kehidupan sosial yang baik, seperti melalui game kelompok dan sebagainya,
untuk meningkatkan kebersamaan dan kehidupan social anak.
- Memberikan pengajaran dengan metode diskusi dan kelompok untuk meningkatkan kepercayaan diri
anak.
- Kegiatan outbond, agar anak berlatih bekerja sama dalam satu tim untuk mencapai tujuan, saling
membantu, melatih menjaga konsentrasi dengan pasangan.
Program SLB G
- SLB Bagian G, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan secara khusus untuk
peserta didik tunaganda.
- Bina diri dan bina gerak untuk peserta didik Tunadaksa Sedang dan Tunaganda.
Tujuan :
- untuk meningkatkan kemandirian anak
Program pendidikan :
- Program pendidikan mengakses empat bidang utama, yaitu bidang domestik, rekreasional,
kemasyarakatan, dan vokasional.
- Pengajaran mencakup di antaranya : ekspresi pilihan, komunikasi, pengembangan keterampilan
fungsional, dan latihan keterampilan sosial sesuai dengan usia anak.
- Ada kerja sama antara terapis bicara dan bahasa, terapi fisik dan okupasional dengan guru-guru serta
orangtua dalam menyadari akan kondisi obyektif anak-anak tunaganda.
- Memberikan layanan yang terbaik dalam proses pembelajaran yang didukung dengan penataan kelas
yang sesuai serta alat bantu dalam meningkatan keterampilan fungsional anak untuk dapat menjamin
kemandirian.
- Pengembangkan keterampilan sosial dan persahabatan untuk meningkatkan integrasi dengan anak
seusia serta dapat mendorong adanya perubahan sikap yang lebih positif melalui berpartisipasi dalam
kegiatan yg sama dengan anak-anak normal.
5. Pendidikan Inklusif
Menurut Johnen dan Skjorten (2003), pendidikan inklusif adalah system layanan pendidikan
yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas
regular bersama-sama teman seusianya.Oleh karena itu, ditekankan adanya restrukturisasi sekolah
sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak. Artinya dalam
pendidikan inklusif tersedia sumber belajar yang beragam dan mendapat dukungan dari semua pihak,
meliputi para siswa, guru, orang tua dan masyarakat sekitarnya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa
di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai
suatu komunitas.
Dengan kata lain, pendidikan inklusif merupakan pendidikan terpadu yang diharapkan dapat
mengakomodasi pendidikan bagi semua, terutama anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus yang
selama ini masih banyak yang belum terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan seperti anak-anak
normal. Menggabungkan murid berlatarkan kemampuan fisik dan mental yang jelas berbeda, sekolah
inklusif tentunya tidak bisa menentukan naik kelas atau tidaknya seorang murid berdasarkan penilaian
terhadap penguasaan atas kurikulum umum. Konsekuensinya sebuah sekolah inklusif harus memodifikasi
aspek-aspek penilaian terhadap seorang murid menjadi lebih terbuka dan benar benar disesuaikan
dengan kondisi anak, guru mata pelajaran dan guru pendidikan khusus.Guru yang bukan lulusan PLB pun
harus memiliki pengetahuan dasar tentang pendidikan luar biasa.
Dewasa ini salah satu masalah besar yang sedang muncul dan perlu mendapat perhatian
khusus adalah banyaknya peserta didik yang mengalami kesulitan dalam proses belajar
karenakan kelainan yang mereka alami, meliputi kelainan fisik, mental, emosional dan
sosial. Dengan adanya kelainan itu, anak berkebutuhan khusus (ABK) juga memerlukan
pembelajaran dan bimbingan seperti halnya anak normal pada umumnya. Dengan adanya
ketetapan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pasal 23 tentang sistem pendidikan nasional,
disebut kan bahwa pendidikan khusus (sekolah luar biasa)merupakan pendidikan bagi peserta
didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan
fisik, mental, emosional, dan sosial. Di sini dapat ditekankan bahwa setiap anak abnormal
belum tentu memerlukan pendidikan khusus karena selama anak abnormal belum mengalami
kesulitan dalam proses pembelajaran. Dengan adanya ketetapan dalam Undang-Undang No.
20 Tahun 2003 pasal 23 tersebut memberikan kekuatan yang penuh terhadap reaksi-reaksi
keluarga yang frustasi terhadap kelainan yang di sandang buah hatinya. Selain itu, hal ini juga
memberikan kekuatan dan kesempatan yang sangat di butuhkan anakanak berkebutuhan
khusus untuk mengembangkan bakat dan potensi yang dimiliki.
Dengan memberikan kesempatan yang sama terhadap ABK dalam memperoleh bimbingan dan
pembelajaran, secara tidak langsung hal ini mengurangi rasa ketergantungan anak terhadap
orang lain seperti yang terjadi kebanyakan anak abnormal pada umumnya. Selain itu, hal ini
juga mengurangi kesenjangan yang mereka alami dan akhirnya membuat mereka lebih mandiri
dengan kelainan yang mereka alami. Di samping itu, tedapat efek psikologis yang positif
terhadap anak tersebut, yaitu memotivasi anak untuk tumbuh dan berkembang serta
berprestasi dalam bakatnya sehingga mampu meningkatkan harga dirinya yang nilainya lebih
penting daripada nilai finansial di dunia ini.
Seperti yang pernah terjadi pada salah satu murid Sekolah Autisme Laboratorium Universitas
Negeri Malang (UM) pada Festival Seni dan Olahraga Anak Autis se-Jawa. Mereka
menunjukkan prestasinya di depan para orang tua dan peserta autis lainnya (Jombang, Blitar,
Surabaya, dll.)seperti menari, membaca puisi, dan fashion. Uniknya, mereka mampu menjadi
dalang cilik sehingga menjadi bukti bahwa anak-anak berkelainan maupun anak berkebutuhan
khusus juga mampu berkreasi. Di akhir kegiatan tersebut, Sekolah Autis UM mampu menjadi
juara umum dengan mengalahkan peserta autis lainnya.
Hal ini memberi bimbingan dan pembelajaran kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Hal ini
juga tidak semudah membalikkan telapak tangan kita karena setiap jenis kelainan yang
disandang membutuhkan perangkat belajar yang berbeda dan metode-metode belajar yang
berbeda pula sesuai dengan tingkat kesulitan yang mereka alami. Dengan adanya hal tersebut,
upaya pemberdayaan anak-anak berkebutuhan khusus memerlukan biaya yang tidak murah.
Tidak seperti anak-anak normal yang tingkat penanganan dan perangkat pembelajaran yang
sama.
Adanya kenyatan tersebut, sebagai seorang pembimbing harus mempunyai pendidikan yang
relevan yang sesuai dengan ciri dan karakteristik anak penyandang ketunaan yang dialami.
Seperti asal mula penyebab kelainan, dampak psikologi, dan prinsip-prinsip layanan ABK.
Counseling for children with special needs - Setelah mengetahui pengertian bimbingan dan konseling,
yaitu proses pemberian bantuan yang diberikan oleh konselor kepada konseli agar konseli mampu
menyelesaikan masalah yang dihadapinya dan juga mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya
se_optimal mungkin secara mandiri.
Disini pemberian bantuan tidak hanya diberikan kepada anak yang normal saja, anak berkebutuhan
khusus juga perlu mendapatkan bantuan. Karena berdasarkan sejarah perkembangan pandangan
masyarakat terhadap anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) maka dapat dicatat bahwa kebutuhan anak-
anak berkebutuhan khusus dan keluarganya masih banyak yang terabaikan selama bertahun-tahun hingga
saat ini. Sejarah juga mencatat bagaimana tanggapan sebagian besar masyarakat terhadap keberadaan
anak-anak tersebut dan keluarganya. Sebagian besar masyarakat masih ada yang menganggap kecacatan
atau kelainan yang disandang oleh anak berkebutuhan khusus sebagai kutukan, penyakit menular, gila,
dan lain-lain. Akibat dari itu maka ABK dan keluarga ada yang dikucilkan oleh masyarakatnya. Ada
diantara ABK sendiri yang menarik diri tidak mau berbaur dengan masyarakat karena merasa cemas dan
terancam.
Kondisi tersebut tentunya membawa dampak langsung maupun tidak langsung terhadap tumbuh kembang
ABK, bahkan terhadap keluarganya (kedua orangtuanya). Thompson dkk(2004) menyatakan bahwa
pandangan atau penilain negatif dari lingkungan terhadap ABK dan keluarganya merupakan tantangan
terbesar selain kecacatan yang disandang oleh ABK itu sendiri dan dampaknya dapat dirasakan langsung
oleh yang bersangkutan beserta keluarganya. Bahkan cara pandang masyarakat yang negatif menjadi
stigma yang berkepanjangan (Rahardja, 2006). Dampak yang jelas sering ditemui adalah terhadap konsep
diri, prestasi belajar, perkembangan fisik, dan perilaku menyimpang. Sebagaimana yang dinyatakan oleh
Thompson .(2004) bahwa pandangan negatif dari masyarakat terhadap kecacatan menyebabkan citra
diri yang negatif dari ABK.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka ABK membutuhkan "alat" agar dirinnya mampu mengatasi
hambatan yang dialaminnya dan mampu hidup mandiri sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
Alat itu diantarannya adalah melalui pendidikan. Dengan pendidikan diharapkan ABK memperoleh bekal
hidup dan mencapai perkembangan yang optimal. Namun, dengan menumpuknya berbagai permasalahan
yang dihadapi oleh ABK, tidaklah cukup melalui pendidikan dengan proses belajar mengajar dikelas.
ABK juga butuh layanan yang menduukung kepada keberhasilan belajar dan layanan memandirikan
untuk mencapai perkembangan yang optimal. Layanan itu adalah bimbingan dan konseling.
Meskipun pada dasarnya pelayanan Bimbingan dan Konseling yang memandirikan itu memang untuk
semua konseli, termasuk bagi konseli berkebutuhan khusus dan berbakat, namun untuk mencegah
timbulnya kerancuan perlu dikeluarkan dari cakupan pelayanan ahli bimbingan dan konseling yang
memandirikan itu. Pelayanan bimbingan yang memandirikan dalam arti menumbuhkan kecakapan hidup
fungsional bagi konseli yang menyandang retardasi mental, harus dilayani oleh Pendidik yang disiapkan
melalui Pendidikan Guru untuk Pendidikan Luar Biasa (PG PLB). Dengan spesifikasi wilayah pelayanan
ahli konselor yang lebih cermat itu, kawasan pelayanan ahli bimbingan dan konseling yang
memandirikan itu juga perlu ditakar secara tepat, karena untuk sebahagian sangat besar pelayanan
bimbingan yang memandirikan yang dibutuhkan oleh konseli yang menyandang kekurang-sempurnaan
fungsi indrawi itu juga hanya bisa dilakukan oleh Pendidik yang disiapkan melalui PG PLB dengan
spesialisasi yang berbeda-beda.
Pelayanan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus akan amat erat kaitannya dengan
pengembangan kecakapan hidup sehari-hari (daily living activities) yang tidak akan terisolasi dari
konteks. Oleh karena itu pelayanan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus merupakan
pelayanan intervensi tidak langsung yang akan lebih terfokus pada upaya mengembangkan lingkungan
perkembangan (inreach-outreach) bagi kepentingan fasilitasi perkembangan konseli, yang akan
melibatkan banyak pihak di dalamnya.
Permasalahan yang dihadapi anak berkebutuhan khusus pada hakekatnya sangat kompleks dan dapat
ditinjau dari berbagai segi. Secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu masalah hambatan
belajar (learning barrier), kelambatan perkembangan (development delay), dan hambatan perkembangan
(development disability).
1. Hambatan belajar
Munculnya permasalahan hambatan belajar anak berkebutuhan khusus dapat ditinjau dari dimensi proses
ataupun hasil. Dalam pandangan teori pemrosesan informasi, hambatan dalam dimensi proses merujuk
pada ketidakmampuan, ketidaksanggupan, kesulitan, kegagalan atau adanya rintangan pada individu
untuk menangkap informasi melalui kegiatan memperhatikan, mengolah informasi melalui kegiatan
mencamkan dan menafsirkan sehingga diperoleh pemahaman, interpretasi, generalisasi atau keputusan-
keputusan tertentu, menyimpan hasil pengolahan informasi tersebut dalam ingatan, dan menggunakan
atau mengekspresikan kembali dalam bentuk tindakan. Sedangkan hambatan dalam dimensi produk,
berarti kegagalan individu dalam mencapai prestasi sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, kegagalan
individu dalam meraih tujuan belajar yang diharapkan, atau kegagalan dalam penguasaan atau perubahan
perilaku sesuai yang diharapkan, baik dalam perilaku kognitif, afektif, ataupun psikomotor. Secara
akademik kegagalan tersebut akan tampak dalam penguasaan tiga ketrampilan dasar dalam belajar, yaitu:
membaca, menulis, dan atau berhitung (Sunardi, 2006).
Salah satu faktor penting yang memiliki kontribusi tinggi terhadap munculnya hambatan belajar pada
anak berkebutuhan khusus adalah faktor kesiapan individu untuk belajar, yaitu kesiapan anak dalam
merespon situasi yang dihadapkan kepadanya secara tepat, baik karena faktor fisik , mental, emosi, atau
sosial anak atau faktor lain yang bersumber pada faktor lingkungan, budaya, ataupun ekonomi. Akibat
kelainan yang dihadapi, anak berkebutuhan khusus sangat rentan terhadap munculnya berbagai hambatan
dalam belajar. Sedangkan hambatan belajar yang muncul hakekatnya dapat beragam sesuai dengan
kondisi anak dan komplesitas faktor-faktor yang mempengaruhi, dan khas atau unik untuk masing-
masing anak. Secara umum, hambatan belajar yang cenderung dihadapi oleh anak berkebutuhan khusus
antara lain hambatan belajar ketrampilan motorik, bahasa, kognitif, persepsi, emosi, dan perilaku adaptif
atau gabungan dari hal-hal tersebut. Dari dimensi akademis kesulitan tersebut dapat berupa kesulitan
dalam penguasan keterampilan dasar belajar, seperti menulis, membaca, dan berhitung. Hambatan belajar
seringkali muncul sejak anak usia pra-sekolah dan akan berkembang semakin berat dan kompleks jika
didukung oleh lingkungan yang kurang menguntungkan, terutama oleh lingkungan keluarga yang tidak
peduli terhadap permasalahan yang dihadapi anaknya. Dampak dikemudian hari, disamping akan lebih
sulit untuk diatasi juga dapat bersiko kepada mahalnya beaya pendidikan yang harus dikeluarkan. Belajar
adalah memberi pengalaman secara luas pada semua aspek perkembangan. Karena itu dalam membantu
mengatasi hambatan belajar anak harus dilakukan dengan membuka pengalaman secara luas kepada anak,
sehinga dapat membantu dan mendorong seluruh aspek perkembangan anak secara komprehensif dan
dilakukan sejak dini.
2. Kelambatan perkembangan
Dalam perkembangannya menjadi manusia dewasa, seorang anak berkembang melalui tahapan tertentu.
Sekalipun irama atau kecepatan perkembangan setiap anak berbeda-beda, namun muncul kecenderungan
bahwa pada anak berkebutuhan khusus beresiko terhadap munculnya kelambatan atau penyimpangan
perkembangan sesuai dengan umur dan milestone perkembangan, sehingga harus tetap diwaspadai.
Sebab, akibat kelainan, kecacatan, atau kondisi-kondisi terntentu yang tidak menguntungkan dan
menjadikannya anak berkebutuhan khusus, dapat berpengaruh atau menghambat perkembangan
kemampuan, prestasi, dan atau fungsinya, dapat menjadikan anak memerlukan waktu yang lebih lama
dalam belajar menguasai keterampilan tertentu dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya,
atau menjadikan datangnya kematangan belajar menjadi terlambat. Anak-anak berkebutuhan khusus, baik
karena kecatatan atau akibat kondisi tertentu dapat menyebabkan functional isolationism 'isolasi diri'
yaitu kecenderungan mempertahankan untuk mengurangi kegiatan interaksi sosial, aktivitas, dan perilaku
eksploratori. Akibatnya, anak menjadi tidak aktif, apatis, dan pasif, malu, malas, dan kurang motivasi.
Dalam keadaan demikian, aspek-aspek esensial dan universal yang diperlukan untuk perkembangan
optimal menjadi ditekan, sehingga tidak berfungsi sebagai mana mestinya, dan akhirnya memunculkan
kelambatan dalam perkembangannya. Untuk mengidentifikasi apakah anak mengalami kelambatan
perkembangan, cara yang paling mudah adalah dengan membandingkan taraf kemampuan anak sesuai
dengan anak-anak seusianya. Bila dijumpai adanya keterlambatan atau penyimpangan, maka harus
dicurigai apakah kelambatan tersebut merupakan variasi normal atau suatu kelainan yang serius sebagai
akibat kelainan atau kecacatannya, dan apabila hal tersebut diguga kuat akibat kelainan atau
kecacatannya, maka hendaknya dilakukan penanganan secara intensif dan sedini mungkin agar tidak
berkembang semakin kompleks dan upaya mengatasinya tidak semakin sulit, anak dapat mengejar
ketertinggalannya, serta untuk memperkecil potensi terhadap terjadinya kelambatan dalam perkembangan
selanjutnya. Pada umumnya, dokter menjadi orang pertama yang mengidentifikasi faktor-faktor resiko
yang berhubungan dengan kelambatan perkembangan dan kelainan. Hal ini dikarenakan dokter
merupakan orang yang paling sering berhubungan dengan orang tua (terutama ibu-ibu) sehingga
memiliki data dan informasi yang terkait dengan riwayat/catatan kesehatan ibu dan anaknya selama
mengandung, saat melahirkan, maupun setelah lahir, sehingga dapat mengetahui apakah bayi tersebut
memiliki faktor resiko atau tidak, berkelainan atau tidak, serta memberikan saran-saran terhadap orang
tua dalam beradaptasi dengan anaknya (Fallen dan Umansky,1985). Dalam pandangan ekologis,
kelambatan perkembangan pada anak berkebutuhan khusus dapat terjadi sebagai dampak
ketidakmampuan lingkungan, terutama orang tua dan orang lain yang signifikan (misal pengasuh) untuk
menjalin interaksi yang seimbang, selaras, dan berkesinambungan sesuai dengan kebutuhan
perkembangan anak (progressive macthing). Untuk itu lingkungan melalui interaksi yang diciptakannya,
harus dapat menjadi partner bagi laju perkembangan normal anak.
3. Hambatan perkembangan
Antara hambatan belajar, kelambatan perkembangan, dan hambatan perkembangan merupakan hal
sebenarnya sulit untuk dipisahkan karena saling terkait satu dengan yang lain, namun dapat dibedakan.
Secara umum, kelambatan perkembangan lebih menekankan kepada dimensi tahapan perkembangan,
sedangkan hambatan perkembangan lebih fokus kepada terjadinya kesulitan, kegagalan, rintangan, atau
gangguan dalam satu atau lebih aspek perkembangan. Adanya hambatan dalam aspek perkembangan
tertentu dapat berdampak kepada kelambatan perkembangan yang tertentu pula, dengan kata lain
kelambatan perkembangan tertentu hakekatnya merupakan manifestasi adanya hambatan dalam satu atau
lebih aspek perkembangan. Sedangkan terjadinya hambatan perkembangan juga tidak lepas dari adanya
hambatan dalam belajar. Sebagaimana diketahui bahwa akibat kelainan atau kondisi-kondisi tertentu yang
dialaminya anak berkebutuhan khusus, secara potensial memiliki resiko tinggi terhadap munculnya
hambatan dalam berbagai aspek perkembangan, baik fisik, psikologis, sosial atau bahkan dalam totalitas
perkembangan kepribadiannya. Untuk memahami tentang hambatan perkembangan pada anak
berkebutuhan khusus, kita tidak bisa melepaskan diri dari kajian tentang perkembangan manusia pada
umumnya. Dalam pandangan ekologi, perkembangan manusia merupakan hasil dinamika interaksi atau
transaksi antara kekuatan internal dan kekuatan eksternal. Interaksi merupakan dasar bagi perkembangan
manusia. Interkasi diartikan sebagai aktivitas saling mempengaruhi, sedangkan bentuk interaksi yang
terjadi kemungkinan adalah individu dipengaruhi lingkungan, lingkungan dipengaruhi individu, atau
individu dan lingkungan secara dinamis berinteraksi satu sama lain sehingga mengalami perubahan. Atas
dasar ini, keragaman perilaku dan perkembangan hanya dapat dipahami secara utuh dalam konteks
individu tersebut dengan lingkungannya. Individu adalah bagian tak terpisahkan dari lingkungannya.
Anak adalah bagian dari sistem, terutama terhadap lingkungan yang terdekatnya (mini social system).
Keragaman terjadi sebagai hasil transaksi antara masing-masing individu dengan lingkungannya yang
tiada henti (intensif dan berkesinambungan) dalam suatu proses yang dinamis dan saling mempengaruhi.
Hambatan perkembangan pada anak berkebutuhan khusus dapat terjadi apabila dalam keseluruhan atau
sebagian interaksi antara anak berkebutuhan khusus dengan lingkungan, lingkungan kurang mampu
menyediakan struktur kemudahan, kesempatan atau peluang, stimulasi atau dorongan, dan keteladanan
bagi berkembangnya fitrah, potensi, atau kompentensi pribadi anak berkebutuhan khusus secara positif,
fungsional, serta bermakna bagi perkembangan optimal anak. Kondisi ini pada umumnya ditandai dengan
adanya gaps, discrepancy, disparity, discordance, disharmony, atau imbalance antara kemampuan anak
dengan tuntutan lingkungan.
Munculnya hambatan perkembangan pada anak, sebagai hasil interaksi yang tidak positif, fungsional, dan
bermakna antara anak berkebutuhan khusus dengan lingkungannya, dapat termanifestasi dalam salah satu
atau lebih aspek perkembangan, meliputi perkembangan konsentrasi, atensi, persepsi, motorik, interaksi
dan komunikasi, serta perkembangan emosi, sosial, dan tingkah laku, atau gabungan dari hal-hal tersebut.
Diantara hambatan-hambatan perkembangan di atas, hambatan emosi, sosial, dan perilaku merupakan
masalah-masalah yang banyak ditemui pada anak-anak berkebutuhan khusus. Anak dengan hambatan
perkembangan emosi, sosial, dan perilaku pada umumnya ditandai dengan ketidakmampuannya untuk
menyesuaikan diri secara tepat terhadap lingkungannya atau munculnya gejala-gejala perilaku yang tidak
diharapkan berdasar atas kriteria normatif yang berlaku di lingkungannya. Hambatan emosi yang terjadi
pada anak-anak berkebutuhan khusus, pada umumnya disebabkan oleh adanya deprivasi emosi, yaitu
kurangnya kesempatan yang diberikan oleh lingkungan, terutama orang tua, kepada anak untuk
mendapatkan pengalaman emosional yang menyenangkan, khususnya cinta, kasih sayang, perhatian,
kegembiraan, kesenangan, kepuasan, dan rasa ingin tahu. Hal ini mengingat tidak ada satu orang tua pun
yang mengharapkan anaknya lahir dalam keadaan cacat atau berkelainan, karena itu kehadiran anak
berkebutuhan khusus (cacat) di tengah-tengah keluarga cenderung melahirkan berbagai krisis psikologis.
Pertama, krisis kematian simbolik (symbolic death) yaitu hancurnya cita-cita terhadap anak yang
didambakan, dan kedua, krisis yang berkaitan dengan perawatan bimbingan, pendidikan, dan
pengasuhan. Kondisi ini yang pada akhirnya kemudian bermuara kepada lahirnya sikap-sikap penolakan,
dan sikap ini dapat terus berlangsung sepanjang kehidupan anak. Sikap penolakan menjadikan
keberfungsian orang tua selaku pengasuh, pembimbing, dan pendidik anaknya tidak berlangsung
sebagaimana mestinya. Sementara itu, pola emosi pada masa anak-anak menunjukkan kecenderungan
untuk tetap bertahan kecuali jika anak yang bersangkutan mengalami perubahan radikal dalam segi
kesehatan, lingkungan, atau hubungan personal atau sosialnya. Karena itu apabila hal ini berlangsung
pada masa kanak-kanak, apalagi terus berlanjut dalam waktu yang relatif lama, jelas tidak akan
menguntungkan bagi perkembangan emosi anak, karena akan lebih banyak belajar dari keluarga atau
lingkungannya tentang respon-respon yang tidak menyenangkan (unpleasant response) dari pada
kesempatan untuk belajar dari respon yang menyenangkan (pleasant response). Dengan kata lain anak
akan mendapat sedikit kesempatan untuk belajar mengekspresikan dan mengendalikan emosinya secara
tepat menuju tercapainya kesimbangan emosi.