Anda di halaman 1dari 22

REFARAT Maret , 2017

FIXED DRUG ERUPTION

Disusun Oleh:

Nur Aisyah Sudarmin Amin


N 111 16 080

PEMBIMBING KLINIK
dr. Hj. SENIWATY ISMAIL, SpKK., FINSDV

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Nur Aisyah Sudarmin Amin

Stambuk : N 111 16 080

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Program Studi : Kedokteran

Judul Referat : Fixed Drug Eruption

Bagian : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

RSUD Undata Palu

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Tadulako

Palu, Maret 2017

Pembimbing Klinik Mahasiswa

(dr. Hj. Seniwaty Ismail, spkk.) (Nur Aisyah Sudarmin Amin)

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... 2


DAFTAR ISI ............................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 4
BAB II TINJUAN PUSTAKA .................................................................................. 6
1. Anatomi Kulit ........................................................................................ 6
2. Definisi Fixed Drug Eruption ................................................................ 9
3. Epidemiologi ......................................................................................... 9
4. Etiopatogenesis ...................................................................................... 10
5. Manifestasi Klinis .................................................................................. 13
6. Pemeriksaan Penunjang ......................................................................... 16
7. Diagnosis ............................................................................................... 18
8. Diagnosis Banding ................................................................................. 18
9. Penatalaksanaan ..................................................................................... 20
10. Prognosis ... 21
BAB III KESIMPULAN ........................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 23

BAB I
PENDAHULUAN

3
Reaksi simpang terhadap obat atau produk diagnostik merupakan kasus yang
sering ditemukan dokter dalam tatalaksana pasien sehari-hari. Selain obat yang
diresepkan oleh dokter, obat yang dijual bebas, termasuk herbal dan suplemen serta
obat topikal dapat pula menyebabkan reaksi simpang ringan hingga mengancam
jiwa.1
Terdapat dua jenis reaksi simpang obat, yaitu reaksi tipe A yang dapat di
predileksi karna sifat farmakologik obatnya, dan tipe B yaitu reaksi yang tidak dapat
di prediksi dan terjadi pada populasi tertentu, misalnya Idiosinkrasi dan reaksi
hipersensitivitas. Salah satu reaksi simpang obat adalah erupsi obat alergik (EOA)
dengan manifestasi klinis yang bervariasi.1
Fixed drug eruption (FDE) merupakan salah satu bentuk erupsi kulit karena
obat, FDE ditandai oleh makula hiperpigmentasi dan kadang-kadang bula diatasnya,
yang dapat muncul kembali ditempat yang sama sebagai akibat dari paparan sistemik
terhadap suatu obat. FDE adalah erupsi alergi obat yang selalu dicetuskan oleh obat
atau bahan kimia. Tidak ada faktor etiologi lain yang dapat mengelisitasi.2,3
Dewasa ini angka kejadian erupsi obat alergik meningkat, disebabkan konsumsi
obat meningkat pada masyarakat, praktik polifarmasi, serta kondisi
imunokompromais. Insiden EOA sekitar 6-10% dari keseluruhan reaksi simpang obat
yang dilaporkan.1
Obat adalah bahan kimia yang digunakan untuk pemeriksaan, pencegahan dan
pengobatan suatu penyakit atau gejala. Selain manfaatnya obat dapat menimbulkan
reaksi yang tidak diharapkan yang disebut reaksi simpang obat. Reaksi simpang obat
dapat mengenai banyak organ antara lain paru, ginjal, hati dan sumsum tulang tetapi
reaksi kulit merupakan manifestasi yang tersering.1,2,3
Reaksi tersebut dapat berupa reaksi yang dapat diduga (predictable) dan yang
tidak dapat diduga (unpredictable). Reaksi simpang obat yang dapat diduga
(predictable) terjadi pada semua individu, biasanya berhubungan dengan dosis dan
merupakan efek farmakologik obat yang telah diketahui. Reaksi ini meliputi 80% dari
seluruh efek simpang obat termasuk diantaranya efek samping dan overdoses

4
(kelebihan dosis). Reaksi simpang yang tidak dapat diduga (unpredictable) hanya
terjadi pada orang yang rentan, tidak bergantung pada dosis dan tidak berhubungan
dengan efek farmakologis obat, termasuk di antaranya reaksi alergi obat. Reaksi
alergi obat pada kulit disebut erupsi alergi obat. Satu macam obat dapat menyebabkan
lebih dari satu jenis erupsi, sedangkan satu jenis erupsi dapat disebabkan oleh
bermacam-macam obat.1,2
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang khas.
Pemeriksaan penunjang yang merupakan baku emas adalah tes provokasi oral, tes ini
bertujuan untuk mencetuskan tanda dan gejala klinis yang lebih ringan dengan
pemberian obat dosis kecil biasanya sudah cukup untuk memprovokasi reaksi dan
provokasi biasanya sudah muncul dalam beberapa jam. Penatalaksanaannya yang
terutama adalah penghentian penggunaan obat yang diduga mencetuskan FDE,
pengobatan oral dengan antihistamin dan pengobatan topikal tergantung lesi, jika
basah diberikan kompres dan jika kering dapat diberikan kortikosteroid topikal.1,2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Kulit

5
Kulit adalah organ terberat di tubuh dan terdiri dari lapisan epidermis,
lapisan dermis dan lapisan subkutan. 4
Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas ukurannya,
yaitu 15% dari berat tubuh dan luasnya 1,50-1,75 m2. Rata-rata tebal (6mm)
terdapat di telapak tangan dan kaki dan paling tipis (0,5mm) terdapat di penis. 1
Epidermis terutama terdiri atas epitel berlapis gepeng dengan lapisan
tanduk, tetapi juga mengandung tiga jenis sel yang jumlahnya tidak sebanyak
jumlah sel epitel yaitu sel melanosit, sel Langerhans dan sel merkel. Sel
epidermis yang mempunyai lapisan tanduk disebut keratinosit. 4
Lapisan epidermis lebih tipis yang terdapat folikel rambut, kelenjar
sebaseus dan kelenjar keringat. 5
Epidermis terdiri atas lima lapisan sel penghasil keratin (keratinosit) :
a. Stratum basale (stratum germinativum)
Stratum basale adalah lapisan paling dalam di epidermis.
Lapisan ini terdiri dari satu lapisan sel kolumnar hingga kuboid
yang terletak pada membrane basalis yang memisahkan epidermis
dengan dermis. Sel membelah dan mengalami pematangan sewaktu

6
bermigrasi keatas menuju lapisan diatasnya. Semua sel di stratum
basal menghasilkan dan mengandung filamen keratin intermediate
(filamentum keratini) yang meningkat jumlahnyasewaktu sel
bergerak ke lapisan diatasnya. 5
b. Stratum spinosum
Sewaktu keratinosit bergerak keatas lapisan berikutnya dari
lapisan basal.Lapisan ini terdiri atas empat sampai enam lapisan sel.
Sel pada lapisan ini terlihat agak gepengdengan inti ditengahnya.
Akibatnya, ruang interseluler memperlihatkan banyak tonjolan
sitoplasma, atau spina (duri), yang keluar dari permukannya.
Pembentukan filamen keratin berlanjut dilapisan ini yang kemudian
tersusun membentuk tonofilamen (tonofilamentum). 5
c. Stratum Granulosum
Lapisan ini dibentuk oleh tiga sampai lima lapisan sel gepeng.
Sel-sel ini terisi oleh granula keratohialin basofilik. Granula tidak
dibungkus oleh membrane dan berkaitan dengan berkas tonofilamen
keratin. Kombinasi tonofilamen keratin dengan granula keratohialin
di sel ini menghasilkan keratin. 5
d. Stratum lusidum
Stratum lusidum yang translusen dan kurang jelas hanya dapat
ditemukan di kulit tebal, lapisan ini terletak diatas stratum
granulosum dan dibawah stratum korneum. Sel-selnya tersusun
rapat dan tidak memiliki inti, sel-sel gepeng ini mengandung
filamen keratin yang padat. 5
e. Stratum korneum
Lapisan kulit paling luar pada lapisan epidermis. Sel dan
intinya sudah mati. Stratum korneum terutama terdiri dari sel
gepeng yang mati berisi filamen keratin. Sel superfisial berkeratin
dilapisan ini secara terus-menerus dilepaskan atau mengalami
deskuamasiserta diganti oleh sel baru yang muncul dari stratum
basal yang merupakan lapisan paling dalam pada epidermis. 5

7
Selain keratinosit, epidermis mengandung tiga jenis sel lain : melanosit,
sel langerhans dan sel merkel. 5
Melanosit akan menyintesis pigmen melanin. Melanin dibentuk dari asam
amino tirosin oleh melanosit. Melanin memberi warna gelap pada kulit, dan
pemaparan kulit terhadap sinar matahari merangsang pembentukan melanin.
Fungsi melanin adalah melindungi kulit dari efek radiasi ultraviolet yang
merusak. 5
Sel lagerhans terutama ditemukan di stratum spinosum.sel ini berperan
dalam respons imun tubuh. Sel Langerhans mengenal, memfagosit, dan
memproses antigen asing dan menyajikannya pada limfosit T untuk memicu
respon imun. Karena itu, sel ini berfungsi sebagai sel penyaji-antigen kulit. 5
Sel merkel ditemukan di lapisan stratum basal epidermis dan paling
banyak terdapat di ujung jari. Berfungsi sebagai mekanoreseptor. 5
Dermis adalah lapisan jaringan ikat yang mengikat epidermis. Dermis
terbagi atas dua lapisan yaitu stratum papillare bagian luar dan stratum
retikulare bagian dalam. 4
Jaringan subkutan terdiri atas jaringan ikat longgar dan mengandung sel-
sel lemak. 4

2. Definisi
FDEmerupakan salah satu erupsi kulit yang sering dujumpai. Lesi berupa
makula atau plak eritema-keunguan dan kadang disertai vesikel atau bula pada
bagian tengah lesi sehingga sering menyerupai eritema multiforme. Pedileksi
tersering di daerah bibir, tangan dan genitalia. Kemudian meninggalkan bercak
hiperpigmentasi yang lama hilang, bahkan sering menetap. Ciri khas FDE
adalah berulang pada predileksi yang sama setelah pajanan obat penyebab. Obat
penyebab yang tersering menyebabkan FDE adalah tetrasiklin, naporexx dan
metamizol.1
Fixed drug eruption (FDE) merupakan salah satu bentuk erupsi kulit
karena obat, FDE ditandai oleh makula hiperpigmentasi dan kadang-kadang
bula diatasnya, yang dapat muncul kembali ditempat yang sama sebagai akibat

8
dari paparan sistemik terhadap suatu obat. FDE adalah erupsi alergi obat yang
selalu dicetuskan oleh obat atau bahan kimia. Tidak ada faktor etiologi lain
yang dapat mengelisitasi.2,3
pada kelainan ini bisa terdapan hanya satu lesi atau bisa juga timbul di
banyak tempat. Iffxed drug eruption dapat timbul dimanapun, tetapi yang paling
sering adalah pada ekstremitas dan genitalia. penyebab yang umum. laksatif
yang mengandung fenolflatein, sulfonamid, dapson, tetrasiklin, barbiturat.6

3. Epidemiologi
Sekitar 10% FDE terjadi pada anak dan dewasa, usia paling muda
yang pernah dilaporkan adalah 8 bulan. sebagai manifestasi klinis erupsi
alergi obat terbanyak dari 58 kasus bayi dan anak, disusul dengan erupsi
eksantematosa (3%) dan urtikaria (12%). Jumlah kasus bertambah dengan
meningkatnya usia, hal tersebut mungkin disebabkan pajanan obat
yang bertambah.2
Prevalensi erupsi obat dilaporkan berkisar dari 2-5% untuk pasien rawat
inap dan untuk pasien rawat jalan diatas 1%. FDE dapat terjadi sebanyak 16-21
% dari semua erupsi obat pada kulit. Frekuensi yang sebenarnya mungkin lebih
tinggi dari perkiraan saat ini.3
Tidak ada kematian telah dikaitkan dengan FDE. Lesi luas pada awalnya
mirip nekrolisis epidermal toksik, tetapi mereka memiliki perjalanan klinis
jinak. Hiperpigmentasi yang terlokalisir adalah komplikasi umum, tapi rasa
nyeri, infeksi, dan hipopigmentasi, juga dapat terjadi.3
Sebuah studi besar dengan 450 pasien mengungkapkan rasio laki-
perempuan untuk FDE adalah 1:1.1. FDE telah dilaporkan terjadi pada pasien
termuda 8 bulan dan pasien tertua 87 tahun. Usia rata-ratanya 30,4 tahun pada
pria dan 31,3 tahun pada wanita.3

4. Etiopatogenesis

9
Banyak obat yang dilaporkan dapat menyebabkan FDE. Yang paling
sering dilaporkan adalah phenolpthalein, barbiturate, sulfonamide, tetrasiklin,
antipiretik pyrazolone dan obat anti inflamasi non steroid.2
Tabel 1: Daftar obat penyebab FDE
Obat anti bakteri Metronidazole Ibuprofen
Sulfonamid Clioquinol Phenolpthalein
Tetrasiklin Barbiturat dan tranquilizer lainnya Codein
Penisilin Derivat Barbiturat Hydralazin
Ampisilin Opiat Oleoresin
Amoksisilin Chloral hidrat Symphatomimetic
Eritomisin Benzodiazepine Symaphatolitic
Trimethoprim Chlordiazepoxide Parasymphatolitic
Nistatin Antikonvulsan Hyoscine butylbromid
Griseofulvin Dextromethophan Magnesium hydroxide
Dapson Obat anti inflamasi non steroid Magnesium trisilicate
Arsen Aspirin Anthralin
Garam Merkuri Oxyphenbutazone Chlorthiazone
P amino salicylic acid Phenazone Chlorphenesin carbamae
Thiacetazone Metimazole Berbagai penambah
rasa makanan
Quinine Paracetamol
Sumber: Partogi, Donna. Fixed Drug Eruption. Universitas Sumatra Utara.
2008.
Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik
atau non imunologik. Yang dimaksud dengan erupsi obat adalah alergi terhadap
obat yang terjadi melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada
pemberian obat kepada pasien yang sudah mempunyai hipersesitivitas terhadap
obat tersebut.disebabkan oleh berat molekulnya yang rendah, biasanya obat itu
berperan pada mulanya sebagai antigen yang tidak lengkap atau hapten. Obat
atau metaboliknya yang berupa hapten, harus berkombinasi terlebih dahulu
dengan protein, misalnya jaringan, serum atau protein dari membran sel untuk
membentuk kompleks antigen yaitu kompleks hapten protein. Kekecualiannya

10
ialah obat-obat dengan berat molekul yang tinggi yang dapat berfungsi
langsung sebagai antigen yang lengkap.1,2
Meskipun mekanisme yang tepat tidak diketahui, penelitian terbaru
menunjukkan proses mediasi sel yang memulai lesi baik aktif dan pasif. Proses
ini mungkin melibatkan antibodi dependen. Sel CD8 + efektor / memori T
memainkan peran penting dalam reaktivasi lesi dengan paparan ulang obat yang
bereaksi.3
Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologi yang dikemukakan oleh
Coomb & Gell, suatu reaksi alergi terhadap obat dapat mengikuti salah satu dari
ke empat jalur berikut ini:

A. Tipe I Reaksi Anafilaktik


Reaksi obat yang diperantarai IgE biasanya terjadi karena
penisilin atau golongannya. Reaksi dapat terjadi dalam beberapa
menit setelah pemakaian obat. Gejala biasanya bervariasi seperti
pruritus, urtikaria, spasme bronkus, dan edema laring bahkan
dapat menyebabkan terjadinya syok anafilaktik dengan hipotensi
dan kematian. Sel mast dan basofil yang tersentisisasi akan
melepaskan mediator-mediator kimia (histamin) atau lemak
(leukotriens / prostaglandin) yang akan menimbulkan gejala
klinik yang berbeda-beda tergantung dari interaksi organ target
(kulit, sistim respirasi, GIT atau sistim kardiovaskuler) dengan
mediator kimia tersebut.1
B. Tipe II Reaksi Sitotoksik
Reaksi tipe ini dapat disebabkan oleh obat (antigen) dan
memerlukan penggabungan antara IgE dan IgM dengan antigen
yang melekat pada sel. Hal ini menyebabkan efek sitolitik atau
sitotoksik oleh sel efektor yang diperantai komplemen.1

11
Gabungan obat-antibodi-komplemen terfiksasi pada sel
sasaran. Sebagai sel sasaran ialah berbagai macam sel biasanya
eritrosit, leukosit, trombosit yang mengakibatkan lisis sel,
sehingga reaksi tipe II disebut juga reaksi sitolisis atau
sitotoksik.1
Erupsi obat alergik yang berhubugan dengan tipe ini ialah
purpura, bila sel sasarannya trombosit. Obat lain yang
menyebabkan alergik tipe ini ialah penisilin, sefalosporin,
streptomisin, klorpromazin, sulfonamida, analgesik, dan
antipiretik.1

C. Tipe III Reaksi Kompleks Imun


Reaksi ini ditandai oleh pembentukan kompleks antigen,
antibodi (IgG dan IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan
mengaktifkan komplemen. Komplemen yang diaktifkan
kemudian melepaskan berbagai mediator di antaranya enzim-
enzim yang dapat merusak jaringan. Kompleks imun akan
beredar dalam sirkulasi dan kemudian dideposit pada sel sasaran.
1

D. Tipe IV Reaksi Alergi Selular Tipe Lambat


Reaksi ini melibatkan limfosit, Antigen Presenting Cell
(APC), dan sel Langerhan yang mempresentasi antigen kepada
limfosit T. Limfosit T yang tersentisisasi mengadakan reaksi
dengan antigen. Reaksi ini di sebut reaksi tipe lambat karena
baru timbul 12 - 48 jam setelah pajanan dengan antigen
menyebabkan pelepasan serangkaian limfokin.1
Fixed drug eruption termasuk dalam reaksi tipe III dengan adanya
reaksi kompleks antigen antibodi.

12
5. Manifestasi Klinis
Fixed drug eruption dapat timbul dalam waktu 30 menit sampai 8 jam
setelah ingesti obat secara oral. Lesi berupa makula oval atau bulat, biasanya
numular, timbul bercak eritema kehitaman, seringkali dengan bagian tengah
berwarna keunguan, berbatas tegas, seiring dengan waktu lesi bisa menjadi
bula, mengalami deskuamasi atau menjadi krusta.7,8

Gambar 1. Gambaran FDE Pada Bibir


Sumber: http://www.dermnetnz.org/reactions/fixed-drug-eruption.html
Ukuran lesi bervariasi mulai dari lentikuler sampai plakat. Lesi awal
biasanya soliter, tapi jika penderita meminum obat yang sama maka lesi yang
lama akan timbul kembali disertai dengan lesi yang baru. Namun jumlah lesi
biasanya sedikit. Timbulnya kembali lesi ditempat yang sama menjelaskan arti
kata fixed pada nama penyakit tersebut. 2
Lesi dapat dijumpai di kulit dan membran mukosa yaitu di bibir, badan,
tungkai, tangan dan genital. Tempat paling sering adalah ekstremitas dan
genital. Lesi FDE pada penis sering disangka sebagai penyakit kelamin karena
berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan rasa panas
setempat.2
Gejala lokal meliputi gatal dan rasa terbakar, dapat juga timbul demam
dan malaise. Tidak dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lesi
pada FDE jika menyembuh akan meninggalkan bekas radang dengan
hiperpigmentasi. 2
Gejala pada kulit biasanya asimtomatik, bisa pruritus, nyeri atau rasa
terbakar ketika terkikis. Waktu onset dari lesi : muncul dari 30 menit sampai 8

13
jam setelah ingesti obat pada individu yang sudah tersensitisasi. Durasi dari lesi
: lesi menetap jika konsumsi obat tetap dilanjutkan. Menghilang dalam hitungan
hari sampai beberapa minggu setelah obat tidak dilanjutkan.8

Lesi kulit. Karateristik dari lesi awal adalah makula berbatas tegas,
berbentuk bulat atau oval, muncul dalam beberapa jam setelah mengkonsumsi
obat yang terlibat. Awalnya eritema, kemudian kehitaman merah. Paling umum,
lesi adalah soliter dan dapat menyebar menjadi cukup besar, tetapi lesi dapat
multiple dengan distribusi yang beragam; lesi yang banyak dapat
menstimulasikan TEN. Lesi menjadi edematous, sehingga membentuk plak,
yang dapat berkembang menjadi bulla dan kemudian menjadi erosi. Lesi yang
erosi, terutama pada genital atau mukosa oral, terasa cukup nyeri. Setelah
penyembuhan, tampak hiperpigmentasi coklat tua dengan warna violet. Kulit
genital, merupakan bagian yang sering terlibat, tetapi bagian lainpun mungkin
terlibat, seperti : perioral, periorbital. Bisa muncul pada konjungtiva, orofaring.8

2 3
Gambar 2 dan 3. Fixed drug eruption. 2. Tetrasikline. Dua plak berbatas tegas
dengan edema pada periorbital. Ini adalah episode kedua yang mengikuti setelah
penggunaan tetrasikline. Tidak ada lesi lain yang muncul. 3. Tylenol. Lesi oval besar
kehitaman dengan dengan bagian tengah yang melepuh. Lesi mulut erosif juga
tampak.8

14
4 5

Gambar 4 dan 5. Fixed drug eruption. 4. Phenolpthalein. Tampak area eritama dan
kehitaman yang luas yang menutupi seluruh area inguinal dan suprapubik dan meluas
ke bagian paha atas. Hal ini diikuti dari konsumsi laksatif yang mengandung
phenolphthalein. 5. Doksisiklin. Lesi multipel. Tampak plak kehitaman yang serupa
pada tungkai bawah anterior dan posterior .8

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah tidak berguna untuk diagnosis FDE, meskipun
eosinofilia umum terjadi pada erupsi obat. 2 Pemeriksaan lain yang dapat
dilakukan adalah:
A. Histopatologi Gambaran histologi FDE menyerupai eritema multiforme
(EM). Seperti pada EM reaksi dapat terjadi di dermis atau epidermis atau
keduanya. Yang paling sering adalah yang melibatkan dermis dan
epidermis. 12 Pada tahap awal pemeriksaan histopatologi menggambarkan
adanya bula subepidermal dengan degenerasi hidropik sel basal epidermis.
Dapat juga dijumpai diskeratosis keratinosit dengan sitoplasma eosinofilik
dan inti yang piknotik di epidermis.3,9,12 Pada tahap lanjut dapat dilihat
melanin dan makrofag pada dermis bagian atas dan terdapat peningkatan
jumlah melanin pada lapisan basal epidermis.2

15
B. Biopsi kulit membantu untuk memastikan diagnosis atau menyingkirkan
diagnosis banding.2
C. Uji tempel obat merupakan prosedur yang tidak berbahaya. Reaksi
anafilaksis sangat jarang terjadi, dan untuk mengantisipasinya dianjurkan
mengamati penderita dalam waktu setengah jam setelah penempelan.
Secara teoritis dapat terjadi sensitisasi akibat uji tempel, namun dalam
prakteknya jarang ditemui. Tidak dianjurkan melakukan uji tempel selama
erupsi masih aktif maupun segera sesudahnya. Berdasarkan pengalaman
para peneliti, uji tempel sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya 6
minggu setelah erupsi mereda. Khusus untuk FDE, dapat digunakan cara
uji tempel yang agak berbeda. Obat dengan konsentrasi 10% dalam vaselin
atau etanol 70% diaplikasikan secara terbuka pada bekas lesi dan punggung
penderita. Observasi dilakukan dalam 24 jam pertama dan dianggap positif
bila terdapat eritema yang jelas yang bertahan selama minimal 6 jam.
Kalau cara ini tidak memungkinkan untuk dilaksanakan dianjurkan uji
tempel tertutup biasa dengan pembacaan pertama setelah penempelan 24
jam. Hasil uji tempel yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis erupsi
obat dan hasil yang positif dapat menyokong diagnosis dan menentukan
penyebab meskipun peranannya masih kontroversi. Metode uji tempel
masih memerlukan banyakbperbaikan, diantaranya dengan menggiatkan
penelitian tentang konsentrasi yang sesuai untuk setiap obat, vehikulum
yang tepat dan menentukan metabolisme obat di kulit.2
D. Uji provokasi oral bertujuan untuk mencetuskan tanda dan gejala klinis
yang lebih ringan dengan pemberian obat dosis kecil biasanya dosis 1/10
dari obat penyebab sudah cukup untuk memprovokasi reaksi dan
provokasi biasanya sudah muncul dalam beberapa jam. Karena resiko
yang mungkin ditimbulkannya maka uji ini harus dilakukan dibawah
pengawasan petugas medis yang terlatih.2

16
7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis
yang khas. Riwayat perjalanan penyakit yang rinci, termasuk pola gejala
klinis, macam obat, dosis, waktu dan lama pajanan serta riwayat alergi obat
sebelumnya penting untuk membuat diagnosis. Adanya kelainan klinis berupa
lesi yang selalu timbul pada tempat yang sama akibat pemaparan obat.
Penghentian obat yang diikuti penurunan gejala klinis merupakan petunjuk
kemungkinan erupsi disebabkan oleh obat tersebut.2
Saat ini belum diketahui cara yang cukup sensitif dan dapat dipercaya
untuk mendeteksi obat penyebab FDE namun dapat juga dilakukan biopsi
kulit, uji tempel obat, dan uji provokasi oral untuk membantu menegakkan
diagnosis atau menyingkirkan diagnosis banding.2

8. Diagnosis Banding
Diagnosis banding FDE di antaranya adalah eritema multiforme dan
Post-Inflammatory Hiperpigmentasi (PIH). Eritema multiforme adalah
penyakit inflamasi akut pada kulit dan mukosa yang menyebabkan berbagai
bentuk lesi akibat deposit imunokompleks. Etiologinya belum jelas, tetapi ada
beberapa faktor yang diduga berperan yaitu obat-obatan golongan sulfa,
penisilin, analgesik, dan antipiretik. Kelainan ini timbul cepat dengan gejala
prodromal dalam 48 jam.9

Gambar 6. Lesi Target Pada Eritema Multiforme


Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1122915-clinical#a0256
Lesi patognomonik adalah lesi target pada kulit yang terdiri dari bula
dikelilingi oleh edema dan eritema. Lesi pada eritema multiforme lebih besar,
tidak teratur, lebih dalam, biasanya berdarah, dan dapat terjadi pada semua

17
mukosa mulut. Lesi pada bibir khas berbentuk lesi yang ditutupi krusta merah
kehitaman.9
Post-Inflammatory Hiperpigmentasi (PIH) adalah masalah yang sering
dihadapi dan merupakan gejala sisa dari gangguan kulit serta berbagai
intervensi terapeutik. 10

Gambar 7. Makula Hiperpigmentasi PIH Akibat Ekskoriasi Akne


Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1069191-clinical#a0217

Distribusi dari lesi hipermelanotik tergantung pada lokasi inflamasi


dermatosis asli. Warna lesi berkisar dari cahaya coklat sampai hitam, dengan
penampilan cokelat lebih ringan jika pigmen berada dalam epidermis dan
penampilan yang lebih gelap abu-abu jika lesi mengandung melanin kulit.10

9. Penatalaksanaan 1,2
Pengobatan FDE belum memuaskan, antara lain karena kesukaran
dalam memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau
metabolitnya.1,2

1) Hentikan penggunaan obat yang diduga sebagai penyebab.


2) Pengobatan Sistemik Pemberian kortikosteroid sistemik biasanya tidak
diperlukan.Untuk keluhan rasa gatal pada malam hari yang kadang

18
mengganggu istirahat pasien dan orang tuanya dapat diberikan antihistamin
generasi lama yang mempunyai efek sedasi.
3) Pengobatan Topikal Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan
kulit apakah kering atau basah.
a. Jika lesi basah dapat diberi kompres secara terbuka. Tujuannya adalah
untuk mengeringkan eksudat, membersihkan debris dan krusta serta
memberikan efek menyejukkan. Pengompresan dilakukan cukup 2-3
kali sehari, biarkan basah (tetapi tidak sampai menetes) selama 15-30
menit. Eksudat akan ikut mongering bersama penguapan. Biasanya
pengompresan cukup dilakukan 2 sampai3 hari pertama saja. Cairan
kompres yang dapat dipilih antara lain larutan NaCl 0,9 atau dengan
larutan antiseptik ringan misalnya larutan Permanganas Kalikus
1:10.000 atau asam salisilat 1:1000. 4,10, 14
b. Jika lesi kering dapat diberi krim kortikosteroid misalnya krim
hidrokortison 1 % atau 2,5%. Lesi hiperpigmentasi tidak perlu diobati
karena akan menghilang dalam jangka waktu lama. 4,10 Beberapa hal
yang perlu diperhatikandalam memberikan kortikosteroid topikal pada
bayi dan anak:
1. Pilihlah potensi kortikosteroid sesuai dengan daerah atau lokasi
yang akan diobati, misalnya daerah lipatan (aksila,popok) atau
muka sebaiknya menggunakan potensi rendah sedangkan pada
badan atau ekstremitas dapat diberikan potensi sedang.
2. Pilihlah potensi terendah yang dapat menghilangkan kelainan kulit
dalam waktu sesingkat mungkin. Sedapat mungkin hindari
penggunaan kortikosteroid yang sangat poten, terutama untuk anak
berusia kurang dari 12 tahun.
3. Gunakan vehikulum yang tepat sesuai kondisi kelainan kulit,
misalnya salap untuk lesi kering dan tebal serta krim untuk radang
ringan atau lipatan.
4. Aplikasi 2 kali sehari selama 7- 14 hari biasanya cukup

19
5. Hati-hati dengan penggunaan kortikosteroid potensi sedang
sebanyak > 15g/minggu.
6. Penggunaan di daerah yang oklusif harus hati-hati, misalnya daerah
popok atau aksila.

10. Prognosis
Prognosis umumnya baik. Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan
menyembuh jika obat penyebabnya dapat diketahui dan disingkirkan. FDE reda
dalam beberapa minggu menarik obat. Berulang dalam beberapa jam setelah
konsumsi dosis tunggal obat. Apabila obat tersangka penyebab telah dapat
dipastikan maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan, berupa kartu
kecil yang memuat jenis obat tersebut serta golongannya. Kartu tersebut dapat
ditunjukkan bilamana diperlukan (misalnya apabila penderita berobat),
sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya FDE.2,8

BAB III
KESIMPULAN

Fixed drug eruption adalah erupsi alergi obat yang bila berulang akan timbul
pada tempat yang sama. Lesi berupa makula oval atau bulat berwarna merah tau
keunguan, berbatas tegas, dapat ditemukan bula diatasnya, dapat dijumpai pada kulit
dan mukosa, terutama pada bibir dan genital.
Etiologi yang paling sering adalah phenolphthalein, sulfonamide, tetrasiklin,
antipiretik pyrazolone dan obat anti inflamasi non steroid. Patogenesis FDE diduga
merupakan reaksi hipersensitifitas tipe lambat dan dihubungkan dengan genetik
adanya kesamaan pada HLA B12.

20
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang khas.
Pemeriksaan penunjang yang merupakan baku emas adalah tes provokasi oral, namun
harus dibawah pengawasan petugas medis yang terlatih.
Penatalaksanaannya yang terutama adalah penghentian penggunaan obat yang
diduga mencetuskan FDE, pengobatan oral dengan antihistamin dan pengobatan
topikal tergantung lesi jika basah diberikan kompres dan jika kering dapat diberikan
kortikosteroid topikal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Menaldi Sri. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2015.

2. Partogi D. Fixed Drug Eruption. 2008 [cited 2017 Mar 2]. Available from:
Universitas Sumatra Utara, Web site:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3411/1/08E00858.pdf
3. Butler DF, Ilse JR, Schwartz RA. Fixed Drug Eruptions,. 2012 [cited 2017 Mar
2]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1336702-overview
4. Junqueira L.C. dan Carneiro J. Histologi Dasar. Edisi 10. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2007.
5. Eroschenko V.P. Atlas Histologi Difiore. Edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2010.

6. Robin Graham Brown and Tony Burns. Lecture Notes on Dermatology. Eigth
Edition. Jakarta : Penerbit Erlangga. 2005.

21
7. Waikato H. Fixed Drug Eruption. 2012 [cited 2017 Mar 2]. Available from:
http://www.dermnetnz.org/reactions/fixed-drug-eruption.html

8. Goldsmith, LA, Katz, SI, Gilchrest, BA, Paller, AS, Leffell, DJ, Wollf, K.
Fitzpatricks dermatology in general medicine. 8th ed. New York: McGraw-
Hill; 2012. 566-568p.
9. Plaza JA, Prieto VG, James WD. Erythema Multiforme. 2013 [cited 2017 Mar
1]. Available from: http: //emedicine.medscape.com/article/1122915-overview
10. Schwartz RA, Kihiczak NI, Hantash BM. Postinflammatory
Hyperpigmentation. 2013 [cited 2017 Mar 1]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1069191-clinical#a0217

22

Anda mungkin juga menyukai