Cara Cara Pemisahan
Cara Cara Pemisahan
Identifikasi Dan Uji Aktivitas Senyawa Flavonoid Dari Ekstrak Daun Trembesi
(Samanea Saman (Jacq.) Merr) Sebagai Pengendali Jamur Fusarium Sp. Pada Tanaman
Buah Naga
Lucyta Sari
(11140960000068)
Dosen Pengampu:
Dr. Hendrawati, M.Si
Mata Kuliah:
Cara-Cara Pemisahan
Jamur ini menyebabkan banyak penyakit, salah satunya busuk ada batang.
Penyakit ini terutama menular karena perakaran tanaman sehat berhubungan dengan
spora yang dilepaskan oleh tanaman sakit di dekatnya (Semangun 1994). Selain itu
penularan dapat juga terjadi melalui bibit, tanah yang terinfeksi, tanah yang melekat
pada alat-alat pertanian, perendaman tanah, aliran air pada permukaan tanah serta sisa-
sisa tanaman sakit (Sulyo dan Muharam et al. 1992). Di dalam tanah yang terinfeksi,
jamur bertahan dalam bentuk miselium atau dalam semua bentuk konidiumnya
(Sastrahidayat, 1990). Penyakit menyebar cepat pada tanah-tanah bertekstur ringan atau
berpasir yang memiliki drainase jelek dan masam (Muharam et al. 1992). F. oxysporum
termasuk cendawan yang bersifat soil-borne yang dapat bertahan hidup lebih lama di
dalam tanah dalam bentuk klamidiospora sampai adanya rangsangan untuk
berkecambah yang berasal dari jaringan tanaman segar yang belum terkolonisasi
cendawan patogen atau ekskresi akar (Semangun 1994). Cendawan penyebab penyakit
ini masuk ke dalam akar melalui lubang-lubang alami atau luka, lambat laun masuk ke
bonggol. Patogen berkembang sangat cepat menuju batang sampai ke jaringan
pembuluh sebelum masuk ke batang semu atau palsu. Pada tingkat infeksi lanjut
miselium akan meluas dari jaringan pembuluh ke parenkim, selanjutnya patogen
membentuk konidia dalam jaringan tanaman dan mikrokonidia dapat terangkut melalui
xilem dalam arus transpirasi (Sulyo 1992).
Di dalam pembuluh xylem tersebut jamur membebaskan polyphenol. Polyphenol
ini dioksidasi oleh enzim polyphenoloxydase menjadi quinon yang segera mengadakan
polimerasi menjadi melanin yang berwarna sawo matang. Dan inilah yang
menyebabkan perubahan warna di dalam pembuluh-pembuluh xylem dari tanaman yang
terinfeksi. Kegiatan aktivitas polyphenoloxydase tergantung pada jumlah miselium di
dalam pembuluh xylem dari batang yang terinfeksi. Bila tanaman mati, maka pathogen
akan mengadakan sporulasi secara luas pada jaringan yang mati tersebut dan ini
merupakan sumber inokulum kedua (Sastrahidayat, 1990).
2.4. Flavonoid
Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di
alam (Kristanti, 2008). Flavonoid merupakan salah satu jenis komponen yang
terkandung dalam tanaman, dan dapat ditemukan pada semua tanaman vaskuler.
Flavonoid merupakan suatu senyawa terbesar di alam dan merupakan kelompok
senyawa fenol. Senyawa ini memiliki kerangka dasar berupa karbon yang terdiri dari 15
atom karbon, yang mana dua cincin benzena (C6) terikat pada suatu rantai propana (C3)
dan membentuk suatu susunan berupa C6-C3-C6. Flavonoid yang terdapat di alam
sebagian besar ditemukan dalam bentuk glikosida, yaitu unit flavonoid terikat pada
suatu gula. Ikatan glikosida dapat terbentuk apabila gugus hidroksil dari alkohol
beradisi kepada gugus karbonil dari gula. Flavonoid dapat ditemukan sebagai mono-,
di- atau triglikosida yang mana satu, dua, atau tiga gugus hidroksilnya terikat oleh gula
(Lenny, 2006). Kerangka dasar dari flavonoid dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Dalam tumbuhan flavonoid pada umumnya merupakan pigmen-pigmen yang
tersebar luas dalam bentuk senyawa glikon dan aglikon. Flavonoid-flavonoid yang
terdapat di alam antara lain adalah flavon, isoflavon, antosianin, leuko-antosianin,dan
kalkon (Rusdi, 1988). Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, dan
biru, serta sebagian zat warna kuning yang terdapat dalam tanaman. Sebagai pigmen
bunga, flavonoid jelas berperan dalam menarik serangga untuk membantu proses
penyerbukan. Beberapa kemungkinan fungsi flavonoid yang lain bagi tumbuhan adalah
sebagai zat pengatur tumbuh, pengatur proses fotosintesis, sebagai zat antimikroba,
antivirus, dan antiinsektisida. Beberapa flavonoid sengaja dihasilkan jaringan tumbuhan
sebagai respon terhadap infeksi atau luka yang kemudian berfungsi menghambat fungi
penyerangnya. Telah banyak flavonoid yang diketahui memberikan efek fisiologi
tertentu. Oleh karena itu, tumbuhan yang mengandung flavonoid banyak dipakai dalam
pengobatan tradisional (Kristanti, 2008).
Sifat fisika dan kimia senyawa flavonoid antara lain adalah larut dalam air,
sedangkan dalam bentuk glisida yang termetilasi larut dalam eter. Sebagai glikosida
maupun aglikon, senyawa flavonoid tidak dapat larut dalam petroleum eter. Dari
tumbuhan, glikosida dapat ditarik dengan pelarut organik yang bersifat polar (Rusdi,
1988)
Contoh senyawa flavonoid yang mempunyai aktivitas antijamur antara lain
xanthon dan euxanthon yang diisolasi dari kulit buah Garcinia manganostana terhadap
jamur Fusarium oxysporum vasinfectum, Altenaria tenuis, dan Dreschiera oryzae.
Xanthon alami mempunyai aktivitas penghambatan yang baik terhadap ketiga jamur
tersebut (Gopalakrishnan, Banumathi, and Suresh, 1997). Contoh struktur golongan
senyawa flavonoid dapat dilihat pada Gambar 2.
Banyak tanaman obat yang mengandung komponen flavonoid yang digunakan
untuk terapi penyakit sirkulasi, mengurangi tekanan darah, dan anti alergik. Efek
farmakologi dari flavonoid yang berhubungan dengan kemampuan flavonoid untuk
bekerja sebagai anti oksidan yang kuat penangkap radikal bebas, membentuk khelat
dengan logam dan berinteraksi dengan enzim (Bylka et.al 2004). Flavonoid disintesis
oleh tanaman sebagai respon terhadap infeksi mikroba, jadi secara in vitro flavonoid
efektif sebagai substansi antijamur antimikroba yang membunuh banyak
mikroorganisme. Kemungkinan aktivitasnya dikarenakan kemampuan flavonoid
membentuk ikatan dengan protein terlarut dan dinding sel bakteri, semakin lipofilik
suatu flavonoid semakin merusak membran mikroba (Cowan, 1999).
Silika gel
Silika gel merupakan fase diam yang sering digunakan pada TLC. Dalam perdagangan
dijual dengan variasi ukuran (diameter) 10-40m. Makin kecil diameter akan makin lambat
kecepatan alir fase geraknya dengan demikian mempengaruhi kualitas pemisahan. Luas
permukaan silica gel bervariasi dari 300-1000 m 2/g. Bersifat higroskopis, pada kelembaban
relatif 45-75% dapat mengikat air 7-20%. Macam-macam silka gel yang dijual dipasaran: Silika
gel dengan pengikat. Pada umumnya digunakan pengikat gypsum, (CaSO 4 5-15%). Jenis ini
diberi nama Silika gel G. Ada juga menggunakan pengikat pati (starch) dan dikenal Silika gel
S, penggunaan pati sebagai pengikat mengganggu penggunaan asam sulfat sebagai pereaksi
penentuan bercak.
Silika gel dengan pengikat dan indicator flouresensi. Jenis silica gel ini sama seperti
silika gel diatas dengan tambahan zat berfluoresensi bila diperiksa dibawah lampu UV A,
panjang atau pendek. Sebagai indicator digunakan timahkadmium sulfida atau mangan-timah
silikat. Jenis ini disebut Silika gel GF atau (berflouresensi pada 254 ,nm). Silika gel tanpa
pengikat, dikenal dengan nama Silika gel H atau Silika gel Silika gel GF254 N. Silika gel tanpa
pengikat tetapi dengan indicator flouresensi. Silika gel untuk keperluan pemisahan preparative
Alumina
Banyak digunakan setelah silika gel, alumina termasuk kelompok fase
diam yang beraktifitas tinggi. Alumina yang digunakan TLC bersifat sedikit
basa (pH 9), ada juga yang bersifat netral (pH 7) dan alumina yang bersifat
asam (pH 4). Juga digunakan CaSO4 sebagai pengikat yang dapat
menurunkan bebasaan pada tingkat tertentu. Seperti halnya Silica gel,
alumina dikenal dengan atau tanpa pengikat dan bahan indicator.
Pemberian namapun identik dengan silika gel dengan code G.H.P.F.
Selulosa
Menggunakan selulosa sebagai fase diam maka mekanisme
pemisahannya sama seperti mekanisme pemisahan pada kromatografi
kertas. Perbedaannya hanya serat selulosenya pada TLC/KLT lebih pendek
dari pada serat selulosa kromatografi kertas. Panjang serat bervariasi 2-20
. Serat lebih pendek menyebabkan difusi rendah selama elusi dan
menghasilkan bercak yang sempit (lebih kecil). Selulosa untuk TLC terdapat
dim bentuk selulosa serat asli (contohnya MN 300) dan selulosa mikrokristal
(contohnya Avicel). Fase diam selulosa biasanya digunakan senyawa yang
bersifat polar.
Fase gerak
Yang digunakan sebagai fase gerak biasanya adalah pelarut organik. Dapat digunakan
satu macam pelarut organic saja ataupun campuran. Bilamana fase gerak merupakan campuran
pelarut organik dengan air maka mekanisme pemisahan adalah partisi. Pemilihan pelarut
organic ini sangat penting karena akan menentukan keberhasilan pemisahan. Pendekatan
polaritas adalah yang paling sesuai untuk pemilihan pelarut. Senyawa polar akan lebih mudah
terelusi oleh fase gerak yang bersifat polar dari pada fase gerak yang non polar. Sebaliknya,
senyawa non polar lebih mudah terelusi oleh fase gerak non polar dari pada fase gerak yang
polar.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstraksi dan Fraksinasi Senyawa Flavonoid dalam Daun Trembesi
Serbuk kering daun trembesi yang dimaserasi menghasilkan 36,80 g ekstrak kental etanol
yang berwarna hijau pekat. Ekstrak n- heksana, kloroform dan etilasetat yang diperoleh dari proses
partisi selanjutnya dilakukan uji flavonoid.
Uji Fitokimia
Hasil uji flavonoid dari ekstrak n-heksana, kloroform, dan etilasetat dapat dilihat pada Tabel 1.
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etilasetat yang paling positif mengandung flavonoid
karena saat penambahan pereaksi warna menunjukkan adanya perubahan warna yang khas untuk
senyawa flavonoid, maka ekstrak etilasetat dilanjutkan uji aktivitas antijamur Fusarium sp.
Hasil spektrum kemungkinan juga terdapat CH alifatik yang muncul pada bilangan
gelombang 2962,66 cm-1 untuk isolat B4, daerah bilangan gelombang 2960,73 cm-1 untuk isolat B5,
dan daerah bilangan gelombang 2972,31 cm-1 untuk isolat B6 dengan bentuk pita serapan tajam dan
intensitasnya lemah. Serapan yang tajam juga terdapat pada daerah bilangan gelombang 1647,2 cm -1
untuk isolat B4, daerah bilangan gelombang 1645,28 cm-1 untuk isolat B5, dan daerah bilangan
gelombang 1635,64 cm-1 untuk isolat B6 dengan intensitas lemah yang menunjukkan bahwa terdapat
gugus C=O keton. Adanya gugus C=O merupakan ciri suatu senyawa flavonoid. Adanya serapan yang
tajam dan intensitas lemah untuk isolat B4, B5 dan B6 pada bilangan gelombang 1516,05 cm-1 yang
menunjukkan serapan C=C aromatik. Pita serapan pada bilangan gelombang 1039,64 cm -1 dan
1022,27 cm-1 untuk isolat B4, daerah bilangan gelombang 1261,45 cm-1 dan 1095,57 cm-1 untuk isolat
B5 dan daerah bilangan gelombang 1263,37 cm -1 dan 1097,50 cm-1 untuk isolat B6 dengan bentuk pita
yang tajam dan intensitasnya kuat menunjukkan adanya gugus C-O-C eter. Bentuk pita yang tajam
dan intensitasnya kuat pada bilangan gelombang 802,39 cm -1 untuk isolat B4 dan B5, pada daerah
bilangan gelombang 675,09 cm-1 menunjukkan adanya tekukan ke luar bidang ikatan CH aromatik.
Serapan pada daerah bilangan gelombang 2380,87 cm -1 diduga masih adanya gugus nitril. Hasil
analisis spektrum inframerah, isolat B 4, B5, dan B6 diduga mengandung gugus-gugus fungsi yang
sama antara lain OH, C-OH, CH alifatik, C=O keton, dan C=C aromatik, C O-C eter, dan CH
aromatik.
Identifikasi dilanjutkan dengan spektrofotometer UV-Vis, yang menunjukkan hasil bahwa
isolat B4 memberikan dua pita serapan yaitu pada daerah panjang gelombang 336,00 nm (pita I) dan
daerah panjang gelombang 268,40 nm (pita II). Serapan pada panjang gelombang 330-350 nm pada
pita I, serapan pada panjang gelombang 250-280 nm pada pita II dan bentuk spektrum dari isolat B 4
tersebut diduga menunjukkan rentang serapan senyawa flavonoid golongan flavonol. Isolat B 5
memberikan dua pita serapan yaitu pada daerah panjang gelombang 269,20 nm (pita II) dan daerah
panjang gelombang 325,40 nm (pita I). Serapan pada panjang gelombang 310-350 nm pada pita I,
serapan 250-280 nm pada pita II dan bentuk spektrum dari isolat B5 tersebut diduga menunjukkan
rentang serapan senyawa flavonoid golongan flavon. Isolat B 6 memberikan dua pita serapan yaitu
pada daerah panjang gelombang 475,40 nm (pita I) dan daerah panjang gelombang 282,40 nm (pita
II). Serapan pada panjang gelombang dan bentuk spektrum dari isolat B 6 tersebut diduga
menunjukkan rentang serapan senyawa flavonoid golongan antosianin. Rentang serapan 300-550 nm
yang terjadi pada pita I diperkirakan transisi n * seperti auksokrom O- H dan serapan 210-285 nm
yang terjadi pada pita II adalah transisi * berupa kromofor C=O.
Kedudukan gugus hidroksi pada inti flavonoid ditentukan dengan penambahan pereaksi geser.
Serapan pita II berpengaruh pada hidroksilasi cincin A, sedangkan serapan pita I mempengaruhi
hidroksilasi pada cincin B dan C. Hidroksilasi dipengaruhi oleh pergeseran batokromik sedangkan
metilasi dan glikosilasi akan menyebabkan pergeseran pita ke panjang gelombang yang lebih rendah
(hipsokromik).
Berdasarkan hasil uji fitokimia serta karakterisasi isolat dengan spektrofotometer inframerah
dan UV-Vis dapat disimpulkan suatu dugaan bahwa isolat B 4 diduga mengandung senyawa 3,7,8,4,5
pentahidroksi flavonol. Isolat B5 diduga mengandung senyawa 3,5,4 trihidroksi flavon, sedangkan
isolat B6 diduga mengandung senyawa 3,5,7,8,3,4 heksahidroksi antosianin.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
a. Ekstrak etilasetat positif mengandung senyawa flavonoid dan memiliki aktivitas antijamur
Fusarium sp. dalam kategori sedang pada konsentrasi 10%.
b. Senyawa flavonoid yang terkandung dalam ekstrak etilasetat daun trembesi tidak
memiliki aktivitas antijamur Fusarium sp. pada konsentrasi 10%.
c. Ekstrak etilasetat daun trembesi mengandung tiga jenis senyawa flavonoid yaitu, isolat B 4
diduga mengandung senyawa 3,7,8,4,5 pentahidroksi flavonol. Isolat B5 diduga mengandung
senyawa 3,5,4 trihidroksi flavon, sedangkan isolat B6 diduga mengandung senyawa
3,5,7,8,3,4 heksahidroksi antosianin.
5.2. Saran
a. Perlu dilakukan penelitian uji aktivitas antijamur Fusarium sp. Dengan konsentrasi lebih dari
10%.
b. Perlu dilakukan penelitian dan identifikasi lebih lanjut menggunakan teknik spektroskopi
lainnya seperti NMR untuk memastikan struktur senyawa flavonoid yang terdapat pada daun
trembesi dari ekstrak etilasetat.
DAFTAR PUSTAKA
Agustining, Dhita. 2012. Daya Hambat Saccharomyces Cerevisiae Terhadap Pertumbuhan Jamur
Fusarium Oxysporum http://repository.unej.ac.id/, diakses 27 Maret 2016
Cowan, 1999, Plant Product as Antimicrobial Agents, Clinical Microbiology Reviews, October, p.
564-582, Vol. 12, No. 4
Direktorat Jenderal Holtikultura. 2011. Sentra Produksi Buah Naga. Jakarta
Jatnika, A., 2010, Menguak Manfaat Buah Naga, Widyaiswara BBPP Lembang, Available from:
http://www2.bbpplembang.info/index.php?
option=com_content&view=article&id=529:menguak-manfaat-buah-
naga&catid=109&Itemid=304, Diakses 26 Maret 2016
Jaya, I K. D., 2009. Studi pendahuluan tentang praktek budidaya dan potensi pengembangan
tanaman buah naga (Hylocereus spp.) di Kabupaten Lombok Utara. Seminar Nasional
Kebijakan dan Penelitian di Bidang Pertanian untuk Pencapaian Kebutuhan Pangan dan
Agroindustri. Fakultas Pertanian UNRAM, 14 Maret 2009. 11 p.
Jork, H., Funk, W. and Fisher, W., 1990, Thin-Layer Cromathography: Reagen And Detection,
Verlagsgese llschaft mbH, Weinhein.
Nuroniah, H. S. and Kokasih, A. S., 2010, Mengenal Jenis Trembesi (Samanea saman (Jacquin)
Merrill) sebagai Pohon Peneduh, http://forplan.or.id/images/File/Mitra/mitra
%20Vol5No12010.pdf, diakses 25 Maret 2016
Octaviani, Riska Dwi. 2012. Hama dan Penyakit Tanaman Buah Naga (Hylocereus
Sp.) Serta Budidayanya Di Yogyakarta. IPB.