Anda di halaman 1dari 2

1.

Polyplacophora
Chiton termasuk dalam kelas Polyplacophora. Meskipun beberapa gambaran
struktur dan perkembangannya nampak primitif, namun Chiton memiliki struktur
yang sesuai dengan kebiasaan melekat pada batu karang dan cangkang mirip hewan
lainnya. Hewan ini jika disentuh akan melekat erat pada batu karang (Kastawi, et al.,
2003:191).
Bentuk tubuh Chiton, oval, pipih, dorso-ventral,
pada dorsal tubuhnya dilindungi oleh delapan keping cangkang yang tersusun
tumpang tindih seperti genting.
Cangkang Chiton hanya terdiri atas dua lapisan. Lapisan terluar adalah
tegmentum tersusun atas konsiolin dan kalsium karbonat, sedangkan lapisan
terdalam yaitu artikulamentum yang bersifat kalkareus.
Pada bagian ventro-anterior tubuh terdapat kepala berukuran kecil yang tidak
begitu nyata, tidak memiliki mata dan tentakel.
Mantel tebal, di posterior kepala terdapat kaki berotot yang pipih dan luas untuk
memudahkan melekat pada substrat. (Kastawi, et al., 2003:191-192).
adanya 8 keping cangkang yang tersusun tumpang tindih. Permukaan gelang
ditutup oleh kutikula tipis dengan permukaannya yang kemungkinan bersifat
halus, bersisik atau dengan spikua yang terbuat dari zat kapur (Kastawi, et al.,
2003:192).
Kaki Chiton terletak di permukaan ventral tubuh dan berfungsi untuk melekat
juga untuk bergerak.
Bagian yang digunakan untuk melekat pada substrat adalah kaki dan gelang.
Chiton biasanya bersifat fototaksis negatif, sehingga memiliki kecenderungan
untuk hidup di bawah batu karang. Aktifitas mereka sebagian besar dilakukan
pada malam hari (Kastawi, et al., 2003:192).
Alat respirasi Chiton adalah insang bipectinate (Ktenidia) yang terletak di dalam
lekuk mantel yaitu ruang yang terletak antara kaki dan ruang mantel. Jumlah
insang antara 6 sampai 88 pasang yang tersusun dalam suatu garis pada kedua sisi
tubuhnya (Kastawi, et al., 2003:192).
Sistem pencernaan Chiton tersusun atas: mulut yang terletak di daerah pusat
kepala, kemudian berlanjut pada faring yang mengandung jajaran gigi keras
(radula). Fungsi radula tersebut memotong-motong makanan menjadi fragmen-
fragmen kecil. Di belakang faring terdapat esofagus yang bermuara ke lambung.
Dari lambung berlanjut ke usus yang panjang dan bermuara pada anus (Kastawi,
et al., 2003:192).
Sistem sirkulasi Chiton terdiri atas jantung dan pembuluh darah. Jantung
terletak di dalam rongga perikardium yang terletak di postero-dorsal (di bawah
dua keping lempeng cangkang terakhir). Dari jantung keluar pembuluh darah
yang bercabang-cabang. Darah yang keluar dari jantung mengalir ke tubuh dan
kembali ke jantung melalui sinus (Kastawi, et al., 2003:193).
Alat ekskresinya terdiri atas nefridium yang berjumlah sepasang, bermuara pada
lekuk mantel. Fungsi nefridium membuang limbah nitrogen dari darah untuk
dibuang ke luar tubuh melalui nefridiofor (Kastawi, et al., 2003:193).
Sistem saraf Chiton terdiri atas cincin sirkum-esofangeal dan dua pasang tali
saraf longitudinal, satu pasang tali saraf tersebut menginversi pada kaki dan
sepasang lainnya menginversi mantel, tidak memiliki ganglion atau
perkembangannya sangat sederhana. Tali saraf saling berhubungan oleh karena
adanya saraf penghubung. Pada cangkang juga terdapat sejumlah penonjolan
kecil yang masing-masing penonjolan kecil yang masing-masing penonjolan
tersebut membawa sebuah organ sensori yaitu eshete. Eshete merupakan reseptor
taktil dan visual yang sederhana, sedangkan pada beberapa spesies Mollusca,
mata berkembang dengan baik bahkan dilengkapi dengan lensa. Organ tersebut
berperan dalam mendeteksi adanya predator (Kastawi, et al., 2003:193-194).
Sistem reproduksinya terdiri atas sebuah gonad yang terdapat di anterior rongga
perikardium di bawah keping cangkang bagian pertengahan. Chiton bersifat
dioecious. Telur atau sperma dilepaskan dari gonad ke dalam air (lingkungan
sekitarnya) melalui gonofor. Chiton tidak melakukan kopulasi. Hewan jantan
melepaskan sperma yang selanjutnya diikutkan aliran air untuk respirasinya.
Fertilisasi terjadi di lingkungan eksternal atau di dalam rongga mantel hewan
betina. Telur yang telah dibuahi berkembang menjadi larva trokofor dan tidak
memiliki fase larva veliger (Kastawi, et al., 2003:194).

Anda mungkin juga menyukai