CEDERA KEPALA
Oleh :
2. Etiologi
1) Cidera kepala dapat disebabkan karena:
2) Kecelakaan lalu lintas,
3) Terjatuh,
4) Kecelakaan industry,
5) Kecelakaan olahraga,
6) Luka, dan
7) Persalinan.
( Tarwoto&Wartonah, 2007, hal 125 )
Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti translasi
yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu
arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan gerakan
kepala, maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut.
Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-tiba
dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-
tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya
mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala. Kecederaan di bagian
muka dikatakan fraktur maksilofasial (Sastrodiningrat, 2009).
3. Klasifikasi
a. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka
penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan
bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jia tulang tengkorak
menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak,
jaringan sel otak akibat benda tajam / tembakan. Cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup
Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang
mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian
serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan tumpah. Cedar kepala
tertutup meliputi: komusio (gegar otak), kontusio (memar) dan laserasi.
(Brunner & Suddarth, 2001: 2211; Long, 1990 : 203)
4. Patofisiologi (Terlampir)
5. Manifestasi Klinis
Cedera kepala menurut Judikh Middleton (2007) akan menimbulkan gangguan
neurologis / tanda-tanda sesuai dengan area atau tempat lesinya yang meliputi:
a. Lobus frontal
- Adanya gangguan pergerakan bagian tubuh (kelumpuhan)
- Ketidakmampuan untuk melakukan gerakan rumit yang di perlukan untuk
menyelesaikan tugas yang memiliki langkah-langkah, seperti membuat kopi
- Kehilangan spontanitas dalam berinteraksi dengan orang lain
- Kehilangan fleksibilitas dalam berpikir
- Ketidakmampuan fokus pada tugas
- Perubahan kondisi kejiwaan (mudah emosional)
- Perubahan dalam perilaku social
- Perubahan dalam personalitas Ketidakmampuan dalam berpikir (kehilangan
memori)
b. Lobus parietal
- Ketidakmampuan untuk menghadirkan lebih dari satu obyek pada waktu yang
bersamaan
- Ketidakmapuan untuk memberi nama sebuah obyek (anomia)
- Ketidakmampuan untuk melokalisasi kata-kata dalam tulisan (agraphia)
- Gangguan dalam membaca (alexia)
- Kesulitan menggambar obyek
- Kesulitan membedakan kiri dan kanan
- Kesulitan mengerjakan matematika (dyscalculia)
- Penurunan kesadaran pada bagian tubuh tertentu dan/area disekitar (apraksia)
yang memicu kesulitan dalam perawatan diri
- Ketidakmampuan fokus pada perhatian fisual/penglihatan
- Kesulitan koordinasi mata dan tangan
c. Lobus oksipital
- Gangguan pada penglihatan (gangguan lapang pandang)
- Kesulitan melokalisasi obyek di lingkungan
- Kesulitan mengenali warna (aknosia warna)
- Teriptanya halusinasi
- Ilusi visual-ketidakakuratan dalam melihat obyek
- Buta kata-ketidakmampuan mengenali kata
- Kesulitan mengenali obyek yang bergambar
- Ketidakmampuan mengenali gerakan dari obyek
- Kesulitan membaca dan menulis
d. Lobus temporal
- Kesulitan mengenali wajah (prosoprognosia)
- Kesulitan memahami ucapan (afasiawernicke)
- Gangguan perhatian selektif pada apa yang dilihat dan didengar
- Kesulitan identifikasi dan verbalisai obyek
- Hilang ingatan jangka pendek
- Gangguan memori jangka panjang
- Penurunan dan peningkatan ketertarikan pada oerilaku seksual
- Ketidakmampuan mengkategorikan onyek (kategorisasi)
- Kerusakan lobus kanan dapat menyebabkan pembicaraan yang persisten
- Peningkatan perilaku agresif
e. Batang otak
- Penurunan kapasitas vital dalam bernapas, penting dalam berpidato
- Menelan makanan dan air (dysfagia)
- Kesulitan dalam organisasi/persepsi terhadap lingkungan
- Masalah dalam keseimbangan dan gerakan
- Sakit kepala dan mual (vertigo)
- Kesulitan tidur (insomnia, apnea saat tidur)
f. Cerebellum
- Kehilangan kemampuan untuk mengkoordinasi gerakan halus
- Kehilangan kemampuan berjalan
- Ketidakmampuan meraih obyek
- Bergetar (tremors)
- Sakit kepala (vertigo)
- Ketidakmampuan membuat gerakan cepat
Menurut Mansjoer (2000) manifestasi klinis cedera kepala berdasarkan beratnya
cedera sesuai skor GCS yaitu:
a. Cedera kepala ringan (GCS 13 15)
- Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi
- Tidak ada kehilangan kesadaran
- Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
- Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
- Tidak adanya criteria cedera kepala sedang sampai berat
b. Cedera kepala sedang (GCS 9 - 12)
- Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon yang
sesuai dengan pernyataan yang di berikan
- Amnesia paska trauma
- Muntah
- Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum,
otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
- Kejang
c. Cedera kepala berat (GCS 8)
- Penurunan kesadaran sacara progresif
- Tanda neorologis fokal
- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium (Mansjoer, 2000)
6. Pemeriksaan DiagnostiK
Pemeriksaan penunjang untuk trauma kepala menurut Doengoes (2000)
dan Price & Wilson (2006) antara lain:
1. CT Scan (dengan / tanpa kontras)
2. Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ventrikuler, dan pergeseran
jaringan otak.
3. MRI (dengan / tanpa kontras)
4. Menggunakan medan magnet kuat dan frekuensi radio, dapat mendiagnosis tumor,
infark, dan kelainan padapembuluh darah.
5. Angiografi serebral
6. Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat
edema dan trauma perdarahan. Digunakan untuk mengidentifikasi dan menentukan
kelainan vaskuler serebral.
7. Angiografi substraksi digital
8. Suatu jenis angiografi yang menggabungkan radiografi dengan teknik komputerisasi
untuk memperlihatkan pembuluh darah tanpa gangguan dari tulang dan jaringan
lunak di sekitarnya.
9. EEG (Electro Ensephalogram)
10. Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis. EEG
mengukur aktifitas listrik lapisan superficial korteks serebri melalui elektroda yang
dipasang di luar tengkorak pasien.
11. ENG (Electro Nistagmogram)
Merupakan pemeriksaan elektro fisiologis vestibularis yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis gangguan sistem saraf pusat.
12. X-ray
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur). Pergeseran struktur dari
garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya fragmen tulang.
13. BAEK (Brain Auditon Euoked Tomography)
Menentuukan fungsi korteks dan batang otak.
14. PET (Positron Emmision Tomography)
Menunjukkan perubahan aktifitas metabolism batang otak.
15. Fungsi lumbal, CSS
Dapat menduga kemungkinan adanya perubahan subarachnoid.
16. GDA (Gas Darah Arteri)
Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan meningkatkan TIK.
17. Kimia (elektrolit darah)
Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK / perubahan
mental. (Doengoes, 2000; Price & Wilson, 2006).
7. Penatalaksaan Medis
Penatalaksanaan trauma kepala menurut Smeltzer (2001) dan Long (1996) antara lain:
a. Dexamethason / Kalmetason : sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (pada trauma kepala berat) : untuk mengurangi vasodilatasi.
c. Analgetik : sebagai pereda nyeri.
d. Gliserol (manitol 20% glukosa 40%) : larutan hipertonis sebagai anti edema.
e. Metronidazole : untuk pengobatan infeksi anaerob, atau antibiotik yang mengandung
penicillin sebagai barier darah otak.
f. Cairan infuse dextrose 5%, aminousin, aminofel, diberikan 18 jam pertama sejak
terjadinya kecelakaan, selama 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
g. Tindakan pembedahan
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala-gejala
yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran
hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang
tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation(ABCs). Tindakan
operasi ditujukan kepada:
a. Evakuasi seluruh SDH
b. Merawat sumber perdarahan
c. Reseksi parenkim otak yang nonviable
d. Mengeluarkan ICH yang ada.Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah:
Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan > 10 mm atau
pergeseranmidline shift > 5 mm pada CT-scan
Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK
Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan perdarahan < 10 mm
dan pergeeran struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2
poinantara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit
Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau didapatkan pupil dilatasiasimetris/fixede.
Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau TIK > 20 mmHg.
Gambar 11. Tindakan operatif pada SDH (Kraniotomi)(catalog.nucleusinc.org)
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill
raniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahansub dural
kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukankomplikasi
yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap
sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yangsudah berusia lanjut
dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yangterjadi kembali, tidaklah perlu
untuk dilakukan operasi ulang kembali.
Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secaracepat
dengan lokal anestesi. Pada saat ini tindakan ini sulit untuk dibenarkan karenadengan
trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang biasanyasolid dan
kenyal apalagi kalau volume hematoma cukup besar. Lebih dari seperlima penderita
SDH akut mempunyai volume hematoma lebih dari 200 ml.
Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yanginvasif
dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Hampir semua ahli bedah saraf memilih
kraniotomi luas. Luasnya insisi ditentukan oleh luasnya hematoma danlokasi kerusakan
parenkim otak. Lubang bor yang pertama dibuat dilokasi dimana didapatkan hematoma
dalam jumlah banyak, dura mater dibuka dan diaspirasi sebanyak mungkin hematoma,
tindakan ini akan segara menurunkan TIK. Lubang bor berikutnya dibuat dan kepingan
kranium yang lebar dilepaskan, duramater dibukalebar dan hematoma dievakuasi dari
permukaan otak. Setelah itu, dimasukkan surgical patties yang cukup lebar dan basah
keruang subdural, dilakukan irigasi,kemudian surgical patties disedot ( suction ).
Surgical patties perlahan lahan ditarik keluar, sisa hematoma akan melekat
pada surgical patties, setelah itu dilakukan irigasi ruang subdural dengan memasukkan
kateter kesegala arah. Kontusio jaringanotak dan hematoma intraserebral direseksi.
Dipasang drain 24 jam diruang subdural,duramater dijahit rapat.Usaha diatas adalah
untuk memperbaiki prognosa akhir SDH, dilakukankraniotomi dekompresif yang luas
dengan maksud untuk mengeluarkan seluruhhematoma, merawat perdarahan dan
mempersiapkan dekompesi eksternal dari edemaserebral pasca operasi. Pemeriksaan
pasca operasi menujukkan sisa hematoma dan perdarahan ulang sangat minimal dan
struktur garis tengah kembali lebih cepat ke posisi semula dibandingkan dengan
penderita yang tidak dioperasi dengan cara ini.
Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural
kronik sudah mulai berkurang.Trepanasi atau kraniotomi adalah suatu tindakan
membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan
definitif.Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran,
pupilanisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis
merupakantanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian
besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Indikasi Operasi, yaitu:
1. Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
2. Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
3. Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CTscan
kepala tidak bisa dilakukan.
Perawatan Pasca bedah Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan
seperti biasanya.Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang
ataukranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.Setelah operasipun kita
harus tetap berhati hati, karena pada sebagian pasiendapat terjadi perdarahan lagi yang
berasal dari pembuluh darah yang baru terbentuk,subdural empiema, irigasi yang kurang
baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari
otak untuk mengembang kembali danterjadinya reakumulasi dari cairan subdural. Maka
dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan.
Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan. Follow-upCT scan
kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik danuntuk menilai apakah
masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
8. Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut Markam (1999) pada
cedera kepala meliputi:
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini
secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini
penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife
state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari
lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang
sembuh.
b. Kejang / Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang- kurangnya
sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian,
keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.
c. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena
keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain.
d. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan
kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami masalah
kesadaran.
e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson
Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer
tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi
dan keparahan cedera.
Konsep Asuhan Keperawatan
Pengkajian Fokus
1. Riwayat kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian,
pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
Sistem respirasi:
Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik), nafas
berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
Kardiovaskuler:
Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
Kemampuan komunikasi:
Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf
hipoglosus dan saraf fasialis.
Psikososial:
Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.
Aktivitas/istirahat
S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan
O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese, goyah dalam berjalan
(ataksia), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.
Sirkulasi
O : Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi), perubahan frekuensi
jantung nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.
Integritas Ego
S : Perubahan tingkah laku/kepribadian
O : Mudah tersinggung, delirium, agitasi, cemas, bingung, impulsive dan depresi
Eliminasi
O : BAB/BAK inkontinensia/disfungsi.
Makanan/cairan
S : Mual, muntah, perubahan selera makan
O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).
Neurosensori
S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan pendengaran,
perubahan penglihatan, diplopia, gangguan pengecapan/pembauan.
O : Perubahan kesadara, koma. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan,
atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan
penginderaan, pengecapan dan pembauan serta pendengaran. Postur (dekortisasi,
desebrasi), kejang. Sensitive terhadap sentuhan / gerakan.
Nyeri/Keyamanan
S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.
O : Wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsang nyeri yang hebat,
gelisah
Keamanan
S : Trauma/injuri kecelakaan
O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus otot hilang
kekuatan paralysis, demam, perubahan regulasi temperatur tubuh
Penyuluhan/Pembelajaran
Riwayat penggunaan alcohol/obat-obatan terlarang
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Scan CT (tanpa/denga kontras) : Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b. MRI ; Sama dengan scan CT dengan atau tanpa kontras.
c. Angiografi serebral : Menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti pengeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma
d. EEG : Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
e. Sinar X : Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.
f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : Menentukan fungsi korteks dan batang
otak.
g. PET (Positron Emission Tomography) : Menunjukan perubahan aktifitas
metabolisme pada otak.
h. Fungsi lumbal, CSS : Dapat menduka kemungkinan adanya perdarahan
subarachnoid.
i. GDA (Gas Darah Artery) : Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
yang akan dapat meningkatkan TIK.
j. Kimia /elektrolit darah : Mengetahui ketidak seimbangan yang berperan dalam
peningkatan TIK/perubahan mental.
k. Pemeriksaan toksikologi : Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran.
l. Kadar antikonvulsan darah : Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup fektif untuk mengatasi kejang.
Diagnosa Keperawatan:
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia, edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran,
perubahan respon mototrik dan sensorik, gelisah, perubahan TTV.
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler,
kerusakan medula oblongata neuromaskuler ditandai dengan kelemahan atau paralisis
otot pernafasan.
c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan ADH
dan aldosteron, retensi cairan dan natrium ditandai dengan edema, dehidrasi, sindrom
kompartemen dan hemoragi.
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan peningkatan asam
lambung, mual, muntah, anoreksia ditandai dengan penurunan BB, penurunan massa
atau tonus otot
e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan tonus otot dan penurunan
kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan bergerak, kerusakan koordinasi,
keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan otot.
f. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran, peningkatan
tekanan intra kranial ditandai dengan disorientasi terhadap waktu, tempat, orang,
perubahan terhadap respon rangsang.
g. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan
keseadaran ditandai dengan ketidakmampuan untuk bicara dan menyebutkan kata-
kata.
h. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit kepala,
perdarahan serebral ditandai dengan respon inflamasi, hipertermi.
Intervensi Rasional
1. Kaji kecepatan, kedalaman, frekuensi, 1. Hipoventilasi biasanya terjadi atau
irama nafas, adanya sianosis. Kaji suara menyebabkan akumulasi/atelektasi atau
nafas tambahan (rongki, mengi, pneumonia (komplikasi yang sering
krekels). terjadi).
2. Atur posisi klien dengan posisi semi 2. Meningkatkan ventilasi semua bagian
fowler 30o Berikan posisi semi prone paru, mobilisasi serkret mengurangi
lateral/ miring, jika tak ada kejang resiko komplikasi, posisi tengkulup
selama 4 jam pertama rubah posisi mengurangi kapasitas vital paru, dicurigai
miring atau terlentang tiap 2 jam. dapat menimbulkan peningkatan resiko
3. Anjurkan pasien untuk minum hangat terjadinya gagal nafas.
(minimal 2000 ml/hari). 3. Membantu mengencerkan sekret,
4. Kolaborasi terapi oksigen sesui indikasi. meningkatkan mobilisasi sekret/sebagai
5. Lakukan section dengan hati-hati ekspektoran.
(takanan, irama, lama) selama 10-15 4. Memaksimalkan bernafas dan
detik, catat, sifat, warna dan bau sekret menurunkan kerja nafas. Mencegah
6. Kolaborasi dengan pemeriksaan AGD, hipoksia, jika pusat pernafasan tertekan.
tekanan oksimetri. Biasanya dengan menggunakan
ventilator mekanis.
5. Penghisapan yang rutin, beresiko terjadi
hipoksia, bradikardi (karena respons
vagal), trauma jaringan oleh karenanya
kebutuhan penghisapan didasarkan pada
adanya ketidakmampuan untuk
mengeluarkan sekret.
6. Menyatakan keadaan ventilasi atau
oksigen, mengidentifikasi masalah
pernafasan, contoh: hiperventilasi (PaO2
rendah/ PaCO2 mengingkat) atau adanya
komplikasi paru.
Menentukan kecukupan oksigen,
keseimbangan asam-basa dan
kebutuhan akan terapi.
Intervensi Rasional
1. Kaji tanda klinis dehidrasi atau 1. Deteksi dini dan intervensi dapat
kelebihan cairan. mencegah kekurangan/kelebihan fluktuasi
2. Catat masukan dan haluaran, hitung keseimbangan cairan.
keseimbangan cairan, ukur berat jenis 2. Kehilangan urinarius dapat menunjukan
urine. terjadinya dehidrasi dan berat jenis urine
3. Berikan air tambahan sesuai indikasi adalah indikator hidrasi dan fungsi renal.
4. Kolaborasi pemeriksaan lab. 3. Dengan formula kalori lebih
kalium/fosfor serum, Ht dan tinggi,tambahan air diperlukan untuk
albumin serum. mencegah dehidrasi.
4. Hipokalemia/fofatemia dapat terjadi
karena perpindahan intraselluler elama
pemberian makan awal dan menurunkan
fungsi jantung bila tidak diatasi.
Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan pasien untuk 1. Faktor ini menentukan terhadap jenis
mengunyah dan menelan, batuk dan makanan sehingga pasien harus
mengatasi sekresi. terlindung dari aspirasi.
2. Auskultasi bising usus, catat adanya 2. Bising usus membantu dalam
penurunan/hilangnya atau suara menentukan respon untuk makan atau
hiperaktif. berkembangnya komplikasi seperti
3. Jaga keamanan saat memberikan paralitik ileus.
makan pada pasien, seperti 3. Menurunkan regurgitasi dan terjadinya
meninggikan kepala selama makan aspirasi.
atatu selama pemberian makan lewat 4. Meningkatkan proses pencernaan dan
NGT. toleransi pasien terhadap nutrisi yang
4. Berikan makan dalam porsi kecil dan diberikan dan dapat meningkatkan
sering dengan teratur. kerjasama pasien saat makan
5. Kolaborasi dengan ahli gizi. 5. Metode yang efektif untuk memberikan
kebutuhan kalori.
Intervensi Rasional
1. Periksa kembali kemampuan dan 1. Mengidentifikasi kerusakan secara
keadaan secara fungsional pada fungsional dan mempengaruhi pilihan
kerusakan yang terjadi. intervensi yang akan dilakukan.
2. Berikan bantu untuk latihan rentang 2. Mempertahankan mobilitas dan fungsi
gerak sendi/ posisi normal ekstrimitas dan
3. Bantu pasien dalam program latihan menurunkan terjadinya vena statis
dan penggunaan alat mobilisasi. 3. Proses penyembuhan yang lambat
Tingkatkan aktivitas dan partisipasi seringakli menyertai trauma kepala dan
dalam merawat diri sendiri sesuai pemulihan fisik merupakan bagian yang
kemampuan sangat penting. Keterlibatan pasien
dalam program latihan sangat penting
untuk meningkatkan kerja sama atau
keberhasilan program.
8. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
Tujuan :
Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam
Kiteria Hasil:
a. Bebas tanda-tanda infeksi, Mencapai penyembuhan luka tepat waktu
b. suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5C)
Intervensi Rasional
1. Berikan perawatan aseptik dan 1. Cara pertama untuk menghindari
antiseptik, pertahankan teknik cuci nosokomial infeksi, menurunkan jumlah
tangan kuman patogen .
2. Observasi daerah kulit yang mengalami 2. Deteksi dini perkembangan infeksi
kerusakan, kaji keadaan luka, catat memungkinkan untuk melakukan
adanya kemerahan, bengkak, pus tindakan dengan segera dan
daerah yang terpasang alat invasi dan pencegahan terhadap komplikasi
TTV selanjutnya, monitoring adanyainfeksi.
3. Anjurkan klien untuk memenuhi nutrisi 3. Meningkatkan imun tubuh terhadap
dan hidrasi yang adekuat. infeksi
4. Batasi pengunjung yang dapat 4. Menurunkan pemajanan terhadap
menularkan infeksi pembawa kuman infeksi.
5. Pantau hasil pemeriksaan lab, catat 5. Leukosit meningkat pada keadaan
adanya leukositosis infeksi
6. Kolaborasi pemberian atibiotik sesuai 6. Menekan pertumbuhan kuman
indikasi. pathogen.
DAFTAR PUSTAKA
Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC; 1996
Smeltzer, Suzanne C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC, Jakarta
Batticaca Fransisca B, 2008, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Pierce A. Grace & Neil R. Borley, 2006, Ilmu Bedah, Jakarta : Erlangga
Brunner & Suddart, 2001. Buku Ajar Medikal Keperawatan vol 3. EGC, Jakarta
Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural Akut .
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39, No.3 Halaman 297- 306.FK USU:
Medan.
Heller, J. L., dkk,Subdural Hematoma , MedlinePlus Medical Encyclopedia, 2012.
Tom, S., dkk,Subdural Hematoma in Emergency Medicine, Medscape Reference,2011.