Anda di halaman 1dari 24

blogspot.

com
Dioptimalkan 2 menit yang lalu
Lihat yang asliSegarkan
Lhie_za Internisti
Friday, December 4, 2009
Pandangan Islam dalam Pelayanan Kesehatan
Assalamualaikum.

Alhamdulillah untuk pertama kalinya Liza bisa ngePOsting sesuatu d BLOG liza ini..hehehe..
maklum rada sibuk..halahkyak apa aj..

Semoga apa yang Liza tulis ini bias memberikan suatu gambaran kepada semuanya tentang judul
yang liza angkat yaitu Pandangan Islam dalam Pelayanan Kesehatan insyaAllah jadi bahan
pemikiran kita juga kedepannya,khususnya untuk tenaga kesehatan ^_^

Latar Belakang

Tempat pelayanan kesehatan merupakan salah satu tempat umum dimana seluruh kalangan
masyarakat akan berinteraksi disana. Diantaranya seperti Rumah sakit, Puskesmas, Klinik, dan
lain-lain. Rumah sakit (hospital) adalah sebuah institusi perawatan kesehatanprofesional yang
pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya. Beberapa
pasien bisa hanya datang untuk diagnosis atau terapi ringan untuk kemudian meminta perawatan
jalan, atau bisa pula meminta rawat inap dalam hitungan hari, minggu, atau bulan. Rumah sakit
dibedakan dari institusi kesehatan lain dari kemampuannya memberikan diagnosa dan perawatan
medis secara menyeluruh kepada pasien.

Di tempat pelayanan kesehatan seperti itulah batasan antara laki-laki dan perempuan menurut
islam akan dikesampingkan. Maksudnya dikesampingkan pada kalimat barusan adalah kaburnya
hijab antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim ini. Dapat kita lihat di tempat
pelayanan kesehatan bahwa baik dokter, perawat ataupun petugas pelayanan kesehatan lainnya
akan melakukan berbagai interaksi dengan pasien. Tindakan-tindakan tersebut merupakan
serangkaian prosedur yang mesti dijalani menurut profesi masing-masing. Diantaranya seperti
dokter atau perawat yang harus melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasiennya yang pastinya
harus menyentuh tubuh pasien, melakukan injeksi (suntikan) dibagian tertentu yang kadang
harus mmbuat pasienmembuka pakaiannya. Tidak hanya itu, bahkan kadang dokter atau perawat
harus memegang alat vital dari kliennya untuk brbagi keperluan seperti pada pemasangan kateter
atau operasi pada bagian tersebut yang tidak jarang bahwa petugas medis yang berlainan jenis
kelaminlah yang melakukan tindakan tersebut.

Sedangkan yang kita ketahui bahwa islam melarang hamba-hambaNya untuk menjaga dirinya
dari orang yang bukan muhrimnya. Selain itu juga dikuatkan oleh sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam : "Andaikan ditusukkan ke kepala salah seorang diantara kalian dengan jarum
besi, yang demikian itu lebih baik daripada dia harus menyentuh wanita yang tidak
diperbolehkan baginya". [Thabrani dalam Kitab Al-Kabir, Bab XX No. 211 dengan isnad hasan].
Jadi sebenarnya bagaimanakah pandangan islam mengenai fenomena yang ada di tempat
pelayanan kesehatan ini. Suatu kondisi yang sangat tidak mungkin untuk ditinggalkan sebab
keurgentannya. Lalu bagaimana pula sosok seorang tenaga medis dan para medis yang
seharusnya agar dalam menjalankan tugasnya tetap berjalan pada syariat agama Islam dan benar-
benar akan mendatang kan kemaslahatan bagi para pasien yang datang untuk berobat di tempat
pelayanan kesehatan tersebut. Serta bagaimana pula peran serta dari lembaga berwenang
kedokteran menyikapi aturan yang sesuai dengan syariat islam ini.

Oleh karena itu, penulis pada kesempatan ini mencoba untuk membahas mengenai dilema yang
ada ini. Sebab seperti yang kita ketahui bahwa Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin
serta tsabat wa muruna dan Al-basathah yaitu perpaduan antara tetap dan menerima perubahan.

A.Perintah islam untuk menjaga diri dan hijabnya terhadap non muhrim

Dienul Islam adalah sebuah agama yang mengatur segala seluk beluk yang ada di kehidupan
manusia dan semua ciptaan Allah. Adapun yang termasuk yang dibahas adalah mengenai
hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Di dalam agama ini diatur
bagaimana hubungan antar seorang wanita dan laki-laki selayaknya menurut pandangan Islam.

Adapun perintah Allah swt. yangberkaitan dengan etika hubungan antara lelaki dan wanita pada
(QS. Al-Ahzab : 53).Kalau ada sebuah keperluan terhadap lawan jenis, harus disampaikan dari
balik tabir pembatas

Banyak pendapat dari berbagai ulama mengenai hubungan antara laki-laki dan wanita ini, antara
lain:
Asy Syaikh berkata, Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya
diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila
dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz
(berlezat-lezat) dari salah satunya (apa lagi keduanya; penj.) maka KEHARAMAN berjabat
tangan tidak diragukan lagi. Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi - YAITU
TIADANYA SYAHWAT DAN AMAN DARI FITNAH meskipun jabatan tangan itu antara
seseorang dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya,
mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.Bahkan
berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak
terpenuhi. Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang
disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi
hubungan yang erat dan akrab diantara mereka; dan TIDAK BAIK hal ini diperluas kepada
orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati,
dan meneladani Nabi saw. - tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah
berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat).
Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah yang komitmen pada agamanya
IALAH TIDAK MEMULAI BERJABAT TANGAN DENGAN LAIN JENIS. Tetapi, apabila
diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.[1]

Dari Ma'qil bin Yasar Radhiyallahu 'anhu, dia menceritakan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah bersabda: "Andaikan ditusukkan ke kepala salah seorang diantara kalian dengan
jarum besi, yang demikian itu lebih baik daripada dia harus menyentuh wanita yang tidak
diperbolehkan baginya". [Thabrani dalam KitabAl-Kabir, Bab XX No. 211 dengan isnad hasan].

Dari Aisyah ia berkata: Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membaiat para perempuan dengan
perkataan. Tidak pernah tangan Rasulullah SAW memegang tangan para perempuan, kecuali
tangan perempuan yang telah menjadi miliknya (artinya perempuan yang telah dinikahinya =
istri Nabi). [Bukhari]

Tidak hanya itu, dalam islam juga melarang agar kaum muslimin tidak berdua-duan
(LARANGAN BERKHALWAT) seperti yang dijelaskan sebagai berikut:

Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Aku pernah mendengar Nabi shallallahu alaihi wa sallam
berpidato: Janganlah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita
kecuali wanita itu bersama mahramnya. Dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali
bersama mahramnya. Tiba-tiba seorang lelaki bangkit berdiri dan berkata: Wahai Rasulullah,
sesungguhnya isteriku pergi untuk menunaikan ibadah haji, sedangkan aku terkena kewajiban
mengikuti peperangan ini dan itu. Beliau bersabda: Berangkatlah untuk berhaji bersama
isterimu. [Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad]

Hendaklah para muslimah tidak duduk-duduk dengan lelaki lain, hanya untuk sekedar ngobrol
tanpa ada maksud dan tujuan tertentu. Duduk-duduk yang diperbolehkan hanya bila ada
kebutuhan yang bersifat syarI (dibolehkan agama).[2]

Beberapa pendapat ulama-ulama dari empat madzhab besar diantaranya:

Madzhab Hanafi :

Haram menyentuh wajah dan dua telapak tangan perempuan bukan muhrim, sekalipun aman
dari syahwat.

Berjabat tangan dengan perempuan tua yang sudah tidak bersyahwat lagi; At-Thahawi berkata
tidak mengapa. Manakala Syamsudin Ahmad bin Qaudar berkata tidak halal sekalipun aman dari
syahwat.

Imam al-Kasaani berkata: menyentuh (wanita) lebih berpotensi mem- bangkitkan syahwat
daripada sekedar melihat .. [Bada'iu ash-Shana`i']

Madzhab Maliki:

Haram berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim. Ini dinyatakan oleh al-Imam al-
Baaji, al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dan As-Shawi.

Hukum berjabat tangan dengan perempuan tua, menurut Syeikh Abul Barakat Ahmad bin
Muhamad bin Ahmad ad-Durdair ia tidak dibenarkan.

Imam Abul Barokaat menyatakan: Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita (bukan
muhrim) walaupun kaum lelaki sudah tidak memiliki lagi keinginan (hasrat) kepadanya . [asy-
Syahush Shaghir IV/760].
Madzhab Syafii:

Imam An-Nawawi di dalam beberapa karyanya, as-Syaribini dan lain-lain ulama as-
Syafiiyyah menyatakan haram berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim.

Imam an-Nawawi berkata: Memandang wanita (bukan muhrim) saja haram, maka
menyentuhnya tentu lebih haram lagi, karena terasa lebih nikmat . [Roudhotu ath-Thalilibin
VII/28].

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar halaman 228 berkata: Para sahabat kami (dari
kalangan Syafiiyyah) mengatakan bahwa setiap hal yang dilarang untuk dilihat, maka dilarang
pula untuk menyentuhnya. Bahkan menyentuh itu lebih besar lagi urusannya, karena telah
dibolehkan bagi seseorang untuk melihat seorang wanita yang bukan muhrimnya pada saat
hendak menikahi- nya, pada saat jual beli, pada saat mengambil barang dan menyerahkannya dan
yang semisal dengan hal tersebut di atas. Akan tetapi tetap tidak diper- bolehkan baginya pada
saat-saat tersebut untuk menyentuhnya.

Madzhab Hanbali:

Imam Ahmad ketika ditanya tentang masalah berjabat tangan dengan perempuan bukan
muhrim, beliau menjawab: Aku membencinya.

Mengenai berjabat tangan dengan perempuan tua:

Imam Ishaq bin Mansur al-Marwazi menukil dari imam Ahmad, ia tidak dibenarkan (tidak
dibolehkan).

Sementara Ibnu Muflih menyatakan; pemilik an-Nazham mengatakan makruh dan dengan anak
kecil (yang belum baligh) dibolehkan dengan tujuan budi pekerti.

Imam al-Marruzi (ada yang membaca : al-Marwazi) mengatakan: Aku pernah bertanya
kepada Ahmad bin Hanbal. Apakah anda membenci jabat tangan dengan kaum wanita (non
muhrim)?" Beliau menjawab: Aku membencinya. [Masa`il Ahmad wa Ishaq I/211]. Masih
banyak lagi pendapat ulama dari empat madzhab yang mengharamkan berjabatan tangan dengan
wanita bukan Muhrim.(A.Shihabuddin. Telaah Kritis atas Doktrin paham Salafi/Wahabi.[3]------

Dari berbagai mazhab para ulama diatas dapat kita lihat ada persamaan dan perbedaan
pandangan dari setiap ulama.

Namun untuk saat ini orang mengira bahwa bila kita tidak berjabat-tangan dengan yang bukan
muhrim berarti kurang sopan atau tidak saling menghargai, padahal keramahan dan kesopanan
yang dimaksud oleh syariat Islam bukanlah terletak pada jabatan tangan antara wanita dan lelaki
yang bukan muhrim. Kita sebenar- nya juga tidak perlu bingung dengan kritikan orang lain
(kolot, kurang sopan dll) mengenai amalan kita, karena kritikan ini tidak ada habis-habisnya,
yang penting sebagai seorang muslim atau muslimah ialah sebaik mungkin menjalani perintah
Allah swt. dan Rasul-Nya dan menjauhi larangan yang telah digariskan oleh syariat Islam.
B.Fenomena yang ada di tempat pelayanan kesehatan saat ini

Dalam ilmu kedokteran / kesehatan untuk menegakkan diagnosa suatu penyakit, dokter perlu
melaksanakan pemeriksaan pada pasien seluruh tubuhnya, baik diluar, maupun dari dalam,
sehingga pada umumnya pasien harus bersedia menanggalkan pakaiannya. Pemeriksaan
dilakukan oleh dokter di ruang pemeriksaan, di mana dokter dapat memeriksa pasien dengan
leluasa tanpa dapat dilihat dan didengar oleh orang lain. Dokter dan tenaga para medis
diwajibkan secara etis memelihara kehormatan manusia, baik dalam ruang pemeriksaan, maupun
dalam ruang perawatan[4].

Dalam prakteknya di tempat pelayanan itu sendiri banyak sekali kondisi yang membuat interaksi
antara tenaga medis dengan pasiennya yang kadang membuat kita bertanya mengenai hal
tersebut dalam pandangan Islam seperti yang telah kita bahas pada bagian A sebelumnya.
Adapun prosedur-prosedur yang sering dilaksanakan dalam tahap pemeriksaan di Rumah Sakit
atau tempat pelayanan kesehatan lain tersebut antara lain:

a.Mengambil anamnesa (riwayat penyakit)

Pasien diharapkan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dokter secara jujur dan jelas,
karena kadang kadang pasien tidak ingin menceritakan riwayat penyakitnya karena merasa
malu.
b.Melakukan inspeksi

Inspeksi ini sudah dilakukan sejak pasien memasuki kamar kerja dokter, cara dia berjalan,
normal atau dipapah, napas sesak, kemudian bentuk badan,emosionalnya,dan lain-lain

c.Melakukan palpasi

Yaitu meraba tubuh dengan telapak tangan. Untuk ini perlulah pasien diminta untuk membuka
pakaiannya terutama bagian atas, kalau nanti ternyata diperlukan pemeriksaan yang lebih
lengkap barulah si pasien diminta untuk membuka celana, gune pemeriksaan dalam, baik melalui
vagina maupun anus (dubur).

d.Melakukan perkusi

Yaitu dengan memukulkan jari tengah kanan diatas jari tengah tangan kiri yang diletakkan
dibagian atas tubuh yang diperiksa. Pada perkusi akan menimbulkan suara sehingga dapat
ditentukan batas konfigurasi jantung, paru-paru dan sebagainya. Apakah ada cairan di rongga
dada atau pada rongga perut.

e.Melakukan aukultasi

Dengan alat pendengar stetoskop dokter dapat mendengar bunyi-bunyi udara di dalam paru-paru,
baik yang normal maupun yang tidak normal, bunyi jantung yang normal dan yang tidak normal,
bunyi bising, bunyi gerakan usus dan sebagainya.

f.Pemeriksaan Pelengkap

Dilakukan dengan alat-alat seperti Reflek hamer dan Elektro Cardiograf,alat yang untuk
mencatataktivitas jantung yang mengungkapkan peristiwa-peristiwa abnormal yang tidak
diketahui dengan cara-cara diatas.

g.Pemeriksaan Laboratorium
Permeriksaan darah untuk mengetahui sel-sel darah, berbagai macam zat-zat dalam darah seperti
gula, empedu , kolesterol, asam urat, dan sebagainya.

Pendek kata dengan berbagai cara pemeriksaan ini dokter mendapat bahan-bahan dalam
menegakkan suatu diagnosa penyakit.

Yang jelas ialah bahwa dalam pemeriksaan ini:

i.Dokter dan pasien berada berduaan di dalam suatu ruangan.

ii.Dokter melihat dan meraba sebagian atau seluruh badan penderita, termasuk bagian auratnya.

iii.Dokter yang memeriksa dapat sejenis dengan penderita yaitu dokter laki-laki memeriksa
penderita laki-laki atau tidak sejenis yaitu dokter wanita memeriksa penderita laki-laki dan
sebaliknya.[5]

Tidak hanya itu, dalam pelayanan kesehatan masih banyak sekali tindakan medis yang membuat
antara tenaga medis dan petugas kesehatan terjadi interaksi yang melanggar aturan agama yang
telah kita bahas sebelumnya pada bagian A. Contohnya seperti tindakan operasi. Tidak jarang
para dokter atau pun perawatnya yang berlawanan jenis dengan pasien. Belum lagi jika yang
dilakukan operasi adalah bagian vital dari pasien. Seperti operasi pengangkatan rahim ataupun
operasi kanker payudara. Atau tindakan pemasangan kateter( pemasangan suatu alat ke bagian
alat pengeluaran urin untuk mempermudah pasien buang air kecil). Dan disini lah terlihat sekali
peran tenaga medis yang membuat mereka harus melihat bahkan memegang alat kelamin
pasiennya, dan tidak jarang pula yang melakukan itu adalah tenaga medis yang bukan muhrim
dengan pasiennya.

Belum lagi pada kasus dokter kandungan yang dokternya adalah seorang laki-laki. Dalam
pemeriksaannya maupun proses kelahiran itu dokter tersebut akan sering berinteraksi dengan
kliennya,yaitu para wanita. Dan mungkin masih banyak fenomena lain di tempat pelayanan
kesehatan yang melibatkan interaksi antara tenaga medis atau para medis dengan pasiennya yang
bukan muhrim.
C.pandangan islam terhadap fenomena dalam dunia kesehatan

Islam menentukan bahwa setiap manusia harus menghormati manusia yang lainnya, karena Allah
sebagai khalik sendiri menghormati manusia, sebagai mana di jelaskan Allah dalam surat Al Isra
:70.

Maka dokter maupun paramedis haruslah tidak memaksakan sesuatu kepada pasien, segala
tindakan yang harus mereka kerjakan haruslah dengan suka rela dan atas keyakinan.

Untuk pemeriksaan dokter dalam menegakkan diagnosa penyakit, maka dokterberkhalwat,


melihat aurat, malah memeriksa luar dalam pasien dibolehkan hanya didasarkan pada keadaan
darurat, sebagai yang dijelaskan oleh qaidah ushul fiqh yang berbunyi : yang darurat dapat
membolehkan yang dilarang.

Islam memang mengenal darurat yang akan meringankan suatu hukum. Ada kaidah Idzaa
dhoogal amr ittasi (jika kondisi sulit, maka Islam memberikan kemudahan dan kelonggaran).
Bahkan Kaedah lain menyebutkan: Kondisi darurat menjadikan sesuatu yang haram menjadi
mubah.[6]

Berbicara mengenai kaidah fiqhiyyah tentang darurat maka terdapat dua kaidah yaitukaidah
pokok dan kaidah cabang. Kaidah pokok disini menjelaskan bahwa kemudharatan harus
dilenyapkan yang bersumber dariQ.S Al- Qashash : 77), contohnya meminum khamar dan zat
adiktif lainnya yang dapat merusak akal, menghancurkan potensi sosio ekonomi, bagi
peminumnya kan menurunkan produktivitasnya. Demikian pula menghisap rokok, disamping
merusak diri penghisapnya juga mengganggu orang lain disekitarnya. Para ulama menganggap
keadaan darurat sebagai suatu kesempitan, dan jika kesempitan itu datang agama justru
memberikan keluasan.[7]

Namun darurat itu bukan sesuatu yang bersifat rutin dan gampang dilakukan. Umumnya darurat
baru dijadikan pilihan manakala memang kondisinya akan menjadi kritis dan tidak ada alternatif
lain. Itu pun masih diiringi dengan resiko fitnah dan sebagainya.

Akan tetapi, untuk mencegah fitnah dan godaan syaitan maka sebaiknya sewaktu dokter
memeriksa pasien dihadiri orang ketiga baik dari keluarga maupun dari tenaga medis itu sendiri.
[8]
Akan lebih baik lagi jika pasien diperiksa oleh dokter sejenis, pasien perempuan diperiksa oleh
dokter perempuan dan pasien laki-laki diperiksa oleh dokter laki-laki. Karena dalam dunia
kedokteran sendiri banyak cerita-cerita bertebaran di seluruh dunia, di mana terjadi praktek
asusila baik yang tak sejenis hetero seksual, maupun yang sejenis homoseksual antara dokter dan
pasien.[9]

Dalam batas-batas tertentu, mayoritas ulama memperbolehakan berobat kepada lawan jenis jika
sekiranya yang sejenis tidak ada, dengan syarat ditunggui oleh mahram atau orang yang sejenis.
Alasannya, karena berobat hukumnya hanya sunnah dan bersikap pasrah (tawakkal) dinilai
sebagai suatu keutamaan (fadlilah). Ulama sepakat bahawa pembolehan yang diharamkan dalam
keadaan darurat, termasuk pembolehan melihat aurat orang lain,ada batasnya yang secara umum
ditegaskan dalam al-quran ( Q.S Al-baqarah : 173; Al-anam :145 ;An-nahl : 115) dengan
menjauhi kezaliman dan lewat batas.[10]

Dalam pengobatan, kebolehan hanya pada bagian tubuh yang sangat diperlukan, karena itu,
bagian tubuh yang lain yang tidak terkait langsung tetap berlaku ketentuan umum tidak boleh
melihatnya. Namun, untuk meminimalisir batasan darurat dalam pemeriksaan oleh lawan jenis
sebagai upaya sadd al-Dzariat (menutup jalan untuk terlaksananya kejahatan), disarankan
disertai mahram dan prioritas diobati oleh yang sejenis.

Pembolehan dan batasan kebolehanya dalam keadaan darurat juga banyak disampaikan oleh
tokoh madzhab. Ahmad ibn Hanbal, tokoh utama mazhab hanbali menyatakan boleh bagi dokter/
tabib laki-laki melihat aurat pasien lain jenis yang bukan mahram khusus pada bagian tubuh yang
menuntut untuk itu termasuk aurat vitalnya, demikian pula sebaliknya, dokter wanita boleh
melihat aurat pasien laki-laki yang bukan mahramnya dengan alasan tuntutan.[11]

Di Indonesia, dalam fatwa MPKS disebutkan, tidak dilarang melihat aurat perempuan sakit oleh
seorang dokter laki-laki untuk keperluan memeriksa dan mengobati penyakitnya. Seluruh
tubuhnya boleh diperiksa oleh dokter laki-laki, bahkan hingga genetalianya, tetapi jika
pemeriksaan dan pengobatan itu telah mengenai genitalian dan sekiatarnya maka perlu ditemani
oleh seorang anggota keluarga laki-laki yang terdekat atau suaminya. Jadi, kebolehan berobat
kepada lain jenis dopersyaratkan jika yang sejenis tidak ada. Dalam hal demikian, dianjurakan
bagi pasien untuk menutup bagian tubuh yang tidak diobati. Demikian pula dokter atau yang
sejenisnya harus membatasi diri tidak melihat organ pasien yang tidak berkaitan langsung[12].

D.Kode etik kedokteran dan sifat-sifat yang harus dimiliki tenaga medis
Yang dimaksud dengan tenaga medik, ialah para dokter, sedang tenaga para medik ialah perawat,
bidan, laboran dan sebaginya. Mereka merupakan manusia-manusia yang mempunyai keahlian
yang terdidik dalam mengobati penyakit, dan merawat penderita, tingkah laku mereka yang baik
dapat mempercepat kesembuhan. Haruslah ada hubungan kejiwaan yang akrab antara mereka
dan penderita. Islam mengajarkan supaya usaha mulia ini haruslah didasarkan atas iman dan
pengbdian diri kepada-Nya.[13]

1.Sumpah Dokter dan Etika Kedokteran

Sejak permulaan sejarah umat manusia, orang sudah mengenal hubungan kepercayaan antara dua
insane yaitu si penderita dan sang pengobat, yang pada zaman modern ini disebut sebagai
hubungan dokter dengan pasien.

Rumusan-rumusan disiplin untuk para dokter itu mula pertama dikenal sebagai Sumpah
Hippocrates. Sumpah Hippocrates itu mengandung 6 buah nasehat atau peringatan yaitu :

a.mengajarkan ilmu kedokteran kepada mereka yang berhak menerimanya.

b.mempraktikkan ilmu kedokteran hanya untuk memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi


pasien.

c.tidak mengerjakan sesuatu yang berbahaya bagi pasien.

d.tidak melakukan keguguran buatan yang bersifat kejahatan.

e.menyerahkan perasat-perasat tertentu kepada teman-teman sejawat ahli dalam lapangan yang
bersangkutan.

f.Tidak mempergunakan kesempatan untuk melakukan kejahatan atau godaan yang mungkin
timbul dalam mengerjakan praktik kedokteran.
g.Hidup dalam keadaan suci dan sopan santun.

h.Memelihara rahasia jabatan.

Setiap nasihat dan peringatan tersebut diatas adalah dasar dari pada susila kedokteran dewasa ini.
[14]

Pada kode etik kedokteran terdapat point-point pada tiap-tiap babnya yaitu antara lain; kewajiban
umum, kewajiban dokter terhadap pasien, kewajiban dokter terhadap team sejawat, dan
kewajiban dokter terhadap diri sendiri.

Dalam kode etik kedokteran ( Islamic code of medical Etyhics), yang merupakan hasil dari First
international conferenceon Islamic Medicine yang diselenggarakan pada 6-10 Rabial awwal
1401 M di Kuwait dan selajutnya disepakati sebagai kode etik kedokteran islam, dirumuskan
beberapa karakteristik yang semestinya dimiliki oelh dokter muslim (tenaga kesehatan
umumnya). Isi kode etik kedokteran islam tersebut terdiri atas dua belas pasal. Rinciannya
disebutkan : Pertama, definisi profesi kedokteran. Kedua, ciri-ciri para dokter. Ketiga, hubungan
dokter dengan dokter. Keempat, hubungan dokter dengan pasien. Kelima, rahasia profesi.
Keenam, peranan dokter di masa perang. Ketujuh, taggung jawab dan pertanggungjawaban.
Kedelapan, kesucian jiwa manusia. Kesembilan, dokter dan masyarakat. Kesepuluh, dokter dan
kemajuan biomedis modern. Kesebelas, pendidikan kedokteran. Keduabelas, sumpah dokter.[15]

Melihat bagaimana besarnya amal dan pengabdian yang diberikan oleh dokter dan tenaa para
medik, maka islam menganjurkan beberapa sifat-sifat yang harus dipunyai antara lain :

1.Beriman

Sebab tanpa iman segala amal saleh sebagai dokter dan tenaga para medis akan hilang sia-sia
dimata Allah. (Q.S Al ashr : 1-3)

2.Tulus-ikhlas karena Allah (Q.S Al-bayyinah :5)

3.penyantun
Artinya ikut merasakan penderitaan orang lain dan Karena itu suka menolong orang lain dalam
kesukaran. (Q.S Al-baqarah : 263)

4.Peramah

Bergaul dengan tidak kaku dan menyenangkan. (Q.S Ali Imran : 159)

5.Sabar

Tidak lekas emosionil dan lekas marahQ.S Asy syura :43)

6.Tenang

Tidak gugup betapa pun keadaan gawat. (Dalam sabda Rasulullah : Tetaplah kamu bersikap
tenang riwayat At thabrani dan Bhaiqi)

7.Teliti

Berhati-hati, cermat dan rapi

8.Tegas

Terang,nyata, dan tidak ragu-ragu.

9.Patuh pada peraturan

Suka menurut perintah


10.bersih, apik , suci. (Q.S At taubah : 108)

11.Penyimpan rahasia (Q.S An-nisa 148)

12.dapat dipercaya (Q.S Al muminun : 1-11)

13.bertanggung jawab (Q.S Al isra : 36)[16]

Di dalam literatur lain, terdapat karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang tenaga kesehatan,
khususnya dokter adalah menurut Jafar Khadim Yamani, ilmu kedokteran dapat dikatan islami,
mempersyaratkan dengan 9 karakteristik, yaitu : pertama, dokter harus mesngobati pasien
dengan ihsan dan tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan Al-Quran. Kedua, tidak
menggunakan bahan haram atau dicampur dengan unsure haram. Ketiga, dalam pengobatan tidak
boleh mengakibatkan mencacatkan tubuh pasien, kecuali sudah tidak ada alternative lain.
Keempat, pengobatannya tidak berbau takhayyul, khurafat, atau bidah. Kelima, hanya dilakukan
oleh tenaga medis yang ,menguasaidi bidang medis. Keenam, dokter memiliki sikap-sikap
terpuji, tidak pemilik rasa iri, riya, tkabbur, senang merendahkan orang lain, serta sikap hina
lainnya. Ketujuh, harus berpenampilan rapid an bersih. Kedelapan, lembaga-lembaga pelayanan
kesehatan mesti bersikap simpatik. Kesembilan, menjauhkan dan menjaga diri dari pengaruh
atau lambing-lambang non-islami.[17]

Disamping itu menurut Dr. Zuhair Ahmad al- Sibai dan Dr. Muhammad ali al-Ba dalam
karyanya Al-Thabib, Adabu wa Fiqhuh (dokter, Etika, dan Fiqih Kedokteran), antara lain
dikemukan bahawa dokter muslim harus berkeyakinan atas kehormatan profesi , menjernihkan
nafsu,lebih mendalami ilmu yang dikuasai, menggunaka metode ilmiah dalam berfikir, kasih
sayang,benar dan jujur, rendah hati, bersahaja dan mawas diri.[18]

a.Berkeyakinan dan kehormatan atas profesi

Bahwa profesi kedokteran adalah salah satu profesi yang sangat mulia tapi tergantung dengan
dua syarat, yaitu :

-dilakukan dengan sngguh-sumngguh dan dengan penuh keikhlasan


-menjaga akhlak mulia dalamperilaku dan tindakan-tindakan sebagai dokter

Disamping itu, dokter selalu menjadi tumpuan pasien, keluarga, masyarakat , bahkan bangsa.
Mengingat kedudukan profesi kedokteran tersebut, seharusnya dalam menjalankan profesinya
tidak hanya berfikir tentang materi tetapi lebih kepada pengabdian dan perbaikan umat.
Keyakinan akan kehormatan profesi tersebut merupakan motivator untuk memelihara akhlak
yang baik dalam hubungannya dengan masyarakat.

b.berusaha menjernihkan jiwa

Kejernihan jiwa akan menentukan kualitas perbuatan manusia secara keseluruhan, jika seseorang
termasuk dokter hatinya jernih maka perbuatan akan selalu positif.

c.lebih mendalami ilmu yang dikuasai

Dalam hadist nabi disebutkan bahwa mencari ilmu merupakan kewajiban sepanjang hidup.
Sebagaimana diketahui bahwa ilmu pengetahuan iytu dari hari ke hari selalu mengalami
perkembangan. Karena itu, agar setiap dokter tidak ketinggalan informasi dan ilmu pengetahuan
dan lebih mendalami bidang profesinya, maka dituntut untuk selalu belajar. Dalam islam sangat
ditekankan dalam mengamalkansegala sesuatu agar dilakukan secara professional dan penuh
ketelitian.

d.Menggunakan metode ilmiah dalam berfikir

Bagi dokter muslim diharuskan dalam berfikir menggunakan metode ilmiah sesuai dengan
kaidah logika ilmiah sebagaimana terjabar dalam disiplin ilmu kedokteran modern. Ajaran islam
sangat menekankan agar berfikir atau merenung terhadap berbagai sebab, tujuannya agar
mendapat keyakinan yang benar.

e.Memiliki rasa cinta kasih

Rasa cinta kasih adalah cahaya yang timbul dari hati yang terdalam, dia akan dapat menyinari
orang lain, alam semesta dan segala sesuatu. Cahaya itu kemudian memantul kepada dirinya
sendirinya dan melimpah kepadanya kejernihan, kerelaan, dan kemantapan.
f.Keharusan Brsikap Benar dan Jujur

Benar dan jujur bagi seorang dokter yang selalu berkomunikasi dengan masyarakat merupakan
keharusan agar mendapat kepercayaan dari pasien dan masyarakat. Yang dimaksud dengan benar
dan jujur disini adalah sifat yang komprehensif mempunyai banyak makna, termasuk menepati
janji dan menunaikan amanah. Al-quran sangat menekankan sikap benar dan jujur, diantaranya
terdapat dalam firman Allah SWT ( Q.S At-taubat : 119)

g.Berendah hati (tawadhu)

Setiap orang, terutama orang yang melayani kepentingan umum termasuk dokter dituntut bersifat
rendah hati. Sifat yang sering membuat seseorang dijauhi dalam pergaulan biasanya karena
kesombongan dan keangkuhan. Kesombongan dan keangkuhan biasanya lahir karena ada
perasaan, ilmu, atau pengaruhnya. Ajaran islam sangat mengecam perbuatan angkuh dan
sombong. Disisi lain dijelaskan bahwa Allah akan mengangkat derajat ornag yang merendahkan
diri (tawadhu).

h.keadilan dan keseimbangan

dokter termasuk orang yang banyak berurusan dengan masalah manusia dan kemanusiaan.
Kehidupan seseorang termasuk dokter sangat ditentukan oleh kualitas hubungan dengan
masyarakat itu. Ajaran islam sangat menganjurkanuntuk berperilaku adil dan berkeseimbangan
dalam berbagai urusan, tidak berkelebihan atau over acting dalam gaya hidup, khususnya dalam
masalah tarif praktek,dan bayaran seghingga mengurangi dan menodaiprinsip-prinsip yang mesti
dijunjung tinggi sebagai pelayan masyarakat.

i.Mawas diri

Mengingat tugas dokter melayani masyarakat dan tanggung jawab menyangkut nyawa dan
keselamatan seseorang. Mereka sering menjadi sasaran tuduhan, itu dsebabkan adanya anggapan
masyarakat yang menganggap bahwa mereka adalah ornag yang paling mengetahui rahasia
kehidupan dan kematian. Dengan senantiasa mawas diri, seorang dokter muslim akan sadar atas
segala kekurangannya sehingga di masa mendatang akan memperbaikinya, juga akan terhindar
dari berbagai sifat tercela lain seperti sombong, riya, angkuh, dan lainnya.
j.ikhlas, penyantun, ramah, sabar, dan tenang.

Dokter muslim juga harus ikhlas dalam menjalankan pekerjaannya, semua dilakukan sebagai
ibadah untuk mencari ridha Allah. Berbuat ikhlas sangat dituntut dalam islam, sebagai mana
dinyatakan dalam Al-Quran (Q.S Al-Bayyinat:5).

Dokter muslim juga dituntut penyantun, ikut merasakan penderitaan orang lain sehingga
berkeinginan untuk menolongnya. Dokter muslim juga dituntut ramah, bergaul dengan luwes,
dan menyenangkan. Juga dituntuk bersikap sabar, tidak emosional dan lekas marah, tenang
penyantun, ramah, sebagaimana dianjurkan dalam ayat Al-Quran (Q.Sali imran: 159)[19]

Dokter muslim juga dituntut bersikap tenang, tidak gugup dalam menghadapi segawat apapun.

Demikianlah konseptenaga kesehatan muslim khususnya untuk dokter yang dapat mencerminkan
nilai-nilai islam sesungguhnya. Diharapkan dengan mengetahui nilai-

[1] Salafytobat, Bersentuhan dengan wanita, bacaan alfatihah, haji/umrah, gerakan jari shalat
(Jakarta, 2008)

[2] AMR abdul Munim. 30 Larangan agama bagi wanita (Jakarta, 1998). Hal 42.

[3]Salafytobat, Bersentuhan dengan wanita, bacaan alfatihah, haji/umrah, gerakan jari shalat
(Jakarta, 2008)
[4] Dr. H. .Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1(Jakarta, 1995),
hal. 113

[5] Dr. H. Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1(Jakarta, 1995),
hal. 114-117.

[6] A. sihabuddin. Telaah kritis atas doktris faham salafi/wahabi (www.google.com , 2009)
[7] Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta,2003), hal. 108.

[8] Dr. H. Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1(Jakarta, 1995),
hal. 122.

[9] Dr. H. Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1(Jakarta, 1995),
hal. 122 dan 125.

[10] Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta,2003), hal.
130.

[11] Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta,2003), hal. 132.

[12] Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta,2003), hal.
133.

[13]Dr. H. Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1(Jakarta, 1995),
hal. 89.

[14]Dr. H. Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1(Jakarta, 1995),
hal. 91-92.

[15] Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta, 2003), hal. 88.

[16] Dr. H. Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1(Jakarta, 1995),
hal. 97-108.

[17] Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta, 2003), hal. 87-
88.
[18] Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta, 2003), hal. 90.

[19] Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta, 2003), hal. 97.

Kesimpulannya....Dienul Islam mengatur hubungan antar manusia tak terkecuali hubungan


antara laki-laki dan perempuan. Pada Al-quran, sunah Rasulullah SAW, serta pendapat para
ulama dapat diketahui bahwa antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim terdapat
batasan-batasan dalam berinteraksi, seperti adanya larangan untuk besentuhan (bersalaman) ,
larangan untuk berdua-duaan (berkhalawat).

Dari beberapa madzhab yang ada antara lain dari Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki,Madzhab
SyafiI, dan Madzhab Hanbali dapat diketahui bahwa Rasulullah pun sangat menjaga hubungan
dengan kaum hawa.

Walaupun saat ini mungkin masih banyak kaum muslimin yang tidak terlalu memperhatikan hal
tersebut karena alasan tata krama dan kesopanan. Tapi bagaimana pun memang selayaknya kita
sebagai kaum muslimin menjalankan sunnah Rasulullah SAW yang merupakan rahmatan lil
alamin.

Pada kenyataannya di masyarakat saat ini, khususnya pada tempat pelayanan kesehatan, banyak
sekali interaksi antara tenaga kesehatan dan pasiennya yang sering bertolak belakang dengan
aturan yang ada dalam islam mengenai hubungan anara laki-laki dan perempuan yang bukan
muhrim. Misalnya saja pada prosedur pemeriksaan pasien yang mengharuskan pasien membuka
auratnya dan disentuh (untuk pemeriksaan) oleh tenaga kesehatan. Contohnya yaitu pemeriksaan
fisik oleh dokter, pemasangan kateter oleh perawat, operasi alat vital oleh tim dokter, serta
tindakan medis lainnya.

Akan tetapi, Islam bukanlah agama yang monoton. Islam juga telah mengatur semua yang akan
dihadapi oleh anak cucu Adam. Dalam islam juga telah dijelaskan bahwa Islam memang
mengenal darurat yang akan meringankan suatu hukum. Ada kaidah Idzaa dhoogal amr ittasi
(jika kondisi sulit, maka Islam memberikan kemudahan dan kelonggaran). Bahkan Kaedah lain
menyebutkan: Kondisi darurat menjadikan sesuatu yang haram menjadi mubah.

Disamping hal itu, pihak institusi kedokteran terkait pun telah membuat suatu kode etik atau
aturan-aturan yang dapat mengatur tindakan tenaga kesehatan agar dalam menjalankan tugasnya
tetap mampu mencerminkan diri sebagai tenaga kesehatan yang islami. Mereka juga harus
memiliki sikap-sikap yang dapat meningkatkan hubungan serta komunikasi mereka dengan
pasien dan keluarganya agar terjalin kerjasama yang baik. Tidak hanya itu, Islam pun
menganjurkan agar tenaga medis itu memiliki karakteristik yang dapat membuat mereka benar-
benar menjadi tenaga kesehatan yang islami antar lain harus berkeyakinan atas kehormatan
profesi , menjernihkan nafsu,lebih mendalami ilmu yang dikuasai, menggunakan metode ilmiah
dalam berfikir, kasih sayang,benar dan jujur, rendah hati, bersahaja dan mawas diri.

Jadi dapat disimpulkan secara keseluruhan bahwa dalam kondisi darurat diperbolekan bagi
tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan medis kepada pasiennya yang berbeda jenis kelamin
jika itu benar-benar akan mendatangkan banyak kemaslahatan bagi pasien dengan syarat-syarat
yang telah diatur pula misalnya pasien yang tetap ditemani oleh keluarganya saat pemeriksaan
ataupun hanya memeriksa bagian tubuh pasien yang perlu-perlu saja. Tenaga kesehatan pun
harus dituntut untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan kode etik yang telah dibuat oleh
institusi terkait dan mereka juga harus memiliki sikap dan jiwa yang sesuai dengan syariat islam
agar dapat mencerminkan diri sebagai tenaga kesehatan yang islami pula.

Lhie_za at 5:54 AM
No comments:
Post a Comment

Home
View web version
Powered by Blogger.

blogspot.com
Baru saja dioptimalkan
Lihat yang asli
Islamic Centre

Monday, January 21, 2013


HUKUM DOKTER DAN PASIEN YANG BEDA JENISNYA/ BUKAN MUHRIMNYA
DALAM ISLAM
I.Pendahuluan
Agama Islam tidak memandang wanita sebagai benda najis, titisan roh halus, iblis dan berbagai
hinaan dan cacian lainnya, sebagaimana yang menjadi kepercayaan agama kuno di Eropa.
Sebaliknya justru Islam memuliakan para wanita, agama Islam juga tidak mengurung wanita di
dalam rumah, atau mengharamkan para wanita keluar rumah, bekerja atau bersosialisasi. Asalkan
semua itu tetap menjaga batas-batas yang telah ditentukan di dalam syariat Islam. Khusus di
dalam masalah kesehatan dan kedokteran, Islam justru memberikan peran besar bagi para wanita
untuk terjun ke dalamnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa rumah sakit pertama yang dibangun
dalam sejarah Islam adalah tenda milik seorang wanita, di mana di dalamnya para korban luka
perang dirawat oleh para wanita juga.
Dalam pembahasa kali ini akan di jelaskan secara singkat berkaitan hukum dokter dan pasien
yang berbeda jenis, apa saja landasan hukum yang dipakai, bagaimana pendapat para ulama
tentang hukum dokter dan pasien yang bukan muhrimnya, dan bagaimana menganalisa tentang
hukum tersebut.
II.Landasan Hukum
A.Al-Quran
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Q.S. Al-Maidah : 2)
Dan Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang
terpaksa kamu lakukan. (Q.S. Al-Anam : 119)
B.Hadits

Siapa yang mampu untuk dapat bermanfaat buat saudaranya, maka berilah manfaat. (H.R.
Muslim)


Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit melainkan di turunkan-Nya pula obatnya, yang
diketahui oleh orang yang mengerti dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya.
(H.R. Ahmad)




Dari Abdir-Rahman bin Abi Sa`id al-Khudri, dari ayahnya, bahwasanya Nabi SAW. bersabda:
Janganlah seorang lelaki melihat kepada aurat lelaki (yang lain), dan janganlah seorang wanita
melihat kepada aurat wanita (yang lain)". (H.R. Muslim)
C.Pandangan Ulama
1.Fatwa Syaikh Muhammad Saleh Al-Utsmani RA. Dalam kitab Wa Rasaail Syaikh Ibnu
Utsmaimin Juz 1 halaman 30, Syamilah.




Sesungguhnya seorang wanita yang mendatangi dokter lelaki di saat tidak ditemukan dokter
wanita tidaklah mengapa, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama, dan dibolehkan bagi
wanita tersebut membuka di hadapan dokter lelaki semua yang dibutuhkan untuk dilihat, hanya
saja disyaratkan harus ditemani mahram tanpa khalwat dengan dokter lelaki tersebut, sebab
khalwat diharamkan, dan ini termasuk kebutuhan. Telah disebutkan pula oleh para ulama
semoga Allah merahmati mereka- bahwa perkara ini dibolehkan karena dia diharamkan dengan
sebab sebagai wasilah (pengantar kepada zina) dan sesuatu yang diharamkan karena dia sebagai
wasilah dibolehkan dalam kondisi dibutuhkan.
2.Fatwa Lajnah Daimah dalam fatwa bi ruqmi, wa tarikhul. Jannatiddaimati lil buhusil alamiyati
wal iftai No. 3201 tanggal 1/9/1400 H
,
,
. ,
Jika memungkinkan membuka aurat wanita tersebut dan mengobatinya pada dokter wanita yang
muslimah, maka tidak boleh baginya membuka auratnya dan melakukan pengobatan kepada
dokter lelaki meskipun dia seorang muslim. Namun jika tidak memungkinkan, dan ia terpaksa
melakukannya karena pengobatan, maka boleh dibuka auratnya oleh dokter lelaki muslim
dengan kehadiran suaminya atau mahramnya, karena dikhawatirkan fitnah atau terjatuh kedalam
perkara yang tidak disukai akibatnya. Jika tidak ditemukan dokter lelaki muslim, maka
dibolehkan dokter lelaki kafir dengan syarat yang telah disebutkan.[1]
III.Analisis
Islam sangat menghargai tugas kesehatan, karena tugas ini adalah tugas kemanusiaan yang
sangat mulia, sebab menolong sesama manusia yang sedang menderita. Dan menurut Islam,
hubungan antara petugas kesehatan dengan pasien adalah sebagai hubungan penjual jasa dengan
pemakai jasa, sebab si pasien dapat memanfaatkan ilmu, keterampilan, keahlian petugas
kesehatan, sedangkan petugas kesehatan memperoleh imbalan atas profesinya berupa gaji atau
honor. Karena itulah terjadilah akad ijarah antara kedua belah pihak, ialah suatu akad, di mana
satu pihak memanfaatkan barang, tenaga, pikiran, keterampilan, dan keahlian pihak lain, dengan
memberi imbalannya.[2]
Namun semua itu ada ukuran dan batasannya. Dalam masalah merawat dan mengobati pasien di
dalam dunia kedokteran, secara umum Islam mengizinkan hal itu terjadi walau antara laki-laki
dan perempuan. Dalam hal ini bisa saja dokter laki-laki dan pasiennya perempuan, atau
sebaliknya. Kecuali untuk jenis penyakit tertentu dan penanganan tertentu yang mengharuskan
dengan sesama jenis.
1.Haram Melihat Aurat
Laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri atau mahram, diharamkan saling melihat aurat.
Dari Ummi Hani berkata, Aku mendatangi Rasulullah SAW. di tahun kemenangan, namun
beliau sedang mandi dan Fatimah menutupinya. Beliau SAW. bertanya, siapakah anda?. Dan
aku pun menjawab, Umu Hani. (H.R. Bukhari)
Keharaman laki-laki melihat aurat wanita dan wanita melihat aurat laki-laki pada dasarnya
berlaku dalam urusan perawatan kesehatan dan penyembuhan. Tentu dikecualikan dalam
keadaan darurat yang mempertaruhkan nyawa atau yang memenuhi ketentuan syariat.
2.Haram Menyentuh
Keharaman menyentuh tubuh atau kulit dari lawan jenis adalah hal yang telah menjadi
kesepakatan para ulama, atau pendapat jumhur ulama. Kalau pun ada pengecualian, namun
hukum asalnya adalah at-tahrim (keharaman).
Dari Aisyah RA. Berkata, Telapak tangan Rasulullah SAW. tidak pernah menyentuh telapak
tangan seorang perempuan pun, dan beliau bersabda ketika membaiat para wanita: Aku telah
membaiat kalian lewat ucapan. (H.R. Muslim)
Dan pada dasarnya keharaman sentuhan kulit ini juga berlaku pada dokter atau perawat laki-laki
yang menangani pasien perempuan, dan dokter atau perawat perempuan yang menangani pasien
laki-laki. Tentu dikecualikan dalam keadaan darurat yang mempertaruhkan nyawa, atau yang
memenuhi ketentuan syariat.
3.Haram Berduaan
Selain diharamkan melihat aurat dan menyentuhnya, laki-laki dan perempuan yang bukan
mahram juga diharamkan untuk bersepi-sepi berdua. Tanpa ada kehadiran mahram.[3]
Adapun duduk berkhalwat dengan dokter pria, meskipun dalam waktu yang lama, semata-mata
hanya karena tujuan pengobatan dan selama dokter itu seorang muslim yang dapat dipercaya dan
baik akhlaknya dan selama itu merupakan keharusan, maka hal itu tidak dilarang.[4]
Dalam keadaan darurat itu membolehkan segala yang dilarang, menurut kaidah Ushul fiqh yang
disepakati oleh sekalian ulama ushul. Dengan demikian, dokter boleh melihat dan memegang
bagian badan yang memerlukan pengobatan dan pemeriksaan sekalipun kepada aurat terbesar. Ini
berlaku umum baik terhadap tubuh pria maupun tubuh wanita atau sebaliknya.[5]
[1] http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1694 diakses 9 November 2012.
[2] Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, vol. III, (Libanon: Darul Fikar, 1981), hlm. 198 205.
[3] Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (13) : Kedokteran, (Jakarta: DU Publishing, 2011),
hlm. 306 310.
[4] Muhammad Mutawalli Syarawi, Anda Bertanya Islam..., hlm. 404
[5] Said Abdullah Al-Hamdani, Risalah Djanaiz, (Bandung: P.T. Al-Maarif, t.th.), hlm. 19.
Ahmad Multazam at 3:17 PM
Share
No comments:
Post a Comment
Links to this post
Create a Link

Home
View web version
About Me

My Photo
Ahmad Multazam
Follow
Knowledge is being aware of what you can do. Wisdom is knowing when not to do it.
View my complete profile
Powered by Blogger.

Anda mungkin juga menyukai