Anda di halaman 1dari 8

Direktorat Jenderal Pajak - Tax Knowledge Base

Tax FAQ : PPh BUT

FAQ Kasus terkait Bentuk Usaha Tetap (Validasi


Direktorat PP II)

1. Penentuan BUT menggunakan time test dilihat berdasarkan keadaan fisik yang sebenarnya atau
berdasarkan kontrak?

Jawaban :

BUT adalah suatu sarana bagi non-resident taxpayer untuk melakukan usaha di negara lain. Secara
umum BUT dibagi menjadi 3, yaitu BUT asset, BUT aktivitas, dan BUT keagenan. Dalam hal terdapat
BUT yang bersifat aset seperti cabang, kantor, tempat kedudukan manajemen, atau pabrik maka aset
tersebut akan menjadi BUT tanpa memperhitungkan adanya time test. Hal tersebut juga berlaku atas
BUT yang bersifat keagenan, ketika aktifitas keagenan sebagaimana dimaksud Article 5 Paragraph (5)
UN Model Double Taxation Convention maka akan timbul BUT. Time test berlaku untuk BUT yang
bersifat aktivitas sebgaimana diatur dalam Article 5 Paragraph (3) UN Model/OECD Model Double
Taxation Convention, dengan memperhatikan fakta yang sebenarnya.

Dapat dilihat dari kontraknya terlebih dahulu, jika memang di kontrak sudah diketahui bahwa jangka
waktu akan melewati time test yang ada di P3B maka sudah dapat ditentukan sebagai BUT. Terlebih jika
secara fisik memang sudah melewati time test, maka pasti termasuk sebagai BUT.
Validasi Direktur Peraturan Perpajakan II
ND-808/PJ.035/2012
tanggal 24 Mei 2012

2. Pasal 26 ayat (4) UU PPh atas BUT yang penghasilannya dikenakan pajak bersifat final. Bagaimana
mekanisme perhitungan Branch Profit Tax nya?

Jawaban :

Dasar penghitungan Branch Profit Tax (BPT) nya didapatkan dari laba/keuntungan perusahaan yang
telah dikurangi biaya-biaya yang diakui secara fiskal dan kemudian dikurangi dengan Pajak Penghasilan
yang bersifat final tsb.
Contoh:
BUT yang bergerak dibidang jasa konstruksi, yang dikenakan PPh final dengan tarif 3%.

Laba bruto = 100 juta


Biaya-biaya yg diakui secara fiskal = 30 juta
Laba bersih = 70 juta
PPh final (100jtx3%) = 3 juta
Dasar perhitungan BPT = 67 juta

Validasi Direktur Peraturan Perpajakan II


ND-808/PJ.035/2012
tanggal 24 Mei 2012

3. PT A meminjam uang kepada bank di Cina. Bank di Cina tersebut memiliki BUT di Indonesia. Uang
ditransfer dari bank di Cina langsung ke PT A tanpa melalui BUT ini. Apakah akan dikenakan PPh
Pasal 23 dan apakah bukti potong dibuat atas nama BUT?

Jawaban :

Jika pertanyaannya adalah bagaimana pengenaan PPh pasal 23, maka atas penghasilan yang diterima
bank tidak dikenakan pemotongan PPh pasal 23, sesuai Pasal 23 ayat (4) huruf a. Untuk P3B Indonesia
dengan Cina mengenai Article 7 paragraph 1 tentang Business Profit dinyatakan seperti berikut:

"The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that Contracting State unless
the enterprise carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment
situated therein. If the enterprise carries on business as aforesaid, the profits of the enterprise may be
taxed in the other Contracting State but only so much of them as is directly or indirectly attributable to
that permanent establishment. The provisions of this paragraph shall, however, not apply if the
enterprise proves that the above activities are not undertaken by the permanent establishment or have no
relation with the permanent establishment."

Maka jika kantor pusat di Cina dapat membuktikan bahwa BUT nya di Indonesia tidak memiliki
hubungan dengan aktivitas yang dilakukan oleh Kantor Pusat dan PT A, maka penghasilan yang
diterima Kantor Pusat tidak dapat diberlakukan force of attraction ke BUT nya di Indonesia.

Bunga yang dibayarkan oleh PT A merupakan penghasilan BUT dari bank di Cina yang berada di
Indonesia dan bukan merupakan objek Pemotongan PPh Pasal 23, tetapi tetap dilaporkan di SPT
Tahunan PPh BUT tersebut.

Validasi Direktur Peraturan Perpajakan II


ND-808/PJ.035/2012
tanggal 24 Mei 2012

4. Perusahaan Asuransi di Indonesia melakukan reasuransi di Singapura, dalam reasuransi ini dia
menggunakan broker Singapura. Seluruh pembayaran dilakukan kepada broker, bukan kepada pihak
tempat dia melakukan reasuransi. Pihak manakah (pihak broker atau tempat reasuransi) yang harus
mengisi form DGT nya?

Jawaban :

Pihak yang harus mengisi DGT untuk dapat menerapkan P3B adalah pihak yang menandatangani
kontrak dengan perusahaan asuransi di Indonesia. Jika pembayaran seluruhnya dilakukan kepada broker,
maka brokerlah yang harus mengisi form DGT nya, namun biasanya broker hanya bertindak sebagai
perantara. Tetapi jika ada pembayaran kepada pihak broker dan juga pembayaran kepada perusahaan
reasuransi, maka yang akan mengisi DGT adalah broker dan juga perusahaan reasuransi.(Jadi harus
dipastikan terlebih dahulu posisi broker dalam kasus ini).

Validasi Direktur Peraturan Perpajakan II


ND-808/PJ.035/2012
tanggal 24 Mei 2012

5. Bagaimana perlakuan perpajakan bagi BUT di Indonesia yang mengakui suatu pembayaran kepada
kantor pusat yang berada di Luar Negeri atas pemberian jasa dari kantor pusat kepada BUT tersebut?

Jawaban :

Pembayaran dari BUT kepada kantor pusat atas pemberian jasa tidak boleh menjadi biaya/ pengurang
penghasilan bagi BUT tersebut (Pasal 5 ayat (3) huruf b UU PPh).

Validasi Direktur Peraturan Perpajakan II


ND-808/PJ.035/2012
tanggal 24 Mei 2012

6. PT A bergerak dibidang usaha pelayaran di jalur Internasional. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga
kerja di kapal, PT A memanfaatkan jasa outsourcing tenaga kerja dari perusahaan di Singapura, sebut
saja X, Ltd. Atas jasa yang diberikannya, X Ltd memberikan tagihan kepada PT A dengan rincian gaji
tenaga kerja dan fee.
Pertanyaannya:
Bagaimana perlakuan PPh atas biaya gaji dan fee-nya?

Jawaban :

Jika tagihan atas fee dan gaji digabung, dan perusahaan outsourcing di Singapura dapat menyerahkan
SKD (Form DGT 1), maka harus dilihat ketentuan mengenai bussiness profit (Article 7 Tax Treaty
Indonesia-Singapura). Jika perusahaan outsourcing tersebut tidak memiliki BUT di Indonesia maka
Indonesia tidak memiliki hak pemajakan atas semua tagihan. Oleh karena itu keseluruhan tagihan
tersebut (fee dan jasa digabung) tidak akan dikenakan pajak apapun di Indonesia. Tetapi jika perusahaan
outsoursing tersebut tidak dapat menyerahkan formulir DGT, maka tidak dapat menggunakan ketentuan
yang ada didalam tax treaty sehingga atas penghasilan dari jasa outsourcing yang diberikan kepada
perusahaan pelayaran di Indonesia akan dikenakan PPh pasal 26. (Pasal 26 ayat (1) huruf e).

Jika tagihan atas fee dan gajinya terpisah dan perusahaan outsourcing di Singapura dapat menyerahkan
DGT dan perusahaan outsourcing tersebut tidak memiliki BUT, maka hanya atas fee-nya saja yang
tidak dilakukan pemotongan. Sedangkan atas tagihan gaji dari karyawan yang dipekerjakan di
perusahaan pelayaran tersebut akan mengikuti ketentuan mengenai "dependent personal service" yang
ada didalam Tax Treaty Indonesia-Singapura.

Dalam hal gaji tenaga kerja dibayarkan dan ditanggung oleh PT A (terpisah dari fee) maka harus
memperhatikan ketentuan pasal 7 ayat (3) P3B RI-Singapura tentang dependent personal services.

Validasi Direktur Peraturan Perpajakan II


ND-808/PJ.035/2012
tanggal 24 Mei 2012

7. PT A ada kontrak hedging atas komoditas minyak dengan pihak bank di Singapura. Atas transaksi
lindung nilai ini sudah dibayarkan preminya. Bagaimana perlakuan perpajakan atas transaksi ini?

Jawaban :

Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya merupakan objek pemotongan PPh pasal 26 (Pasal 26 ayat (1)
huruf g UU 36 tahun 2008). Jika pihak Singapura dapat menyerahkan DGT, maka harus dilihat ketentuan
didalam P3B Indonesia-Singapura. (lihat Article 7mengenai Business Profit).

Validasi Direktur Peraturan Perpajakan II


ND-808/PJ.035/2012
tanggal 24 Mei 2012

8. Jika ada PT A menyewa barang bergerak berupa mesin dari perusahaan di Singapura, dimana
perusahaan di Singapura tersebut mempunyai main business bukan dibidang sewa-menyewa mesin,
tetapi dibidang perdagangan, maka bagaimana perlakuan PPh atas sewa mesin tersebut?
(Asumsi: menggunakan ketentuan didalam Tax Treaty)

Jawaban :

Untuk penghasilan yang diterima oleh perusahaan di Singapura, jika menggunakan P3B RI-Singapura
maka akan masuk kedalam ketentuan Pasal 5 tentang Bentuk Usaha Tetap dan Pasal 7 tentang Laba
usaha. Penghasilan tersebut dianggap sebagai bussiness profit dari perusahaan di Singapura, namun jika
mesin tersebut berada dalam jangka waktu yang lama dan melewati time test yang ada di Article 5 dari
Tax Treaty Indonesia-Singapura, yaitu lebih dari 183 hari, maka mesin tersebut akan dianggap sebagai
BUT dari perusahaan di Singapura tersebut.

Validasi Direktur Peraturan Perpajakan II


ND-808/PJ.035/2012
tanggal 24 Mei 2012

9. Jika ada WNA yang pernah memiliki NPWP karena pernah bekerja dan memperoleh penghasilan di
Indonesia, namun 2 (dua) tahun terakhir WNA tersebut pergi ke luar negeri dan tidak lagi mendapat
penghasilan di Indonesia tetapi NPWP atas nama WNA tersebut tidak pernah dihapuskan.
Pertanyaannya:
Pada tahun 2011, WNA tersebut kembali mendapatkan penghasilan dari Indonesia atas pemberian
jasanya kepada perusahaan di Indonesia, tetapi WNA tersebut tidak datang ke Indonesia, bagaimana
perlakuan PPh terhadap WNA tersebut? Apakah akan dikenakan PPh Pasal 21 atau PPh pasal 26?

Jawaban :

Belum dihapuskannya NPWP WNA tersebut adalah masalah administrasi. Harus dilihat substansi
apakah WNA tersebut masih dianggap sebagai WPDN atau sudah menjadi WPLN. Jika WNA tersebut
sudah tidak memenuhi ketentuan lagi sebagai WPDN sesuai UU PPh ataupun P3B, maka jika WNA
tersebut menerima penghasilan lagi dari Indonesia akan dipotong PPh Pasal 26.

Validasi Direktur Peraturan Perpajakan II


ND-808/PJ.035/2012
tanggal 24 Mei 2012

Dicetak 10 March 2017 - 10:32

Anda mungkin juga menyukai