Zahida
JAKARTA
2013 M / 1434 H
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya serta karunianya kepada kami sehingga makalah yang berjudul Peningkatan Kualitas
Tanaman dan Konsep Biosalinitas dapat kami selesaikan dengan baik. Shalawat serta
salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bioteknologi dan juga
sebagai bahan rujukan yang dapat membantu proses pembelajaran, khususnya pada mata
kuliah Bioteknologi yang berkaitan dengan materi yang dibahas dalam makalah ini.
Penulis
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar isi ii
BAB 1 : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan penulisan makalah 2
D. Metode Penulisan Makalah 2
A. Pengertian Biosalinitas
B. Pengaruh Biosalinitas terhadap Pertumbuhan Tanaman
C. Penerapan Bioteknologi dalam Mengatasi Biosalinitas
A. Kesimpulan 11
B. Saran 11
DAFTAR PUSTAKA 12
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Air diserap oleh akar tanaman melalui suatu proses yang disebut osmosis. Osmosis
merupakan proses pergerakan air dari tempat dengan konsentrasi garam yang rendah ke
tempat yang memiliki konsentrasi garam tinggi. Jika konsentrasi garam di dalam tanah tinggi,
pergerakan air dari tanah ke akar melambat. Jika konsentrasi garam pada tanah lebih tinggi
dibandingkan dengan di dalam sel-sel akar, tanah akan menyerap air dari akar, dan tanaman
akan layu dan mati. Berdasarkan kondisi tersbut diatas proses penyerapan hara atau air sangat
dipengaruhi oleh konsentrasi garam dalam larutan. Konsentrasi garan selain dipengaruhi oleh
osmosis juga ditentukan oleh kandungan Na+ and Cl-. Kadar NaCl (salinitas) dapat
berdampak pada keracunan tanaman. Sehingga keberadaan garam akan berpengaruh terhadap
produksi tanaman.
Salinitas didefinisikan sebagai adanya garam terlarut dalam konsentrasi yang
berlebihan dalam larutan tanah.. Pengaruh utama salinitas adalah berkurangnya pertumbuhan
daun yang langsung mengakibatkan berkurangnya fotosintesis tanaman. Salinitas mengurangi
pertumbuhan dan hasil tanaman pertanian penting dan pada kondisi terburuk dapat
menyebabkan terjadinya gagal panen. Pada kondisi salin, pertumbuhan dan perkembangan
tanaman terhambat karena akumulasi berlebihan Na dan Cl dalam sitoplasma, menyebabkan
perubahan metabolisme di dalam sel. Aktivitas enzim terhambat oleh garam. Kondisi tersebut
juga mengakibatkan dehidrasi parsial sel dan hilangnya turgor sel karena berkurangnya
potensial air di dalam sel. Berlebihnya Na dan Cl ekstraselular juga mempengaruhi asimilasi
nitrogen karena tampaknya langsung menghambat penyerapan nitrat (NO3) yang merupakan
ion penting untuk pertumbuhan tanaman
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan salinitas ?
2. Bagaimana pengaruh salinitas terhadap pertumbuhan tanaman ?
3. Bagaimana penerapan bioteknologi dalam mengatasi biosalinitas ?
D. Metode Penulisan
Makalah ini disusun berdasarkan referensi (tinjauan pustaka) dari buku, yang
berkaitan dengan medah mayat atau otopsi jenazah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Biosalinitas
2
Salinitas merupakan akumulasi garam-garam terlarut di dlam lapisan tanah, akibat
dari proses alam atau kegiatan irigasi yang dapat berdampak buruk bagi pertumbuhan
tanaman bila terdapat dalam jumlah yang berlebihan. Akumulasi garam terjadi bila garam-
garam tesebut dibawa ke dalam tanah oleh air dan secara selektif akan terangkut ke
permukaan tanah karena adanya evaporasi (Yulita Pasaribu, 2007)
3
Kelebihan kadar garam dalam tanah akan meracuni tanaman dan merupakan stres
lingkungan bagi tanaman. Kadar garam yang tinggi akan menghambat perkecambahan benih,
perkembangan akar, tinggi tanaman, kualitas serta kuantitas produksi, daya serap tanaman
terhadap unsur hara, menghambat pertukaran gas dan menurunkan potensial total air serta
potensial osmotik yang akhirnya dapat merusak jaringan tanaman.
Garam mempengaruhi pertumbuhan tanaman umumnya melalui: (a) keracunan yang
diakibatkan penyerapan unsur penyusun garam secara berlebihan, seperti sodium, (b)
penurunan penyerapan air, dikenal sebagai cekaman air dan (c) penurunan dalam penyerapan
unsur-unsur penting bagi tanaman khususnya potasium.
Gejala awal munculnya kerusakan tanaman oleh salinitas adalah (a) warna daun yang
menjadi lebih gelap daripada warna normal yang hijau-kebiruan, (b) ukuran daun yang lebih
kecil dan (c) batang dengan jarak tangkai daun yang lebih pendek. Jika permasalahannya
menjadi lebih parah, daun akan (a) menjadi kuning (klorosis) dan (b) tepi daun mati
mengering terkena burning (terbakar, menjadi kecoklatan).
Menurut Yuniati. 2004 bahwa respon pertumbuhan terhadap salinitas seringkali
dianggap sebagai dasar evaluasi untuk toleransi. Penelitian Yuniati (2004) perlakuan
konsentrasi 70 mM pada tanaman kedelai hampir seluruh galur belum terlalu menunjukkan
gejala keracunan. Di atas 70 mM, pertumbuhan mulai terhambat, kecenderungan perubahan
rasio Berat Basah/Berat Kering (BB/BK). Pada konsentrasi NaCl 90 dan 100 mM, rasio
BB/BK yang lebih tinggi menjadi ciri galur yang toleran (Wilis, Malabar dan Sindoro)
dibanding dengan yang tidak toleran. Tingginya rasio BB/BK galur Wilis, Malabar dan
Sindoro menunjukkan bahwa penyerapan air relatif tidak terganggu, terutama pada salinitas
tinggi, sementara pada galur lainnya penyesuaian osmotikum tersebut tampaknya terganggu,
terlebih untuk galur Lumut, YBL, Sriyono, dan Si Cinang sehingga kurang dapat beradaptasi
terhadap NaCl 100 mM. Maka kemungkinan dengan konsentrasi di atas 100 mM akan
menyebabkan kematian tanaman. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Katsuhara dan Kawasaki pada tanaman barley, yakni pemberian NaCl 100 mM pada media
tumbuh mengurangi pertumbuhan akar hingga 34% dan pemberian 200 mM menyebabkan
hampir tidak ada pertumbuhan.
Meskipun keracunan NaCl lebih terlihat pada pucuk, tetap terjadi pengurangan
panjang akar akibat perlakuan. Hal tersebut disebabkan karena selsel meristem akar sensitif
terhadap garam sementara aktivitas mitosis sel-sel tersebut sangat tinggi untuk pertumbuhan
akar. Mekanisme selular kerusakan akibat keracunan garam (salt injury) pada akar belum
banyak diketahui. Alasan yang mungkin mendasari terjadinya pengurangan pertumbuhan akar
4
dalam kondisi cekaman garam. Yang pertama adalah hilangnya tekanan turgor untuk
pertumbuhan sel karena potensial osmotik media tumbuh lebih rendah disbanding potensial
osmotik di dalam sel, sedangkan alasan yang kedua adalah kematian sel. Kematian sel
disebabkan karena 4 jam setelah mengalami cekaman garam, inti sel mengalami perubahan
bentuk, dan 16 jam setelah cekaman, inti sel hancur.
Toleransi tanaman terhadap kondisi lingkungan bergaram diukur berdasarkan
besarnya penurunan pertumbuhan pada kondisi beragam dibandingkan dengan kondisi
normal (Bintoro, 1989). Umumnya tanaman toleran memiliki mekanisme ketahanan di dalam
sel dan jaringan tubuhnya untuk mengurangi pengaruh negatif dari kadar garam yang tinggi.
Mekanisme katahanan ini dapat berupa mekanisme penghindaran dan mekanisme toleran.
Konsentrasi garam yang tinggi akan meningkatkan tekanan osmotik larutan tanah
sekitar perakaran dan menurunkan potensial air, sehingga air dalam larutan tanah sulit diserap
oleh tanaman, bahkan air cenderung keluar menuju larutan tanah dan sel mengalami
plasmolisis (Bintoro, 1989). Tanaman dalam kondisi seperti ini akan berusaha meningkatkan
kembali tekanan osmotiknya dengan mensekresikan gula dan asam amino ke sitoplasma
untuk mencegah terjadinya dehidrasi dan kematian. Energi hasil fotosintesis yang digunakan
untuk mensekresikan gula dan asam amino cukup besar sehingga energi untuk pertumbuhan
tanaman berkurang dan produksi akan menurun. Proses ini disebut dengan penyesuaian
osmotic yang termasuk bagaian dari mekanisme penghindaran tanaman dalam kondisi salin.
Pada tanaman yang memiliki tingkat toleransi tinggi terhadap salinitas, NaCl yang
jumlahnya berlebih di dalam jaringan tanaman akan ditimbun dalam vakuola sel daun. Hal ini
untuk menjaga agar konsentrasi NaCl dalm sitoplasma dan organela tetap rendah sehingga
tidak akan mengganggu aktivitas enzim dan metabolism lain dalam jaringan tanaman.
Menurut Biontoro (1989), mekanisme toleransi tanaman terhadap salinitas secra
keseluruhan dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
1. Adanya perubahan struktur sel
2. Adanya perubahan metabolism
Perubahan struktur sel meliputi pembengkakan mitokondria dan badan golgi, peningkatan
jumlah reticulum endoplasma dan kerusakan klorofil. Peubahan aktivitas berupa penurunan
laju fotosintesis, peningkatan laju respirasi, perubahan susunan asam amoni, kadar gula dan
pati pada jaringan tanaman.
Tanaman mampu mengurangi kandungan garam yang terdapat didalam jaringan
osmotiknya dengan cara: (1) mengakumulasi kandungan garam secara intra dan ekstra seluler
didalam akar; (2) mengembangkan jaringan penyimpan air untuk mengurangi tekanan
5
osmotik yang tinggi; (3) mengekskresikan secara aktif kandungan garam melalui kelenjar
pada tajuk atau secara pasif dengan mengakumulasikannya pada daun-daun yang tua yang
diikuti dengan gugurnya daun.
6
biogeokimia (mengefektifkan daur ulang unsur hara untuk mempertahankan poduktivitas
lahan, stabilitas dan keanekaragaman hayati) sinergis dengan mikroorganisme lainnya.
Mikoriza juga dapat dijadikan salah satu teknologi alternatif untuk membantu pertumbuhan,
meningkatkan produktivitas dan meningkatkan kualitas tanaman
7
Tumbuhan yang diinokulasi mikoriza dapat tumbuh lebih baik daripada tumbuhan
yang tidak diinokulasi disebabkan meningkatnya penyerapan unsur hara makro terutama
phospor dan beberapa unsur hara mikro pada tanaman yang terinfeksi karena adanya hifa
eksternal dari cendawan yang berperan sebagai sistem perakaran yang menyebabkan
tersedianya daerah serapan yang lebih luas dalam menyerap hara. Unsur hara yang telah
terakumulasi pada hifa eksternal akan ditranslokasikan ke hifa internal oleh suatu sistem
transport dan kemudian ke jaringan inang melalui arbuskula yang langsung dipindahkan ke
tanaman inang, sehingga hifa ini sering disebut sebagai jalan bebas hambatan (Gunawan,
1993).
Produksi inokulum Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) selama ini dilakukan
dengan kultur pot menggunakan media padat seperti tanah, pasir, gambut atau zeolit.
Produksi inokulum CMA dalam jumlah besar sebagai pupuk hayati dengan menggunakan
teknik di atas masih mengalami hambatan. Hal ini dikarenakan CMA merupakan simbion
obligat yang perbanyakannya bergantung pada tanaman inang. Metode tersebut kurang
efisien karena memerlukan ruang pertumbuhan yang luas dan volume media yang besar
sehingga menghambat produksi dari distribusi pupuk hayati tersebut. Oleh karena itu,
diperlukan penelitian mengenai metode alternatif perbanyakan inokulum yang lebih efisien.
Salah satu perbanyakan CMA ialah dengan menggunakan kultur aeroponik dan kultur pot
dengan media tumbuh kompos.
Sistem aeroponik merupakan salah satu modifikasi metode hidroponik (Weathers &
Zobel 1992) yang menggunakan air dan unsur hara dalam bentuk disemprotkan secara
berkala ke sistem perakaran tumbuhan yang mengantung (Jones 2004). Produksi inokulum
CMA dengan menggunakan kultur aeroponik pertama kali dilakukan oleh Sylvia dan Hubbel
(1986). Kultur aeroponik merupakan bioteknologi yang potensial dalam menghasilkan sistem
perakaran yang berasosiasi dengan CMA karena dapat menghasilkan propagul yang tinggi
sehingga dapat digunakan sebagai teknologi efektif dalam memproduksi inokulum tanpa
menggunakan media tanah (Hung & Sylvia 1988; Sylvia & Jarsfer 1992; Sylvia & Jarsfer
1994). Martin-Laurent (1999) melaporkan bahwa pertumbuhan CMA Glomus sp. pada
tanaman Acacia mangium dalam sistem kultur aeroponik mengalami peningkatan sebanyak
dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditumbuhkan pada media tanah. Kualitas
CMA yang diproduksi dengan kultur aeroponik juga lebih baik karena lebih murni akibat
peluang terkontaminasi baik oleh cendawan mikoriza maupun non-mikoriza rendah. Selain
itu, tanaman yang ditumbuhkan pada kultur aeroponik lebih efisien dalam memanfaatkan
unsur hara dan dapat menghasilkan lingkungan aerasi yang tinggi (Weathers & Zobel 1992).
8
2. Penggunaan Mikroorganisme Azospirillum sp
Azosoirillum sp. Merupakan salah satu bakteri dari kelompok Rhizobacteria,
berpotensi sebagai pupuk hayati ( widawati 2011a, Nurosid 2008) ataupun sebagai plant
growth promoting Rhizobacteria (PGPR). Bakteri tersebut mampu menambat nitrogen (N 2)
dari udara (Okon 1985) dalam kondisi mikroerofil dan mengubahnya menjadi NH3
menggunakan enzim nitrogenase, kemudian diubah menjadi glutamine atau alanin, sehingga
bias diserap oleh tanaman dalam bentuk NO3 dan NH4+. Kemampuannya dalam fiksasi
nitrogen sebanyak 40-80% dari total nitrogen dalam rotan, dan 30% dari total nitrogen dalam
tanaman jagung. Bakteri tersebut juga mampu melarutkan P terikat pada AL, Ca dan Fe
dalam tanah menjadi unsure P tersedia bagi tanaman .
Azospirillum sp. Sebagai pelarut fosfat berperan dalam mineralisasi fosfat organic
melalui produksi enzim fosfatase asam dan basa, khususnya fosfomonoesterase. Enzim
tersebut dapat melepaskan satu ikatan ester pada P organic melalui proses hidrolisis P organik
menjadi P anorganik (H2PO4) dan (HPO42-) yang tersedia bagi tanaman. Enzim tersebut
banyak dihasilkan oleh bakteri pelarut fosfat apabila ketersediaan fosfor dalam tanah rendah.
Bakteri tersebut juga mampu memproduksi indole acetic acid ( IAA) untuk merangsang
pertumbuhan tanaman sebesar 285,51 g/1 dari total medium kultur, sehingga dapat
meningkatkan efisiensi pemupukan dan mampu menghasilkan giberelin, auksin, serta
senyawa yang menyerupai sitokinin.
BAB III
PENUTUP
9
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dijelaskan di atas, maka pembahasan makalah ini mengenai
bedah mayat dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Bedah mayat adalah suatu upaya tim dokter ahli untuk membedah mayat, karena ada suatu
maksud atau kepentingan tertentu.
2. Tujuan utaman dilakukannya bedah mayat atau otopsi jenazah yaitu untuk menyelamatkan
janin yang masih hidup dalam rahim mayat, mengeluarkan benda yang berharga dari tubuh
mayat, untuk kepentingan penegakkan hukum, dan untuk kepentingan penelitian ilmu
kedokteran.
3. Hukum bedah mayat sebagaimana dilakuakn untuk tujuan diatas, maka wajib hukumnya
untuk dilakukan.
4. Para ulama mujtahid seperti Imam Ahmad bin Hambali, Imam Syafii, Imam Maliki, dan
Imam Hanafi dalam memntukan hukum bedah mayat terdapat perbedaan pendapat.
5. Berdasarkan Fatwa MUI, yang dimaksud dengan otopsi meliputi dua macam otopsi, yaitu
otopsi forensic dan otopsi klinikal, yang dilakukan untuk tujuan medis legal seperti
menentukan penyebab kematian utuk tujuan pemeriksaan, penyelidikan, riset dan/ atau
pendidikan.
B. Saran
Penyusun berharap semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca. Dengan adanya
hukum Islam yang jelas mengenai bedah mayat atau otopsi jenazah ini, maka diharapkan
tidak adanya penyalahgunaan kewenangan untuk dilakukannya bedah mayat.
DAFTAR PUSTAKA
Agil Husin Al-Munawar, Said. 2004. Hukum Islam & Pluralitas Sosial. Jakarta:
Penamandi
Ali Hasan, Muhammad. 1998. Fiqhiyah Al- Haditsah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Atho Mudzhar, Mohammad. 1993. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta : INIS
Hooker, M.B. 2003. Islam Mazhab Indonesia. Jakarta: Teraju
Majelis Ulama Indonesia. 2011. Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975. Jakarta: Erlangga
10
11