Anda di halaman 1dari 8

KEGELISAHAN DI SEKTOR PERTANIAN SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR

YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN NASIONAL

oleh

BIRGITA CARLA OCTAVIANUS (A31114029)

Seperti yang telah diketahui bersama bahwa Indonesia merupakan salah satu
negara agraris, di mana sebagai besar penduduknya memiliki mata pencaharian di
bidang pertanian sebagai petani (liputan6.com). Akan tetapi, meskipun dikenal
sebagai negara agraris, Indonesia saat ini masih harus mengimpor beras dari
negara lainnya. Mungkin terkadang muncul dalam benak kita pertanyaan-pertanyaan
seperti ini, Apa sebenarnya yang terjadi dengan negara kita?, Mengapa kita harus
mengimpor beras, sedangkan di negara kita sendiri sebagian besar penduduknya
bekerja sebagai petani?, Adakah yang salah dengan kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah?. Masih banyak pertanyaan yang mungkin meresahkan
kita. Bagi saya, tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kita harus
memahami pembangunan pertanian yang ada di negara kita yang tercinta ini. Oleh
sebab itu, berdasarkan data yang telah diperoleh, saya mencoba untuk memahami
bagaimana pembangunan pertanian di Indonesia.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai pembangunan pertanian, ada


baiknya saya terlebih dahulu menyajikan pemahaman saya tentang pembangunan
pertanian itu sendiri. Menurut saya, pembangunan pertanian berbicara mengenai
suatu proses atau cara dalam membangun atau mengembangkan sektor, khususnya
dalam bidang pertanian. Pertanian dalam hal ini tidak hanya sebatas padi atau
palawija, tetapi juga beberapa komoditi lainnya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari website Badan Pusat Statistik, pertanian
didefinisikan sebagai kegiatan usaha yang meliputi budidaya tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, perikanan, kehutanan, dan peternakan. Dalam paper atau
tulisan ini, saya khusus akan membahas mengenai pembangunan pertanian untuk
tahun 2011 sampai dengan 2015 berdasarkan pada indeks produksi, di mana data
yang saya dapatkan bersumber dari website Badan Pusat Statistik.
Dalam menghitung angka yang sesuai dengan keadaan pada sektor pertanian,
digunakan formula indeks Paasche atau rata-rata harmonis tertimbang dengan
penimbang produksi dan harga tahun berjalan. Adapun rumusan yang digunakan
dalam indeks Paasche ialah jumlah perkalian dari indeks produksi tahun tertentu dan
produksi komoditi i pada tahun tertentu, lalu dibagi dengan jumlah perkalian dari
harga komoditi i pada tahun tertentu dan produksi komoditi i pada tahun dasar.
Dengan kata lain, indeks Paasche dapat ditulis dengan rumus matematis sebagai
berikut.

(pit x qit)
Pt = x 100
(pit x qi0)

Keterangan:

Pt = Indeks Produksi pada tahun t

pit = Harga Komoditi i pada tahun t

qit = Produksi Komoditi i pada tahun t

qi0 = Produksi Komoditi i pada tahun dasar

Berdasarkan data yang diperoleh, sebelum tahun 2013, tahun dasar yang
digunakan sebagai pembanding adalah tahun 2000. Akan tetapi, pada tahun 2013,
dilakukan penggantian tahun dasar untuk perhitungan indeks produksi pertanian,
yakni tahun 2010. Penggantian tahun dasar ini dikarenakan pada tahun 2010,
kondisi perekonomian Indonesia sudah cukup stabil setelah krisis ekonomi yang
terjadi pada tahun 2008, sehingga lebih mudah dalam mengamati pembangunan
pertanian tanpa adanya pengaruh dari krisis ekonomi yang terjadi sebelumnya.

Di mulai dari tanaman pangan, berdasarkan data yang diperoleh dari Badan
Pusat Statistik, indeks produksi tanaman pangan selalu mengalami peningkatan
mulai dari dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2015. Indeks produksi yang dicapai
pada tahun 2015 adalah sebesar 106,72 atau dapat dikatakan meningkat sebesar
2,30 dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2014). Meskipun tanaman pangan
mengalami peningkatan jika dilihat dari indeks produksi, namun pada tahun 2015
tersebut, ada komoditas yang meningkat pesat dan ada pula komoditas yang
mengalami penurunan. Kacang hijau, padi sawah, jagung, dan kedelai merupakan
komoditas yang mengalami peningkatan, sedangkan ubi jalar, kacang tanah, padi
ladang, dan ubi kayu merupakan komoditas yang mengalami penurunan.

Selanjutnya, jika melihat indeks produksi tanaman hortikultura yang


ditunjukkan oleh Badan Pusat Statistik, peningkatan terbesar untuk tanaman
hortikultura ini diraih pada tahun 2014, yakni sebesar 121,55, bukan pada tahun
2015. Indeks produksi tanaman hortikultura justru mengalami penurunan dari tahun
2014 ke tahun 2015, yakni dari 121,55 menjadi 121,10. Dengan kata lain, indeks
produksi tanaman hortikultura menurun sebesar 0,45 dari tahun 2014 ke tahun 2015.
Seperti yang kita ketahui bahwa tanaman hortikultura terdiri dari sayur-sayuran dan
buah-buahan. Meskipun pada tahun 2015 indeks produksi buah-buahan mengalami
peningkatan, yakni sebesar 1,35, akan tetapi indeks produksi sayur-sayuran
mengalami penurunan yang lebih besar daripada peningkatan indeks produksi buah-
buahan. Penurunan indeks produksi sayur-sayuran sebesar 1,71 mempengaruhi
indeks produksi tanaman hortikultura, sehingga terjadi penurunan dari tahun 2014 ke
tahun 2015. Adapun berdasarkan sumber yang ditunjukkan Badan Pusat Statistik,
meskipun sebagian besar komoditas sayur-sayuran mengalami penurunan indeks
produksi, akan tetapi untuk komoditas seperti bawang putih, cabai rawit, melinjo,
kubis, wortel, petai, dan bayam, mengalami peningkatan indeks produksi. Di
samping itu, meskipun sebagian besar komoditas buah-buahan mengalami
peningkatan indeks produksi, akan tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk komoditas
seperti apel, sawo, jeruk keprok, mangga, nenas, melon, semangka, dan salak, yang
justru mengalami penurunan indeks produksi.

Setelah indeks produksi tanaman hortikultura, yang akan dibahas adalah


tanaman perkebunan. Untuk komoditi yang satu ini mengalami peningkatan setiap
tahunnya, mulai dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2015. Puncaknya berada di
tahun 2015 dengan indeks produksi tanaman perkebunan sebesar 121,33. Kurang
lebih sama halnya tanaman hortikultura, di mana tidak semua kelompok sayur-
sayuran mengalami penurunan dan tidak semua kelompok buah-buahan mengalami
peningkatan. Tanaman perkebunan juga tidak semuanya mengalami peningkatan
indeks produksi. Penurunan indeks produksi berlaku bagi tanaman kelapa, tebu, dan
juga cengkeh.
Selanjutnya, untuk indeks produksi peternakan yang juga termasuk dalam
sektor pertanian, selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Akan tetapi,
meskipun demikian, kenaikan indeks produksi dari tahun 2014 ke tahun 2015 tidak
begitu signifikan. Daging kambing merupakan komoditas peternakan yang tidak
mengalami peningkatan indeks produksi, sedangkan untuk komoditas peternakan
yang mengalami peningkatan indeks produksi yang paling tinggi adalah telur ayam
ras.

Sub sektor kelima yang termasuk dalam sektor pertanian adalah sub sektor
perikanan. Berdasarkan sumber yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, untuk
komoditi pertanian, data dianalisis mulai dari tahun 2010 sampai dengan tahun
2014, di mana hal ini berbeda dari data komoditi lainnya yang dimulai dari tahun
2011 sampai dengan tahun 2015. Tidak jauh berbeda dari indeks produksi
peternakan, indeks produksi perikanan juga mengalami peningkatan setiap tahunnya
meskipun peningkatan tersebut tidak begitu signifikan di antara tahun 2013 sampai
dengan tahun 2014. Secara keseluruhan, indeks produksi untuk setiap komoditas
perikanan mengalami peningkatan, sehingga mengakibatkan meningkatnya indeks
produksi perikanan. Berdasarkan sumber yang diperoleh, peningkatan indeks
produksi komoditas tanaman air dan binatang berkulit keras yang cukup
mempengaruhi peningkatan indeks produksi perikanan.

Sub sektor yang terakhir dibahas adalah sub sektor kehutanan. Dengan
mengacu pada grafik yang disajikan Badan Pusat Statistik berkaitan dengan indeks
produksi kehutanan, dapat dilihat bahwa perubahan indeks produksi tidak menentu,
kadang meningkat dan kadang pula menurun. Untuk tahun 2011 ke tahun 2012,
indeks produksi kehutanan mengalami peningkatan. Kemudian, dari tahun 2012 ke
tahun 2013 dan selanjutnya dari tahun 2013 ke tahun 2014 mengalami penurunan.
Untuk penurunan dari tahun 2012 ke tahun 2013 terjadi penurunan yang cukup
signifikan. Selanjutnya, untuk tahun 2014 ke tahun 2015, indeks produksi kehutanan
mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang diolah oleh Badan Pusat Statistik,
indeks produksi kehutanan dihitung dari indeksi produksi kayu bulat dan indeks
produksi kayu bakar yang berasal dari hutan alam dan hutan budidaya. Dari grafik
yang disajikan, dapat dilihat bahwa indeks produksi kehutanan tertinggi terjadi pada
tahun 2012.
Apabila dilihat secara keseluruhan, hampir semua sub sektor yang termasuk
sektor pertanian mengalami peningkatan indeks produksi, meskipun untuk sub
sektor tanaman hortikultura mengalami penurunan dari tahun 2014 ke tahun 2015
dan sub sektor kehutanan yang mengalami perubahan indeks yang tidak menentu,
kadang meningkat dan kadang pula menurun. Dari pembahasan di atas, kita dapat
melihat bahwa indeks produksi secara keseluruhan mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Selain itu, kita juga dapat melihat sub sektor mana yang mempengaruhi
dan kurang mempengaruhi peningkatan indeks produksi pertanian. Menurut saya,
dapat pula ditarik kesimpulan bahwa peningkatan maupun penurunan indeks
produksi untuk setiap sub sektor pasti dipengaruhi oleh meningkatnya atau
menurunnya indeks produksi komoditas yang termasuk dalam sub sektor tersebut.

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup diperhitungkan


dalam pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Apabila kita melihat data yang
disediakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai Produk Domestik Bruto atas
Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha, 2011-2015 (miliar rupiah), sektor
pertanian, kehutanan, dan perikanan menjadi sektor kedua tertinggi setelah industri
pengolahan khusus pada tahun 2015. Adapun kontribusi sektor pertanian,
kehutanan, dan perikanan, yakni sebesar 1.560.399,3 miliar rupiah dan untuk
industri pengolahan sebesar 2.405.408,9 miliar rupiah. Di samping itu, jika kita
melihat data Produk Domestik Bruto atas Dasar Harga Konstan 2010 Menurut
Lapangan Usaha, 2011-2015 (miliar rupiah) yang terdapat di website Badan Pusat
Statistik (BPS), ditunjukkan bahwa sektor pertanian, kehutanan dan perikanan
berada di posisi ketiga tertinggi dengan total kontribusi sebesar 1.174.456,8 miliar
rupiah, di mana posisi tertinggi pertama ditempati oleh sektor industri pengolahan
sebesar 1.932.457,4 miliar rupiah dan posisi kedua ditempati oleh sektor
perdagangan besar dan eceran dengan kontribusi sebesar 1.206.074,7 miliar rupiah.

Berdasarkan data dari paragraf di atas, dapat disimpulkan bahwa sektor


pertanian juga memiliki pengaruh yang penting dalam memberikan kontribusi
terhadap pertumbuhan PDB atau Produk Domestik Bruto. Dengan demikian, sektor
pertanian juga sebaiknya tak luput dari bahan pertimbangan pemerintah agar rakyat
Indonesia, khususnya bagi mereka yang memiliki mata pencaharian utama sebagai
petani dapat mengolah lahan pertanian dengan baik dan menghasilkan komoditas
yang kuantitasnya cukup dan tentunya berkualitas, sehingga dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat Indonesia itu sendiri dan juga dapat menambah devisa bagi
negara dengan mengimpor beras dari Indonesia ke luar negeri, tanpa kita harus
mengekspornya dari luar negeri.

Pembangunan pertanian di Indonesia tentunya akan sangat berpengaruh


pada pertumbuhan pendapatan nasional bagi negara Indonesia, baik itu sub sektor
tanaman pangan, tanaman hortikultura, tanaman perkebunan, peternakan,
perikanan, maupun kehutanan. Sudah jelas dibahas pada paragraf-paragraf
sebelumnya bahwa pembangunan pertanian pada umumnya mengalami
peningkatan setiap tahun, sehingga apabila kita memanfaatkan sumber daya alam
yang dimiliki dengan baik dan bijaksana, khususnya di sektor pertanian, maka hal ini
akan berdampak pada peningkatan pendapatan nasional untuk negara kita,
Indonesia. Jangan sampai lahan yang telah diwariskan kepada rakyat Indonesia
justru diklaim, diolah, dan bahkan menguntungkan negara lain.

Berkaitan dengan pembangunan pertanian, saya mencoba mencari sumber


yang berbicara mengenai bagaimana kebijakan pemerintah mempengaruhi
pembangunan sektor pertanian. Saya menemukan sebuah artikel yang berjudul
Kebijakan Pemerintah di Sektor Pertanian Belum Berpihak pada Petani. Ketika
membaca judul artikel ini, saya tertarik untuk membaca artikelnya lebih lanjut. Dalam
artikel ini, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, mengatakan
bahwa kebijakan pemerintah terkait kedaulatan dan peningkatan kemandirian
pangan saat ini justru banyak yang tidak berpihak pada petani kecil (kompas.com).
Fokus utama dalam artikel tersebut adalah tanah atau lahan pertanian. Konversi
lahan pertanian ke non-pertanian yang dikuasai oleh perusahaan besar, seperti
perusahaan perkebunan karet, sawit, kehutanan, dan perusahaan properti sudah
semakin luas. Semakin luasnya konversi tersebut mengakibatkan produktivitas
petani menjadi menurun karena tidak memiliki tanah sendiri. Dalam artikel yang
mengacu pada sensus pertanian Badan Pusat Statistik, dalam waktu 10 tahun,
konversi dari lahan pertanian ke non-pertanian mencapai 129 ribu hektar per tahun
di seluruh wilayah Indonesia (kompas.com). Bagi mereka yang tidak memiliki mata
pencaharian di sektor pertanian, mungkin hal ini menjadi biasa-biasa saja. Akan
tetapi, bagi rakyat Indonesia yang memiliki mata pencaharian utama sebagai
seorang petani, pasti ada rasa gelisah dalam dirinya.
Saya telah mengungkapkan beberapa pertanyaan pada pendahuluan di atas.
Salah satu pertanyaan yang kerap menjadi perbincangan hangat di kalangan rakyat
Indonesia adalah Mengapa kita harus mengimpor beras, sedangkan di negara kita
sendiri sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani? Ternyata kebijakan
yang dikeluarkan ini memiliki alasan. Dalam artikel lain yang diterbitkan pada tahun
2015 lalu, menurut Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla, ada tiga alasan
mengapa Indonesia masih mengimpor beras dari negara lain, yaitu pertama, karena
penduduk di Indonesia jumlahnya sangat banyak sehingga stok beras belum mampu
mencukupi kebutuhan masyarakat yang jumlahnya banyak tersebut; alasan kedua,
yaitu karena banyaknya sawah yang beralih fungsi; dan alasan yang ketiga adalah
karena faktor cuaca, di mana anomali cuaca akibat El Nino membuat kondisi
kebutuhan pangan yang semakin parah karena menyebabkan produksi beras
menurun (batamnews.co.id).

Pemerintah sebaiknya mengeluarkan kebijakan yang tepat untuk menjawab


semua kegelisahan rakyat Indonesia. Jangan sampai kebijakan yang dikeluarkan
justru menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak yang lainnya. Kita pun
sebagai marsyarakat jangan langsung menilai bahwa kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah hanya menguntungkan satu pihak dan rakyat justru dirugikan. Kita,
khususnya sebagai mahasiswa harus kritis dan mencoba menganalisis faktor-faktor
apa yang mungkin mempengaruhi dikeluarkannya suatu kebijakan pemerintah.
Selain itu, kita juga harus melihat bagaimana latar belakang dikeluarkannya
kebijakan pemerintah. Dengan demikian, kita bisa memahami maksud dan tujuan
dari kebijakan pemerintah, apakah menguntungkan satu pihak saja dan merugikan
rakyat Indonesia atau justru kebijakan tersebut dikeluarkan untuk membuat rakyat
Indonesia semakin makmur dan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Indikator-Pertanian-2015-2016--.pdf
diakses pada tanggal 5 April 2017, Pukul 08.55 WITA

https://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Indikator-Pertanian-2014-2015_rev.pdf
diakses pada tanggal 5 April 2017, Pukul 08.56 WITA

https://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Pendapatan-Nasional-Indonesia-Tahun-
2011-2015--.pdf diakses pada tanggal 5 April 2017, Pukul 09.01 WITA

m.liputan6.com/bisnis/read/682355/video-masihkah-Indonesia-disebut-negara-
agraris diakses pada tanggal 5 April 2017, Pukul 18.31 WITA

nasional.kompas.com/read/2016/09/25/06000051/kebijakan.pemerintah.di.sektor.per
tanian.belum.berpihak.pada.petani diakses pada tanggal 5 April 2017, Pukul
19.57 WITA

batamnews.co.id/berita-8700-3-alasan-indonesia-masih-impor-beras-menurut-
wapres-jk.html diakses pada 5 April 2017, Pukul 20.05

Anda mungkin juga menyukai