Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN JOURNAL READING

DI ICU
RS. ABDUL AZIZ SINGKAWANG
PONTIANAK

OLEH :
DENNY KURNIAWAN I4051161013
RAUP SUTRIANTO I4052161006
ELISABET BORU SARAGIH I4051161015
RIYANA SEFTERINA UAR I4052161010
SHELLA RAMADHANI I4051161032
TRI DARSIH I4051161012
VIVI MELIANA SITINJAK I4051161011
YOSEPHA I4051161018
DESI CHRISMAYANTI` I4052161008
SYARIFAH ARSYITA I4052161013

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2017
JOURNAL READING

A. PENDAHULUAN

B. ANALISIS JURNAL
Pada penelitian ini menjelaskan mengenai Perawatan Mata Pada Pasien Koma
Di Intensive Care Unit, karena pada pasien-pasien di intensive care unit sangat mudah
terkena penyakit pada permukaan mata (ocular surface), yang paling berat adalah
munculnya microbial keratitis (Mercieca et al., 2000).
Keratitis adalah peradangan pa- da salah satu dari kelima lapisan kornea.
Peradangan tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman, stroma, membran
Descemet, atau- pun endotel. Peradangan juga dapat melibatkan lebih dari satu
lapisan kornea. Pola keratitis dapat dibagi menurut distribusi, kedalaman, loka- si, dan
bentuk. Berdasarkan distribu- sinya, keratitis dibagi menjadi keratitis difus, fokal, atau
multifokal. Berdasarkan kedalamannya, keratitis dibagi menjadi epitelial, sub-
epitelialm stromal, atau endotelial. Lokasi keratitis dapat berada di bagian sentral atau
perifer kornea, sedangkan berdasarkan bentuknya terdapat keratitis dendritik,
disciform, dan bentuk lainnya (Ilyas, 2010).
Kondisi mata khususnya Pada pasien kritis dengan gagal nafas dan
menggunakan bantuan ventilator serta ditambahnya dengan obat- obatan sedasi
(neuromuscular blocker) dapat berpengaruh terhadap menurunnya reflek mengedip.
Hal tersebut mengakibatkan mata akan mengalami kekeringan, sehingga sebaran air
mata yang banyak akan oksigen serta berfungsi untuk melembabkan mata akan
berkurang. Dengan adanya air mata yang banyak kandungan protein termasuk
lysozym, lactoferrin, lipocalin dan sekresi IgA semuanya itu untuk mencegah
terjadinya infeksi. Selama mata berkedip maka sebaran air mata mampu mencegah
evaporasi atau penguapan yang dapat menyebabkan mudahnya mata terpapar oleh
mikroorganisme. Proses perubahan penguapan airmata tersebut mengubah
kelembapan pada konjungtiva untuk tetap dapat dipertahankan sehingga
perkembangan bacterial dapat dicegah. Begitupun saat tidur, penutupan kelopak mata
melindungi kornea agar tetap terjaga kelembapannya (Joyce, 2002). Hal ini sesuai
dengan penelitian yang menyebutkan bahwa lebih dari 75% pasien yang mendapatkan
obat-obatan sedatif kuat terjadi ketidakmampuan untuk menutup kelopak mata dengan
sempurna (Suresh, et,.al, 2000). Penutupan kelopak mata yang tidak sempurna sangat
memungkinkan untuk terjadinya dehidrasi pada kornea, dan terjadinya infeksi baik
ringan seperti konjungtivitis hingga yang paling berat adalah munculnya microbial
keratitis (Marcieca,2000). Akan tetapi fenomena perawatan mata yang diabaikan
(negelected eye care) ternyata masih terjadi,karena kemungkinan dampak negatifnya
tidak terlihat langsung pada pasien seperti halnya hemodinamik pasien yang tidak
stabil, dampaknya dapat secara langsung terlihat cepat. Tidak seperti perawatan mata,
yang akan terlihat dampaknya nanti setelah pasien pulih dari masa kritisnya, dari
mulai dampak yang ringan sampai ancaman kebutaan yang biasa terjadi
(Ramirez,2008).
Pasien yang berada dalam perawatan intensif sering mengalami gangguan
hemodinamik diantaranya peningkatan permeabilitas vaskuler, yang dapat
menyebabkan konjungtiva edema sehingga menghalangi penutupan kelopak mata.
Kelopak mata yang hanya sebagaian tertutup bahkan tidak tertutup secara lengkap
mengakibatkan kornea mengalami kekeringan atau dry eyes sehingga dengan
mudahnya permukaan mata terpapar bakteria atau terjadinya oculer surface disorder
(OSD). Beberapa penelitian telah menjelaskan bahwa ocular surface disorder dapat
terjadi pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran, diantaranya sebuah
penelitian menyebutkan dari 56 pasien 55,4% diantaranya mengalami gangguan pada
permukaan matanya (Oculer surface disorder), 24 pasien mengalami gangguan pada
konjungtiva (conjungtival disorder), 2 pasien mengalami gangguan pada kornea
(corneal disorder) dan 5 pasien mengalami kombinasi ketiganya (eksudat, oedema,
dan kekeringan). Sekitar 67,5% dari pasien-pasien tersebut mengalami gangguan dari
hari pertama atau kedua dirawat di ICU (I.Desalu, 2008).
Penelitian yang dilakukan di India menunjukan bahwa 42% pa- sien di ICU
mempunyai gangguan pada permukaan matanya (oculer surface disorder) termasuk
paparan pada kornea (Suresh et al., 2000). Serta kejadian abrasi kornea sekitar 60%
dari pasien-pasien yang ada, dengan puncak insiden antara 2 sampai 7 hari setelah
masuk ruang intensif (lenart & Garrity,2000). Demikian pula penelitian yang
dilakukan Parkin & Cook (2000), bahwa 40% pasien menunjukan kejadian superficial
keratopati selama mereka di rawat di ICU, organisme yang sering bertanggung jawab
atas munculnya bacterial keratitis adalah pseudomonas aerugionosa, yang
menghasilkan secara cepat dan infeksi berat yang bisa menyebabkan perforasi kornea.
Pseudomaonas keratitis dan kolonisasi di saluran pernafasan sering terjadi bersama-
an, hal ini diyakini bahwa terjadinya kolonisasi pada konjungtiva dihasilkan dari
adanya penghisapan sekret pasien yang terintubasi di ICU.
Dari penelitian diatas didapatkan kesimpulan bahwa pasien dengan tingkat
kesadaran yang rendah perlu mendapatkan perawatan mata secara intensif. Pen-
cegahan terjadinya gangguan pada mata sangat penting dengan cara melindungi mata
dengan lapisan yang menutupi permukaan mata dan secara rutin memeriksa mata
pada pasien-pasien di rawat di ICU (Ramirez, 2008). Melakukan manajemen
perawatan mata pada pasien sejak hari pertama pasien dirawat di ruang intensif
mampu mengurangi angka kejadian exposure keratopaty. Seperti dalam penelitian
Suresh, et al., (2000) mereka mengevaluasi ke efektifan dan efisiensi dari algoritma
yang mereka bangun dalam mencegah gangguan mata pada pasien yang tidak sadar di
ruang perawatan intensif. Penelitian tersebut menunjukan bahwa dengan penggunaan
algoritma secara benar, prevalensi kejadian gangguan pada mata menurun sekitar
8,7% . Beberapa metoda dan penggunaan alogaritma dalam pena- nganan perawatan
mata pada pasien dengan kesadaran rendah antara lain metoda penutupan dengan
kassa lembab (moist chamber closer), pemberian air mata buatan (Artificial Tear),
pemberian salep mata (lubricating ointment), penutupan mata hanya menggunakan
plester hingga penutupan mata menggunakan polyethylene film. Beberapa metoda
perawatan mata telah dilakukan penelitian untuk melihat keefektifan metoda yang
tepat yang dapat digunakan dengan menggunakan algoritma sebagai pedoman dalam
menentukan metoda yang akan digunakan. Sehingga dengan adanya alogaritma
perawatan mata kejadian keratitis dapat diturunkan (Briggs,2002.)
Kesimpulannya Prevelensi kejadian keratitis pada pasien dengan pemasangan
ventilator mekanis ataupun paska penggunaan obat sedasi yang dirawat di unit
perawatan intensif menunjukan angka yang cukup tinggi, dimana pasien dapat
mengalami kondisi keratitis sejak awal masuk ke ruang intensif. Hal ini di
mungkinkan dikarenakan reflek mengedip pada mata pasien mengalami penurunan
bahkan tidak ada, sehingga mata mengalami kekeringan dan terpaparnya dengan
keratitis. Jika pasien telah mengalami ter- papar dengan keratitis, dalam be- berapa
penelitian disebutkan bahwa pasien kemungkinan akan mendapatkan masalah dari
ringan hingga yang berat yaitu kebutaan. Dasar inilah yang harus menjadi perhatian
perawat selama memberikan asuhan keperawatan pada pasien di unit intensif untuk
mencegah terpaparnya dari keratopaty. Oleh sebab itu beberapa penelitian telah
disebutkan pentingnya perawatan mata pada pasien yang masuk ke ruang intensif
sejak dini. Beberapa metoda perawatan mata telah dilakukan dan penggunaan
polyethyelene film sebagai salah satu metoda yang sangat efektif mampu mencegah
dan mengurangi kejadian keratitis pada pasien koma yang dirawat di ruang intensif.

C. LANDASAN TEORI
1 Pengertian
Mata merupakan organ penting dan sering kurang diperhatikan pada saat pasien
mengalami penurunan kesadaran dan menggunakan ventilator untuk bernafas.
Pencegahan terjadinya gangguan pada mata sa- ngat penting dengan cara melin-
dungi mata dengan lapisan yang menutupi permukaan mata dan se- cara rutin
memeriksa mata pada pasien-pasien di ICU (Ramirez et al., 2008)
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi
sel radang pada kornea yang akan mengakibatkan kornea
menjadi keruh.
2 Etiologi
Keratitis ini diakibatkan oleh berbagai organisme :
1. Bakteri, seperti :
a. Staphylococcus
b. Streptococcus
c. Pseudomonas
d. pneumococcus
2. Virus, seperti :
a. Virus herpes simpleks
b. Virus herpes zoster
3. Jamur, seperti :
a. Candida
b. Aspergillus
4. Hipersensitif : toksin/allergen
5. Gangguan hervus trigeminus
6. Idiopatik

Kebanyakan infeksi kornea terjdi akibat trauma atau gangguan mekanisme


pertahanan sistemis ataupun lokal.

Infeksi ini terjadi bila kornea tidak dilembabkan secara memadai dan
dilindungi oleh kelopak mata. Kekeringan kornea dapat terjadi dan
kemudian dapat diikuti ulserasi dan infeksi sekunder. Pemajanan kornea
dapat diebabakan oleh karena keadaan eksoptalmus, paresis saraf kranial
VII tetapi juga dapat terjadi pada pasien koma atau yang dianastesi.

3 Klasifikasi
1. KERATITIS MIKROBIAL

Keratitis ini diakibatkan oleh berbagai organisme bakteri,virus, jamur, atau


parasit, abrasi sedikitpun bisa menjadi pintu masuk bakteri. Kebanyakan
infeksi kornea terjdi akibat trauma atau gangguan mekanisme pertahanan
sistemis ataupun lokal.

a. Keratitis Bacterial
keratitis akibat dari infeksi stafilokokkus, berbentuk seperti keratitis
pungtata, terutama dibagian bawah kornea
b. Keratitis Viral
c. Keratitis Dendritik Herpetic
keratitis dendritik yang disebabkan virus herpes simpleks akan memberi
gambaran spesifik berupa infiltrat pada kornea dengan bentuk seperti
ranting pohon yang bercabang cabang dengan memberikan uji fluoresin
positif nyata pada tempat percabanagn.
d. Keratitits herpes zoster
Merupakan manifestasi klinis dari infeksi virus herpes zooster pada cabang
saraf trigeminus, termasuk puncak hidung dan demikian pula kornea atau
konjungtiva.
e. Keratitis Pungtata Epitelial
Keratitits dengan infiltrat halus pada kornea, selain disebabkan oleh virus
keratitits pungtata juga disebabakan oleh obat seperti neomicin dan
gentamisin.
f. Keratitits Disiformis
merupakan keratitits dengan bentuk seperti cakram didalam stroma
permukaan kornea, keratitis ini disebabkan oleh infeksi atau sesudah
infeksi virus herpes simpleks
2. KERATITIS PEMAJANAN

Infeksi ini terjadi bila kornea tidak dilembabkan secara memadai dan
dilindungi oleh kelopak mata. Kekeringan kornea dapat terjadi dan
kemudian dapat diikuti ulserasi dan infeksi sekunder. Pemajanan kornea
dapat diebabakan oleh karena keadaan eksoptalmus, paresis saraf kranial
VII tetapi juga dapat terjadi pada pasien koma atau yang dianastesi.
a) Keratitis lagoftalmos
Terjadi akibat mata tidak menutup sempurna yang dapat terjadi pada
ektropion palpebra, protrusio bola mata atau pada penderita koma
dimana mata tidak terdapat reflek mengedip.
b) Keratitis neuroparalitik
Terjadi akibat gangguan pada saraf trigeminus yang mengakibatkan
gangguan sensibilitas dan metabolisme kornea
c) Keratokonjungtivitis sika
Terjadi akibat kekeringan pada bagian permukaan kornea.

D. PEMBAHASAN

E. PENUTUP
1. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan intensitas nyeri sebelum dan setelah
pemberian kompres dingin pada pasien fraktur ektremitas tertutup di Instalasi
Gawat Darurat RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2012. Untuk
menghilangkan nyeri pada cidera dapat dilakukan dengan pemberian kompres
dingin basah atau kering ditempat yang cedera secara intermitten 20 sampai 30
menit selama 24-48 jam pertama setelah cedera, dengan pemberian kompres
dingin dapat menyebabkan vasokontriksi sehingga menurunkan permeabilitas
kapiler, menurunkan aliran darah, menurunkan metabolism sel, yang dapat
mengurangi pendarahan, edema dan ketidaknyamanan.
2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan kepada perawat di Instalasi Gawat
Darurat agar dapat mengaplikasikan intervensi kompres dingin untuk mengurangi
nyeri pada pasien dengan

.
DAFTAR PUSTAKA

Anarmoyo, S. 2013. Konsep Dan Proses Keperawatan Nyeri. Jogjakarta: Ar-Ruzz


Black & Hawks. 2009. Medical Surgical Nursing Clinical Mnagement for Positive
Outcomes.elseveir Saunders.
Brunner and Suddarth. 2010. Text Book Of Medical Surgical Nursing 12th Edition. China :
LWW.
DeLaune, S. C., Ladner, P. K., 2011. Fundamental of Nursing: Standards andPractice. Edisi
8. USA: Delmar
Depkes, RI. 2011. Sistem kesehatan nasional.
Khodijah, 2011. Efektifitas kompres dingin terhadap penurunan intensitas nyeripasien
fraktur di Rindu B RSUP. H. Adam Malik Medan. Skripsi FakultasKeperawatan
USU.
Kozier. 2010. Buku Ajr Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik.Jakarta. EGC
Mediarti, Devi. 2015. Pengaruh Pemberian Kompres Dingin Terhadap Nyeri Pada Pasien
Fraktur Ekstremitas Tertutup di IGD RSMH Palembang Tahun 2012. Volume 2 No.
3, Oktober 2015: 253-260. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Nurchairiah, Andi. 2013. Efektivitas Kompres Dingin Terhadap Intensitas Nyeri Pada Pasien
Fraktur Tertutup Di Ruang Dahlia RSUD Arifin Achmad. Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Riau, Indonesia
Pustaka Kesehatan Populer. 2009. Pengobatan praktis perawatan alternatif dantradisional.
Jakarta : Buana Ilmu Populer
Potter, P.A, Perry, A.G. 2010.Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik Edisi 4. Jakarta:EGC
Purnamasari, Elia. 2014. Efektifitas Kompres Dingin Terhadap Penurunan Intensita Nyeri
Pada Pasien Fraktur Di RSUD Ungaran. STIKES Telogerejo Semarang
Price SA, Wilson LM. 2012. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit,edisi ke-6.
Jakarta: EGC
R,Sjamsuhidajat, Wim de jong.2010.Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC.
Rendy dan Margareth. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan PenyakitDalam.
Yogyakarta: Nuha Medika
Scott DL,Pande I ONeill TW, et al. 2008. Quality of life, morbidity, and mortality after
lowtrauma hip fracture in men. Ann Rheum Dis.
Smeltzer &Bare. 2008. Textbook of Medical Surgical Nursing Vol.2.Philadelphia: Linppincott
William & Wilkins
Tamsuri, A . 2007. Konsep dan penatalaksanaan nyeri, Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai