Anda di halaman 1dari 4

Penanganan Kasus Siti Aisyah di Malaysia

Siti Aisyah djtangkap Kepolisian Diraja Malaysia pada 13 Februari 2017 kemudian
ditahan sampai kini dengan sangkaan yang lumayan seram: sebagai tersangka kasus pembunuhan
Kim Jong Nam, kakak satu ayah dari Kim Jong Un, pemimpin tertinggi Korea Utara saat ini.
Wanita asal Serang berusia 25 tahun ini, menurut berita media Malaysia dan pengakuannya
kepada perwakilan Indonesia di Malaysia, menyemprotkan cairan ke wajah Kim Jong Nam (pada
saat yang sama seorang wanita Vietnam Doan Thi Huang, memegang Kim dari belakang) karena
berpikir itu adalah bagian dari reality show (prank) dari sebuah televisi Jepang. Aisyah pun
dibayar 400 ringgit Malaysia untuk itu.

Keterangan Aisyah bisa jadi benar, bisa jadi salah. Kita belum bisa memastikan karena
proses penyidikan masih berlangsung. Empat terduga pelaku asal Korea Utara juga masih buron.
Padahal, tanpa keterangan mereka pembuktian kasus ini kian rumit. Persidangan pun baru
berlangsung sekali, pada 1 Maret 2017, dan sidang berikutnya masih 13 April 2017. Maka, asas
presumption of innocence (praduga tidak bersalah) berlaku pada Aisyah. Dia tak dapat dikatakan
sebagai bersalah dan patut menerima hukuman, kecuali setelah putusan pengadilan
memutuskannya demikian. Satu persoalan yang kini tersisa adalah, sejauh apa peran Aisyah
dalam kasus ini.

Ilmu viktimologi, alias ilmu yang concern terhadap korban, viktimisasi, dan reaksi
masyarakat terhadap viktimisasi, memiliki perspektif sendiri dalam memandang kejahatan
maupun korban kejahatan. Dalam perspektif viktimologi, korban kejahatan memiliki tipologi
sendiri, apakah tingkat kerentanannya (victims culpability), tingkat hubungan dengan pelaku
kejahatan yang berkontribusi pada terjadinya kejahatan yang menimpa dirinya (victims
precipitation) dan tingkat kealpaan korban (victims culpability) dalam hubungannya dengan
tindak pidana yang terjadi.

Beniamin Mendelsohn (1956) menyebutkan bahwa ada enam kategori korban. Pertama
adalah korban yang benar-benar tidak bersalah (innocent), kedua adalah korban dengan kadar
kontribusi kesalahan yang minimal (victims with minor guilt), ketiga adalah korban yang
memiliki kadar kebersalahan yang sama dengan sang pelaku. Keempat adalah korban yang lebih
bersalah dari pelaku (victims are more guilty than the offender); kelima adalah korban adalah
satu-satunya pihak yang bersalah (dalam kasus pelaku yang kemudian malah terbunuh sendiri)
dan terakhir adalah korban imajiner (imaginary victim), alias korban yang mengaku dirinya
sebagai korban, padahal ia tidak menderita apa pun. Relasi antara korban dan pelaku kejahatan
dipelajari melalui dua kajian, yaitu tingkat kerentanan korban (victims vulnerability) dan tingkat
kealpaan korban (victims culpability). Kealpaan korban merujuk pada situasi di mana korban
secara sadar atau tidak telah turut berkontribusi terhadap viktimisasi ataupun kejahatan yang
terjadi pada dirinya (Von Hentig, 1948).

Fakta menyebutkan bahwa jaksa negara bagian Selangor, Malaysia, mendakwa Siti
Aisyah dan Doan Thi Huang (WN Vietnam) sebagai telah melakukan pembunuhan
(murder/homicide) sebagaimana termaktub pada Pasal 302 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Malaysia (Criminal Code). Ancaman pidana maksimalnya adalah pidana mati (capital
punishment). Dari hasil investigasi polisi terbukti bahwa Siti Aisyah menyemprotkan cairan yang
diidentifikasi sebagai racun penyerang saraf (VX) yang amat mematikan dan telah dikatagorikan
sebagai weapon of mass destruction (senjata pemusnah massal) yang masuk daftar larangan
PBB. Akses kepada Siti Aisyah belum diperoleh karena Hukum Acara Pidana Malaysia
mengatur, tersangka tidak dapat ditemui oleh siapa pun selama proses investigasi.

Aisyah sendiri, menurut keterangannya kepada perwakilan RI di Malaysia, tak


mengetahui bahwa cairan itu adalah cairan beracun. Dia menganggapnya sebagai minyak bayi
(baby oil) dan meyakini bahwa tindakannya adalah bagian dari reality show (prank) untuk
sebuah acara TV di Jepang/Korea, di mana ia dibayar 400 ringgit Malaysia untuk melakukannya.
Terlepas apakah Aisyah jujur atau tidak, dalam perspektif viktimologi, pada posisi sosial seperti
ini di samping sebagai tersangka pelaku, Aisyah juga berhak untuk disebut sebagai korban.

Aisyah memiliki beberapa posisi sosial di mana dia rentan sebagai korban : (1) dia
perempuan; (2) ekonomi pas-pasan; (3) menjadi migran di negara orang; (4) lugu dan
berpendidikan rendah (tamatan SD saja); (5) berstatus janda dan memiliki pacar pria
berkewarganegaraan asing; di mana kesemuanya membuatnya tidak memiliki posisi tawar yang
tinggi. Dia terlalu lugu dan berpikiran pendek, sehingga mudah untuk dipengaruhi oleh pihak
lain, apakah mafia kejahatan terorganisir, apakah intelijen negara asing. Kemudian, yang
membuat Aisyah layak untuk disebut sebagai korban juga adalah keluguannya untuk melakukan
semprotan tersebut kepada Kim Jong Nam di tempat terbuka, di bandara internasional yang
tentunya diperlengkapi CCTV di mana-mana, dan di siang hari di mana aktivitas Bandara KLIA2
tengah ramai-ramainya. Karena, seorang pembunuh profesional tak akan melakukannya, kecuali
sebagai bagian dari kegiatan terorisme yang disengaja. Maka, Aisyah adalah terduga pelaku
sekaligus korban. Korban dari kejahatan terorganisasi yang memanfaatkan posisi sosialnya dan
kerentanannya.

Hukuman mati juga bertentangan dengan konsep pemasyarakatan yang kita anut. Dalam
prinsip pemasyarakatan, pidana yang dijatuhkan selalu ditujukan untuk menghukum perbuatan
bukan pelakunya. Oleh sebab itu secara ideal, lembaga pemasyarakatan selalu berfungsi sebagai
wadah untuk memperbaiki tabiat seseorang. Hukum selain memiliki unsur sanksi, juga memiliki
unsur reparatoir atau pemulihan kepada orang yang melakukannya, hukum demikian menjadi
sarana pembangunan untuk menciptakan manusia yang humanis, dan beradab, hukum seperti ini
adalah manfaat hukum yang membahagiakan sebagaimana yang pernah diungkapkan Satjipto
Rahardjo. Hukuman mati hanya akan menjadi bentuk rasa balas dendam negara terhadap suatu
kejahatan yang telah dilakukan, ia akan menjadi wajah buruk penegakan hukum yang tidak
mendidik dan merendahkan harkat serta martabat kemanusiaan.

Hukuman mati pada akhirnya juga akan mengkhianati tujuan pemeriksaan dalam suatu
tindak pidana, ia akan memutus rantai informasi terhadap orang dan bentuk kejahatan lain yang
masih bekerja di luar sana. Sebagaimana yang terjadi pada Freedy Budiman misalnya, hukuman
mati yang dilakukan padanya ternyata tidak dapat membongkar keterlibatan pejabat tinggi di
TNI, POLRI, dan BNN dalam bisnis narkoba sebagaimana yang pernah dicurhatkannya pada
Harris Azhar. Sama juga halnya dengan Siti Aisyah, vonis mati yang akan diterimanya nanti
tidak akan memberikan penjelasan keterlibatan Pejabat Pemerintahan Jong UN di Korea Utara.

Selain itu, pidana mati juga tidak layak diterapkan mengingat mayoritas badan peradilan
yang dimiliki belumlah kredibel, sehingga hukuman mati nantinya akan menyebabkan putusan
error in persona. Akibatnya putusan tidak berhasil merepresentasikan kebenaran materiil.
Sebagai contoh, tidak tersedianya layanan penerjemahan bahasa tagalog yang baik di tahapan
pemeriksaan kepolisian sampai persidangan membuat Marry Jane tidak benar-benar mengerti
akan apa yang sudah ditanyakan oleh aparatur penegak hukum. Putusan yang diproduksi dari
sistem semacam ini hanya akan membuktikan bahwa pengadilan Indonesia tidak mampu
menemukan kebenaran materiil seperti siapakah dan mengapa, serta bagaimana seseorang
melakukan tindak pidana, oleh sebab itu putusan dari proses pemeriksaan semacam ini sulit
untuk dipertanggungjawabkan. terpidana hukuman mati juga tidak dapat menjadi justice
collaborator yang ikut mengungkap kejahatan yang lebih besar daripada kasusnya sendiri.
Dengan model putusan semacam itu, Aparatur Penegak Hukum hanya akan menjadi Pemadam
Kebakaran yang hanya memadamkan api satu per satu.

Pembelaan terhadap Siti Aisyah dapat kita mulai dengan menaikkan posisi tawar
Indonesia dalam kebijakan moratorium hukuman mati. Akhirnya pembelaan terhadap Siti Aisyah
tidak hanya didasarkan untuk membela WNI semata, namun secara luas juga membela rasa
kemanusiaan itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai