Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan Islam sebagai salah satu aspek dari ajaran Islam, dasarnya
adalah Al-Quran dan Al-Hadits Nabi Muhammad saw. Dari kedua sumber
tersebut, para intelektual muslim kemudian mengembangkannya dan
mengklasifikannya kedalam dua bagian yaitu: Pertama, aqidah untuk
ajaran yang berkaitan dengan keimanan; kedua, adalah syariah untuk
ajaran yang berkaitan dengan amal nyata. Oleh karena pendidikan
termasuk amal nyata, maka pendidikan tercakup dalam bidang syariah.
Bila diklasifikasikan lebih lanjut, termasuk dalam sub bidang muamalah.
Hal tersebut menggariskan prinsip-prinsip dasar materi pendidikan
Islam yang terdiri atas masalah aqidah, ibadah dan muamalah, akhlaq,
hukum, sejarah dan dasar-dasar sains, hal tersebut pokok-pokok isi Al-
Quran, karena secara garis besar terdapat dalam Suroh Al-Fatihah
(Khotibul Umam dkk). Sebagai bantahan pendapat yang meragukan
terhadap adanya aspek pendidikan dalam Al-Quran, Abdul Rahman Saleh
Abdullah mengemukakan bahwa lafadh Tarbiyyah yang berasal dari
lafadh Rabb(mendidik dan memelihara) banyak terdapat dalam Al-
Quran; demikian pula kata Ilm yang demikian banyak dalam Al-Quran
menunjukkan bahwa Al-Quran tidak mengabaikan konsep-konsep yang
menunjukkan kepada pendidikan.
Hadits juga banyak memberikan dasar-dasar bagi pendidikan Islam.
Hadits sebagai pernyataan, pengalaman, taqrir dan hal ihwal Nabi
Muhammad saw., merupakan sumber ajaran Islam yang kedua sesudah Al-
Quran. Kita konsekuen bahwa dasar adalah tempat berpijak yang paling
mendasar, maka dasar pendidikan Islam yang paling utama hanyalah Al-
Quran dan Hadits Nabi Muhammad saw.
Demikian pula dengan pendidikan islam yang berusaha membentuk
pribadi melalui proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai islam
kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan,
pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensi dengan tujuan
yang jelas dan direncanakan. Pendidikan islam harus menyadari betul
dengan tujuan hakiki yang ingin dicapai dalam proses pendidikan.

Untuk itu pembahasan dalam makalah ini untuk menjelaskan mana,


tugas, fungsi dan tujuan pendidikan Islam dan hal-hal yang terkait
didalamnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mana pendidikan Islam ?
2. Bagaimana tugas pendidikan Islam ?
3. Bagaimana fungsi pendidikan Islam ?
4. Bagaimana tujuan pendidikan Islam ?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan mana pendidikan Islam
2. Menjelaskan tugas pendidikan Islam
3. Menjelaskan fungsi pendidikan Islam
4. Menjelaskan tujuan pendidikan Islam

BAB II
PEMBAHASAN

A. Mana Pendidikan Islam


Pendidikan Islam berawal dari tempat yang sangat sederhana, yaitu
serambi Masjid yang disebut As-Suffah. Namun, walaupun hanya dari
serambi masjid, tetapi mampu menghasilkan ilmu-ilmu ke Islaman yang
bisa dirasakan sampai dengan sekarang. Tidak hanya itu, dari serambi
masjid ini pula mampu mencetak ulama-ulama yang sangat dalam
keilmuannya dimana pengaruhnya sangat besar sekali bagi peradaban
Islam, bahkan juga mampu mempengaruhi peradaban-peradaban lain.
Sudah barang tentu, pendidikan menjadi syarat utama dalam
membangun sebuah peradaban yang besar. Oleh sebab itu, pendidikan
merupakan tema yang tidak pernah sepi dan selalu manarik perhatian
banyak kalangan. Sehingga, tarik-ulur konsep yang ideal pun selalu
mewarnai dalam sejarah perjalanan pendidikan. Begitu pun yang terjadi
dalam dunia Islam.

Pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada


lafadh at-tarbiyyah, at-tadib, dan at-Talim. Dari keriga istilah tersebut
term yang populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam adalah
term al-tarbiyah. Sedangkan term al-tadib dan al-talim jarang sekali
digunakan. Padahal kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal
pertumbuhan pendidikan Islam.1
Sekalipun demikian, dalam hal-hal tertentu, ketiga terma tersebut
memiliki kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap term memiliki
perbedaan, baik secara tekstual maupun kontekstual. Untuk itu, perlu
dikemukakan uraian dan analisis terhadap ketiga term pendidikan Islam
tersebut dengan beberapa argumentasi tersendiri dari beberapa pendapat
para ahli pendidikan Islam.

a. Tarbiyyah
Penggunaan istilah At-Tarbiyyah berasal dari kata Rabb. Walaupun
lafadh ini memiliki arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan

1 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: CIPUTAT PERS,
2002). hlm. 25

2
mana tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan
menjaga kelestarian atau eksistensinya.2
Dari segi etimologis, tiga asal lafadh tarbiyah yakni, raba, rabiya, dan
rabba, lafadh tarbiyyah mencakup mana yang sangat luas yakni (1) al-
nama yang berarti bertambah, berkembang, dan tumbuh menjadi besar
sedikit demi sedikit, (2) ashlahahu yang berarti memperbaiki
pembelajar jika proses perkembangan menyimpang dari nilai-nilai Islam,
(3) tawalla amrahu yang berarti mengurus perkara pembelajaran,
bertanggung jawab atasnya dan melatihnya, (4) raahu yang berarti
memelihara dan memimpin sesuai dengan potensi yang dimiliki dan
tabiatnya (5) at-tansyiah yang berarti mendidik, mengasuh, dalam arti
materi (fisiknya) dan immateri (qalbu, akal, jiwa, dan perasaannya),
yang kesemuannya merupakan aktivitas pendidikan.3
Menurut Syekh Ali, kalimat rabba memiliki arti yang banyak yakni
merawat, mendidik, memimpin, mengumpulkan, menjaga,
memperbaiki, mengembangkan, dan sebagainya. Daim menyimpulkan
bahwa mana tarbiyyah adalah merawat dan memperhatikan
pertumbuhan anak, sehingga anak tersebut tumbuh dengan sempurna
sebagaimana yang lainnya, yaitu sebuah kesempurnaan dalam setiap
dimensi dirinya, badan (kinestetik), roh, akal, kehendak, dan lain
sebagainya.4
Secara filosofis mengisyaratkan bahwa proses pendidikan Islam adalah
bersumber pada pendidikan yang diberikan Islam adalah bersumber
pada pendidikan yang diberikan Allah sebagai pendidik seluruh
ciptaan-Nya, termasuk manusia. Dalam konteks yang luas, pengertian
pendidikan Islam yang dikandung dalam term al-tarbiyah terdiri atas
empat unsur pendekatan, yaitu:5
1. Memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa
(baligh)
2. Mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan
3. Mengarahkan seluruh fitrfah menuju kesempurnaan
4. Melaksanakan pendidikan secara bertahap.
Dari penjelasan tersebut dapat diringkas bahwa prinsip-prinsip dasar
pengertian tarbiyah dalam Islam adalah:6
pertama, bahwa murabbi (pendidik) yang sebenarnya hanyalah Allah,
2 Ibid., hlm. 25

3 Maragustam, Mencetak Pembelajaran Menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam) (Yogyakarta: Nuha
Litera, 2010), hlm. 22

4 Ibid., hlm. 22

5 Samsul Nizar, Filsafat..., hlm. 26

3
karena Dia Pencipta fitrah, potensi kekuatan dan kelemahan, dan paling
tahu tentang hakikat manusia itu sendiri, karenanya perlu dipelajari
terus menerus siapa sebenarnya manusia itu sesuai dengan perintah
Tuhan. Kedua, penumbuhan dan pengembangan secara sempurna
semua dimensi manusia baik materi, seperti fisiknya, maupun immateri
seperti akal, hati, kehendak, kemauan adalah tanggung jawab manusia
sebagai konsekwensi menjalankan fungsinya sebagai hamba Tuhan dan
sebagai fungsi khalifah. Ketiga, dalam proses tarbiyah seharusnya
mengambil nilai dan dasarnya dari Al-Quran dan Sunnah dan berjalan
sesuai dengan sunnatullah yang digariskan-Nya. Keempat, setiap
aktivitas tarbiyah mengarah kepada penumbuhan, perbaikan,
kepemimpinan, atau penjagaan setiap dimensi dalam diri manusia, baik
aktivitas itu direkayasa atau secara nattural. Kelima, tarbiyah yang
direkayasa mengharuskan adanya rencana yang teratur, sistematis,
bertahap, berkelanjutan dan fleksibel. Keenam, bahwa yang menjadi
subjek sekaligus objek dalam aktivitas tarbiyah adalah
manusia. Ketujuh, bahwa kata tarbiyah tida terbatas pengetiannya
sebagai sekedar transfer ilmu, budaya, tradisi, dan nilai tetapi juga
pembentukan kepribadian (transformatif) yang dilakukan secara
bertahap.

b. Taliim
Istilah at-Taliim telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan
pendidikan Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal
dibanding dengan al-Tarbiyah maupun al-Tadib. Rasyid Ridha
mengartikan at-Taliim sebagai proses transmisi berbagai ilmu
pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan
tertentu.7
Jalal memberikan alasan bahwa proses talim lebih umum
dibandingkan dengan proses tarbiyyah:8
Pertama, ketika mengajarkan membaca Al-Quran kepada kaum
muslimin, Rasulullah SAW tidak terbatas pada membuat mereka sekedar
dapat membaca, melainkan membaca dengan perenungan yang
berisikan pemahaman, pengertian, tanggung jawab, penanaman
amanah sehingga terjadi pembersihan diri (tazkiyah an-nufus) dari
segala kotoran, menjadikan dirinya dalam kondisi siap menerima
hikmah, dan mempelajari segala sesuatu yang belum diketahuinya dan
yang tidak diketahuinya serta berguna bagi dirinya
6 Maragustam, Mencetak..., hlm. 23

7 Samsul Nizar, Filsafat..., hlm. 27

8 Maragustam, Mencetak..., hlm. 25-26

4
Kedua, kata Taliim tidak berhenti hanya kepada pencapaian
pengetahuan berdasarkan prasangka atau yang lahir dari taklid semata-
mata, ataupun pengetahuan yang lahir dari dongengan hayalan dan
syahwat atau cerita-cerita dusta.
Ketiga, kata Talim mencakup aspek-aspek pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidupnya serta
pedoman perilaku yang baik.
Dengan demikian kata Talim menurut Jalal mencakup ranah kognitif,
afektif, dan psikomotorik dan berlangsung sepanjang hayat serta tidak
terbatas pada masa bayi dan kanak-kanak, tetapi juga orang dewasa.
Sementara itu Abrasyi, menjelaskan kata taklim hanya merupakan
bagian dari tarbiyah karena hanya menyangkut domain kognitif. Al-Attas
menganggap kata Taliim lebih dekat kepada pengajaran atau
pengalihan ilmu dari guru kepada pembelajaran, bahkan jangkauan
aspek kognitif tidak memberikan porsi pengenalan secara mendasar.9

c. Tadib
Al-Attas menawarkan satu istilah lain yang menggambarkan
pendidikan Islam, dalam keseluruhan esensinya yang fundamental yakni
kata takdib. Istilah ini mencakup unsur-unsur pengetahuan (ilm),
pengajaran (taklim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Istilah takdib
dapat mencakup beberapa aspek yang menjadi hakikat pendidikan yang
saling berkaitan, seperti ilm (ilmu), adl (keadilan), hikmah (kebajikan),
aml (tindakan), haqq (kebenaran), natq (nalar) nafs (jiwa), qalb (hati),
aql (akal), maratib dan derajat (tatanan hirarkis), ayah (simbol),
dan adb (adab). Dengan mengacu pada kata adb dan kaitan-kaitanya
seperti di atas, definisi pendidikan bagi al-Attas adalah: 10 Sebagai
pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan
ke dalam manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala
sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini
membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang
tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian.
Mana at-tadib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara
berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik)
tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan
penciptaan.11

B. Tugas Pendidikan Islam

9 Ibid., hlm. 26

10 Ibid., hlm. 27

11 Samsul Nizar, Filsafat..., hlm. 30

5
Pertumbuhan dan perkembangan alat-alat potensial fitrah manusia tetap
dipengaruhi oleh alam sekitarnya, hal tersebut berpengaruh terhadap sikap manusia,
cara pandang terhadap suatu masalah yang pada akhirnya nanti pengaruh
lingkungan tersebut menjadi sandaran terhadap tingkah laku untuk selamanya atau
hanya berlaku pada masa tertentu dan tempat di mana orang tersebut berinteraksi.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman di dalam Al Quran, surat Asy-Syams (91) ayat 8-
10:

Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan


ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
(Asy-Syams (91) : 8-10)

Sifat manusia bagai dua sisi mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan;
manusia memiliki sifat yang mengarahkan dirinya kepada jalan yang lurus dan begitu
pula sebaliknya dapat membawanya ke jurang nista dan penuh dosa. Melihat hal ini
maka tugas pendidikan Islam adalah mengantarkan potensi baik manusia ke dalam
permukaan tingkah laku dan selanjutnya berusaha menekan sifat jahat manusia.

Prof. H Muzayin Arifin, M.Ed. menegaskan pendapatnya tentang hal ini. Tugas
pendidikan adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan
manusia dari tahap ke tahap lain sampai meraih titik kemampuan yang optimal.
Bimbingan dan pengarahan tersebut menyangkut predisposisi (kemampuan dasar)
serta akal manusia yang mengandung kemungkinan-kemungkinan berkembang ke
arah kematangan yang optimal. Potensi atau kemungkinan berkembang dalam diri
manusia itu baru dapat berlangsung dengan baik bilamana diberi kesempatan yang
cukup baik dan favorable untuk berkembang melalui pendidikan yang terarah.
Kemampuan potensi diri manusia baru aktual dan fungsional bila disediakan
kesempatan untuk muncul dan berkembang dengan menghilangkan segala
gangguan yang dapat menghambatnya. Hambatan-hambatan mental dan spiritual
banyak corak dan jenisnya seperti hambatan pribadi dan hambatan sosial yang
berupa hambatan emosional dan lingkungan masyarakat yang tidak mendorong
kepada kemajuan pendidikan sebagainya. 12

Untuk mencapai tugas pendidikan Allah memberikan bagi manusia akal, dengan
potensi akal ini diharapkan manusia dapat memilah dan memilih mana yang baik dan
mana yang buruk. Keadilan Allah mengenai akal tidak pernah ditujukan kepada satu
kaum saja akan tetapi diberikan kepada seluruh umat manusia yang
membedakannya hanya pada kemampuan mengolah serta memanfaatkannya.

12 Prof. Muzayin Arifin, M.Ed., Filsafat .., hlm. 33-34.

6
Pendidikan Islam bertugas di samping menginternalisasikan
(menanamkan dalam pribadi) nilai-nilai Islamy, juga mengembangkan
anak didik agar mampu melakukan pengamalan nilai-nilai itu secara
dinamis dan fleksibel dalam batas-batas konfigurasi idealitas wahyu Allah
SWT. Hal ini berarti Pendidikan Islam secara optimal harus mampu
mendidik anak didik agar memiliki kedewasaan atau kematangan dalam
beriman, bertaqwa, dan mengamalkan hasil pendidikan yang diperoleh,
sehingga menjadi pemikir yang sekaligus pengamal ajaran Islam, yang
dialogis terhadap perkembangan kemajuan zaman. Dengan kata lain,
Pendidikan Islam harus mampu menciptakan para mujtahid baru dalam
bidang kehidupan duniawi-ukhrawi yang berkesinambungan secara
interaktif tanpa pengkotakan antara kedua bidang itu.
Dalam konteks mengajar, pendidik mesti menyadari bahwa setiap
mata pelajaran mestinya membawa dan mengandung unsur pendidikan
dan pengajaran. Unsur pendidikan, dimanai dapat membina dan
menempa karakter pendidik agar berjiwa jujur, bekerja secara cermat dan
sistematik. Sedangkan unsur pengajaran dimanai untuk memberikan
pemahaman kepada peserta didik kepada setiap mata pelajaran yang
diterimanya.
Secara khusus, bila dilihat tugas guru pendidikan agama (Islam)
adalah di samping harus dapat memberikan pemahaman yang benar
tentang ajaran agama, juga diharapkan dapat membangun jiwa dan
karakter keberagamaan yang dibangun melalui pengajaran agama
tersebut. Artinya tugas pokok guru agama menurut Abuddin Nata adalah
menanamkan ideologi Islam yang sesunggunya pada jiwa anak.13
Pada uraian yang lebih jelas Abuddin Nata lebih merinci bahwa tugas
pokok guru (pendidik) adalah mengajar dan mendidik. Mengajar disini
mengacu kepada pemberian pengetahuan (transfer of knowledge) dan
melatih keterampilan dalam melakukan sesuatu, sedangkan mendidik
mengacu pada upaya membina kepribadian dan karakter si anak dengan
nilai-nilai tertentu, sehingga nilai-nilai tersebut mewarnai kehidupannya
dalam bentuk perilaku dan pola hidup sebagai manusia yang berakhlak.
Apabila pendidik dilihat dalam konteks yang luas, maka tugas
pendidik bukan hanya di sekolah (madrasah) tetapi dapat juga
melaksanakan tugasnya di rumah tangga. Menurut Ahmad Tafsir, 14 tugas
mendidik di rumah tangga dapat dilaksanakan dengan mudah, karena
Tuhan (Allah) telah menciptakan landasannya, yaitu adanya rasa cinta

13 Abuddin Nata, Paradigma ..op.cit., h. 135.

14 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), cet.ke-5, h. 135-
136

7
orang tua terhadap anaknya yang merupakan salah satu dari fitrahnya.
Rasa cinta terlihat misalnya dalam Al-Quran surat Al-Kahfi (18) ayat 46,




Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-
amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi
Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (Q.S. Al-Kahfi (18) :
46)

Dan surat Al-Furqan(25) ayat 74.





Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada
Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati
(Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa( Q.S. Al-Kahfi (18) ayat 46).

Cinta kepada anak-anak telah diajarkan juga oleh Rasulullah kepada para
sahabat


.
( )
Seorang Baduwi datang kepada Muhammad saw. dan bertanya,
Apakah engkau menciumi putra-putri engkau? Kami tidak pernah
menciumi anak-anak kami. Orang yang mulia itu berkata, Apakah
kamu tidak takut Allah akan mencabut kasih sayang dari hatimu?
(H.R Bukhari). N0. 5998.

Ramayulis, menguraikan tugas pendidik sebagai waratsat al-anbiya


(pewaris nabi), pada hakekatnya mengemban misi Rahmat lil Aalamiin
yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada
hukum-hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat.
Untuk melaksanakan tugas demikian, pendidik harus bertitik tolak pada
amar maruf nahi mungkar, menjadikan prinsip tauhid sebagai pusat
kegiatan penyebaran misi iman, Islam dan ihsan, kekuatan yang
dikembangkan oleh pendidik adalah individualitas, sosial dan moral. 15 Muh.
Uzer Usman, menjelaskan bahwa tugas guru (pendidik) sebagai profesi
meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan
dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berati meneruskan dan

15 Ramayulis, op.cit., h. 88.

8
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih
berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa.16
Pada bagian lain, Usman menyoroti tugas guru dalam bidang
kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua
kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga ia menjadi idola para
siswanya. Pelajaran apapun yang diberikan hendaknya dapat motivasi
bagi siswanya dalam belajar.
Sedangkan tugas guru pada bagian lain adalah terhadap kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada bidang ini guru
merupakan komponen strategis yang memilih peran yang penting dalam
menentukan gerak maju kehidupan bangsa.17
Berkaitan dengan tugas pendidik dalam bidang kemanusiaan ini,
Muhammad Fadhil al-Jamili, menguraikan bahwa pendidik sebagai
manusia dalam melaksanakan tugasnya harus menjauhi sifat materialistis,
mempunyai tanggungjawab sosial, selalu membekali dengan keilmuan dan
mengajarkannya kepada peserta didik, menempatkan peserta didik
sebagai manusia yang patut dihormati.18
Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa tugas guru (pendidik) ialah
mendidik. Mendidik sebagian dilakukan dalam bentuk mengajar sebagian
dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi
contoh, membiasakan. Dalam pendidikan di sekolah, tugas guru (pendidik)
sebagian besar adalah mendidik dengan cara mengajar. Tugas pendidik di
dalam rumah tangga membiasakan, memberikan contoh yang baik,
memberikan pujian, dorongan yang diperkirakan menghasilkan pengaruh
positif bagi pendewasaan anak (peserta didik).19
Al-Ghazali menyusun sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik adalah
(1) memandang murid seperti anaknya sendiri, (2) tidak mengharapkan
upah atau pujian, tetapi mengharapkan keridhaan Allah dan berorientasi
mendekatkan diri kepada-Nya, (3) memberi nasehat dan bimbingan
kepada murid bahwa tujuan menuntut ilmu ialah mendekatkan diri kepada
Allah, (4) Menegur murid yang bertingkah laku buruk dengan cara
menyidir atau kasih sayang, (5) tidak fanatik terhadap bidang studi yang
diasuhnya, (6) memperhatikan fase perkembangan berpikir murid, (7)

16 Muh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya,


2003), h. 7.

17 Ibid. Lihat juga Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Bogor, Kencana, 2003), h. 142-143

18 Muhammad Fadhil al-Jamili, al-Falsafah al-Tarbiyah fi al-Quran, (t.tp: Dar al-Kitab al-Arabiy, t.th), h. 13-17

19 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan.., op.cit., h. 78-79

9
memperhatikan murid yang lemah dengan memberinya pelajaran yang
mudah dan jelas dan (8) mengamalkan ilmu.20
Abdullah Nashih Ulwan berpendapat bahwa tugas guru (pendidik)
ialah melaksanakan pendidikan ilmiah, karena ilmu mempunyai pengaruh
yang besar terhadap pembentukan kepribadian dan emansipasi harkat
manusia.21 Abdurrahaman An-Nahlawi menjelaskan bahwa tugas pendidik
ialah mengkaji dan mengajarkan ilmu Ilahi, sesuai dengan Firman Allah:
Surat Ali Imran (3) ayat 79:




Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-
Kitab, al-Hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:
Hendaklah kamu menjadi hamba-hambaku, bukan hamba-hamba
Allah. Akan tetapi (hendaknya dia berkata): Hendaklah kamu
menjadi orang-orang rabbani (orang yang sempurna ilmu dan
taqwanya kepada Allah SWT), karena kamu selalu mengajarkan al-
Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (Q.S Ali Imran
(3): 79)

An-Nahlawi memberikan pandangnya bahwa tugas pokok guru


(pendidik) dalam Islam adalah: (1) tugas pensucian, guru (pendidik)
hendaknya mengembangkan dan membersihkan jiwa peserta didik agar
dapat mendekatkan diri kepada Allah, menjauhkannya dari keburukkan
dan menjaganya agar tetap berada pada fitrahnya, (2) tugas pengajaran,
guru (pendidik) hendaknya menyampaikan berbagai pengetahuan dan
pengalaman kepada peserta didik untuk diterjemahkan dalam tingkah laku
dan kehidupannya.22 Sejalan dengan ini, al-Ghazali, yang dikutip Samsul
Nizar, menjelaskan pula bahwa tugas pendidik yang utama adalah
menyempurnakan, membersihkan, mensucikan serta membawa hati
manusia untuk taqarrub ila Allah. Para pendidik hendaknya mengarahkan
peserta didik untuk mengenal Allah lebih dekat melalui seluruh ciptaan-
Nya.23

20 Al-Ghazali, op.cit., h. 212-223, lihat juga Hery Noer Aly, op.cit., h. 96-99

21 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Awlad fi al-Islam, (Beirut: Darul Salam, 1994) cet.III, terjemahan Jamaluddin
Miri, Pendidikan Anak dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 301

22 Abdurrahaman an-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha fi al-Bait wa al-Madrasah wa al-


Mujtama, (Bairut, Libanon: Dar al-Fikr al-Muasyir, 1983) edisi Indonesia terj. Shihabuddin, Pendidikan Islam di
Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 170.

10
Berkaitan dengan pendidikan ilmiah ini, hal yang utama harus
dikembangkan oleh pendidik adalah pengembangan akal peserta didik.
Dengan melakukan hal demikian peserta didik dapat mengembangkan
akalnya secara maksimal. Sehingga tokoh pendidik Padang, Abdullah
Ahmad menjelaskan bahwa sesungguhnya akal merupakan nikmat Allah
yang terbesar kepada manusia.24 Manusia sebagai pendidik akan
memberikan pemahaman pemikiran yang terintegral dalam proses
pembelajaran, sehingga pendidik merasa bertanggungjawab untuk
mengembangkan akal peserta didik sebagai konsekuensi pekerjaannya.25
Pada sisi yang berbeda, pendidik bukan hanya sebagai pengajar,
tetapi sekaligus sebagai pembimbing, pelatih bahkan pencipta perilaku
peserta didik.26 Dalam tugasnya sehari-hari yang menjadi fokus utama
pendidik mesti melingkupi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, karena
ke depan tugas pendidik semakin kompleks, sehingga diharapkan pendidik
untuk bekerja lebih keras dengan tekun dan loyalitas untuk menciptakan
dan mengembangkan sumber daya manusia.
Pada batasan yang berbeda Samsul Nizar merinci tugas pendidik
adalah pertama, sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas
merencanakan program pengajaran, melaksanakan penilaian setelah
program tersebut dilaksanakan, kedua, sebagai pendidik (edukator) yang
mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan kepribadian
sempurna (insan kamil), seiring dengan tujuan penciptaan-Nya, ketiga,
sebagai pemimpin (managerial) yang memimpin, mengendalikan diri (baik
diri sendiri, peserta didik maupun masyarakat), upaya pengarahan,
pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan dan partisipasi atas
program yang dilakukan.27
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidik
merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan bimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan

23 Samsul Nizar, op.cit., h. 44

24 Amirsyahruddin, Integrasi Imtaq dan Iptek dalam Pandangan Dr. H. Abdullah Ahmad, (Padang: Syamsa Offset,
1999), h. 35.

25 Khalil Abu al-Ainin, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Quran al-Karim, h. 167

26 Abdurrahaman Masud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma
Pendidikan Islam), (Yogyakarta; Gama Media, 2002), h. 196-197

27 Samsul Nizar, loc.cit

11
pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan
tinggi. 28
Dalam mengajarkan Pendidikan Agama Islam, tugas pendidik menurut
Malik Fadjar adalah menanamkan rasa dan amalan hidup beragama bagi
peserta didiknya. Dalam hal ini yang dituntut adalah bagaimana setiap
pendidik agama mampu membawa peserta didik untuk menjadikan
agamanya sebagai landasan moral, etik dan spritual dalam kehidupan
kesehariannya.29
Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa tugas pendidik adalah
melaksanakan proses pembelajaran yang terintegrasi dalam kegiatan
mendidik, mengajar dan melatih sehingga terlaksananya empat pilar
pendidikan yakni belajar mengetahui (learning to know), belajar berbuat
(learning to do), belajar menjadi seseorang (learning to be), dan belajar
hidup bermasyarakat (learning to live together).30
Agar pendidik dapat melaksanakan tugasnya, sebagai pendidik mesti
mempunyai sifat profesionalisme. Abuddin Nata menjelaskan bahwa sifat
profesionalisme itu dapat dilihat dari ciri-ciri: (a) mengandung unsur
pengabdian, di mana pendidik mesti dalam melaksanakan tugasnya
memberikan pelayanan kepada masyarakat, pelayanan dapat berupa
pelayanan individu, dan bersifat kolektif. (b) mengandung unsur idealisme,
di mana bekerja sebagai pendidik bukan semata-mata mencari nafkah,
tetapi mengajar merupakan untuk menegakkan keadilan, kebenaran,
meringankan beban penderitaan manusia. (c) mengandung unsur
pengembangan, di sini maknanya adalah pendidik mempunyai kewajiban
untuk menyempurnakan prosedur kerja yang mendasari pengabdiannya
secara terus menerus31. Berkaitan dengan profesional ini, Muh. Uzer
Usman menjelaskan bahwa guru (pendidik) profesional adalah guru yang
memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan
sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru
(pendidik) dengan kemampuan maksimal. Agar profesional dapat berjalan
sesuai dengan aturanya, maka profesi mempunyai persyaratan khusus,
yakni: (a) menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan
teori ilmu pengetahuan yang mendalam, (b) menekankan pada suatu
keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya, (c)
menuntut adanya tingkat pendidikan keguruan yang memadai, (d) adanya
28 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 20

29 Muhaimin, Wacana op.cit., h. 216-217

30 Syaikh Hasan Hasan Manshur, Manhajul Islam fi Tarbiyyah al-Syabab, (Cairo: Al Ahram, 1997), Edisi Indonesia
terj. Abu Fahmi Huaidi Metode Islam dalam Mendidik Remaja, (Jakarta: Mustaqiim, 2002), h. 145-148

31 Abuddin Nata, Paradigma .. op.cit., h. 136-138

12
kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang
dilaksanakannya, dan (e) memungkinkan perkembangan sejalan dengan
dinamika kehidupan. 32[
Sikap profesional tidak bisa bertahan dengan sendirinya tanpa
dilakukan pengembangan dan penambahan dari segi keilmuan. Agar
pendidik selalu mempunyai sikap profesi secara kontiniu, maka harus
menguasai hal-hal sebagai berikut: pertama, menguasai bidang keilmuan,
pengetahuan dan keterampilan yang akan diajarkan kepada peserta
didiknya, kedua, harus memiliki kemampuan menyampaikan
pengetahuan yang dimilikinya secara efisien dan efektif, ketiga, harus
memiliki kepribadian dan budi pekerti yang mulia yang dapat mendorong
para siswa untuk mengamalkan ilmu yang diajarkannya.33
Di samping itu, sikap profesional pendidik juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang terdapat dalam sekolah/madrasah. Dalam hal ini,
Ahmad Tafsir menjelaskan cara menerapkan sikap profesional di
sekolah/madrasah, yakni: pertama, adanya profesional pada tingkat
yayasan atau pemegang kekuasaan penyelenggara sekolah/madrasah,
kedua, menerapkan profesional pada tingkat pimpinan sekolah, ketiga,
menerapkan profesional pada tingkat tenaga pengajar, dan keempat,
melaksanakan profesional tenaga tata usaha sekolah/madrasah.34
Ahmad Barizi, editor buku Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik
Fadjar, menguraikan bahwa pendidik yang profesional tidak saja
knowledge based, tetapi lebih bersifat competency based, yang
menekankan pada penguasaan secara optimal konsep keilmuan
berdasarkan nilai-nilai etika dan moral. 35 Bahkan pendidik mesti
melaksanakan konsep humanisme religius. Humanisme religius adalah
pengembangan individu dalam rangka menerapkan dan meraih
tanggungjawab (istikmal atau perfection), sehingga ucapan, cara bersikap
dan tingkah laku guru ditunjukkan agar peserta didik bisa menjadi insan
kamil yakni sempurna dalam kaca mata peradaban manusia dan
sempurna dalam standar agama. 36
Di samping pendidik memiliki sifat profesionalisme dalam
melaksanakan tugasnya, dalam era globalisasi sekarang yang serba
32 Muh. Uzer Usman, op.cit., h. 14-15

33 Abuddin Nata, op.cit., h. 139-140

34 Ahmad Tafsir, op.cit., h. 116-119

35 Ahmad Barizi, op.cit., h. 190

36 Abdurrahaman Masud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma
Pendidikan Islam), (Yogyakarta; Gama Media, 2002), h. 196-197

13
kompleks, pendidik harus melakukan hal-hal sebagai berikut: pertama,
diperlukan adanya kegiatan orientasi secara periodik antar pendidik,
kedua, mengarahkan penataran dan penyetaraan yang sedang berlaku
kepada pengembangan wawasan dan bukan semata pada hal-hal yang
bersifat teknis, seperti hanya berkisar pada persoalan instruksionalnya
tetapi lebih jauh dari itu adalah yang bersifat penalaran konsepsional,
ketiga, ada baiknya buku paket untuk pendidik, karena keterbatan
pendidik memiliki sumber belajar dan informasi.37
Pelaksanaan tugas pendidik di lapangan sebagai tenaga profesional
akan menghadapi problema yang serius, sehingga dapat menghambat
tugas-tugasnya sehari-hari. Agar tugas tugas tersebut dapat berjalan
lancar, maka pendidik harus bersandar dan mempraktekkan kewajiban-
kewajibannya sebagai berikut: pertama, menekuni pekerjaan seorang
pendidik harus ikhlas dalam mengajarkan pelajaran kepada para pendidik
dengan teliti dan yakin akan pemahaman yang ditangkap oleh mereka,
serta mengikutsertakan ujian dari satu waktu ke waktu lain. juga tidak
membiarkan sedikitpun waktu yang telah ditentukan untuk mengajar
berlalu tanpa tanpa hasil bagi para pendidik, kedua, seorang guru harus
mengambil contoh yang baik dari Rasulullah saw. sebagai orang yang
pertama yang mengajarkan manusia tanpa mengharapkan balasan
apapun secara keseluruhan, ketiga, seorang guru harus puas dengan gaji
yang diberikan negara baginya dan harus berkeyakinan bahwa pahala
yang besar hanya dari Allah, serta harus selalu mengingat sabda
Rasulullah saw., keempat, seorang guru harus memperhatikan para pelajar
dalam belajarnya seperti perhatiannya terhadap anak kandungnya sendiri,
karena statusnya sebagai pengganti kedua orang tuanya.38[
Pada bagian lain, pendidik harus memiliki krakteristik profesional,
yakni; pertama, komitmen terhadap profesionalitas, kedua, menguasai
dan mampu mengembangkan serta menjelaskan fungsi ilmu dalam
kehidupan, mampu menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, ketiga,
mendidik dan menyiapkan peserta didik yang memiliki kemampuan
berkreasi, mengatur dan memelihara hasil kreasinya supaya tidak
menimbulkan malapeta bagi diri, masyarakat dan lingkungannya,
keempat, mampu menjadikan dirinya sebagai model dan pusat anutan
(centre of self-identification), teladan, dan konsultan bagi peserta
didiknya, kelima, mampu bertanggungjawab dalam membangun
peradaban di masa depan (civilization of the future). 39]

37 Ahmad Barizi, op.cit., 193-194

38 Syaikh Hasan Hasan Manshur, Manhajul Islam fi Tarbiyyah al-Syabab, (Cairo: Al Ahram,
1997), Edisi Indonesia terj. Abu Fahmi Huaidi Metode Islam dalam Mendidik Remaja,
(Jakarta: Mustaqiim, 2002), h. 145-148

14
Sedangkan M. Arifin menegaskan bahwa guru (pendidik) yang
profesional adalah guru (pendidik) yang mampu mengejawantahkan
seperangkat fungsi dan tugas keguruan dalam lapangan pendidikan
berdasarkan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan
khusus di bidang pekerjaan yang mampu mengembangkan kekaryaannya
itu secara ilmiah di samping mampu menekuni profesinya selama
hidupnya.40[
Di samping pendidik memiliki sifat profesional, pendidik menurut an-
Nahlawi harus memiliki sifat. Sifat pendidik tersebut adalah: pertama,
harus memiliki sifat rabbani, kedua, hendaknya menyempurnakan sifat
rabbaniahnya dengan keikhlasan, ketiga, hendaknya mengajarkan ilmunya
dengan sabar, keempat, ketika menyampaikan ilmu kepada peserta didik,
harus memiliki kejujuran dengan menerapkan apa apa yang ia ajarkan
dalam kehidupan pribadinya, kelima, harus senantiasa meningkatkan
wawasan, pengetahuan, dan kajiannya, keenam, harus cerdik dan terampil
dalam menciptakan metode pengajaran yang variatif serta sesuai dengan
situasi dan materi pelajaran, ketujuh, harus mampu bersikap tegas dan
meletakkan sesuatu sesuai proporsinya, kedelapan, harus memahami
psikologi peserta didik, kesembilan, harus peka terhadap fenomena
kehidupan, kesepuluh, harus memiliki sikap adil terhadap seluruh peserta
didiknya. 41

Sebagai pengembangan potensi tugas pendidikan Islam adalah


menemukan dan mengembangkan kemampuan dasar yang dimiliki
peserta didik, sehingga dapat di aktualisasikan dalam kehidupan sehari-
hari 42. Sementara sebagai pewarisan budaya, tugas pendidikan islam
adalah alat transmisi unsur-unsur pokok budaya dari satu generasi ke
generasi berikutnya, sehingga identitas umat tetap terpelihara dan
terjamin dalam tantangan zaman. Adapun sebagai interaksi potensi dan
budaya, tugas pendidikan Islam adalah sebagai proses transaksi (memberi
dan mengadopsi) antara manusia dan lingkungannya. Dengan proses ini,
peserta didik (manusia) akan dapat menciptakan dan mengembangkan
ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan untuk mengubah atau

39 Muhaimin, Wacana op.cit., h. 216-217

40 H. M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h.
106

41 Abdurrahman an-Nahlawi, op.cit., h. 170-176

42 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta : Pustaka


Al Husna, 1988), h. 57

15
memperbaiki kondisi-kondisi kemanusiaan dan lingkungannya.43. Untuk
menjamin terlaksananya tugas pendidikan Islam secara baik, hendaknya
terlebih dahulu dipersiapkan situasi-kondisi pendidikan yang bernuansa
elastis, dinamis, dan kondusif yang memungkinkan bagi pencapaian tugas
tersebut. Hal ini berarti bahwa pendidikan Islam dituntut untuk dapat
menjalankan fungsinya, baik secara struktural maupun
institusional.Secara struktural, pendidikan Islam menuntut adanya struktur
organisasi yang mengatur jalannya proses pendidikan. Baik pada dimensi
vertikal maupun horizontal.

C. Fungsi Pendidikan Islam

Sementara secara institusional, ia mengandung implikasi bahwa proses


pendidikan yang berjalan hendaknya dapat memenuhi kebutuhan dan
mengikuti perkembangan zaman yang terus berkembang. Untuk itu
diperlukan kerjasama berbagai jalur dan jenis pendidikan mulai dari sistem
pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah.44. Semakin luas
wawasan manusia terhadap dirinya dan alam sekitarnya, semakin banyak
hal yang ingin diketahuinya, lewat pendidikan, kecenderungan (fitrah)
ingin tahu (curiosity) itu dilayani dan dibimbing sehingga muncullah
berbagai ilmu pengetahuan baru yang sebelumnya masih tersembunyi.
Dengan demikian pendidikan berfungsi sebagai kunci pembuka jalan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan berbagai ketrampilan, tanpa
pendidikan semua tidak akan terjadi.Dari kajian antropologi dan sosiologi
secara sekilas kajian diatas dapat diketahui adanya 3 fungsi pendidikan :

a. Mengembangkan manusia subyek didik mengenai dirinya dan alam


sekitarnya, sehingga dengannya akan timbul kemampuan membaca
(analisis), akan mengembangkan kreativitas dan produktivitas.

b. Melestarikan nilai-nilai insani yang akan menuntun jalan kehidupannya


sehingga keberadaannya, baik secara individual maupun sosial lebih
bermakna.

c. Membuka ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang sangat bermanfaat


bagi kelangsungan dan kemajuan hidup individu maupun social.45.
Fungsi pendidikan Islam, dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqoroh (2) : 151

43 Ibid

44 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), hlm. 33-
34

45 Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 33

16





Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut,


disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah
sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. tempat kembali
mereka ialah neraka; dan Itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-
orang yang dhalim.

Q.S. Al Baqarah (2) : 151

Ssebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu)


Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang
membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan
mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan
kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.

Dari ayat di atas ada lima 5 fungsi pendidikan yang dibawa Nabi
Muhammad, yang dijelaskan dalam tafsir al-Manar karangan Muhammad
Abduh adalah : Yang dimaksud dengan 5 fungsi pendidikan ialah :

a. Membacakan ayat-ayat kami, (ayat-ayat Allah) ialah membacakan


ayat-ayat dengan tidak tertulis dalam Al-Quran (Al-Kauniyah), ayat-ayat
tersebut tidak lain adalah alam semesta. Dan isinya termasuk diri
manusia sendiri sebagai mikro kosmos.46 Dengan kemampuan membaca
ayat-ayat Allah wawasan seseorang semakin luas dan mendalam,
sehingga sampai pada kesadaran diri terhadap wujud zat Yang Maha
Pencipta (yaitu Allah).

46 M. Abduh, Tafsir al-Manar, Juz III (Beirut : Darul Maarif, t.th), hlm. 29

17
b. Menyucikan diri merupakan efek langsung dari pembacaan ayat-ayat
Allah setelah mengkaji gejala-gejalanya serta menangkap hukum-
hukumnya. Yang dimaksud dengan penyucian diri menjauhkan diri dari
syirik (menyekutukan Allah) dan memelihara akhlaq al-karimah.
Dengan sikap dan perilaku demikian fitrah kemanusiaan manusia akan
terpelihara.

c. Yang dimaksud mengajarkan al-kitab ialah Al-Quran Al-Karim yang


secara eksplisit berisi tuntunan hidup. Bagaimana manusia
berhubungan dengan tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam
sekitarnya.

d. Hikmah, menurut Abduh adalah hadits, akan tetapi al-hikmah diartikan


lebih luas yaitu kebijaksanaan, maka yang dimaksud ialah
kebijaksanaan hidup berdasarkan nilai-nilai yang datang dari Allah dan
Rasul-Nya. Walaupun manusia sudah memiliki kesadaran akan perlunya
nilai-nilai hidup, namun tanpa pedoman yang mutlak dari Allah, nilai-
nilai tersebut akan nisbi. Oleh karena itu, menurut Islam nilai-nilai
kemanusiaan harus disadarkan pada nilai-nilai Ilahi (Al-Quran dan
sunnah Rasulullah)

e. Mengajarkan ilmu pengetahuan, banyak ilmu pengetahuan yang belum


terungkap, itulah sebabnya Nabi Muhammad mengajarkan pada
umatnya ilmu pengetahuan yang belum diketahui oleh umat
sebelumnya. Karena tugas utamanya adalah membangun akhlaq al-
Karimah.47

Namun sebagai antisipasi kedepan dan dalam memberikan wawasan


global, nabi banyak menganjurkan umatnya untuk belajar dan menuntut
ilmu dari siapa saja dan dari manapun sumbernya :
Tuntutlah ilmu walau ke negeri China Dengan mengembalikan kajian
antropologi dan sosiologi ke dalam perspektif Al-Quran dapat disimpulkan
bahwa fungsi pendidikan Islam adalah : a). Mengembangkan wawasan
yang tepat dan benar mengenal jati diri manusia, alam sekitarnya dan
mengenai kebesaran Ilahi, sehingga tumbuh kemampuan membaca
(analisis) fenomena alam dan kehidupan serta memahami hukum-hukum
yang terkandung didalamnya. Dengan himbauan ini akan menumbuhkan
kreativitas sebagai implementasi identifikasi diri pada Tuhan pencipta
b). Membebaskan manusia dari segala analisis yang dapat merendahkan
martabat manusia (fitrah manusia), baik yang datang dari dalam dirinya

47 Ibid., hlm. 30

18
sendiri maupun dari luar. c). Mengembalikan ilmu pengetahuan untuk
menopang dan memajukan kehidupan baik individu maupun sosial. 48

D. Tujuan Pendidikan Islam


Al-Quran dan Al-Hadits di tetapkan sebagai dasar pendidikan Islam
bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada
keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam
kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dibolehkan
dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.
Secara Terminologis, Tujuan adalah arah, haluan, jurusan, maksud.
Atau tujuan adalah sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau
sekelompok orang yang melakukan sesuatu kegiatan. Atau menurut
Zakiah Darajat, tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah
suatu usaha atau kegiatan selesai.49 Karena itu tujuan pendidikan Islam
adalah sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang
yang melaksanakan pendidikan Islam.50]
Secara Epistemologis, Merumuskan tujuan pendidikan merupakan
syarat mutlak dalam mendefiniskan pendidikan itu sendiri yang paling
tidak didasarkan atas konsep dasar mengenai manusia, alam, dan ilmu
serta dengan pertimbangan prinsip-prinsip dasarnya. Hujair AH. Sanaky
menyebut istilah tujuan pendidikan Islam dengan visi dan misi pendidikan
Islam. Menurutnya, sebenarnya pendidikan Islam telah memiki visi dan
misi yang ideal, yaitu Rohmatan Lil Aalamin. Munzir Hitami berpendapat
bahwa tujuan pendidikan tidak terlepas dari tujuan hidup manusia,
biarpun dipengaruhi oleh berbagai budaya, pandangan hidup, atau
keinginan-keinginan lainnya.
Secara Ontologis : Dalam Islam, hakikat manusia adalah makhluq
ciptaan Allah SWT. Sedangkan menurut tujuan umum pendidikan Islam
ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam,
pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan
kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada
Allah. Sebagaimana dalam firman Allah SWT.
Sebagai bagian dari komponen kegiatan pendidikan, keberadaan
rumusan tujuan pendidikan memegang peranan sangat penting. Karena
memang tujuan berfungsi mengarahkan aktivitas, mendorong untuk
bekerja, memberi nilai dan membantu mencapai

48 Ahmadi, op.cit., hlm. 36-37

49 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Ke-5 (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), hlm. 133.

50 Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, cetakan III (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2007), hlm.
68

19
keberhasilan.51 Pendidikan Islam bertugas mempertahankan,
menanamkan, dan mengembangkan kelangsungan berfungsinya nilai-nilai
Islami yang bersumber dari kitab suci Al-Quran dan Al-Hadis. 52
Sedangkan Anwar Jundi menjelaskan di dalam konsep Islam, tujuan
pertama dan pokok dari pendidikan ialah terbentuknya manusia yang
berpribadi muslim.53
Tujuan pendidikan adalah menciptakan seseorang yang berkualitas
dan berkarakter sehingga memiliki pandangan yang luas kedepan untuk
mencapai suatu cita- cita yang di harapkan dan mampu beradaptasi
secara cepat dan tepat di dalam berbagai lingkungan. Karena pendidikan
itu sendiri memotivasi diri kita untuk lebih baik dalam segala aspek
kehidupan. Karena tanpa pendidikan itu sendiri kita akan terjajah oleh
adanya kemajuan saat ini, karena semakin lama semakin ketat pula
persaingan dan semakin lama juga mutu pendidikan akan semakin maju.
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan
pertumbuhan kepribadian manusia. Secara menyeluruh dan seimbang
yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran, diri manusia yang
rasional, perasaan dan indra, karena itu, pendidikan hendaknya mencakup
pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik, aspek spiritual,
intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah dan bahasa, baik secara individual
maupun kolektif, dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke
arah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim
terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah SWT,
baik secara pribadi kontinuitas, maupun seluruh umat manusia.54
Tujuan pendidikan ialah perubahan yang diharapkan pada subyek didik
setelah mengalami proses pendidikan baik pada tingkah laku individu dan
kehidupan pribadinya maupun kehidupan
masyarakat dan alam sekitarnya dimana individu itu hidup. Sedangkan
menurut Omar Muhammad Attoumy Asy- Syaebani tujuan pendidikan
Islam memiliki empat ciri pokok :
1. Sifat yang bercorak agama dan akhlaq.
2. Sifat keseluruhannya yang mencakup segala aspek pribadi pelajar
atausubyek didik, dan semua aspek perkambangan dalam masyrakat.
3. Sifat keseimbangan, kejelasan, tidak adanya pertentangan antara
unsur-unsur dan cara pelaksanaanya

51 Mangun Budiyanto, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Griya Santri, 2010), hlm. 27

52 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 110.

53 Mangun Budiyanto, Ilmu..., hlm. 28

54 Abuddin Nata, Paradigma .. op.cit., h. 136-138

20
4. Sifat realistis dan dapat dilaksanakan, penekanan pada perubahan
yangdikehendaki pada tingkah laku dan pada kehidupan,
memperhitungkan perbedaan-perbedaan perseorangan diantara
individu, masyarakat dankebudayaan di mana-mana dan
kesanggupanya untuk berubah dan berkembanng bila diperlukan
Pendidikan Islam bertugas di samping menginternalisasikan
(menanamkan dalam pribadi) nilai-nilai Islamy, juga mengembangkan
anak didik agar mampu melakukan pengamalan nilai-nilai itu secara
dinamis dan fleksibel dalam batas-batas konfigurasi idealitas wahyu Allah.
Hal ini berarti Pendidikan Islam secara optimal harus mampu mendidik
anak didik agar memiliki kedewasaan atau kematangan dalam beriman,
bertaqwa, dan mengamalkan hasil pendidikan yang diperoleh, sehingga
menjadi pemikir yang sekaligus pengamal ajaran Islam, yang dialogis
terhadap perkembangan kemajuan zaman. Dengan kata lain, Pendidikan
Islam harus mampu menciptakan para mujtahid baru dalam bidang
kehidupan duniawi-ukhrawi yang berkesinambungan secara interaktif
tanpa pengkotakan antara kedua bidang itu.55
Menurut H.M.Arifin tujuan pendidikan Islam adalah idealitas (cita-cita)
yang mengandung nilai-nilai Islam yang hendak dicapai dalam proses
kependidikan yang berdasarkanajaran Islam secara bertahap. Prof. H. M.
Arifin, M. Ed menjabarkan tujuan pendidikan yang bersasaran pada tiga
dimensi hubungan manusia selaku Khalifah dimuka bumi yaitu sebagai
berikut:
* Menanamkan sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang
dengan Tuhannya.
* Membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang
dengan masyarakatnya.
* Mengembangkan kemampuannya untuk menggali, mengelola dan
memanfaatkan kekayaan alam ciptaan Allah bagi kepentingan
kesejahteraan hidupnya, dan hidup sesamanya serta bagi kepentingan
ubudiahnya kepadanya, dengan dilandasi sikap hubungan yang
harmonis.
Tujuan pendidikan menurut Dra. Hj. Nur Uhbiyati dan Dr. Zakiyah
Daradjat ada empat macam, yaitu:56
(1) Tujuan Umum
Tujuan umum ialah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan
pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara yang lainnya.
Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan, seperti: sikap, tingkah
laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan. Tujuan umum ini berbeda

55 Muzayyin Arifin, Filsafat..., hlm. 111.

56 https://aghoestmoemet.wordpress.com/2013/10/11/makalah-ilmu-pendidikan-islam/, diakses pada tanggal 25


Mareti 2017, pukul 11.07 WIB

21
pada tingkat umur, kecerdasan, situasi dan kondisi, dengan kerangka
yang sama. Bentuk Insan Kamil dengan polatakwa kepada Allah swt
harus dapat tergambar dalam pribadi seseorang yang sudah terdidik,
walaupun dalam ukuran kecil dan mutu yang rendah.
(2) Tujuan Akhir
Pendidikan Islam ini berlangsung selama hidup, maka tujuan akhirnya
terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah berakhir. Tujuan umum
yang berbentuk Insan Kamil dengan pola takwa dapat mengalami
perubahan naik turun, bertambah dan berkurang dalam perjalanan
hidup seseorang. Perasaan, lingkungan, dan pengalaman dapat
mempengaruhinya. Karena itulah pendidikan Islam itu berlaku selama
hidup untuk menumbuhkan, memupuk, mengembangkan, memelihara
dan mempertahankan tujuan pendidikan yang telah dicapai.
Tujuan pendidikan adalah pengembangan aqal dan akhlak yang dalam
akhirnya dipakai untuk menghambakan diri kepada Allah SWT. Manusia
mempunyai aspek rohani seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Hijr
(15) ayat 29 :



Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah
meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu
kepadanya dengan bersujud

Dan tujuan akhir pendidikan Islam itu dapat dipahami dari firman Allah
SWT Q.S. Ali Imran (3): 102).




Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-
benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam Keadaan beragama Islam. (Q.S. Ali Imran: 102).

Jadi insan kamil yang mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah
inilah merupakan tujuan akhir dari pendidikan Islam 57.
(3). Tujuan Sementara
Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik
diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu
kurikulum pendidikan formal. Pada tujuan sementara bentuk Insan Kamil
dengan pola takwa sudah kelihatan meskipun dalam ukuran sederhana,

57 Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat...., hlm. 68.

22
sekurang-kurangnya beberapa ciri pokok sudah kelihatan pada pribadi
anak didik.
(4). Tujuan Operasional
Tujuan operasional ialah tujuan praktis yang akan dicapai dengan
sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Satu unit kegiatan pendidikan
dengan bahan-bahan yang sudah dipersiapkan dan diperkirakan akan
mencapai tujuan tertentu. Dalam tujuan operasional ini lebih banyak
dituntut dari anak didik suatu kemampuan dan keterampilan tertentu.
Sifat operasionalnya lebih ditonjolkan dari sifat penghayatan dan
kepribadian.
Bila dilihat dari segi filosofis, maka tujuan pendidikan Islam dapat
diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu:58
1. Tujuan teoritis yang bersasaran pada pemberian kemampuan teoritis
kepada anak didik.
2. Tujuan praktis yang mempunyai sasaran pada pemberian kemampuan
praktis kepada anak didik.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, memaparkan bahwa tujuan pendidikan
Islam terdiri atats 5 sasaran, yaitu:59
1. Membentuk akhlak mulia
2. Mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat
3. Mempersiapkan untuk mencari rizki dan memelihara segi
kemanfaatannya
4. Menumbuhkan semangat ilmiah dikalangan peserta didik
5. Mempersiapkan tenaga profesional yang terampil
Oleh karena itu, tujuan akhir pendidikan Islam berada di dalam garis
yang sama dengan misi tersebut, yaitu membentuk kemampuan dan
bakat manusia agar mampu menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan
yang penuh rahmat dan barokah dari Allah di seluruh penjuru alam ini. Hal
ini berarti bahwa potensi rahmat dan berkat Allah tersebut tidak akan
terwujut nyata, bilamana tidak diaktualisasikan melalui ikhtiar yang
bersifat kependidikan secara terarah dan tepat.60
Jika pendidikan umum hanya ingin mencapai kehidupan duniawi yang
sejahtera baik dalam dimensi bernegara maupun bermasyarakat maka
Pendidikan Islam bercita-cita lebih jauh yang bernilai transcendental
(perubahan), bukan insindetal (kejadian) atau aksidental (kegiatan) di
dunia, yaitu kebahagiaan hidup setelah mati. Jadi nilai-nilai yang hendak
diwujudkan oleh pendidikan Islam adalah berdimensi transendetal
(melampaui wawasan hidup duniawi) sampai ke ukhrawi dengan
58 Muzayyin Arifin, Filsafat..., hlm. 116.

59 Samsul Nizar, Filsafat..., hlm. 37

60 Muzayyin Arifin, Filsafat..., hlm. 114.

23
meletakkan cita-cita yang mengandung dimensi nilai duniawi sebagai
sarananya. Oleh karena itu, pendidikan merupakan sarana atau alat untuk
merealisasikan tujuan hidup orang muslim secara universal maka tujuan
pendidikan Islam di seluruh dunia harus sama bagi semua ummat Islam,
yang berbeda hanyalah sistem dan metodenya.61

BAB III
PENUTUP

61 Ibid., hlm. 111.

24
A. Kesimpulan

Untuk mengungkapkan hakikat pendidikan Islam, lafadh tarbiyyah


dipilih untuk menunjuk pendidikan Islam karena beberapa pertimbangan.
1. Lafadh tarbiyyah dapat diperluas makna semantiknya (tata
bahasanya).
2. Lafadh tarbiyyah lebih umum dapat diterima oleh masyarakat muslim di
Indonesia
3. Istilah tarbiyyah lebih umum diterima dalam situasi lokal tertentu dari
pada terma talim dan tadib.

Tugas Pendidikan Islam sebagai waratsat al-Anbiyaa (pewaris para nabi),


pada hakekatnya mengemban misi Rahmat lil Aalamiin yakni suatu misi
yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah,
guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat.

Fungsi pendidikan itu bukanlah sekedar mengembangkan kemampuan dan


mencerdaskan otak peserta didik, tetapi juga menyelamatkan fitrahnya.
Oleh karena itu fungsi pendidikan dan pengajaran Islam dalam
hubungannya dengan faktor anak didik adalah untuk menjaga,
menyelamatkan, dan mengembangkan fitrah ini agar tetap menjadi al-
fithratus salimah dan terhindar dari al-fithratu ghairus salimah. Artinya,
agar anak tetap memiliki aqidah keimanan yang tetap dibawanya sejak
lahir itu, terus menerus mengokohkannya, sehingga mati dalam keadaan
fitrah yang semakin mantap, tidak menjadi Yahudi, Nashrani, Majusi
ataupun agama-agama dan faham-faham yang selain Islam.

Sedangkan tujuan akhir pendidikan Islam dapat difahami dari firman Allah
SWT Q.S. Ali Imran (3): 102).




Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar
taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam
Keadaan beragama Islam. (Q.S. Ali Imran: 102).

25
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), Jakarta: GAYA
MEDIA PRATAMA, 2005
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, cet.ke-5 Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000
Abdurrahaman an-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha
fi al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama, (Bairut, Libanon: Dar al-Fikr al-
Muasyir, 1983) edisi Indonesia terj. Shihabuddin, Pendidikan Islam di
Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1996
Amirsyahruddin, Integrasi Imtaq dan Iptek dalam Pandangan Dr. H.
Abdullah Ahmad, Padang: Syamsa Offset, 1999
Abdurrahaman Masud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik
(Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam), (Yogyakarta;
Gama Media, 2002
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Awlad fi al-Islam, (Beirut: Darul
Salam, 1994) cet.III, terjemahan Jamaluddin Miri, Pendidikan Anak dalam
Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 2002
Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, Jakarta :
Pustaka Al Husna, 1988
Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, cetakan III
Bandung: CV.Pustaka Setia, 2007
H. M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta: Bumi
Aksara, 1991
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003
Mangun Budiyanto, Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: Griya Santri,
2010.
Maragustam, Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna (Falafah
Pendidikan Islam), Yogyakarta: Nuha Litera, 2010.
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Muh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003
Muhammad Fadhil al-Jamili, al-Falsafah al-Tarbiyah fi al-Quran, (t.tp:
Dar al-Kitab al-Arabiy, t.th)
Maragustam, Mencetak Pembelajaran Menjadi Insan Paripurna
(Falsafah Pendidikan Islam) Yogyakarta: Nuha Litera, 2010
Muh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Ke-5 Jakarta: Kalam Mulia, 2006
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan, Historis, Teoritis,
dan Praktis,Jakarta: CIPUTAT PERS, 2002.

26
Syaikh Hasan Manshur, Manhajul Islam fi Tarbiyyah al-Syabab, (Cairo:
Al Ahram, 1997), Edisi Indonesia terj. Abu Fahmi Huaidi Metode Islam
dalam Mendidik Remaja, (Jakarta: Mustaqiim, 2002)
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2003
https://aghoestmoemet.wordpress.com/2013/10/11/makalah-ilmu-
pendidikan-islam/, diakses pada tanggal 25 Mareti 2017, pukul 11.07 WIB

27

Anda mungkin juga menyukai