Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sesungguhnya Islam adalah syarat keselamatan di sisi Allah. Islam tidak tegak dan
tidak akan ada kecuali dengan ilmu. Tidak ada cara dan jalan untuk mengenal Allah dan
sampai kepada-Nya kecuali dengan ilmu. Allah lah yang telah menunjukan jalan yang paling
dekat dan mudah untuk sampai kepada-Nya. Barangsiapa yang menempuh jalan tersebut,
tidak akan menyimpang dari tujuan yang dicita-citakannya.
Mencari ilmu merupakan kewajiban setiap manusia. Tanpa ilmu kita tidak bisa
menjalani hidup ini dengan baik. Orang yang tidak memiliki ilmu biasanya akan di
manfaatkan oleh orang lain. Bahkan, orang yang tak berilmu itu akan dibodohi oleh orang
lain. Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan pikiran carilah ilmu demi
kelangsungan hidup yang lebih baik. Menuntut ilmu dalam Islam hukumnya wajib (fardhu).
Para ahli fiqih mengelompokannya dua bagian, yaitu 1). Fardhu ain; dan 2). Fardhu kifayah.
Orang yang berilmu sangat dimuliakan oleh Allah SWT dan akan diangkat derajatnya oleh
Allah SWT.
Dalam Islam, ilmu memiliki aksiologis yang sangat agung. Karena dengan ilmu-lah
semuanya berawal dalam meniti jalan suci ini. Selain itu, ilmu juga dapat mengangkat derajat
bagi siapa saja yang memilikinya.
Begitulah nikmatnya islam sehingga segala tingkah laku kita diatur oleh Islam.
Sampai pada ilmu pun Islam mengaturnya, mulai dari kewajiban menuntut ilmu,
mengamalkan ilmu dan ancaman bagi orang yang tidak mengamlakan ilmu. hal tersebut
harus kita pelajari secara mendetail sehingga kita tidak termasuk orang yang salah dalam
memahami ilmu.
Ilmu yang telah kita peroleh membutuhkan lahan agar ilmu tersebut dapat menjadi
penolong bagi kita yaitu dengan cara mengamalkannya, baik dengan mengajarkannya
maupun yang lainnya. Ilmu tersebut berpotensi menjadi boomerang bagi kita jika kita tidak
mengamalkan ilmu tersebut,
diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asyary bahwa Rasulullah bersabda:

Al-Quran adalah hujjah untukmu dan juga dapat menghujatmu [HR.
Muslim 3/101, ini adalah bagian dari hadits yang panjang.]
Mungkin kita bisa mengatakan dengan kalimat ini:
jangan biarkan satu orang pun tersesat karena ilmu yang kita peroleh tidak diamalkan
Begitulah pentingnya mengamalkan ilmu sehingga ada pahala yang menanti kita jika
kita mengamlakan ilmu tersebut, namun disana juga telah menanti kehancuran yang sedang
mengendap-mengendap di balik layar untuk menjerumuskan kita jikalah kita tidak
mengamalkan apa yang telah kita pelajari.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana perintah menuntut ilmu dalam islam ?
2. Bagaimana keutamaan orang yang berilmu dalam islam ?
3. Bagaimanakah urgensi mengamalkan ilmu?
4. apa ayat-ayat didalam al-Quran yang berkaitan dengan pentingnya mengamalkan ilmu!
5. Bagaimanakah hukum dan ancaman-ancaman bagi seorang muslim yang tidak mengamalkan
ilmunya?

C. Tujuan

1.Untuk memahami perintah menuntut ilmu dalam islam.

2.Untuk menjelaskan keutamaan orang yang berilmu dalam islam.

3.Untuk menjelaskan kududukan Ulama dalam islam.

4. Mengetahui urgensi mengamalkan ilmu.

5. Menyebutkan ayat-ayat di dalam Al-Quran yang berkaitan dengan


pentingnya mengamalkan ilmu.

6. Mengetahui hukum-hukum dan ancaman-ancaman bagi seorang muslim


yang tidak mengamalkan ilmunya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perintah Menuntut Ilmu

Sesungguhnya Islam adalah syarat keselamatan di sisi Allah. Islam tidak tegak
dan tidak akan ada kecuali dengan ilmu. Tidak ada cara dan jalan untuk
mengenal Allah dan sampai kepada-Nya kecuali dengan ilmu. Allah lah yang
telah menunjukan jalan yang paling dekat dan mudah untuk sampai kepada-
Nya. Barangsiapa yang menempuh jalan tersebut, tidak akan menyimpang dari
tujuan yang dicita-citakannya.

Jumhur ulama sepakat, tidak ada dalil yang lebih tepat selain wahyu pertama
yang disampaikan Allah SWT kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw sebagai
landasan utama perintah untuk menuntut ilmu. Dijelaskannya pula sarana untuk
mendapatkannya, disertai bagaimana nikmatnya memiliki ilmu, kemuliaannya,
dan urgensinya dalam mengenal ke-Maha Agung-an Sang Khalik dan
mengetahui rahasia penciptaan serta menunjukkan tentang hakikat ilmiah yang
tetap. Sebagaimana firman-Nya :Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia)
dengan perantara kalam (baca tulis). Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.

(Q.S. Al Alaq [96]: 1-5).

Dalam ayat yang lain, Allah SWT juga berfirman : Katakanlah : Adakah
sama orang-orang yang mengetahui (ilmu agama Islam) dengan orang-orang
yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran. (Q.S. Az Zumar [39]: 9).

Para mufasir menyimpulkan firman Allah di atas, bahwa : 1). Tidaklah sama
antara hamba Allah yang memahami ilmu agama Allah, yaitu yang menyadari
dirinya, memahami tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mentaati segala perintah
dan larangan-Nya, dengan orang-orang yang mendustakan nikmat-nikmat Allah,
yang tidak mau mempelajari ilmu agama Allah; 2). Hanya orang-orang yang
berakal sehatlah yang dapat mengambil hikmah atau pelajaran dari tanda-tanda
kekuasaan Allah.

Terkait hal tersebut, Rasulullah saw menandaskan bahwa menuntut, memahami


dan mendalami ilmu agama Islam itu, merupakan kewajiban utama setiap
muslim. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Abi Sufyan r.a., ia mendengar
Rasulullah Saw telah bersabda : siapa yang dikehendaki menjadi orang baik
oleh Allah, Allah akan memberikan kepahaman kepadanya dalam agama Islam.
(H.R. Bukhari, Muslim). Memahami ilmu agama akan membuat seorang muslim,
baik dan benar dalam beribadah kepada Allah SWT, jauh dari Bidah atau hal-hal
lain yang membatalkan ibadah kita. Serta mampu membentengi diri dan
keluarga dari aqidah berbahaya.

Menuntut ilmu dalam Islam hukumnya wajib (fardhu). Para ahli fiqih
mengelompokannya dua bagian, yaitu 1). Fardhu ain; dan 2). Fardhu kifayah.

1). Fardhu ain, adalah setiap ilmu yang harus dipelajari oleh setiap muslim
tentang Ilmu Agama Islam, agar akidahnya selamat, ibadahnya benar,
muamalahnya lurus dan sesuai dengan yang disyariatkan Allah Azza wa Jalla,
yang tertuang dalam Al Quran dan Sunah Nabi-Nya yang sahih. Inilah yang
diperintahkan Allah dalam firman-Nya, Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya
tidak ada Tuhan (yang hak) Melainkan Allah. (Q.S. Muhammad [47]: 19). Juga
yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw dalam haditsnya, Mencari ilmu itu
wajib bagi setiap muslim. (H.R. Ibnu Majah). Pengertian mencari ilmu di sini,
adalah mencari ilmu agama Islam, hukumnya wajib bagi laki-laki dan
perempuan.

2). Fardhu kifayah : adalah ilmu yang memperdalam ilmu-ilmu syariat dengan
mempelajari, menghafal, dan membahasnya. Misalnya spesialisasi dalam ilmu-
ilmu yang dibutuhkan umat Islam, seperti sistem pemerintahan, hukum,
kedokteran, perekonomian, dan lain-lain. Tapi jika sebagian dari mereka ada
yang mengerjakannya, maka gugurlah kewajiban dari yang lainnya. Sedangkan
jika tidak ada seorang pun yang melakukannya, maka semua menanggung
resikonya.

Inilah yang diserukan Allah SWT dalam firman-Nya, Tidak sepatutnya bagi
orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi
dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya. (Q.S. At-Taubah [9]: 122).

Bahwa tidak ada jalan untuk mengenal Allah, meraih ridha-Nya serta menggapai
keuntungan dan kedekatan dengan-Nya, kecuali dengan ilmu. Ilmu adalah
cahaya yang dengannya Allah mengutus para Rasul, menurunkan kitab-kitab,
dan dengannya pula memberi petunjuk dari kesesatan dan kebodohan. Dengan
ilmu terungkaplah seluruh keraguan, khurafat dan kerancuan. (Q.S. Al Maidah
[5]: 15-16) dan (Q.S. Al-Araf [7] : 157).

Allah SWT dan Rasul-Nya telah pula menentukan pedoman bagi kita hingga
akhir zaman, barangsiapa yang berpegang teguh kepada Al Quran dan As
Sunnah (Hadis) Sahih, tidak akan sesat selamanya. Sebagaimana firman Allah
SWT :

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul(Nya), dan ulil
amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rosul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya . (Q.S. An Nisa [4] : 59). Dan
hadits nabi Saw.

Sesungguhnya aku telah meninggalkan sesuatu bagimu, jikalau kamu


berpegang teguh dengannya, maka kamu tidak akan sesat selamanya, (yaitu)
Kitab Allah (Al Quran) dan Sunnah Nabi-Nya. (H.R. Hakim; at-Targhib, 1 : 60).

Banyak jalan untuk menuntut ilmu agama. Antara lain mengikuti majelis taklim
yang istiqomah mengkaji Al Quran dan As Sunnah sahih di berbagai tempat dan
media. Ilmu agama ada di Quran , Tafsir Quran, juga hadis-hadis sahih, yang
sudah diterjemahkan. Jika kita tidak memahami ilmu agama Islam, bagaimana
kita bisa tahu mana perintah dan larangan Allah ? Bagaimana kita bisa tahu
ibadah yang kita lakukan itu sah dan diterima Allah ? Tapi umat Islam juga
jangan sembarangan menimba ilmu. Salah-salah memilih sumber ilmu, maka
kelak ilmu yang dimiliki itu akan tersesat.

B. Keutamaan Orang Berilmu

Mencari ilmu merupakan kewajiban setiap manusia. Tanpa ilmu kita tidak bisa
menjalani hidup ini dengan baik. Orang yang tidak memiliki ilmu biasanya akan
di manfaatkan oleh orang lain. Bahkan, orang yang tak berilmu itu akan
dibodohi oleh orang lain. Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang diberi akal
dan pikiran carilah ilmu demi kelangsungan hidup yang lebih baik.

Ilmu menurut Imam Al Ghozali, dibagi menjadi 2 yaitu :


1. Ilmu yang bersifat Syariat
2. Ilmu yangbersifat Akal

Dari keduanya ada yang berupa Ilmiah Teoritis, dan ada yang Ilmiah Praktis

1. Ilmu Syariat

Ilmu Syariat ini terbagi menjadi 2 :


1. Ilmu Ushul (Pokok) atau Ilmu Tauhid ( Merupakan Ilmiah Teoritis)
2. Ilmu Furu' atau Cabang ( Merupakan Ilmiah Praktis ), hal ini ada
yang menyangkut Hak Alloh Ta'ala seperti segala yang terkait Ibadah,
Hak Hamba Alloh terkait dengan tata pergaulan manusia yang terdiri 2
aspek, yaitu Aspek Mu'amalah dan Aspek Mu'aqodah, serta
Hak Jiwa (Akhlak/Budi pekerti) sifat / akhlak baik harus dibina,
dimiliki, dikembangkan dan sifat / akhlak jelek harus dihindari, dibuang.

2. Ilmu Akal

Ilmu Akal itu bersifat berdiri sendiri, yang melahirkan komposisi


keseimbangan.
Ilmu Akal ini menurut beliau dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
1.Tingkat Kesatu ialah Matematika dan Logika

2.Tingkat kedua ialah Ilmu Alamiah ( Aksi dan Reaksi Alam )


3.Tingkat ketiga, adalah Ilmu Teori tentang Realitas, berujung pada
ilmu Kenabian, Mukjijat, Teori Jiwa yang Suci.

Ilmu memiliki banyak keutamaan, diantaranya:

1. Ilmu adalah amalan yang tidak terputus pahalanya sebagaimana dalam


hadits: jika manusia meninggal maka terputuslah amalnya, kecuali tiga
perkara: shodaqoh jariahnya, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang
mendoakan kedua orang tuanya, (HR Bukhori dan Muslim)

2. Menjadi saksi terhadap kebenaran sebagaimana dalam firman Allah SWT:


(Allah menyatakan bahwasanya tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali
dia. Yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu,). (QS. Ali Imran 18)

3. Allah memerintahkan kepada nabinya Muhammad SAW untuk meminta


ditambahkan ilmu sebagaimana dalam firman Allah, ( dan katakanlah: Ya Rabb
ku, tambahkanlah kepadaku ilmu) (QS.Thahaa 114)

4. Allah mengangkat derajat orang yang berilmu. Sebagaimana firman Allah, (


Allah mengangkat orang beriman dan memiliki ilmu diantara kalian beberapa
derajat dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan). (QS. Mujadilah 11)

5. Orang berilmu adalah orang yang takut Allah SWT, sebagaimana dalam
firmannya: (. sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hambanya
hanyalah orang-orangyang berilmu). (QS. Fathir 25).

6. Ilmu adalah anugerah Allah yang sangat besar, sebagaimana firman-Nya:


(Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran
dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang
dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan
hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari
firman Allah)). ( QS. Al-Baqarah 269)

7. Ilmu merupakan tanda kebaikan Allah kepada seseorang Barang siapa yang
Allah menghendaki kebaikan padanya, maka Allah akan membuat dia paham
dalam agama, (HR Bukhari dan Muslim).

8. Menuntut ilmu merupakan jalan menuju surga, Barang siapa yang


menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan
memudahkan baginya jalan menuju surga, (HR Muslim)

9. Diperbolehkannya hasad kepada ahli ilmu,Tidak hasad kecuali dalam dua


hal, yaitu terhadap orang yang Allah beri harta dan ia menggunakannya dalam
kebenaran dan orang yang Allah beri hikmah lalu ia mengamalkannya dan
mengajarkannya, (HR Bukhari )

10. Malaikat akan membentangkan sayap terhadap penuntut


ilmu,Sesungguhnya para malaikat benar-benar membentangkan sayapnya
karena ridho atas apa yang dicarinya, (HR. Ahmad dan Ibnu majah).
C. Urgensi Mengamalkan Ilmu
Ilmu yang telah kita peroleh membutuhkan lahan agar ilmu tersebut dapat menjadi
penolong bagi kita, yaitu dengan cara mengamalkannya, baik dengan mengajarkannya
maupun yang lainnya. Hal ini merupakan fardhu ain bagi setiap Muslim. Mengingat adanya
ancaman-ancaman di dalam al-Quran bagi orang-orang yang tidak mengamalkan ilmunya
padahal ia mengetahui ilmu tersebut.
D. Ayat-Ayat yang Menyatakan Pentingnya Mengamalkan Ilmu
Berikut ini adalah diantara ayat-ayat al-Quran yang berkaitan
tentang pentingnya mengamalkan ilmu yang telah kita peroleh:
1. Surat al-fatihah ayat 7


(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Penggalan ..jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada
mereka, menafsirkan jalan yang lurus. Orang-orang yang telah dianugerahi nikamat oleh
Alloh, mereka yang dituturkan dalam surat An-Nisa,
Dan barangsiapa mentaatai Alloh dan Rosul-(Nya), mereka itu akan bersama-sama
dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Alloh, yaitu nabi-nabi, para shiddiqin, orang-
orang yang mati syahid, dan orang yang soleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.
Yang demikian itu adalah karunia dari Alloh, dan Alloh cukup mengetahui, (an-Nisa: 89-70)
Adh-Dahhak namenceritakan dari Ibnu Abbas, jalan orang-orang yang telah Engkau beri
nikmat kepadanya karena menaati dan menyembah-Mu, yaitu dari kalangan para malaikat-Mu,
shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang soleh. Hal ini sama dengan firman
Robb kita,
Dan barangsiapa yang menaati Alloh dan Rosul-(Nya), mereka itu akan bersama-sam
dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat o;eh Alloh. (an-Nisa:69).
Bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat,
yaitu bukan jalan orang-orang yang dimurkai. Mereka adalah orang-orang yang rusak
kehendaknya; mereka mengetahui kehendaknya, namun berpindah dari kebenaran tersebut.
Dan, bukan ( pula) jalan mereka yang sesat, yaitu mereka tidak memiliki
pengetahuan dan menggandrungi kesesatan. Mereka tidak mendapat petunjuk ke arah
kebenaran. Hal itu dikuatkan dengan Laauntuk menunjukkan bahwa disana ada dua jalan
yang rusak, yaitu jalan kaum Yahudi dan jalan kaum Nashroni.
Sesungguhnya jalan orang-orang yang beriman itu mencakup pengetahuan akan
kebenaran dan pengamalannya, sedangkan kaum Yahudi tidak memiliki amal dan kaum
Nashroni tidak memiliki pengetahuan. Oleh karena itu, kemurkaan bagi kaum Yahudi dan
kesesatan bagi kaum Nashroni, karena orang yang mengetahui, tetapi tidak beramal, berarti ia
berhak mendapatkan kemurkaan, dan ini berbeda dengan orang-orang yang tidak tahu. Kaum
Nashroni menuju kepada suatu perkara, yaitu mengikuti kebenaran, namun mereka tidak
benar dalam melakukannya karena tidak sesuai dengan ketentuannya sehingga mereka pun
sesat.
Baik Yahudi maupun Nashroni adalah sesat dan dimurkai. Sifat Yahudi paling spesifik
adalah kesesatan, sebagaimana Alloh berfirman ihwal mereka,
yaitu orang-orang yang dikutukki dan dimurkai Alloh, (Al-Maidah: 60)
Sifat Nashroni yang sangat spesifik adalah kesesatan, sebagaimana Alloh berfirman:
dan janganlah kamu mengikutihawa nafsu orang-orang yang sesat dahulunya
(sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia),
dan mereka tersesat dari jalan yang lurus. (al-maidah:77)
Hamid bin Salamah meriwayatkan dari Adi bin Hatim, ia berkata, Saya bertanya
kepada Rasulullohsholallohu alaihi wasallam. Tentang Bukan (jalan) mereka yang
dimurkai...., beliau bersabda, yaitu kaum Yahudi. Dan bertanya tentang ...bukan (pula jalan)
mereka yang sesat. Beliau bersabda, kaum Nashroni adalah orang-orang yang sesat.
Begitu pula hadits yang diriwayatkan. Beliau bersabda, kaum kaum nashroni adalah
orang-orang yang sesat. Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh Sufyan bin Uyainah
dengan sanadnya dari Adi bin Hatim. Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Abu Dzar, ia
berkata, saya bertanya kepada Rasululloh sholallohu alaihi wasallam. Tentang orang-orang
yang dimurkai, beliau bersabda, kaum Yahudi. Saya bertanya tentang orang-orang sesat,
beliau bersabda, kaum Nashroni.[1]
Surat al-fatihah ayat ke-7 ini memberitahukan kepada kita bahwa ada 3 golongan yang
berbeda nasib:
1. Orang yang telah dianugerahkan nikmat kepada mereka. Merekalah orang yang beruntung
karena mereka mempunyai ilmu akan kebenaran dan pengamalannya dari ilmu tersebut.
2. Orang Yahudi, mereka adalah orang yang mempunyai ilmu tetapi tidak beramal dengannya
sehingga mereka berhak mendapat murka Alloh.
3. Orang Nashroni, mereka adalah orang yang tidak mempunyai ilmu tetapi mereka beramal tanpa
ilmu, sehingga mereka diklaim sebagi orang yang sesat bahkan bias menyesatkan orang lain.
Bertumpu pada hal tersebut maka seyogianya kita sebagai seorang Muslim untuk
mengikuti langkah orang yang telah dianugerahkan nikmat kepada mereka, karena mereka
mempunyai ilmu dan beramal dengan ilmu tersebut. Bukan orang Yahudi karena mereka punya
ilmu tetapi tidak diamalkan. Ungkapan inilah yang memberitahukan kita akan pentingnya
mengamalkan ilmu, agar kita tidak seperti orang Yahudi yang mendapat murka Alloh.

2. Quran Surat At-Taubah ayat 122




Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Ayat ini merupakan penjelasan dari Alloh Taala bagi berbagai golongan penduduk
Arab yang hendak berangkat bersama Rasululloh sholallohu alaihi wasallam ke perang
Tabuk. Sesungguhnya , ada segolongan ulama salaf yang berpendapat bahwa setiap muslim
wajib berangkat untuk berperang, apabila Rasululloh pun berangkat. Oleh karena itu, Alloh
Taala berfiraman, Maka, pergilah kamu semua dengan ringan maupun berat. (At-
Taubah:41).
Surat at-taubah di atas dinasakh oleh firman Alloh tidak sepatutnya bagi penduduk
Madinah dan orang-orang arab Badui yang berdiam di sekitar mereka tidak turut menyertai
Rasululloh. (at-taubah;120). Pendapat lain mengatakan: semua golongan dari penduduk
Arab yang muslim wajib berangkat perang. Kemudian, dari sekian golongan itu harus ada
yang menyertai Rasululloh sholallohu alaihi wasallam guna memahami agama lewat wahyu
yang diturunkan kepadanya, kemudian mereka dapat memperingatkan kaumnya apabila
mereka telah kembali, yaitu ihwal persoalan musuh. Jadi, dalam pasukan itu ada dua
kelompok: kelompok yang berjihad dan kelompok yang memperdalam agama melalui
Rosululloh sholallohu alaihi wasallam.
Sehubungan dengan ayat ini, Al-Aufi meriwayatkan dari dari Ibnu Abbas, dia berkata:
Dari setiap penduduk Arab, ada sekelompok orang yang menemui Rasululloh sholallohu
alaihi wasallam. Mereka menanyakan kepada beliau berbagai persoalan agama yang mereka
kehendaki dan mendalaminya. Mereka berkata, Wahai Rasululloh , apa yang engkau
perintahkan kepada kami yang harus kami lakukan dan bertahukan kepada keluarga kami
yang bila kami kembali? Ibnu Abbas berkata: maka Nabi, menyuruh mereka menaati
Rasululloh, menyampaikan berita kepada kaumnya ihwal kewajiban mendirikan sholat dan
zakat. Jika golongan ini telah sampai kepada kaumnya, mereka berkata: Barangsiapa
masuk Islam, maka dia termasuk kelompok kami. Mereka memberi peringatan sehingga ada
seseorang yang berpisah dengan ayah dan ibunya. Nabi Muhammadsholallohu alaihi
wasallam memberitahukan kaumnya jika mereka telah kembali ke kampung halamannya:
memperingtkan dengan neraka dan menggembirakan dengan surga.[2]
Ayat ini menerangkan tentang kewajiban seluruh kaum muslimin arab untuk mengikuti
perang bersama Rasululloh. Kemudia dari sekian golongan itu harus ada yang berdiam diri
untuk menimba ilmu dari Rasullulloh, kemudian memperingatkan kaumnya perihal musuh. Hal ini
dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, bersumber dari Ikrimah, bahwa
ketika turun ayat illa tanfiru yuadzibkum adzaban alima (Q.S. at-Taubah:39), ada beberapa
orang yang jauh dari kota dan tidak ikut perang karena mereka mengajar kaumnya. Berkatalah
kaum munafik , celakallah orang-orang di kampong itu karena ada orang-orang yang
meninggalkan diri yang tidak turut berjihad bersama Rasululloh. Maka, turunlah ayat ini yang
membenarkan orang-orang yang meninggalkan diri untuk memperdalam ilmu dan
menyebarkannya pada kaumnya.
Wajhu dilalah dalam ayat ini adalah kalimat (untuk member peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali). Maka jelaslah pentingnya orang yang menuntut ilmu kemudian
mengamlakan ilmunya tersebut dengan cara mengajarkannya (memberi peringatan) kepada
kaumnya. Sehingga ilmu tersebut bisa berguna bagi dirinya dan orang lain.
3. Al-Quran Surat Al-Ashr ayat 3



Artinya: Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran.
Ayat ini menyebutkan tentang kriteria orang-orang yang terbebas dari
justifikasi rugi. Diantaranya ada dua syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh
seorang hamba yakni sebagai berikut:
1. Iman
Syarat pertama, yaitu beriman kepada Allah swt. Dan keimanan ini tidak akan
terwujud tanpa ilmu, karena keimanan merupakan cabang dari ilmu dan keimanan tersebut
tidak akan sempurna jika tanpa ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syari (ilmu agama).
Seorang muslim wajib (fardhu ain) untuk mempelajari setiap ilmu yang dibutuhkan oleh
seorang mukallaf dalam berbagai permasalahan agamanya, seperti prinsip keimanan dan
syariat-syariat Islam, ilmu tentang hal-hal yang wajib dia jauhi berupa hal-hal yang
diharamkan, apa yang dia butuhkan dalam muamalah, dan lain sebagainya.
2. Amal
Syarat yang kedua adalah amal. Seorang tidaklah dikatakan menuntut ilmu kecuali
jika dia berniat bersungguh-sungguh untuk mengamalkan ilmu tersebut. Maksudnya,
seseorang dapat mengubah ilmu yang telah dipelajarinya tersebut menjadi suatu perilaku
yang nyata dan tercermin dalam pemikiran dan amalnya.
Mengenai ayat ini, Ibnu Katsir mengungkapkan di dalam tafsirnya:
Dengan demikian Alloh memberikan pengecualian dari kerugian itu kepada orang-
orang yang beriman dengan hati mereka, dan mengerjakan amal shaleh dengan anggota tubuh
mereka, mewujudkan semua bentuk ketaatan dan meninggalkan semua yang diharamkan, dan
bersabar atas segala macam cobaan, takdir, serta gangguan-gangguan yang dilancarkan
kepada orang-orang yang mengamalkan amal maruf dan nahi munkar.[3]
C. Hadits yang Berkaitan dengan Pentingnya Mengamalkan Ilmu

Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan membuat dia
faqih (paham) tentang ilmu agama.
Abdullah bin Masud rodhiyallohu anhu berkata Bagaimana jadinya jika para pembaca
sangat banyak, tetapi yang memahaminya sedikit? Jika seorang mengetahui syariat Alloh, akan
tetapi ia tidak mengamalkannya, maka orang seperti itu bukanlah seorang yang fakih
(memahami isi agamanya), sekalipun ia hafal dan memahami isi kitab fikih paling besar diluar
kepala. Ia hanya dinamakan seorang qori saja. Orang fakih adalah orang yang mengamalkan
ilmunya.[4]
Dalam hadits tersebut memberitahukan kepada kita bahwa orang yang Alloh kehendaki
suatu kebaikan maka dia akan difaqihkan dalam agamanya. Wajhu dilalah dalam hadits ini
adalah . Berkenaan dengan hal tersebut ada sebuah perkataan dari Ibnu Masud
tentang orang faqih. Ia mengatakan bahwa orang faqih itu adalah orang yang mengamalkan
ilmunya. Dia tidak dikatakan faqih sebelum ia mengamalkan ilmunya, meskipun dia hafal kitab
fiqih yang sangat banyak. Dari sinilah kejelasan informasi yang disampaikan oleh Ibnu Masud
yang hendak memberitahukan kepada kita tentang pentingnya mengamalkan ilmu yang telah
kita perolah. Sehingga kita menjadi orang yang dikatakan faqih dalam hadits tersebut, bukan
seorang Qori yang hanya membaca saja tanpa ada amal yang ia lakukan dari ilmu tersebut.
Dari Abu Musa Rodiyallohu anhu ia berkata: Nabi sholallohu alaihi
wasallam bersabda., Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang aku bawa seperti hujan deras
yang diurunkan ke bumi. Di antaranya ada tanah yang bagus (subur) yang menyerap air lalu
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan banyak rerumputan. Dan sebagian tanah ada yang
keras yang mampu menampung air sehingga bermanfaat untuk semua orang. Sehingga semua
orang bisa meminumnya, menyirami tanaman dan bercocok tanam. Ada pula hujan yang
ditumpahkan ke bagian tanah yang keras dan kering. Tidak menahan air dan tidak juga
menumbuhkan rerumputan. Demikianlah perumpamaan seseorang yang memahami agama
Alloh dan memberikan manfaat kepada dirinya sehingga ia mengerti dan mengjarkannya.
Dan perumpamaan orang yang tidak mendapatkan semua itu adalah seseorang yang tidak
menerima petunjuk Alloh yang aku bawa. (muttafaq alaih)
Tanah akan subur setelah mendapatkan siraman air, begitu pula dengan hati. Hati akan
menjadi hidup setelah mendapatkan siraman wahyu.
Wahyu laksana air hujan, akan tetapi seperti yang diumpamakan oleh
Rasululloh sholallohu alaihi wasallam bahwa lapisan tanah ketika di sirami air hujan terbagi
kepada tiga macam.
Pertama, Lapisan tanah yang menyerap air hujan sehingga menumbuhkan banyak
tumbuh-tumbuhan yang sangat bermanfaat bagi manusia.
Kedua, Lapisan tanah yang keras dan kering yang tidak bisa menumbuhkan apa-apa.
Akan tetapi lapisan tanah ini mampu menampung air sehingga banyak orang mengambil air
minum darinya sampai puas untuk bercocok tanam.
Ketiga, Lapisan tanah yang kering dan menyerap banyak air tetapi tidak
menumbuhkan apa-apa. Inilah perumpamaan orang yang memahami agama Alloh Taala
sehingga mengerti dan mengajarkannya pada orang lain dan perumpamaan orang yang tidak
peduli dengan semua itu.
Lapisan pertama dan kedua diumpamakannya dengan orang-orang yang menerima
kebenaran, mereka memahami dan mengajarkannya. Bermanfaat untuk dirinya dan orang lain.
Orang-orang seperti mereka ini terbagi kepada dua kelompok:
1. Sekelompok orang yang mengerti dan memahami serta mengamalkan al-quran dan sunnah
kemudian mengajarkannya kepada orang lain.
2. Sekelompok orang yang hanya mampu menyampaikannya saja. Contohnya seperti orang yang
meriwayatkan dan menghafal sebuah hadits, namun tidak memahaminya.
Keempat, sebidang tanah yang tidak berguna sama sekali. Air hujan yang diturunkan
tidak berpengaruh baginya sedikitpun. Tidak mampu menampung air dan tidak pula
menumbuhkan rerumputan. Merekalah orang-orang yang tidak berguna. Mereka tidak
memanfaatkan dan tidak menaruh perhatian terhadap wahyu alloh Taala tetapi justru
mendustakan dan menyepelekannya. Merekalah seburuk-buruk manusia. [5]
D. Hukum Mengamalkan Ilmu dan Ancamannya
Mengamalkan ilmu merupakan suatu kewajiban pokok setiap Muslim. Adapun
meninggalkannya memilki konsekuensi yang beragam, tergantung hukum dari amalan yang
ditinggalkan, hukumnya bisa jadi kufur, maksiat, makruh, atau mubah.

Meninggalkan beramal dengan ilmu yang merupakan kekufuran, seperti


meninggalkan untuk mengamalkan tauhid. Seseorang mengetahui bahwasanya wajib
mentauhidkan Allah dalam ibadah dan tidak boleh berbuat syirik, tetapi dia meninggalkan
tauhid ini dengan melakukan perbuatan syirik, Maka dengan demikian dia telah terjatuh
dalam kekufuran.

Meninggalkan beramal dengan ilmu yang merupakan maksiat, seperti melanggar


salah satu larangan Allah. Seseorang mengetahui bahwasanya khamr itu diharamkan. Tetapi
dia malah meminumnya atau menjualnya. Maka orang ini telah jatuh dalam keharaman dan
telah berbuat maksiat.
Meninggalkan beramal dengan ilmu yang merupakan perbuatan makruh, seperti
menyelisihi tuntunan Nabi -shallallahu alaihi wa sallam- dalam sebuah tatacara ibadah.
Seseorang telah mengetahui bahwasanya Rasulullah melakukan shalat dengan cara tertentu
kemudian dia menyelisihinya, maka dengan penyelisihannya itu dia telah jatuh dalam perkara
yang makruh.

Meninggalkan beramal dengan ilmu bisa jadi mubah. Seperti tidak mengikuti
Rasulullah dalam perkara-perkara yang merupakan kebiasaan Rasulullah yang tidak
disunnahkan atau diwajibkan bagi kita untuk menirunya, seperti tatacara berjalan, warna
suara dan semisalnya.

Sungguh sangat bagus ucapan Al-Fudhail Bin Iyadh :

(
)

Seorang alim tetap dikatakan jahil sebelum ia mengamalkan ilmunya, jika ia


mengamalkannya maka barulah ia dikatakan seorang alim.

Ucapan ini mengandung makna yang dalam. Seseorang mempunyai ilmu namun tidak
diamalkan maka ia tetap dikatakan jahil (bodoh). Mengapa? Karena tidak ada yang
membedakan antara dirinya dengan orang yang jahil (bodoh) jika dia memiliki ilmu tapi dia
tidak mengamalkan ilmunya. Seseorang yang berlimu tidak dikatakan alim / ulama yang
tulen kecuali jika ia mengamalkan ilmunya.

:
Seorang hamba tidak akan beranjak dari tempatnya pada hari kiamat nanti hingga
ia ditanya tentang empat hal -diantaranya-: tentang ilmunya, apa yang telah ia amalkan
darinya. [Hadits dikeluarkan oleh At-Tirmidzy beliau berkata: "hadits hasan shahih.[6]

E. Analisa Umum Mengenai Urgensi Mengamalkan Ilmu

Setelah kita mengkaji bersama, maka kita dapati betapa urgennya hal ini. Bisa
dikatakan sebagai sebuah determinasi yang menyebabkan manusia mendapat kemuliaan yang
besar ataukah kehinaan yang sangat rendah.

Adakalanya seorang hamba memperoleh suatu nilai dan kedudukan yang sangat tinggi
disisi Robb-Nya karena ilmu yang telah ia amalkan di dalam kehidupannya. Dan adapula
seorang hamba yang merugi, tertimbun dalam api penyesalan lantaran tidak mengamalkan
ilmunya.

Maka sebagai tholabul ilm, hendaknya kita harus lebih berhati-hati. Jangan sampai
ilmu yang kita dapatkan saat ini kelak akan menjadi sebuah bumerang mengerikan yang
menyeret kita ke dalam api neraka.Naudzu billahi min dzalik
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Islam mewajibkan kita menuntut ilmu-ilmu dunia yang memberi


manfaat dan berguna untuk menuntut kita dalam hal-hal yang
berhubungan dengan kehidupan kita di dunia, agar tiap-tiap muslim
jangan picik ; dan agar setiap muslim dapat mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat membawa kemajuan
bagi penghuni dunia ini dalam batas-batas yang diridhai Allah swt.
Rasulullah Saw.,

bersabda:

Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap orang Islam

(Riwayat Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Adi, dari
Anas bin Malik)

Seorang muslim tidaklah cukup hanya menyatakan ke-Islamannya,


tanpa memahami Islam dan mengamalkannya. Pernyataannya itu
harus dibuktikan dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam.

Tidak samar bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh agama,
serta tingginya kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal
kebaikan mereka sebagai teladan dan pemimpin yang diikuti jalannya
serta dicontoh perbuatan dan pemikiran mereka. Para ulama bagaikan
lentera penerang dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin
yang membawa petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan
al-Akhyar (orang-orang yang penuh dengan kebaikan) serta derajat orang-
orang yang bertaqwa. Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi
kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan mulia kehormatannya.

B. Saran

Sebagai seorang muslim kita sudah semestinya bersungguh-sungguh


dalam menuntut ilmu, karena dalam islam orang yang berilmu itu sangat
di muliakan dan akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT. Selain dari itu,
ilmu juga memiliki banyak keutamaan. Maka dari itu, setelah kta
memahami tentang perintah menuntut ilmu dalam islam, keutamaan ilmu
dan kedudukan orang yang berilmu, kita sebagai ummat muslim
diharapkan dapat mengamalkannya dalam kehidupan kita sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai