Anda di halaman 1dari 34

1

BAB 1
PENDAHULUAN

Kanker serviks merupakan kanker yang paling sering ditemukan pada wanita di
seluruh dunia dan menjadi penyebab utama kematian akibat kanker. Data insidens
global kanker serviks pada tahun 2012 memperlihatkan setiap tahunnya terdapat
528.000 kasus baru, dengan laju kematian mencapai 266.000 jiwa per tahun. Data
lain memperlihatkan bahwa 85% kasus kanker serviks terjadi di negara-negara
berkembang.13 Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2013,
prevalensi penyakit kanker pada penduduk semua umur di Indonesia mencapai
1,4% atau kira-kira sekitar 347.792 orang, dengan kanker serviks menempati
angka tertinggi yaitu sebesar 0,8%.4
Infeksi human papillomavirus (HPV) merupakan penyebab utama
penyakit kanker serviks.5 Perubahan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak
yang berakibat pada peningkatan aktivitas katabolik terjadi pada penderita kanker
serviks.6 Sel kanker juga memproduksi sitokin pro-inflamasi, seperti tumor
necrosis factor- (TNF-), interleukin-1 (IL-1), IL-6, dan interferon- (IFN-) dan
faktor pro-kaheksia, yaitu proteolysis-inducing factor (PIF) dan lipid-mobilizing
factor (LMF). Hal ini berperan dalam terjadinya anoreksia, penurunan berat
badan, dan wasting.7 Selain itu, radioterapi yang merupakan salah satu pengobatan
utama dari kanker serviks dapat menyebabkan enteritis radiasi. Gejalanya dapat
berupa kolik abdomen, kembung, penurunan nafsu makan, mual, dan diare.8
Anoreksia, peningkatan aktivitas katabolik, serta efek psikologis dan efek
samping pengobatan kanker, dapat menyebabkan terjadinya kaheksia kanker yang
berakibat pada penurunan survival dan kualitas hidup pasien.9
Asupan kalori yang cukup disertai dengan pemberian nutrien spesifik yang
memadai merupakan bagian yang penting dalam tatalaksana kanker serviks. Telah
diketahui bahwa asam lemak omega-3 mempunyai efek anti-inflamasi dan juga
berperan dalam meningkatkan massa bebas lemak pada orang dewasa sehat. 10,11
Wiese dkk.12 melakukan studi yang melihat efek pemberian omega-3 terhadap
inflammatory bowel disease (IBD) yang mempunyai karakteristik yang hampir
sama dengan enteritis radiasi. Hasil studi ini menunjukkan bahwa pemberian

Universitas Indonesia
2

suplementasi nutrisi oral yang mengandung 2,2 g eicosapentaenoic acid (EPA)


dan 0,92 g docosahexaenoic acid (DHA) yang disertai dengan antioksidan dan
prebiotik dapat menurunkan gejala saluran cerna yang dialami oleh pasien IBD. 12
Feagan dkk.13 melaporkan bahwa pemberian omega-3 tidak efektif dalam
mencegah kekambuhan penyakit IBD. Selanjutnya, studi oleh Ryan dkk. 14
menunjukkan bahwa penurunan massa bebas lemak tidak dialami oleh subyek
dengan kanker esofagus yang mendapatkan nutrisi enteral yang mengandung 2,2 g
EPA, sedangkan subyek dalam grup kontrol mengalami kehilangan massa bebas
lemak secara signifikan, yaitu rata-rata sebesar 1,9 kg (p=0,03). Di lain pihak,
penelitian oleh Fearon dkk.15 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
bermakna dari perubahan massa bebas lemak pada subyek dengan kanker
pankreas yang mendapatkan suplementasi EPA maupun grup kontrol.
Karena beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang tidak
konsisten, maka tinjauan pustaka ini dilakukan untuk melihat lebih lanjut
mengenai efek pemberian suplementasi asam lemak omega-3 terhadap kejadian
enteritis radiasi dan massa bebas lemak pada pasien kanker serviks yang
mendapatkan radioterapi.

Universitas Indonesia
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker Serviks


Kanker serviks merupakan penyakit kanker pada organ reproduksi wanita dengan
prevalensi tertinggi di Indonesia menurut data dari Riset Kesehatan Dasar tahun
2013, yaitu sebesar 0,8% dengan perkiraan jumlah penderitanya sebanyak 98.692
orang.4 Faktor risiko utama penyebab terjadinya kanker serviks adalah infeksi
human papillomavirus (HPV). Faktor risiko lainnya meliputi riwayat merokok,
penggunaan kontrasepsi oral, melakukan hubungan seksual pertama kali pada usia
yang muda, berganti-ganti partner seksual, riwayat adanya penyakit menular
seksual, riwayat keluarga, adanya penyakit autoimun tertentu, dan menderita
penyakit immunosupresi.5
Human papillomavirus dikategorikan menjadi dua tipe, yaitu tipe kutaneus
dan tipe mukosal. Tipe kutaneus bersifat epidermitropik yang dapat menginfeksi
kulit pada tangan dan kaki, sedangkan tipe mukosal akan menginfeksi lapisan
pada mulut, kerongkongan, saluran pernapasan, dan epitel anogenital. 16 Telah
dikenali lebih dari 200 tipe HPV berdasarkan basis data sekuens DNA. Bukti
epidemiologi molekuler menunjukkan secara jelas bahwa jenis-jenis HPV tertentu
merupakan penyebab utama dari kanker serviks invasif dan neoplasia serviks
intraepitel.17 Berdasarkan asosiasi dengan kanker serviks, HPV dapat dibedakan
ke dalam dua grup, yaitu tipe risiko tinggi dan tipe risiko rendah. HPV tipe risiko
rendah adalah tipe 6, 11, 42, 43, dan 44, sedangkan tipe risiko tinggi meliputi tipe
16, 18, 31, 33, 34, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 66, 68, dan 70.16
Telah diketahui mekanisme HPV dalam menginduksi pertumbuhan sel
kanker pada manusia yaitu melalui proses interaksi genetik molekular antara virus
dan host yang berujung pada transformasi sel dan keganasan. Infeksi singkat pada
umumnya bersifat subklinis, sedangkan perkembangan menuju kanker
berhubungan erat dengan infeksi DNA virus yang persisten. Proses karsinogenesis
diawali dengan disrupsi virus pada regio E1/E2 dan integrasi pada DNA sel
serviks. Disrupsi E2 akan melepaskan promotor virus E6 dan E7 serta
meningkatkan ekspresi dari gen transformasi ini. Protein viral E6 dan E7 ini

Universitas Indonesia
4

mampu secara selektif mendegradasi p53 dan produk gen retinoblastoma (RB),
yang mengakibatkan inaktivasi dari dua protein regulator negatif selular yang
penting.18

2.1.1 Gejala, diagnosis, dan stadium kanker serviks


Serviks dilapisi oleh dua jenis sel, yaitu sel skuamosa pada bagian eksoserviks
dan sel glandular pada bagian endoserviks. Kedua jenis sel ini bertemu pada suatu
area yang disebut sebagai zona transformasi dan merupakan tempat lesi pre-
kanker, yang kemudian akan berubah menjadi sel kanker. Beberapa istilah yang
digunakan untuk mendeskripsikan perubahan pre-kanker, antara lain adalah
neoplasia intraepitel servikal (cervical intraepithelial neoplasia, CIN), lesi
intraepitel skuamosa serviks (squamous intraepithelial lesion, SIL), dan displasia.
Sesuai dengan jenis selnya dikenal dua tipe dari karsinoma serviks yaitu
karsinoma sel skuamosa, yang kurang lebih terjadi pada 80% dari seluruh
kejadian kanker serviks, dan sisanya merupakan tipe adenokarsinoma.19,20
Karsinoma serviks tahap awal atau lesi pre-kanker pada umumnya tidak
menimbulkan gejala. Gejala biasanya akan muncul apabila telah terjadi invasi
kanker dan bertumbuh ke jaringan sekitarnya. Gejala ini dapat berupa perdarahan
per vaginam setelah melakukan hubungan seksual, perdarahan setelah menopause,
perdarahan dan spotting di antara waktu menstruasi, waktu menstruasi yang lebih
lama dari biasanya, dan rasa nyeri saat melakukan hubungan seksual.21
Skrining atau deteksi awal kanker serviks dapat diketahui pada
pemeriksaan rutin Papanicolaou (Pap) Smear. Pap Smear merupakan prosedur
pengambilan sel dari serviks untuk kemudian dinilai abnormalitasnya.
Pemeriksaan Pap Smear yang abnormal akan dilanjutkan dengan kolposkopi
untuk melihat permukaan serviks secara jelas sehingga dapat terlihat apakah ada
area yang tidak normal. Bila ditemukan area yang tidak normal, maka akan
dilakukan biopsi servikal untuk menentukan apakah merupakan lesi pre-kanker.
Konisasi serviks akan direkomendasikan untuk menilai invasi sel kanker ke
kanalis endoserviks.22
Pemeriksaan lain yang dilakukan sebagai bagian dalam diagnosis kanker
serviks adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah perifer

Universitas Indonesia
5

lengkap, tes fungsi hati dan ginjal. Pemeriksaan radiologi seperti foto polos
toraks, computed tomography (CT) scan, magnetic resonance imaging (MRI),
ataupun positon emission tomography (PET) scan dapat digunakan untuk melihat
penyebaran kanker ke bagian tubuh lain. Sistoskopi dan proktoskopi dilakukan
apabila ada kecurigaan metastasis kanker ke kandung kemih ataupun rektum.23
Pada Tabel 2.1 dapat dilihat stadium kanker serviks yang ditentukan
berdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) tahun
2009.24

Tabel 2.1 Stadium kanker serviks menurut FIGO tahun 2009


Stadium Kriteria
IA Karsinoma invasif yang hanya bisa dinilai dengan menggunakan mikroskop
IA1 Invasi ke stroma serviks < 3 mm dan invasi horizontal < 7 mm
IA2 Invasi ke stroma serviks 3-5 mm dan invasi horizontal < 7mm
IB Karsinoma invasif yang dapat terlihat secara klinis, termasuk karsinoma stadium
IA yang dalam penilaian menggunakan mikroskop didapatkan invasi tumor pada
stroma serviks > 5 mm dan invasi horizontal > 7 mm
IB1 Karsinoma terlihat secara klinis dengan ukuran < 4 cm
IB2 Karsinoma terlihat secara klinis dengan ukuran > 4 cm
IIA Invasi ke 2/3 bagian atas vagina, tanpa invasi ke parametrium
IIA1 Karsinoma dengan ukuran < 4 cm dengan invasi tidak melebihi 2/3 bagian atas
vagina
IIA2 Karsinoma dengan ukuran > 4 cm dengan invasi tidak melebihi 2/3 bagian atas
vagina
IIB Invasi ke 2/3 bagian atas vagina dengan invasi ke parametrium bilateral atau
unilateral, tanpa invasi ke dinding pelvis
IIIA Invasi mencapai 1/3 bagian bawah vagina, tanpa invasi ke dinding pelvis
IIIB Invasi mencapai 1/3 bagian bawah vagina dengan invasi ke dinding pelvis,
dengan atau tanpa hidronefrosis atau ginjal yang tidak berfungsi
IVA Metastasis ke organ terdekat (usus atau kandung kemih)
IVB Metastasis ke organ yang jauh
Sumber: modifikasi dari daftar referensi nomor 24

2.1.2 Perubahan metabolisme pada kanker serviks


Pada penderita kanker terjadi perubahan metabolisme karbohidrat, protein, dan
lemak. Sama seperti sel normal memerlukan ATP untuk kelangsungan proses
selulernya, sel kanker juga membutuhkan energi untuk proliferasi sel yang cepat.
Dalam hal ini, sel kanker mampu mengatur jalur metaboliknya sesuai dengan
kebutuhannya. Efek Warburg merupakan fenotip metabolik pada kanker yang
cukup dikenal hingga saat ini. Warburg menemukan bahwa pada sel kanker terjadi

Universitas Indonesia
6

shift dari pembentukan ATP yang seharusnya melalui proses fosforilasi oksidatif
menjadi pembentukan ATP melalui proses glikolisis aerobik, bahkan dalam
kondisi tersedianya oksigen yang cukup. Hasil intermediate dari glikolisis ini
digunakan untuk biosintesis sel kanker yang diikuti dengan terbentuknya laktat.
Walaupun glikolisis lebih cepat menghasilkan ATP dibandingkan dengan
fosforilasi oksidatif, jumlah ATP yang dihasilkan untuk setiap unit glukosa yang
dikonsumsi jauh lebih sedikit. Hal ini menyebabkan adanya peningkatan dari laju
ambilan glukosa yang abnormal.6 Gambar 2.1 memperlihatkan secara skematik
mengenai efek Warburg.25 Selanjutnya, pool asam laktat yang meningkat akan
dikonversi kembali menjadi glukosa melalui siklus Cori. Proses glukoneogenesis
ini membutuhkan molekul ATP yang sangat tidak efisien bagi host dan dapat
menyebabkan peningkatan energi ekspenditur.7

Gambar 2.1 Efek Warburg


Sumber: daftar referensi nomor 25

Dalam keadaan starvasi, otak menggunakan badan keton sebagai sumber


energi untuk menggantikan glukosa, sehingga glukoneogenesis asam amino oleh
hati mengalami penurunan dan terjadi konservasi massa otot. Di lain pihak, pada
kanker, tidak terjadi sparing asam amino, sehingga terjadi deplesi dari massa
bebas lemak. Selain itu, respons protein fase akut juga menyebabkan turnover

Universitas Indonesia
7

protein keseluruhan secara signifikan sehingga terjadi pemecahan otot skeletal dan
wasting. Perubahan metabolisme lipid pada kanker antara lain adalah peningkatan
mobilisasi lipid, penurunan lipogenesis, dan penurunan aktivitas dari lipoprotein
lipase (LPL).26
Telah diketahui bahwa sel kanker memproduksi sitokin pro-inflamasi dan
faktor pro-kaheksia. Sitokin pro-inflamasi yang dikenal antara lain adalah TNF-,
IL-1, IL-6, dan IFN-. Level dari sitokin yang bersirkulasi ini berkorelasi dengan
progresivitas tumor dan menyebabkan terjadinya berbagai aktivitas fisiologis.
Sitokin menyebabkan keadaan hipermetabolisme dan wasting otot melalui
stimulasi uncoupling protein (UCP) pada mitokondria sel otot dan jaringan
adiposa. TNF-, IL-1, IL-6, dan IFN- berperan dalam terjadinya anoreksia. TNF-
dapat meningkatkan degradasi protein melalui jalur ubikuitin-proteosome dan
menurunkan sintesis protein melalui fosforilasi faktor inisiasi 2 alfa. TNF- dan
IFN- dapat mengaktivasi faktor transkripsi nuclear factor kappa B (NF-B),
yang berakibat pada penurunan ekspresi MyoD, yaitu faktor transkripsi yang
penting dalam perbaikan muscle wasting. Faktor pro-kaheksia yang diproduksi
oleh sel kanker antara lain adalah PIF dan LMF. PIF menginduksi proteolisis pada
otot melalui jalur ubikuitin-proteasome dan menstimulasi produksi IL-6, IL-8, dan
C-Reactive Protein (CRP) pada hepatosit. LIF meningkatkan produksi adenosina
monofosfat siklik (AMP siklik) sehingga jaringan adiposa menjadi lebih sensitif
terhadap stimulus lipolitik. Anoreksia, peningkatan aktivitas katabolik seperti
glikolisis, proteolisis, dan lipolisis, serta efek psikologis dan efek samping dari
regimen pengobatan yang diberikan, dapat menyebabkan terjadinya kaheksia
kanker yang secara langsung berdampak pada survival, kualitas hidup, dan
aktivitas fisik pasien kanker.7,9

2.1.3 Terapi farmakologis dan non-farmakologis kanker serviks


Tatalaksana pada pasien kanker serviks ada yang bersifat non-farmakologis dan
farmakologis. Terapi non-farmakologis terdiri dari pembedahan dan radioterapi,
sedangkan terapi farmakologis yang utama adalah kemoterapi. Jenis terapi
ditentukan berdasarkan stadium kanker dan dapat diberikan baik secara tunggal
maupun kombinasi. Pada umumnya, pembedahan dan radioterapi merupakan

Universitas Indonesia
8

terapi utama kanker pada tahap awal. Pembedahan juga dapat dilakukan pada
kanker dengan ukuran tumor yang lebih kecil, yaitu yang ditemukan pada stadium
IB1 dan IIA1.27 Selain itu, kemoterapi yang dikombinasikan dengan radiasi
biasanya dilakukan pada kanker stadium IB2 sampai IVA.28
Beberapa prosedur pembedahan pada kanker serviks yang dikenal antara
lain adalah cryosurgery, laser surgery, konisasi, histerektomi, histerektomi
radikal, trakelektomi, dan eksenterasi pelvis. Prosedur cryosurgery dan laser
surgery, yang dilakukan dengan tujuan untuk membunuh sel abnormal, biasanya
merupakan pilihan terapi pada karsinoma yang tidak bersifat invasif.29 Konisasi
dan histerektomi umumnya dilakukan pada kanker stadium IA1. Histerektomi
merupakan prosedur pengangkatan uterus dan serviks, sedangkan histerektomi
radikal merupakan prosedur pengangkatan uterus, jaringan di dekat uterus seperti
parametrium dan ligamen uterosakral, serviks, dan bagian atas vagina.
Histerektomi radikal yang disertai dengan diseksi nodul limfa sering dilakukan
pada kanker stadium IA2, IB, dan beberapa kanker stadium IIA.30 Trakelektomi
merupakan prosedur penangkatan jaringan serviks dan bagian atas vagina tanpa
mengikutsertakan jaringan uterus, dengan tetap meninggalkan ostium interna
serviks. Trakelektomi biasanya dilakukan pada kanker stadium I dengan ukuran
tumor yang kecil.31 Eksenterasi pelvis adalah prosedur pembedahan ekstensif pada
kanker serviks yang telah mengalami metastase pada jaringan sekitarnya, nodul
limfa, kandung kemih, rektum, atau kolon. Prosedur ini juga dapat dilakukan
sebagai terapi pada kanker serviks yang berulang.32
Radioterapi merupakan terapi kanker serviks dengan x-ray atau partikel
berenergi tinggi untuk menghancurkan sel kanker. Dua teknik radioterapi yang
paling sering digunakan adalah terapi radiasi eksternal (EBRT, external-beam
radiation therapy) dan terapi radiasi internal (brakiterapi). Pemberian radiasi pada
EBRT dilakukan dari luar tubuh. Efek samping yang sering terjadi meliputi lelah,
diare, mual, muntah, dan perubahan kulit. Radiasi pada area pelvis juga dapat
menyebabkan sistitis radiasi, discharge dari vagina, gangguan menstruasi, dan
menopause dini. Pada brakiterapi, sumber radiasi ditempatkan pada vagina
sehingga dekat dengan tempat pertumbuhan sel kanker. Brakiterapi sering
dilakukan sebagai terapi tambahan EBRT. Dosis radiasi pada brakiterapi mencapai

Universitas Indonesia
9

80-85 Gy untuk tumor perifer dan >120 Gy untuk tumor pada area sentral serviks.
Radiasi pada brakiterapi menempuh jarak yang pendek, sehingga efek samping
utama dari brakiterapi adalah iritasi pada dinding vagina dan vulva, walaupun
efek samping EBRT juga dapat terjadi setelah brakiterapi dilakukan.33
Kemoterapi merupakan terapi yang menggunakan obat anti-kanker yang
dapat diberikan baik per-oral maupun intravena. Untuk beberapa stadium kanker
serviks, terapi utama yang sering digunakan adalah kombinasi antara kemoterapi
dan radioterapi, yang dikenal dengan sebutan concurrent chemoradiation.34
Kemoterapi juga dilakukan sebagai terapi pada kanker yang telah mengalami
metastase ke jaringan dan organ lainnya. Obat yang paling umum dipakai antara
lain adalah cisplatin, carboplatin, paclitaxel, topotecan, dan gemcitabine.
Kemoterapi banyak menimbulkan efek samping seperti mual, muntah, penurunan
nafsu makan, kerontokan rambut, sariawan, atau kelelahan. Selain itu, kemoterapi
juga dapat merusak sel yang memproduksi sel darah pada sum-sum tulang,
sehingga dapat menyebabkan leukopenia, trombositopenia, dan anemia.28

2.2 Enteritis Radiasi


Telah diketahui bahwa salah satu efek radioterapi pada kanker serviks adalah
gangguan pada saluran cerna. Andreyev35 melaporkan bahwa hampir seluruh
pasien yang mendapatkan radioterapi pada area abdomen dan pelvis, mengalami
beberapa gejala gangguan pada saluran cerna. Hal ini disebabkan karena radiasi
akan menimbulkan kerusakan DNA seluler, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang akhirnya dapat menyebabkan gangguan pembelahan sel atau
kematian sel. Cedera secara langsung dapat diakibatkan oleh absorpsi energi yang
berasal dari jenis radiasi transfer energi linier tinggi, seperti proton dan neutron,
sedangkan cedera tidak langsung dimediasi oleh pelepasan radikal bebas yang
dihasilkan oleh interaksi antara radiasi dengan cairan seluler, sehingga merusak
DNA dan mencegah replikasi. Sel yang paling rentan terkena efek ini adalah sel
yang bereplikasi cepat dalam fase mitosis G2 dan M, seperti sel mukosa usus.
Kerusakan dan kematian sel punca (stem cells) dalam kripta usus yang terjadi
pada saat proses replikasi dan diferensiasi mengakibatkan penurunan produksi sel
epitel usus yang dapat berdiferensiasi dan hilangnya integritas mukosa usus.36

Universitas Indonesia
10

Cedera pada usus halus akibat radiasi dikenal sebagai enteritis radiasi. Ada
dua jenis enteritis radiasi, yaitu enteritis akut dan kronik. 35 Pada enteritis radiasi
akut, atropi mukosa bersifat sementara dan terjadi infiltrasi pada lamina propria
oleh sel plasma dan leukosit polimorfonuklear. Hilangnya sel punca dan
menurunnya proses mitosis kripta akan menyebabkan terjadinya pengikisan epitel,
pembentukan mikroabses pada kripta dan ulserasi mukosa. Disfungsi epitel ini
akan menyebabkan hilangnya nutrisi dan cairan serta peningkatan permeabilitas
usus terhadap patogen, sehingga terjadi eksaserbasi inflamasi pada mukosa.36 Di
lain pihak, karakteristik histopatologi dari enteritis radiasi kronik adalah
endarteritis obliteratif yang menyebabkan nekrosis jaringan, fibrosis submukosa,
dan dilatasi limfatik. Adanya aktivasi sel mesenkim dan deposisi kolagen akan
menyebabkan terjadinya fibrosis transmural yang parah.37 Hal tersebut di atas
dapat menyebabkan perdarahan, striktur, atau fistula pada saluran cerna.38
Enteritis radiasi akut biasanya timbul pada minggu kedua terapi, yaitu
pada waktu terjadi proses kerusakan jaringan dan inflamasi yang maksimum.
Kerusakan ini akan mencapai puncaknya pada minggu ke 4 dan ke 5 radioterapi,
yaitu pada saat perubahan histologi mulai stabil atau mengalami perbaikan. 39
Gejala yang dapat timbul berupa kolik abdomen, kembung, penurunan nafsu
makan, mual, diare, dan fecal urgency pada saat atau beberapa saat setelah
mendapatkan regimen radioterapi. Gejala ini pada umumnya bersifat self-limiting;
sering juga membaik setelah 3 bulan dan hanya membutuhkan pengobatan
suportif.8 Enteritis radiasi kronik muncul 18 bulan sampai 6 tahun setelah regimen
radioterapi selesai, yang dapat berupa nyeri setelah makan, obstruksi usus halus
akut atau hilang-timbul, mual, anoreksia, penurunan berat badan, kembung, diare,
steatorea, dan malabsorpsi zat gizi tertentu. Gejala yang timbul ini dapat
diakibatkan oleh kerusakan usus halus itu sendiri ataupun karena malabsorpsi
garam empedu, pertumbuhan berlebihan bakteri usus, ataupun intoleransi
laktosa.40
Ada dua faktor yang berperan dalam terjadinya enteritis radiasi, yaitu
faktor individu dan faktor terapi. Faktor individu antara lain adalah indeks massa
tubuh (IMT) yang rendah, riwayat merokok, dan adanya kondisi ko-morbid
seperti diabetes mellitus, hipertensi, penyakit vaskuler kolagen dan adanya

Universitas Indonesia
11

penyakit inflammatory bowel disease (IBD). Riwayat operasi saluran cerna juga
dapat meningkatkan risiko enteritis radiasi yang mungkin disebabkan oleh
terjadinya perubahan anatomi. Hal tersebut akan menyebabkan peningkatan
paparan terhadap bidang radiasi.41 Menurut penelitian, insidens enteritis radiasi
akut dan kronik lebih besar terjadi setelah kemoradiasi post-operatif dibandingkan
dengan pre-operatif.42 Selain faktor individu, faktor terapi yang berpengaruh
terhadap kejadian enteritis radiasi meliputi luasnya usus halus yang terkena
radiasi, dosis radiasi, fraksi dan teknik. Gejala dapat muncul setelah pemberian
dosis radiasi 5-12 Gy dalam fraksionasi, walaupun umumnya terjadi pada dosis
yang lebih besar.41
Para pakar onkologi telah mengembangkan beberapa cara untuk
menurunkan risiko terjadinya enteritis radiasi, salah satunya adalah dengan
penggunaan imaging dan teknik radioterapi modern untuk meminimalisasi
paparan radiasi terhadap jaringan normal. Sebagai contoh adalah intensity-
modulated radiotherapy (IMRT), dalam hal ini sparing dari jaringan normal
dimaksimalisasikan sehingga dapat menurunkan toksisitas.40 Selain itu, ritme
sirkadian ternyata juga berpengaruh terhadap siklus proliferasi sel. Jaringan
tampaknya lebih radiosensitif apabila sel yang terdapat di dalamnya memiliki
kapasitas proliferasi yang tinggi dan membelah lebih cepat. Diketahui bahwa
mukosa rektum manusia memiliki aktivitas proliferatif tertinggi pada pagi hari
antara pukul 03:00 sampai 11:30 dan terendah 12 jam setelahnya. 43 Dari suatu
penelitian dilaporkan bahwa dengan besar paparan radiasi yang sama, jumlah
pasien yang mengalami diare yang lebih parah, ditemukan lebih banyak pada
pasien yang mendapatkan radioterapi di pagi hari dibandingkan pada sore hari. 40
Obat-obatan tertentu yang terbukti dapat menurunkan risiko terjadinya enteritis
radiasi, di antaranya adalah angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors dan
statin.44

2.2.1 Terapi nutrisi pada enteritis radiasi


Hingga saat ini beberapa studi telah dilakukan untuk melihat efikasi dari
intervensi nutrisi terhadap kejadian enteritis radiasi pada pasien kanker di daerah
pelvis yang mendapatkan radioterapi. Efek sitotoksik yang berasal dari radiasi

Universitas Indonesia
12

dihubungkan dengan adanya stres oksidatif. Hasil suatu penelitian dengan


menggunakan hewan coba menunjukkan bahwa pemberian vitamin E atau
selenium sebelum radioterapi dapat membantu meminimalisasi stres oksidatif,
sehingga dapat memberikan keuntungan terhadap kejadian enteritis radiasi. Di
lain pihak, sebuah studi melaporkan bahwa suplementasi glutamin atau arginin
telah terbukti memiliki efek protektif pada mukosa usus hewan coba yang
mendapatkan radioterapi. Namun, studi klinik menunjukkan bahwa glutamin tidak
memiliki efek protektif terhadap enteritis radiasi akut pada manusia.40
Formula nutrisi elemental menyediakan makronutrien esensiel dalam
bentuk yang siap dicerna. Formula ini mengandung protein dalam bentuk asam
amino, lemak yang terutama dalam bentuk medium-chain triacylglycerol (MCT),
dan karbohidrat yang sebagian besar dalam bentuk maltodekstrin. Dalam jumlah
yang cukup, formula ini dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber nutrisi
untuk jangka panjang. Beberapa studi menganalisis efek pemberian formula
nutrisi elemental terhadap kejadian enteritis radiasi pada pasien kanker yang
mendapatkan radioterapi. Alasan penggunaan formula ini adalah untuk
menyediakan nutrisi yang siap dicerna oleh mukosa saluran cerna, serta
menurunkan sekresi bilier dan pankreas yang dapat memperburuk inflamasi
mukosa. Sayangnya, hasil studi tersebut tidak menunjukkan adanya perbedaan
yang signifikan pada waktu munculnya diare dan frekuensi diare di antara
kelompok yang mendapatkan formula nutrisi elemental dan kontrol.45
Jenis lemak yang paling banyak terkandung dalam makanan sehari-hari
adalah long-chain triacylglycerol (LCT). Di lain pihak, MCT yang tidak
membutuhkan asam empedu untuk proses absorpsinya, hanya terdapat pada
beberapa jenis makanan atau dapat juga dipreskripsikan dalam bentuk suplemen
di bawah pengawasan medis ataupun dietetik. Beberapa studi mencoba melihat
efek pemberian diet rendah lemak (rendah LCT) dan diet modifikasi lemak
dengan MCT sebagai jenis lemak utama terhadap kejadian enteritis radiasi pada
penderita kanker yang mendapatkan radioterapi pada area pelvis.46,47
Pertimbangan untuk pemberian diet ini antara lain adalah karena (1) kerusakan
brush border pada saluran cerna akibat radiasi dapat menyebabkan penurunan
absorpsi LCT, (2) LCT merupakan jenis lipid yang bersifat pro-inflamasi, (3)

Universitas Indonesia
13

kemungkinan terjadinya penurunan produksi asam empedu akibat radiasi, dan (4)
MCT tidak menstimulasi sekresi amilase dan lipase dari kelenjar eksokrin
pankreas, sehingga saluran cerna terlindungi dari efek proteolitik enzim ini. 48
Hasil dari studi ini tidak menunjukkan adanya efikasi dari pemberian diet rendah
LCT ataupun diet dengan MCT sebagai jenis lemak utama untuk mengurangi
kejadian enteritis radiasi pada pasien yang mendapatkan radioterapi pelvis.46,47
Serat merupakan polimer karbohidrat dengan 10 atau lebih unit monomer
yang tidak dapat dihidrolisasi oleh enzim endogen pada usus halus manusia. Dua
jenis serat yang diketahui, yaitu serat tidak larut dan serat larut. Serat tidak larut
tidak difermentasi secara komplit pada usus halus sehingga berperan dalam
pembentukan bulk fecess, serta dapat meningkatkan gerakan usus. Serat larut
menyediakan substrat fermentasi untuk mikrobiota usus yang memproduksi short-
chain fatty acid (SCFA) seperti butirat, yang mempunyai efek imunomodulator
dan anti-inflamasi.49 Sebuah meta-analisis melaporkan bahwa serat memiliki efek
unik yang dapat menurunkan motilitas usus yang terlalu cepat dan juga dapat
meningkatkan gerakan usus yang terlalu lambat. Beberapa penelitian mencoba
melihat efek pemberian serat terhadap kejadian diare pada pasien kanker yang
mendapatkan radioterapi pelvis. Namun, tidak ada bukti yang kuat mengenai
efikasi serat dalam mengurangi kejadian diare tersebut.45
Laktosa merupakan disakarida dari glukosa dan galaktosa yang dapat
ditemukan pada susu dan produk susu. Laktosa harus mengalami pembelahan ke
dalam unit monomeriknya dengan menggunakan enzim laktase yang terdapat pada
brush border usus untuk diabsorpsi. Laktosa yang tidak diabsorpsi dapat
meningkatkan tekanan osmotik usus sehingga diare dapat terjadi. Defisiensi
laktase mungkin dapat terjadi akibat kerusakan mukosa usus dan deplesi enzim
pada brush border usus yang disebabkan oleh radiasi. 50 Oleh sebab itu, sebuah
studi dengan desain randomized controlled trial (RCT) meneliti efek diet restriksi
laktosa selama radioterapi terhadap kejadian enteritis radiasi. Hasil studi tersebut
melaporkan bahwa penurunan konsumsi laktosa tidak membantu dalam
menurunkan frekuensi diare pada penderita kanker dengan radioterapi.45
Probiotik adalah mikroorganisme hidup (bakteri) yang apabila
diadministrasikan dalam jumlah yang cukup, dapat memberikan keuntungan pada

Universitas Indonesia
14

host-nya. Lactobacillus dan bifidobacteria merupakan contoh spesies probiotik


yang dapat bertahan setelah melewati lambung dan usus halus manusia. Probiotik
dapat memodifikasi populasi mikrobiota untuk mendukung spesies yang non-
patogenik dengan cara menurunkan pH usus, berkompetisi dengan spesies yang
patogenik, dan mensekresi bakteriosidin dan defensin yang bersifat anti-
patogenik. Selain itu, probiotik juga memiliki efek imunomodulator pada mukosa
dan sistem imun sistemik. Prebiotik adalah substrat hasil fermentasi yang dapat
menyebabkan perubahan spesifik pada komposisi atau aktivitas dari mikrobiota
saluran cerna yang juga dapat memberikan efek kesehatan pada host-nya. Contoh
dari prebiotik antara lain adalah inulin, laktulosa, oligofruktosa, dan galakto-
oligosakarida. Prebiotik menyediakan substrat untuk pertumbuhan spesies yang
non-patogenik sehingga terjadi peningkatan produksi SCFA yang dapat
mengoptimalkan keseimbangan cairan pada kolon, menstimulasi absorpsi air dan
sodium, dan menjaga fungsi barrier mukosa usus. Sinbiotik adalah kombinasi
51,52
antara probiotik dan prebiotik. Beberapa studi meneliti efikasi probiotik dan
sinbiotik dalam kejadian diare pada pasien kanker yang mendapatkan radioterapi
pelvis. Probiotik yang digunakan merupakan bakteri Lactobacillus acidophilus,
Lactobacillus rhamnosus, Lactobacillus casei, dan Bifidobacterium bifidum.
Beberapa studi tersebut tidak dapat menemukan bukti yang kuat mengenai efikasi
pemberian probiotik dalam mengurangi kejadian enteritis radiasi.45

2.3 Asam Lemak Omega-3


2.3.1 Struktur, jenis, dan metabolisme asam lemak omega-3
Asam lemak omega-3 merupakan asam lemak tidak jenuh jamak (polyunsaturated
fatty acids, PUFA), rantai panjang dengan 18-22 atom karbon. Ikatan rangkap
pertamanya dimulai pada atom karbon yang ketiga, jika dihitung dari ujung metil
molekul asam lemak. Ada tiga jenis asam lemak omega 3 yang berfungsi dalam
fisiologi tubuh manusia, yaitu alpha-linolenic acid (ALA), eicosapentaenoic acid
(EPA), dan docosahexaenoic acid (DHA).53
Alpha-linolenic acid mempunyai 18 atom karbon dengan tiga ikatan
rangkap dan merupakan asam lemak esensiel yang tidak dapat disintesis dalam
tubuh manusia sehingga dibutuhkan asupan dari luar. Sekitar 96% ALA yang

Universitas Indonesia
15

berasal dari makanan akan diabsorpsi oleh usus, yang kemudian akan mengalami
beberapa proses metabolisme di dalam tubuh. Proses ini antara lain adalah
mengalami proses oksidasi beta untuk menghasilkan energi, mengalami recycling
untuk pembentukan asam lemak, menjadi substrat untuk ketogenensis, disimpan
di dalam jaringan adiposa, menjadi bagian fosfolipid dari membran sel, atau
mengalami proses desaturasi dan elongasi menjadi EPA yang memiliki 20 atom
karbon dengan lima ikatan rangkap dan DHA yang memiliki 22 atom karbon
dengan enam ikatan rangkap.54 Pada manusia konversi ALA menjadi EPA terjadi
sekitar 8-20%, sedangkan konversi ALA menjadi DHA terjadi sekitar 0.5-9%. 55
Struktur dari ketiga jenis asam lemak omega-3 dan proses pembentukan EPA dan
DHA dari ALA ini dapat dilihat pada Gambar 2.2.54

Gambar 2.2 Struktur dari ketiga jenis asam lemak omega-3


dan proses pembentukan EPA dan DHA
Sumber: modifikasi dari daftar referensi nomor 54

Universitas Indonesia
16

2.3.2 Fungsi asam lemak omega-3


Polyunsaturated fatty acid yang terdiri dari asam lemak omega-3 dan omega-6
mempunyai beberapa fungsi vital di dalam tubuh manusia, yaitu sebagai struktur
fosfolipid dari membran sel, memodulasi fluiditas membran, serta berperan dalam
cellular signalling dan interaksi selular. Omega-6 merupakan jenis PUFA utama
yang terdapat dalam makanan. Hampir semua diet, terutama diet Western, kaya
akan asam lemak omega-6. Rasio omega-6 : omega-3 dalam diet sebesar 4 : 1
merupakan rasio yang optimal.10
Omega-6 dan omega-3 adalah prekursor dari mediator lipid yang poten,
yaitu eikosanoid, yang mempunyai peran penting dalam regulasi inflamasi.
Eikosanoid yang berasal dari omega-6, yaitu asam arakidonat, mempunyai efek
pro-inflamasi dan fungsi imunoaktif, sedangkan eikosanoid yang berasal dari
omega-3, yaitu EPA dan DHA mempunyai efek anti-inflamasi, karena
kemampuannya dalam menghambat pembentukan eikosanoid yang berasal dari
omega-6.10 Gambar 2.3 memperlihatkan kompetisi antara omega-6 dan omega-3
yang terjadi di dalam pembentukan prostaglandin. EPA berkompetisi dengan asam
arakidonat untuk sintesis prostaglandin dan leukotrien pada tingkat
siklooksigenase dan lipoksigenase. Efek yang ditimbulkan EPA dan turunannya
antara lain adalah (1) penurunan produksi metabolit prostaglandin E 2 (PGE2), (2)
penurunan produksi tromboksan A2 (TXA2) yang dapat menginduksi agregasi
platelet dan vasokonstriksi, (3) penurunan dari pembentukan leukotrien B4 (LTB4)
yang dapat menginduksi inflamasi, serta kemotaksis leukosit dan pelekatan
(adherence), (4) peningkatan produksi tromboksan A3 (TXA3) yang memiliki efek
berlawanan dari efek yang ditimbulkan oleh TXA 2, (5) peningkatan produksi
prostasiklin PGI3 yang menyebabkan vasodilatasi dan menghambat agregasi
platelet, (6) peningkatan produksi leukotrien B 5 (LTB5) yang memiliki efek
inflamasi yang lemah.56 Penelitian menunjukkan bahwa dengan meningkatkan
rasio asupan omega-3 terhadap omega-6 dalam diet, penurunan proses inflamasi
dapat terjadi, sehingga dapat terjadi penurunan insidens penyakit yang di
dalamnya terdapat proses inflamasi, misalnya penyakit kardiovaskuler, IBD,
kanker, rheumatoid arthritis, penyakit psikiatrik dan neurodegeneratif.10

Universitas Indonesia
17

Gambar 2.3 Metabolisme asam arakidonat dan EPA pada tingkat siklooksigenase
dan lipoksigenase
Keterangan: 5-HPETE, 5-hydroperoxyeicosatetranoic acid; 5-HPEPE, 5-
hydroxyeicosapentaenoic acid
Sumber: daftar referensi nomor 56

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat efek omega-3 terhadap


komposisi tubuh manusia. Hasil studi dari Noreen dkk. 11 menunjukkan bahwa
pemberian suplementasi minyak ikan yang kaya akan EPA dan DHA selama enam
minggu dapat secara signifikan menurunkan massa lemak dan meningkatkan
massa bebas lemak pada orang dewasa sehat. Mekanisme yang diperkirakan
berperan dalam penurunan massa lemak ini adalah peran EPA dan DHA yang
dapat menurunkan sintesis lipid dengan menghambat ekspresi gen lipogenik, serta
dapat meningkatkan oksidasi lipid dengan menstimulasi aktivitas carnitin
acyltransferase I (CAT 1). Omega-3 juga diperkirakan dapat meningkatkan
termogenesis melalui peningkatan massa bebas lemak dan juga peningkatan
aktivitas uncoupling proteins dan peroksisom.11 Selanjutnya, walaupun telah
dilaporkan peningkatan massa bebas lemak secara signifikan setelah pemberian

Universitas Indonesia
18

omega-3, mekanisme bagaimana hal ini dapat terjadi masih belum jelas. Salah
satu penjelasan yang mungkin adalah karena kemampuan omega-3 dalam
menurunkan sitokin pro-inflamasi yang dapat menyebabkan peningkatan
degradasi protein melalui aktivasi dari jalur ATP-ubiquitin-dependent.57 Studi lain
melaporkan bahwa omega-3 menyebabkan penurunan aktivitas IL-6, sehingga
terjadi penurunan produksi hormon kortisol yang berperan dalam katabolisme
protein.11
Hasil dari beberapa studi juga telah menunjukkan efek proteksi EPA
terhadap massa bebas lemak pada penderita kanker. Dalam hal ini, EPA bekerja
pada beberapa jalur yang berkontribusi pada muscle wasting dan anabolisme otot.
EPA dapat meningkatkan potensi anabolik otot dengan memperbaiki sensitivitas
insulin. Insensitivitas insulin dapat terjadi pada pasien kanker dan keadaan ini
berpotensi menyebabkan terjadinya kaheksia.58 Menurut Asp dkk.59, insensitivitas
insulin terjadi sebelum penurunan berat badan dan pemberian rosiglitazone yang
merupakan obat diabetes mellitus tipe dua dapat memperbaiki sensitivitas insulin
dan menurunkan proteolisis otot skeletal. EPA juga dapat menghambat beberapa
stimulus katabolik yang dapat menyebabkan degradasi otot. Respons protein fase
akut yang sebagian dimodulasi oleh sitokin pro-inflamasi seperti IL-1, IL-6, TNF-
, dan IFN-, berkontribusi pada terjadinya muscle wasting. Dalam hal ini, EPA
berperan dalam downregulation respons fase akut dan penurunan produksi IL-6
dan konsentrasi CRP serum. Telah diketahui bahwa jalur ubikuitin-proteosome
juga berperan dalam proses pemecahan otot pada kaheksia kanker. EPA berfungsi
dalam menurunkan ekspresi subunit proteosome yang meningkat pada kaheksia
kanker. Selain itu, hasil dari suatu studi in vitro melaporkan bahwa EPA dapat
menghambat nekrosis dan apoptosis otot yang diinduksi oleh TNF-. 58
Selanjutnya, berdasarkan penelitan dengan hewan coba, EPA dapat mengurangi
produksi AMP siklik dan asam arakidonat yang merupakan second-messenger dari
aktivitas metabolik LMF dan PIF.9

Universitas Indonesia
19

2.3.3 Bahan makanan sumber dan rekomendasi asupan asam lemak omega-3
Alpha-linolenic acid banyak ditemukan pada bahan makanan sumber nabati
seperti walnut, rapeseed (kanola), beberapa jenis kacang-kacangan, flaxseed, dan
sayuran hijau. Sumber bahan makanan EPA dan DHA terutama berasal dari hewan
laut seperti salmon, ikan sardin, ikan makarel, udang, dan ikan cod. Bahan
makanan sumber EPA dan DHA dapat dilihat pada Tabel 2.2.10
Menurut Institute of Medicine (IOM), rekomendasi asupan (adequate
intake, AI) omega-3 dalam bentuk ALA adalah sebesar 1,6 g/hari untuk laki-laki
dewasa dan 1,1 g/hari untuk wanita dewasa, sedangkan untuk EPA dan DHA
adalah sebesar 10% dari AI untuk ALA. 60 Rekomendasi asupan omega-3 di
Indonesia menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2013 dapat dilihat pada
Tabel 2.3.61 Berdasarkan European Food Safety Authority (EFSA), dosis
suplementasi EPA dan DHA jangka panjang hingga 5 g/hari tidak menyebabkan
peningkatan risiko perdarahan spontan ataupun mempengaruhi homeostasis
glukosa, fungsi imun, dan peroksidasi lipid. Selain itu, dosis suplementasi EPA
saja hingga 1,8 g/hari dan dosis DHA saja hingga 1 g/hari tidak menimbulkan
safety concerns bagi populasi umum.62

Tabel 2.2 Bahan makanan sumber EPA dan DHA


Bahan makanan sumber Kandungan EPA dan DHA (g) per 100 g
bahan makanan sumber
Ikan hering 2.01
Ikan salmon 1.28-2.15
Ikan sarden 1.15-2
Rainbow trout 1.15
Ikan makarel 0.4-1.85
Ikan halibut 0.47-1.18
Ikan tuna 0.28-1.51
Tiram 0.44
Ikan flounder atau sole 0.4
Udang 0.32
Ikan tuna (dalam kaleng) 0.31
Ikan cod 0.28
Ikan haddock 0.24
Ikan lele 0.18
Kerang 0.2
Sumber: modifikasi dari daftar referensi nomor 10

Universitas Indonesia
20

Tabel 2.3 Rekomendasi asupan asam lemak omega-3 menurut AKG 2013
Usia BB (kg) TB (cm) Omega-3 (g)
Bayi 0-6 bulan 6 61 0,5
Bayi 7-11 bulan 9 71 0,5
Anak 1-3 tahun 13 91 0,7
Anak 4-6 tahun 19 112 0,9
Anak 7-9 tahun 27 130 0,9
Laki-laki 10-12 tahun 34 142 1,2
Laki-laki 13-15 tahun 46 158 1,6
Laki-laki 16-18 tahun 56 165 1,6
Laki-laki 19-29 tahun 60 168 1,6
Laki-laki 30-49 tahun 62 168 1,6
Laki-laki 50-64 tahun 62 168 1,6
Laki-laki 65-80 tahun 60 168 1,6
Laki-laki >80 tahun 58 168 1,6
Perempuan 10-12 tahun 36 145 1,0
Perempuan 13-15 tahun 46 155 1,1
Perempuan 16-18 tahun 50 158 1,1
Perempuan 19-29 tahun 54 159 1,1
Perempuan 30-49 tahun 55 159 1,1
Perempuan 50-64 tahun 55 159 1,1
Perempuan 65-80 tahun 54 159 1,1
Perempuan >80 tahun 53 159 1,1
Tambahan bumil Trimester 1 + 0,3
Tambahan bumil Trimester 2 + 0,3
Tambahan bumil Trimester 3 + 0,3
Tambahan busui 6 bulan pertama + 0,2
Tambahan busui 6 bulan kedua + 0,2
Sumber: modifikasi dari daftar referensi nomor 61

2.4 Peran Asam Lemak Omega-3 terhadap Kejadian Enteritis Radiasi pada
Pasien Kanker Serviks yang Mendapatkan Radioterapi
Artikel dari DeWitt dkk.63 menyebutkan bahwa inflamasi mukosa saluran cerna
yang terjadi pada enteritis radiasi mempunyai karakteristik yang hampir sama
dengan IBD, sehingga terapi nutrisinya pun hampir sama. Hingga saat ini belum
didapatkan studi yang mempelajari secara spesifik mengenai efek anti-inflamasi
dari asam lemak omega-3 terhadap kejadian enteritis radiasi pada pasien dengan
kanker yang mendapatkan radioterapi pada area pelvis. Oleh karena itu, pada
tinjauan pustaka ini dilakukan review artikel mengenai efek pemberian omega-3
terhadap IBD. Wiese dkk.12 melakukan suatu studi yang bertujuan untuk
mengetahui efek pemberian suplementasi nutrisi oral (oral nutritional supplement,
ONS) yang mengandung minyak ikan (2,2 g EPA dan 0,92 g DHA), antioksidan,
dan prebiotik pada pasien dengan Crohns disease selama empat bulan. Crohns

Universitas Indonesia
21

disease merupakan salah satu jenis dari penyakit IBD. Dari 20 subyek dengan
Crohns disease yang menyelesaikan studi ini, terdapat penurunan kadar fosfolipid
plasma dari asam arakidonat dengan peningkatan kadar EPA dan DHA. Selain itu,
terdapat juga penurunan secara signifikan (p<0,05) dari Crohns Disease Activity
Index (CDAI) yang merupakan alat ukur tingkat keparahan gejala saluran cerna
pada pasien dengan Crohns disease. Hasil dari studi ini hanya dapat
menitikberatkan pada keuntungan sinergistik antara tiga komponen yang terdapat
dalam ONS yang digunakan.12
Uji RCT oleh Feagan dkk.13 dilakukan untuk melihat efek pemberian asam
lemak omega-3 terhadap kekambuhan dari penyakit Crohns disease. Dalam uji
yang bersifat double-blind ini, sejumlah 188 subyek mendapatkan 4 g omega-3
dalam bentuk minyak ikan kurang lebih selama 58 minggu, sedangkan 186 subyek
mendapatkan plasebo. Subyek dianggap mengalami kekambuhan apabila
mempunyai skor CDAI lebih dari 150 atau mengalami peningkatan skor CDAI
lebih dari 70 poin dari baseline. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata
kekambuhan dari Crohns disease setelah kurang lebih satu tahun mendapatkan
suplementasi omega-3 adalah 31,6% subyek pada grup intervensi dan 35,7% pada
grup kontrol (hazard ratio=0,82; 95% KI=0,51-1,19; P=0,30), sehingga
pemberian asam lemak omega-3 dianggap tidak efektif dalam mencegah
kekambuhan Crohns disease.13

2.5 Peran Asam Lemak Omega-3 terhadap Massa Bebas Lemak pada Pasien
Kanker Serviks yang Mendapatkan Radioterapi
Telah dilakukan beberapa penelitian mengenai efek pemberian suplementasi asam
lemak omega-3 terhadap massa bebas lemak pada pasien dengan kanker. Studi
oleh Ryan dkk.14 dilakukan untuk menginvestigasi efek pemberian nutrisi enteral
(enteral nutrition, EN) yang mengandung EPA terhadap perubahan komposisi
tubuh pada pasien dengan kanker esofagus tanpa metastase yang mendapatkan
terapi pembedahan. Bioelectrical impedance analysis (BIA) digunakan untuk
mengukur massa bebas lemak pada subyeknya. Dalam eksperimen yang
menggunakan metode RCT ini, 28 subyek pada kelompok intervensi mendapatkan
EN yang mengandung 2,2 g EPA, sedangkan 25 subyek pada kelompok kontrol

Universitas Indonesia
22

mendapatkan EN kontrol isokalorik isonitogen tanpa EPA. Penelitian ini


dilakukan selama 26 hari, yaitu 5 hari sebelum pembedahan dan 21 hari setelah
pembedahan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa subyek dalam
kelompok intervensi tidak mengalami penurunan massa bebas lemak, sedangkan
subyek dalam kelompok kontrol mengalami kehilangan massa bebas lemak secara
signifikan, yaitu rata-rata sebesar 1,9 kg (P=0,03). Selain itu, banyaknya subyek
yang mengalami penurunan berat badan lebih dari 5% adalah 8% subyek dari grup
intervensi dan 39% subyek dari grup kontrol (P=0,03).14
Murphy dkk.64 melakukan sebuah studi yang bertujuan untuk melihat efek
pemberian suplementasi minyak ikan yang mengandung omega-3 terhadap
perubahan berat badan dan komposisi tubuh pada pasien kanker paru tipe non-
small cell yang mendapatkan kemoterapi. Studi ini menggunakan CT scan untuk
menilai massa otot pada subyeknya. Dari total 40 subyek yang menyelesaikan
studi ini, 16 di antaranya mendapatkan suplementasi minyak ikan yang
mengandung 2,2 g EPA, sedangkan 24 sisanya merupakan grup kontrol. Sepuluh
minggu kemudian, subyek yang termasuk dalam grup kontrol mengalami
penurunan berat badan rata-rata sebesar 2,3 kg, sedangkan subyek yang
mendapatkan suplementasi minyak ikan tidak mengalami penurunan berat badan.
Selanjutnya, 69% dari kelompok yang mendapatkan suplementasi minyak ikan
mengalami penambahan atau bertahannya massa otot. Di lain pihak, hanya 29%
dari grup kontrol yang tidak mengalami penurunan massa otot. Subyek dari grup
kontrol ini juga secara keseluruhan mengalami kehilangan kira-kira 1 kg massa
otot. Selain itu, subyek dengan kenaikan konsentrasi EPA plasma yang tinggi juga
mengalami penambahan massa otot yang tinggi.64
Penelitian oleh Weed dkk.65 dilakukan untuk mengetahui efek pemberian
ONS yang mengandung EPA terhadap perubahan berat badan dan komposisi
tubuh pasien dengan kanker sel skuamosa area kepala dan leher yang akan
mendapatkan pembedahan sebagai terapi kuratif. Subyek yang berpartisipasi
dalam penelitian ini adalah subyek yang telah mengalami penurunan berat badan
paling tidak sebesar 5% dalam waktu 6 bulan sebelumnya. Massa otot pada
subyek penelitian dinilai dengan menggunakan BIA. Dalam studi ini, sejumlah 31
subyek mendapatkan ONS yang mengandung 2,2 g EPA setiap harinya selama

Universitas Indonesia
23

kurang lebih lima minggu, yaitu mulai dari trial entry, pre-operatif, post-operatif,
sampai hospital discharge. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
kenaikan berat badan rata-rata sebesar 0,66 kg pada 30 subyek yang terevaluasi
mulai dari trial entry hingga hospital discharge. Selain itu, terdapat kenaikan
massa bebas lemak secara signifikan (p<0,001) rata-rata sebesar 3,2 kg (7%) dan
juga penurunan massa lemak secara signifikan (p<0,001) rata-rata sebesar 3,19 kg
pada 23 subyek.65
Fearon dkk.15 melakukan suatu studi untuk mengetahui efek pemberian
asam lemak omega-3 terhadap perubahan berat badan dan komposisi tubuh pada
pasien kanker pankreas yang mengalami penurunan berat badan. Pengukuran
massa bebas lemak dilakukan dengan menggunakan BIA. Subyek dalam
penelitian ini mendapatkan secara acak suplementasi oral yang mengandung 2,2 g
EPA dan antioksidan (vitamin A, vitamin C, vitamin E, dan selenium) atau
suplemen isokalorik isonitrogen selama delapan minggu. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari perubahan berat
badan dan massa bebas lemak pada subyek yang berasal dari grup yang
mendapatkan suplementasi EPA maupun grup kontrol. Hasil yang tidak bermakna
dari studi ini kemungkinan diakibatkan oleh faktor kepatuhan subyek dalam
mengonsumsi suplemen yang diberikan.15

Universitas Indonesia
24

Tabel 2.4 Hasil penelitian mengenai peran asam lemak omega-3 terhadap massa
bebas lemak pada pasien kanker
Peneliti Desain Populasi Perlakuan Pen
ma
lem
Ryan dkk., Uji RCT, 53 pasien kanker esofagus tanpa I: EN yang mengandung 2,2 g EPA BIA
2009 double-blind metastase yang mendapatkan terapi per hari selama 26 hari.
pembedahan. K: EN isokalorik isonitrogen.
28 dalam grup intervensi (I) dan 25
dalam grup kontrol (K).

Murphy dkk., Uji RCT, open- 40 pasien kanker paru tipe non-small I: 4 kapsul gelatin yang mengandung CT
2011 label cell dari berbagai stadium yang 2,2 g EPA per hari atau 7,5 mL cairan
mendapatkan kemoterapi. minyak ikan yang mengandung 2,2 g
16 dalam grup intervensi (I) dan 24 EPA per hari selama 10 minggu.
dalam grup kontrol (K). K: tidak ada intervensi.
Rata-rata asupan: 2,4 g EPA per hari.

Weed dkk., Uji RCT, open- 31 pasien dengan kanker sel 2 kaleng ONS yang mengandung 2,2 BIA
2011 label skuamosa area kepala dan leher yang g EPA per hari.
mengalami penurunan berat badan. Rata-rata asupan: 1,8 kaleng per hari,
dari trial entry sampai hospital
discharge, kira-kira selama 5 minggu.
Fearon dkk., Uji RCT, 110 pasien kanker pankreas yang I: suplemen oral yang mengandung BIA
2003 double-blind mengalami penurunan berat badan. 2,2 g EPA dan antioksidan per hari
50 dalam grup intervensi (I) dan 60 selama 8 minggu.
dalam grup kontrol (K). K: suplemen oral tanpa EPA dan
antioksidan.

Universitas Indonesia
25

2.6 Kerangka Teori

Universitas Indonesia
26

BAB 3
KESIMPULAN

Kanker serviks yang terutama disebabkan oleh infeksi virus HPV mempunyai
prevalensi yang tinggi, baik di dunia maupun di Indonesia. Perubahan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein terjadi pada penderita kanker
serviks. Sel kanker juga memproduksi sitokin pro-inflamasi dan faktor pro-
kaheksia. Hal ini berperan dalam terjadinya anoreksia, penurunan berat badan, dan
wasting. Selain itu, radioterapi area pelvis yang merupakan salah satu pengobatan
utama kanker serviks dapat menyebabkan terjadinya enteritis radiasi yang dapat
menurunkan aktivitas fisik dan kualitas hidup pasien.
Asam lemak omega-3 merupakan nutrien spesifik yang mempunyai efek
anti-inflamasi dan berperan dalam meningkatkan massa bebas lemak pada orang
dewasa sehat. Hasil suatu studi menunjukkan bahwa pemberian omega-3 dapat
menurunkan gejala saluran cerna yang dialami oleh pasien IBD, sedangkan
penelitian lain melaporkan hasil yang berbeda. IBD mempunyai karakteristik yang
hampir sama dengan enteritis radiasi. Selanjutnya, beberapa uji RCT melaporkan
bahwa pemberian omega-3 dapat mempertahankan atau meningkatkan massa
bebas lemak pada pasien kanker, sedangkan satu uji RCT menunjukkan hasil yang
sebaliknya.

Universitas Indonesia
27

DAFTAR REFERENSI

Universitas Indonesia
1. Parkin DM, Bray F, Ferlay J, Pisani P. Global cancer statistics, 2002. CA
Cancer J Clin. 2005 Apr;55(2):74108.

2. Kamangar F, Dores GM, Anderson WF. Patterns of cancer incidence,


mortality, and prevalence across five continents: defining priorities to reduce
cancer disparities in different geographic regions of the world. J Clin Oncol
Off J Am Soc Clin Oncol. 2006 May 10;24(14):213750.

3. Jemal A, Bray F, Center MM, Ferlay J, Ward E, Forman D. Global cancer


statistics. CA Cancer J Clin. 2011 Apr;61(2):6990.

4. Hasil Riskesdas 2013.pdf [Internet]. Google Docs. [cited 2015 Sep 22].
Available from:
https://drive.google.com/file/d/0BxMqKGS9XxLqWHN3VFdPdEgtUmc/edi
t?usp=sharing&pli=1&usp=embed_facebook

5. Dugu P-A, Rebolj M, Garred P, Lynge E. Immunosuppression and risk of


cervical cancer. Expert Rev Anticancer Ther. 2013 Jan;13(1):2942.

6. Cairns RA, Harris IS, Mak TW. Regulation of cancer cell metabolism. Nat
Rev Cancer. 2011 Feb;11(2):8595.

7. Donohoe CL, Ryan AM, Reynolds JV, Donohoe CL, Ryan AM, Reynolds JV.
Cancer Cachexia: Mechanisms and Clinical Implications, Cancer Cachexia:
Mechanisms and Clinical Implications. Gastroenterol Res Pract
Gastroenterol Res Pract. 2011 Jun 13;2011, 2011:e601434.

8. Do NL, Nagle D, Poylin VY, Do NL, Nagle D, Poylin VY. Radiation


Proctitis: Current Strategies in Management, Radiation Proctitis: Current
Strategies in Management. Gastroenterol Res Pract Gastroenterol Res Pract.
2011 Nov 17;2011, 2011:e917941.

9. Inui A. Cancer Anorexia-Cachexia Syndrome: Current Issues in Research


and Management. CA Cancer J Clin. 2002 Mar 1;52(2):7291.

10. Wall R, Ross RP, Fitzgerald GF, Stanton C. Fatty acids from fish: the anti-
inflammatory potential of long-chain omega-3 fatty acids. Nutr Rev. 2010
May 1;68(5):2809.

11. Noreen EE, Sass MJ, Crowe ML, Pabon VA, Brandauer J, Averill LK.
Effects of supplemental fish oil on resting metabolic rate, body composition,
and salivary cortisol in healthy adults. J Int Soc Sports Nutr. 2010 Oct
8;7(1):31.

12. Wiese DM, Lashner BA, Lerner E, DeMichele SJ, Seidner DL. The Effects
of an Oral Supplement Enriched With Fish Oil, Prebiotics, and Antioxidants
on Nutrition Status in Crohns Disease Patients. Nutr Clin Pract Off Publ Am
Soc Parenter Enter Nutr. 2011 Aug;26(4):46373.

13. Feagan BG, Sandborn WJ, Mittmann U, Bar-Meir S, DHaens G, Bradette


M, et al. Omega-3 free fatty acids for the maintenance of remission in Crohn
disease: the EPIC Randomized Controlled Trials. JAMA. 2008 Apr
9;299(14):16907.

14. Ryan AM, Reynolds JV, Healy L, Byrne M, Moore J, Brannelly N, et al.
Enteral nutrition enriched with eicosapentaenoic acid (EPA) preserves lean
body mass following esophageal cancer surgery: results of a double-blinded
randomized controlled trial. Ann Surg. 2009 Mar;249(3):35563.

15. Fearon KCH, Von Meyenfeldt MF, Moses AGW, Van Geenen R, Roy A,
Gouma DJ, et al. Effect of a protein and energy dense N-3 fatty acid enriched
oral supplement on loss of weight and lean tissue in cancer cachexia: a
randomised double blind trial. Gut. 2003 Oct;52(10):147986.

16. Burd EM. Human Papillomavirus and Cervical Cancer. Clin Microbiol Rev.
2003 Jan;16(1):117.

17. Muoz N, Bosch FX, de Sanjos S, Herrero R, Castellsagu X, Shah KV, et


al. Epidemiologic Classification of Human Papillomavirus Types Associated
with Cervical Cancer. N Engl J Med. 2003 Feb 6;348(6):51827.

18. Bosch FX, Lorincz A, Muoz N, Meijer CJLM, Shah KV. The causal
relation between human papillomavirus and cervical cancer. J Clin Pathol.
2002 Apr;55(4):24465.

19. Barnholtz-Sloan J, Patel N, Rollison D, Kortepeter K, MacKinnon J,


Giuliano A. Incidence trends of invasive cervical cancer in the United States
by combined race and ethnicity. Cancer Causes Control CCC. 2009
Sep;20(7):112938.

20. Wang SS, Carreon JD, Gomez SL, Devesa SS. Cervical cancer incidence
among 6 asian ethnic groups in the United States, 1996 through 2004.
Cancer. 2010 Feb 15;116(4):94956.
21. Sherman ME, Wang SS, Carreon J, Devesa SS. Mortality trends for cervical
squamous and adenocarcinoma in the United States. Relation to incidence
and survival. Cancer. 2005 Mar 15;103(6):125864.

22. Sasieni P, Castanon A, Cuzick J. Screening and adenocarcinoma of the


cervix. Int J Cancer. 2009 Aug 1;125(3):5259.

23. Patel S, Liyanage SH, Sahdev A, Rockall AG, Reznek RH. Imaging of
endometrial and cervical cancer. Insights Imaging. 2010 Sep 28;1(5-6):309
28.

24. Mutch DG. The new FIGO staging system for cancers of the vulva, cervix,
endometrium and sarcomas. Gynecol Oncol - GYNECOL ONCOL.
2009;115(3):3258.

25. Marie SKN, Shinjo SMO. Metabolism and Brain Cancer. Clinics. 2011
Jun;66(Suppl 1):3343.

26. Barber MD, Ross JA, Fearon KC. Cancer cachexia. Surg Oncol. 1999
Nov;8(3):13341.

27. ACOG Practice Bulletin No. 35: Diagnosis and Treatment of Ce...:
Obstetrics & Gynecology [Internet]. LWW. [cited 2015 Sep 22]. Available
from:
http://journals.lww.com/greenjournal/Fulltext/2002/05000/ACOG_Practice_
Bulletin_No__35__Diagnosis_and.35.aspx

28. Monk BJ, Tewari KS, Koh W-J. Multimodality therapy for locally advanced
cervical carcinoma: state of the art and future directions. J Clin Oncol Off J
Am Soc Clin Oncol. 2007 Jul 10;25(20):295265.

29. Wright VC, Davies EM. The conservative management of cervical


intraepithelial neoplasia: the use of cryosurgery and the carbon dioxide laser.
Br J Obstet Gynaecol. 1981 Jun;88(6):6638.

30. Holcomb K, Dimaio TM, Nicastri AD, Matthews RP, Lee YC, Buhl A. Cone
biopsy and pathologic findings at radical hysterectomy in stage I cervical
carcinoma. Obstet Gynecol. 2001 Nov;98(5 Pt 1):77982.
31. Shepherd JH, Spencer C, Herod J, Ind TEJ. Radical vaginal trachelectomy as
a fertility-sparing procedure in women with early-stage cervical cancer-
cumulative pregnancy rate in a series of 123 women. BJOG Int J Obstet
Gynaecol. 2006 Jun;113(6):71924.

32. Plante M, Roy M. The use of operative laparoscopy in determining eligibility


for pelvic exenteration in patients with recurrent cervical cancer. Gynecol
Oncol. 1995 Dec;59(3):4014.

33. Toita T, Kakinohana Y, Ogawa K, Adachi G, Moromizato H, Nagai Y, et al.


Combination external beam radiotherapy and high-dose-rate intracavitary
brachytherapy for uterine cervical cancer: Analysis of dose and fractionation
schedule. Int J Radiat Oncol. 2003 Aug 1;56(5):134453.

34. Morris M, Eifel PJ, Lu J, Grigsby PW, Levenback C, Stevens RE, et al.
Pelvic Radiation with Concurrent Chemotherapy Compared with Pelvic and
Para-Aortic Radiation for High-Risk Cervical Cancer. N Engl J Med. 1999
Apr 15;340(15):113743.

35. Andreyev J. Gastrointestinal symptoms after pelvic radiotherapy: a new


understanding to improve management of symptomatic patients. Lancet
Oncol. 2007 Nov;8(11):100717.

36. Theis VS, Sripadam R, Ramani V, Lal S. Chronic radiation enteritis. Clin
Oncol R Coll Radiol G B. 2010 Feb;22(1):7083.

37. Wellwood JM, Jackson BT. The intestinal complications of radiotherapy. Br


J Surg. 1973 Oct 1;60(10):8148.

38. Yeoh EK, Horowitz M. Radiation enteritis. Surg Gynecol Obstet. 1987
Oct;165(4):3739.

39. Khalid U, McGough C, Hackett C, Blake P, Harrington KJ, Khoo VS, et al.
A modified inflammatory bowel disease questionnaire and the Vaizey
Incontinence questionnaire are more sensitive measures of acute
gastrointestinal toxicity during pelvic radiotherapy than RTOG grading. Int J
Radiat Oncol Biol Phys. 2006 Apr 1;64(5):143241.

40. Stacey R, Green JT. Radiation-induced small bowel disease: latest


developments and clinical guidance. Ther Adv Chronic Dis. 2014
Jan;5(1):1529.
41. Letschert JG, Lebesque JV, de Boer RW, Hart AA, Bartelink H. Dose-
volume correlation in radiation-related late small-bowel complications: a
clinical study. Radiother Oncol J Eur Soc Ther Radiol Oncol. 1990
Aug;18(4):30720.

42. Sauer R, Becker H, Hohenberger W, Rdel C, Wittekind C, Fietkau R, et al.


Preoperative versus Postoperative Chemoradiotherapy for Rectal Cancer. N
Engl J Med. 2004 Oct 21;351(17):173140.

43. Buchi KN, Moore JG, Hrushesky WJ, Sothern RB, Rubin NH. Circadian
rhythm of cellular proliferation in the human rectal mucosa.
Gastroenterology. 1991 Aug;101(2):4105.

44. Wedlake LJ, Silia F, Benton B, Lalji A, Thomas K, Dearnaley DP, et al.
Evaluating the efficacy of statins and ACE-inhibitors in reducing
gastrointestinal toxicity in patients receiving radiotherapy for pelvic
malignancies. Eur J Cancer Oxf Engl 1990. 2012 Sep;48(14):211724.

45. Wedlake LJ, Shaw C, Whelan K, Andreyev HJN. Systematic review: the
efficacy of nutritional interventions to counteract acute gastrointestinal
toxicity during therapeutic pelvic radiotherapy. Aliment Pharmacol Ther.
2013 Jun 1;37(11):104656.

46. S K, Jm K, W P, E S. A randomized trial with low fat diets to improve food


intake and tolerance in women receiving abdominal radiotherapy for cancer
[abstract] [Internet]. [cited 2015 Oct 4]. Available from:
http://pesquisa.bvsalud.org/evidences/resource/en/CN-00281679

47. Wedlake LJ, McGough C, Shaw C, Klopper T, Thomas K, Lalji A, et al.


Clinical trial: Efficacy of a low or modified fat diet for the prevention of
gastrointestinal toxicity in patients receiving radiotherapy treatment for
pelvic malignancies. J Hum Nutr Diet Off J Br Diet Assoc. 2012
Jun;25(3):24759.

48. Symersky T, Vu MK, Frlich M, Biemond I, Masclee A a. M. The effect of


equicaloric medium-chain and long-chain triglycerides on pancreas enzyme
secretion. Clin Physiol Funct Imaging. 2002 Sep;22(5):30711.

49. Cook, Sellin. Review article: short chain fatty acids in health and disease.
Aliment Pharmacol Ther. 1998 Jun 1;12(6):499507.

50. Suarez FL, Savaiano DA, Levitt MD. A Comparison of Symptoms after the
Consumption of Milk or Lactose-Hydrolyzed Milk by People with Self-
Reported Severe Lactose Intolerance. N Engl J Med. 1995 Jul 6;333(1):14.
51. Gibson GR, Probert HM, Loo JV, Rastall RA, Roberfroid MB. Dietary
modulation of the human colonic microbiota: updating the concept of
prebiotics. Nutr Res Rev. 2004 Dec;17(2):25975.

52. Gerritsen J, Smidt H, Rijkers GT, de Vos WM. Intestinal microbiota in


human health and disease: the impact of probiotics. Genes Nutr. 2011
Aug;6(3):20940.

53. Holub BJ. Clinical nutrition: 4. Omega-3 fatty acids in cardiovascular care.
CMAJ Can Med Assoc J. 2002 Mar 5;166(5):60815.

54. Pereira H, Barreira L, Figueiredo F, Custdio L, Vizetto-Duarte C, Polo C, et


al. Polyunsaturated Fatty Acids of Marine Macroalgae: Potential for
Nutritional and Pharmaceutical Applications. Mar Drugs. 2012 Aug
24;10(9):192035.

55. Stark AH, Crawford MA, Reifen R. Update on alpha-linolenic acid. Nutr
Rev. 2008 Jun 1;66(6):32632.

56. Simopoulos AP. Omega-3 fatty acids in inflammation and autoimmune


diseases. J Am Coll Nutr. 2002 Dec;21(6):495505.

57. Calder PC. Omega-3 polyunsaturated fatty acids and inflammatory


processes: nutrition or pharmacology? Br J Clin Pharmacol. 2013
Mar;75(3):64562.

58. Murphy RA, Yeung E, Mazurak VC, Mourtzakis M. Influence of


eicosapentaenoic acid supplementation on lean body mass in cancer
cachexia. Br J Cancer. 2011 Nov 8;105(10):146973.

59. Asp ML, Tian M, Wendel AA, Belury MA. Evidence for the contribution of
insulin resistance to the development of cachexia in tumor-bearing mice. Int
J Cancer J Int Cancer. 2010 Feb 1;126(3):75663.

60. Read Dietary Reference Intakes for Energy, Carbohydrate, Fiber, Fat, Fatty
Acids, Cholesterol, Protein, and Amino Acids (Macronutrients) at NAP.edu
[Internet]. [cited 2015 Oct 8]. Available from:
http://www.nap.edu/read/10490/chapter/1
61. Angka Kecukupan Gizi (AKG) [Internet]. Sumber Pengetahuan Sehat. [cited
2015 Oct 5]. Available from: http://kb.123sehat.com/lain/angka-kecukupan-
gizi-akg/
62. EFSA Publishes Scientific Opinion on UL of EPA, DHA, DPA Omega-3s
[Internet]. 2012 [cited 2015 Oct 8]. Available from:
http://www.naturalproductsinsider.com/news/2012/07/efsa-publishes-
scientific-opinion-on-ul-of-epa-dh.aspx

63. DeWitt T, Hegazi R, DeWitt T, Hegazi R. Nutrition in Pelvic Radiation


Disease and Inflammatory Bowel Disease: Similarities and Differences,
Nutrition in Pelvic Radiation Disease and Inflammatory Bowel Disease:
Similarities and Differences. BioMed Res Int BioMed Res Int. 2014 May
28;2014, 2014:e716579.

64. Murphy RA, Mourtzakis M, Chu QSC, Baracos VE, Reiman T, Mazurak
VC. Nutritional intervention with fish oil provides a benefit over standard of
care for weight and skeletal muscle mass in patients with nonsmall cell lung
cancer receiving chemotherapy. Cancer. 2011 Apr 15;117(8):177582.

65. Weed HG, Ferguson ML, Gaff RL, Hustead DS, Nelson JL, Voss AC. Lean
body mass gain in patients with head and neck squamous cell cancer treated
perioperatively with a protein- and energy-dense nutritional supplement
containing eicosapentaenoic acid. Head Neck. 2011 Jul;33(7):102733.

Anda mungkin juga menyukai