BAB 1
PENDAHULUAN
Kanker serviks merupakan kanker yang paling sering ditemukan pada wanita di
seluruh dunia dan menjadi penyebab utama kematian akibat kanker. Data insidens
global kanker serviks pada tahun 2012 memperlihatkan setiap tahunnya terdapat
528.000 kasus baru, dengan laju kematian mencapai 266.000 jiwa per tahun. Data
lain memperlihatkan bahwa 85% kasus kanker serviks terjadi di negara-negara
berkembang.13 Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2013,
prevalensi penyakit kanker pada penduduk semua umur di Indonesia mencapai
1,4% atau kira-kira sekitar 347.792 orang, dengan kanker serviks menempati
angka tertinggi yaitu sebesar 0,8%.4
Infeksi human papillomavirus (HPV) merupakan penyebab utama
penyakit kanker serviks.5 Perubahan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak
yang berakibat pada peningkatan aktivitas katabolik terjadi pada penderita kanker
serviks.6 Sel kanker juga memproduksi sitokin pro-inflamasi, seperti tumor
necrosis factor- (TNF-), interleukin-1 (IL-1), IL-6, dan interferon- (IFN-) dan
faktor pro-kaheksia, yaitu proteolysis-inducing factor (PIF) dan lipid-mobilizing
factor (LMF). Hal ini berperan dalam terjadinya anoreksia, penurunan berat
badan, dan wasting.7 Selain itu, radioterapi yang merupakan salah satu pengobatan
utama dari kanker serviks dapat menyebabkan enteritis radiasi. Gejalanya dapat
berupa kolik abdomen, kembung, penurunan nafsu makan, mual, dan diare.8
Anoreksia, peningkatan aktivitas katabolik, serta efek psikologis dan efek
samping pengobatan kanker, dapat menyebabkan terjadinya kaheksia kanker yang
berakibat pada penurunan survival dan kualitas hidup pasien.9
Asupan kalori yang cukup disertai dengan pemberian nutrien spesifik yang
memadai merupakan bagian yang penting dalam tatalaksana kanker serviks. Telah
diketahui bahwa asam lemak omega-3 mempunyai efek anti-inflamasi dan juga
berperan dalam meningkatkan massa bebas lemak pada orang dewasa sehat. 10,11
Wiese dkk.12 melakukan studi yang melihat efek pemberian omega-3 terhadap
inflammatory bowel disease (IBD) yang mempunyai karakteristik yang hampir
sama dengan enteritis radiasi. Hasil studi ini menunjukkan bahwa pemberian
Universitas Indonesia
2
Universitas Indonesia
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Universitas Indonesia
4
mampu secara selektif mendegradasi p53 dan produk gen retinoblastoma (RB),
yang mengakibatkan inaktivasi dari dua protein regulator negatif selular yang
penting.18
Universitas Indonesia
5
lengkap, tes fungsi hati dan ginjal. Pemeriksaan radiologi seperti foto polos
toraks, computed tomography (CT) scan, magnetic resonance imaging (MRI),
ataupun positon emission tomography (PET) scan dapat digunakan untuk melihat
penyebaran kanker ke bagian tubuh lain. Sistoskopi dan proktoskopi dilakukan
apabila ada kecurigaan metastasis kanker ke kandung kemih ataupun rektum.23
Pada Tabel 2.1 dapat dilihat stadium kanker serviks yang ditentukan
berdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) tahun
2009.24
Universitas Indonesia
6
shift dari pembentukan ATP yang seharusnya melalui proses fosforilasi oksidatif
menjadi pembentukan ATP melalui proses glikolisis aerobik, bahkan dalam
kondisi tersedianya oksigen yang cukup. Hasil intermediate dari glikolisis ini
digunakan untuk biosintesis sel kanker yang diikuti dengan terbentuknya laktat.
Walaupun glikolisis lebih cepat menghasilkan ATP dibandingkan dengan
fosforilasi oksidatif, jumlah ATP yang dihasilkan untuk setiap unit glukosa yang
dikonsumsi jauh lebih sedikit. Hal ini menyebabkan adanya peningkatan dari laju
ambilan glukosa yang abnormal.6 Gambar 2.1 memperlihatkan secara skematik
mengenai efek Warburg.25 Selanjutnya, pool asam laktat yang meningkat akan
dikonversi kembali menjadi glukosa melalui siklus Cori. Proses glukoneogenesis
ini membutuhkan molekul ATP yang sangat tidak efisien bagi host dan dapat
menyebabkan peningkatan energi ekspenditur.7
Universitas Indonesia
7
protein keseluruhan secara signifikan sehingga terjadi pemecahan otot skeletal dan
wasting. Perubahan metabolisme lipid pada kanker antara lain adalah peningkatan
mobilisasi lipid, penurunan lipogenesis, dan penurunan aktivitas dari lipoprotein
lipase (LPL).26
Telah diketahui bahwa sel kanker memproduksi sitokin pro-inflamasi dan
faktor pro-kaheksia. Sitokin pro-inflamasi yang dikenal antara lain adalah TNF-,
IL-1, IL-6, dan IFN-. Level dari sitokin yang bersirkulasi ini berkorelasi dengan
progresivitas tumor dan menyebabkan terjadinya berbagai aktivitas fisiologis.
Sitokin menyebabkan keadaan hipermetabolisme dan wasting otot melalui
stimulasi uncoupling protein (UCP) pada mitokondria sel otot dan jaringan
adiposa. TNF-, IL-1, IL-6, dan IFN- berperan dalam terjadinya anoreksia. TNF-
dapat meningkatkan degradasi protein melalui jalur ubikuitin-proteosome dan
menurunkan sintesis protein melalui fosforilasi faktor inisiasi 2 alfa. TNF- dan
IFN- dapat mengaktivasi faktor transkripsi nuclear factor kappa B (NF-B),
yang berakibat pada penurunan ekspresi MyoD, yaitu faktor transkripsi yang
penting dalam perbaikan muscle wasting. Faktor pro-kaheksia yang diproduksi
oleh sel kanker antara lain adalah PIF dan LMF. PIF menginduksi proteolisis pada
otot melalui jalur ubikuitin-proteasome dan menstimulasi produksi IL-6, IL-8, dan
C-Reactive Protein (CRP) pada hepatosit. LIF meningkatkan produksi adenosina
monofosfat siklik (AMP siklik) sehingga jaringan adiposa menjadi lebih sensitif
terhadap stimulus lipolitik. Anoreksia, peningkatan aktivitas katabolik seperti
glikolisis, proteolisis, dan lipolisis, serta efek psikologis dan efek samping dari
regimen pengobatan yang diberikan, dapat menyebabkan terjadinya kaheksia
kanker yang secara langsung berdampak pada survival, kualitas hidup, dan
aktivitas fisik pasien kanker.7,9
Universitas Indonesia
8
terapi utama kanker pada tahap awal. Pembedahan juga dapat dilakukan pada
kanker dengan ukuran tumor yang lebih kecil, yaitu yang ditemukan pada stadium
IB1 dan IIA1.27 Selain itu, kemoterapi yang dikombinasikan dengan radiasi
biasanya dilakukan pada kanker stadium IB2 sampai IVA.28
Beberapa prosedur pembedahan pada kanker serviks yang dikenal antara
lain adalah cryosurgery, laser surgery, konisasi, histerektomi, histerektomi
radikal, trakelektomi, dan eksenterasi pelvis. Prosedur cryosurgery dan laser
surgery, yang dilakukan dengan tujuan untuk membunuh sel abnormal, biasanya
merupakan pilihan terapi pada karsinoma yang tidak bersifat invasif.29 Konisasi
dan histerektomi umumnya dilakukan pada kanker stadium IA1. Histerektomi
merupakan prosedur pengangkatan uterus dan serviks, sedangkan histerektomi
radikal merupakan prosedur pengangkatan uterus, jaringan di dekat uterus seperti
parametrium dan ligamen uterosakral, serviks, dan bagian atas vagina.
Histerektomi radikal yang disertai dengan diseksi nodul limfa sering dilakukan
pada kanker stadium IA2, IB, dan beberapa kanker stadium IIA.30 Trakelektomi
merupakan prosedur penangkatan jaringan serviks dan bagian atas vagina tanpa
mengikutsertakan jaringan uterus, dengan tetap meninggalkan ostium interna
serviks. Trakelektomi biasanya dilakukan pada kanker stadium I dengan ukuran
tumor yang kecil.31 Eksenterasi pelvis adalah prosedur pembedahan ekstensif pada
kanker serviks yang telah mengalami metastase pada jaringan sekitarnya, nodul
limfa, kandung kemih, rektum, atau kolon. Prosedur ini juga dapat dilakukan
sebagai terapi pada kanker serviks yang berulang.32
Radioterapi merupakan terapi kanker serviks dengan x-ray atau partikel
berenergi tinggi untuk menghancurkan sel kanker. Dua teknik radioterapi yang
paling sering digunakan adalah terapi radiasi eksternal (EBRT, external-beam
radiation therapy) dan terapi radiasi internal (brakiterapi). Pemberian radiasi pada
EBRT dilakukan dari luar tubuh. Efek samping yang sering terjadi meliputi lelah,
diare, mual, muntah, dan perubahan kulit. Radiasi pada area pelvis juga dapat
menyebabkan sistitis radiasi, discharge dari vagina, gangguan menstruasi, dan
menopause dini. Pada brakiterapi, sumber radiasi ditempatkan pada vagina
sehingga dekat dengan tempat pertumbuhan sel kanker. Brakiterapi sering
dilakukan sebagai terapi tambahan EBRT. Dosis radiasi pada brakiterapi mencapai
Universitas Indonesia
9
80-85 Gy untuk tumor perifer dan >120 Gy untuk tumor pada area sentral serviks.
Radiasi pada brakiterapi menempuh jarak yang pendek, sehingga efek samping
utama dari brakiterapi adalah iritasi pada dinding vagina dan vulva, walaupun
efek samping EBRT juga dapat terjadi setelah brakiterapi dilakukan.33
Kemoterapi merupakan terapi yang menggunakan obat anti-kanker yang
dapat diberikan baik per-oral maupun intravena. Untuk beberapa stadium kanker
serviks, terapi utama yang sering digunakan adalah kombinasi antara kemoterapi
dan radioterapi, yang dikenal dengan sebutan concurrent chemoradiation.34
Kemoterapi juga dilakukan sebagai terapi pada kanker yang telah mengalami
metastase ke jaringan dan organ lainnya. Obat yang paling umum dipakai antara
lain adalah cisplatin, carboplatin, paclitaxel, topotecan, dan gemcitabine.
Kemoterapi banyak menimbulkan efek samping seperti mual, muntah, penurunan
nafsu makan, kerontokan rambut, sariawan, atau kelelahan. Selain itu, kemoterapi
juga dapat merusak sel yang memproduksi sel darah pada sum-sum tulang,
sehingga dapat menyebabkan leukopenia, trombositopenia, dan anemia.28
Universitas Indonesia
10
Cedera pada usus halus akibat radiasi dikenal sebagai enteritis radiasi. Ada
dua jenis enteritis radiasi, yaitu enteritis akut dan kronik. 35 Pada enteritis radiasi
akut, atropi mukosa bersifat sementara dan terjadi infiltrasi pada lamina propria
oleh sel plasma dan leukosit polimorfonuklear. Hilangnya sel punca dan
menurunnya proses mitosis kripta akan menyebabkan terjadinya pengikisan epitel,
pembentukan mikroabses pada kripta dan ulserasi mukosa. Disfungsi epitel ini
akan menyebabkan hilangnya nutrisi dan cairan serta peningkatan permeabilitas
usus terhadap patogen, sehingga terjadi eksaserbasi inflamasi pada mukosa.36 Di
lain pihak, karakteristik histopatologi dari enteritis radiasi kronik adalah
endarteritis obliteratif yang menyebabkan nekrosis jaringan, fibrosis submukosa,
dan dilatasi limfatik. Adanya aktivasi sel mesenkim dan deposisi kolagen akan
menyebabkan terjadinya fibrosis transmural yang parah.37 Hal tersebut di atas
dapat menyebabkan perdarahan, striktur, atau fistula pada saluran cerna.38
Enteritis radiasi akut biasanya timbul pada minggu kedua terapi, yaitu
pada waktu terjadi proses kerusakan jaringan dan inflamasi yang maksimum.
Kerusakan ini akan mencapai puncaknya pada minggu ke 4 dan ke 5 radioterapi,
yaitu pada saat perubahan histologi mulai stabil atau mengalami perbaikan. 39
Gejala yang dapat timbul berupa kolik abdomen, kembung, penurunan nafsu
makan, mual, diare, dan fecal urgency pada saat atau beberapa saat setelah
mendapatkan regimen radioterapi. Gejala ini pada umumnya bersifat self-limiting;
sering juga membaik setelah 3 bulan dan hanya membutuhkan pengobatan
suportif.8 Enteritis radiasi kronik muncul 18 bulan sampai 6 tahun setelah regimen
radioterapi selesai, yang dapat berupa nyeri setelah makan, obstruksi usus halus
akut atau hilang-timbul, mual, anoreksia, penurunan berat badan, kembung, diare,
steatorea, dan malabsorpsi zat gizi tertentu. Gejala yang timbul ini dapat
diakibatkan oleh kerusakan usus halus itu sendiri ataupun karena malabsorpsi
garam empedu, pertumbuhan berlebihan bakteri usus, ataupun intoleransi
laktosa.40
Ada dua faktor yang berperan dalam terjadinya enteritis radiasi, yaitu
faktor individu dan faktor terapi. Faktor individu antara lain adalah indeks massa
tubuh (IMT) yang rendah, riwayat merokok, dan adanya kondisi ko-morbid
seperti diabetes mellitus, hipertensi, penyakit vaskuler kolagen dan adanya
Universitas Indonesia
11
penyakit inflammatory bowel disease (IBD). Riwayat operasi saluran cerna juga
dapat meningkatkan risiko enteritis radiasi yang mungkin disebabkan oleh
terjadinya perubahan anatomi. Hal tersebut akan menyebabkan peningkatan
paparan terhadap bidang radiasi.41 Menurut penelitian, insidens enteritis radiasi
akut dan kronik lebih besar terjadi setelah kemoradiasi post-operatif dibandingkan
dengan pre-operatif.42 Selain faktor individu, faktor terapi yang berpengaruh
terhadap kejadian enteritis radiasi meliputi luasnya usus halus yang terkena
radiasi, dosis radiasi, fraksi dan teknik. Gejala dapat muncul setelah pemberian
dosis radiasi 5-12 Gy dalam fraksionasi, walaupun umumnya terjadi pada dosis
yang lebih besar.41
Para pakar onkologi telah mengembangkan beberapa cara untuk
menurunkan risiko terjadinya enteritis radiasi, salah satunya adalah dengan
penggunaan imaging dan teknik radioterapi modern untuk meminimalisasi
paparan radiasi terhadap jaringan normal. Sebagai contoh adalah intensity-
modulated radiotherapy (IMRT), dalam hal ini sparing dari jaringan normal
dimaksimalisasikan sehingga dapat menurunkan toksisitas.40 Selain itu, ritme
sirkadian ternyata juga berpengaruh terhadap siklus proliferasi sel. Jaringan
tampaknya lebih radiosensitif apabila sel yang terdapat di dalamnya memiliki
kapasitas proliferasi yang tinggi dan membelah lebih cepat. Diketahui bahwa
mukosa rektum manusia memiliki aktivitas proliferatif tertinggi pada pagi hari
antara pukul 03:00 sampai 11:30 dan terendah 12 jam setelahnya. 43 Dari suatu
penelitian dilaporkan bahwa dengan besar paparan radiasi yang sama, jumlah
pasien yang mengalami diare yang lebih parah, ditemukan lebih banyak pada
pasien yang mendapatkan radioterapi di pagi hari dibandingkan pada sore hari. 40
Obat-obatan tertentu yang terbukti dapat menurunkan risiko terjadinya enteritis
radiasi, di antaranya adalah angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors dan
statin.44
Universitas Indonesia
12
Universitas Indonesia
13
kemungkinan terjadinya penurunan produksi asam empedu akibat radiasi, dan (4)
MCT tidak menstimulasi sekresi amilase dan lipase dari kelenjar eksokrin
pankreas, sehingga saluran cerna terlindungi dari efek proteolitik enzim ini. 48
Hasil dari studi ini tidak menunjukkan adanya efikasi dari pemberian diet rendah
LCT ataupun diet dengan MCT sebagai jenis lemak utama untuk mengurangi
kejadian enteritis radiasi pada pasien yang mendapatkan radioterapi pelvis.46,47
Serat merupakan polimer karbohidrat dengan 10 atau lebih unit monomer
yang tidak dapat dihidrolisasi oleh enzim endogen pada usus halus manusia. Dua
jenis serat yang diketahui, yaitu serat tidak larut dan serat larut. Serat tidak larut
tidak difermentasi secara komplit pada usus halus sehingga berperan dalam
pembentukan bulk fecess, serta dapat meningkatkan gerakan usus. Serat larut
menyediakan substrat fermentasi untuk mikrobiota usus yang memproduksi short-
chain fatty acid (SCFA) seperti butirat, yang mempunyai efek imunomodulator
dan anti-inflamasi.49 Sebuah meta-analisis melaporkan bahwa serat memiliki efek
unik yang dapat menurunkan motilitas usus yang terlalu cepat dan juga dapat
meningkatkan gerakan usus yang terlalu lambat. Beberapa penelitian mencoba
melihat efek pemberian serat terhadap kejadian diare pada pasien kanker yang
mendapatkan radioterapi pelvis. Namun, tidak ada bukti yang kuat mengenai
efikasi serat dalam mengurangi kejadian diare tersebut.45
Laktosa merupakan disakarida dari glukosa dan galaktosa yang dapat
ditemukan pada susu dan produk susu. Laktosa harus mengalami pembelahan ke
dalam unit monomeriknya dengan menggunakan enzim laktase yang terdapat pada
brush border usus untuk diabsorpsi. Laktosa yang tidak diabsorpsi dapat
meningkatkan tekanan osmotik usus sehingga diare dapat terjadi. Defisiensi
laktase mungkin dapat terjadi akibat kerusakan mukosa usus dan deplesi enzim
pada brush border usus yang disebabkan oleh radiasi. 50 Oleh sebab itu, sebuah
studi dengan desain randomized controlled trial (RCT) meneliti efek diet restriksi
laktosa selama radioterapi terhadap kejadian enteritis radiasi. Hasil studi tersebut
melaporkan bahwa penurunan konsumsi laktosa tidak membantu dalam
menurunkan frekuensi diare pada penderita kanker dengan radioterapi.45
Probiotik adalah mikroorganisme hidup (bakteri) yang apabila
diadministrasikan dalam jumlah yang cukup, dapat memberikan keuntungan pada
Universitas Indonesia
14
Universitas Indonesia
15
berasal dari makanan akan diabsorpsi oleh usus, yang kemudian akan mengalami
beberapa proses metabolisme di dalam tubuh. Proses ini antara lain adalah
mengalami proses oksidasi beta untuk menghasilkan energi, mengalami recycling
untuk pembentukan asam lemak, menjadi substrat untuk ketogenensis, disimpan
di dalam jaringan adiposa, menjadi bagian fosfolipid dari membran sel, atau
mengalami proses desaturasi dan elongasi menjadi EPA yang memiliki 20 atom
karbon dengan lima ikatan rangkap dan DHA yang memiliki 22 atom karbon
dengan enam ikatan rangkap.54 Pada manusia konversi ALA menjadi EPA terjadi
sekitar 8-20%, sedangkan konversi ALA menjadi DHA terjadi sekitar 0.5-9%. 55
Struktur dari ketiga jenis asam lemak omega-3 dan proses pembentukan EPA dan
DHA dari ALA ini dapat dilihat pada Gambar 2.2.54
Universitas Indonesia
16
Universitas Indonesia
17
Gambar 2.3 Metabolisme asam arakidonat dan EPA pada tingkat siklooksigenase
dan lipoksigenase
Keterangan: 5-HPETE, 5-hydroperoxyeicosatetranoic acid; 5-HPEPE, 5-
hydroxyeicosapentaenoic acid
Sumber: daftar referensi nomor 56
Universitas Indonesia
18
omega-3, mekanisme bagaimana hal ini dapat terjadi masih belum jelas. Salah
satu penjelasan yang mungkin adalah karena kemampuan omega-3 dalam
menurunkan sitokin pro-inflamasi yang dapat menyebabkan peningkatan
degradasi protein melalui aktivasi dari jalur ATP-ubiquitin-dependent.57 Studi lain
melaporkan bahwa omega-3 menyebabkan penurunan aktivitas IL-6, sehingga
terjadi penurunan produksi hormon kortisol yang berperan dalam katabolisme
protein.11
Hasil dari beberapa studi juga telah menunjukkan efek proteksi EPA
terhadap massa bebas lemak pada penderita kanker. Dalam hal ini, EPA bekerja
pada beberapa jalur yang berkontribusi pada muscle wasting dan anabolisme otot.
EPA dapat meningkatkan potensi anabolik otot dengan memperbaiki sensitivitas
insulin. Insensitivitas insulin dapat terjadi pada pasien kanker dan keadaan ini
berpotensi menyebabkan terjadinya kaheksia.58 Menurut Asp dkk.59, insensitivitas
insulin terjadi sebelum penurunan berat badan dan pemberian rosiglitazone yang
merupakan obat diabetes mellitus tipe dua dapat memperbaiki sensitivitas insulin
dan menurunkan proteolisis otot skeletal. EPA juga dapat menghambat beberapa
stimulus katabolik yang dapat menyebabkan degradasi otot. Respons protein fase
akut yang sebagian dimodulasi oleh sitokin pro-inflamasi seperti IL-1, IL-6, TNF-
, dan IFN-, berkontribusi pada terjadinya muscle wasting. Dalam hal ini, EPA
berperan dalam downregulation respons fase akut dan penurunan produksi IL-6
dan konsentrasi CRP serum. Telah diketahui bahwa jalur ubikuitin-proteosome
juga berperan dalam proses pemecahan otot pada kaheksia kanker. EPA berfungsi
dalam menurunkan ekspresi subunit proteosome yang meningkat pada kaheksia
kanker. Selain itu, hasil dari suatu studi in vitro melaporkan bahwa EPA dapat
menghambat nekrosis dan apoptosis otot yang diinduksi oleh TNF-. 58
Selanjutnya, berdasarkan penelitan dengan hewan coba, EPA dapat mengurangi
produksi AMP siklik dan asam arakidonat yang merupakan second-messenger dari
aktivitas metabolik LMF dan PIF.9
Universitas Indonesia
19
2.3.3 Bahan makanan sumber dan rekomendasi asupan asam lemak omega-3
Alpha-linolenic acid banyak ditemukan pada bahan makanan sumber nabati
seperti walnut, rapeseed (kanola), beberapa jenis kacang-kacangan, flaxseed, dan
sayuran hijau. Sumber bahan makanan EPA dan DHA terutama berasal dari hewan
laut seperti salmon, ikan sardin, ikan makarel, udang, dan ikan cod. Bahan
makanan sumber EPA dan DHA dapat dilihat pada Tabel 2.2.10
Menurut Institute of Medicine (IOM), rekomendasi asupan (adequate
intake, AI) omega-3 dalam bentuk ALA adalah sebesar 1,6 g/hari untuk laki-laki
dewasa dan 1,1 g/hari untuk wanita dewasa, sedangkan untuk EPA dan DHA
adalah sebesar 10% dari AI untuk ALA. 60 Rekomendasi asupan omega-3 di
Indonesia menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2013 dapat dilihat pada
Tabel 2.3.61 Berdasarkan European Food Safety Authority (EFSA), dosis
suplementasi EPA dan DHA jangka panjang hingga 5 g/hari tidak menyebabkan
peningkatan risiko perdarahan spontan ataupun mempengaruhi homeostasis
glukosa, fungsi imun, dan peroksidasi lipid. Selain itu, dosis suplementasi EPA
saja hingga 1,8 g/hari dan dosis DHA saja hingga 1 g/hari tidak menimbulkan
safety concerns bagi populasi umum.62
Universitas Indonesia
20
Tabel 2.3 Rekomendasi asupan asam lemak omega-3 menurut AKG 2013
Usia BB (kg) TB (cm) Omega-3 (g)
Bayi 0-6 bulan 6 61 0,5
Bayi 7-11 bulan 9 71 0,5
Anak 1-3 tahun 13 91 0,7
Anak 4-6 tahun 19 112 0,9
Anak 7-9 tahun 27 130 0,9
Laki-laki 10-12 tahun 34 142 1,2
Laki-laki 13-15 tahun 46 158 1,6
Laki-laki 16-18 tahun 56 165 1,6
Laki-laki 19-29 tahun 60 168 1,6
Laki-laki 30-49 tahun 62 168 1,6
Laki-laki 50-64 tahun 62 168 1,6
Laki-laki 65-80 tahun 60 168 1,6
Laki-laki >80 tahun 58 168 1,6
Perempuan 10-12 tahun 36 145 1,0
Perempuan 13-15 tahun 46 155 1,1
Perempuan 16-18 tahun 50 158 1,1
Perempuan 19-29 tahun 54 159 1,1
Perempuan 30-49 tahun 55 159 1,1
Perempuan 50-64 tahun 55 159 1,1
Perempuan 65-80 tahun 54 159 1,1
Perempuan >80 tahun 53 159 1,1
Tambahan bumil Trimester 1 + 0,3
Tambahan bumil Trimester 2 + 0,3
Tambahan bumil Trimester 3 + 0,3
Tambahan busui 6 bulan pertama + 0,2
Tambahan busui 6 bulan kedua + 0,2
Sumber: modifikasi dari daftar referensi nomor 61
2.4 Peran Asam Lemak Omega-3 terhadap Kejadian Enteritis Radiasi pada
Pasien Kanker Serviks yang Mendapatkan Radioterapi
Artikel dari DeWitt dkk.63 menyebutkan bahwa inflamasi mukosa saluran cerna
yang terjadi pada enteritis radiasi mempunyai karakteristik yang hampir sama
dengan IBD, sehingga terapi nutrisinya pun hampir sama. Hingga saat ini belum
didapatkan studi yang mempelajari secara spesifik mengenai efek anti-inflamasi
dari asam lemak omega-3 terhadap kejadian enteritis radiasi pada pasien dengan
kanker yang mendapatkan radioterapi pada area pelvis. Oleh karena itu, pada
tinjauan pustaka ini dilakukan review artikel mengenai efek pemberian omega-3
terhadap IBD. Wiese dkk.12 melakukan suatu studi yang bertujuan untuk
mengetahui efek pemberian suplementasi nutrisi oral (oral nutritional supplement,
ONS) yang mengandung minyak ikan (2,2 g EPA dan 0,92 g DHA), antioksidan,
dan prebiotik pada pasien dengan Crohns disease selama empat bulan. Crohns
Universitas Indonesia
21
disease merupakan salah satu jenis dari penyakit IBD. Dari 20 subyek dengan
Crohns disease yang menyelesaikan studi ini, terdapat penurunan kadar fosfolipid
plasma dari asam arakidonat dengan peningkatan kadar EPA dan DHA. Selain itu,
terdapat juga penurunan secara signifikan (p<0,05) dari Crohns Disease Activity
Index (CDAI) yang merupakan alat ukur tingkat keparahan gejala saluran cerna
pada pasien dengan Crohns disease. Hasil dari studi ini hanya dapat
menitikberatkan pada keuntungan sinergistik antara tiga komponen yang terdapat
dalam ONS yang digunakan.12
Uji RCT oleh Feagan dkk.13 dilakukan untuk melihat efek pemberian asam
lemak omega-3 terhadap kekambuhan dari penyakit Crohns disease. Dalam uji
yang bersifat double-blind ini, sejumlah 188 subyek mendapatkan 4 g omega-3
dalam bentuk minyak ikan kurang lebih selama 58 minggu, sedangkan 186 subyek
mendapatkan plasebo. Subyek dianggap mengalami kekambuhan apabila
mempunyai skor CDAI lebih dari 150 atau mengalami peningkatan skor CDAI
lebih dari 70 poin dari baseline. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata
kekambuhan dari Crohns disease setelah kurang lebih satu tahun mendapatkan
suplementasi omega-3 adalah 31,6% subyek pada grup intervensi dan 35,7% pada
grup kontrol (hazard ratio=0,82; 95% KI=0,51-1,19; P=0,30), sehingga
pemberian asam lemak omega-3 dianggap tidak efektif dalam mencegah
kekambuhan Crohns disease.13
2.5 Peran Asam Lemak Omega-3 terhadap Massa Bebas Lemak pada Pasien
Kanker Serviks yang Mendapatkan Radioterapi
Telah dilakukan beberapa penelitian mengenai efek pemberian suplementasi asam
lemak omega-3 terhadap massa bebas lemak pada pasien dengan kanker. Studi
oleh Ryan dkk.14 dilakukan untuk menginvestigasi efek pemberian nutrisi enteral
(enteral nutrition, EN) yang mengandung EPA terhadap perubahan komposisi
tubuh pada pasien dengan kanker esofagus tanpa metastase yang mendapatkan
terapi pembedahan. Bioelectrical impedance analysis (BIA) digunakan untuk
mengukur massa bebas lemak pada subyeknya. Dalam eksperimen yang
menggunakan metode RCT ini, 28 subyek pada kelompok intervensi mendapatkan
EN yang mengandung 2,2 g EPA, sedangkan 25 subyek pada kelompok kontrol
Universitas Indonesia
22
Universitas Indonesia
23
kurang lebih lima minggu, yaitu mulai dari trial entry, pre-operatif, post-operatif,
sampai hospital discharge. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
kenaikan berat badan rata-rata sebesar 0,66 kg pada 30 subyek yang terevaluasi
mulai dari trial entry hingga hospital discharge. Selain itu, terdapat kenaikan
massa bebas lemak secara signifikan (p<0,001) rata-rata sebesar 3,2 kg (7%) dan
juga penurunan massa lemak secara signifikan (p<0,001) rata-rata sebesar 3,19 kg
pada 23 subyek.65
Fearon dkk.15 melakukan suatu studi untuk mengetahui efek pemberian
asam lemak omega-3 terhadap perubahan berat badan dan komposisi tubuh pada
pasien kanker pankreas yang mengalami penurunan berat badan. Pengukuran
massa bebas lemak dilakukan dengan menggunakan BIA. Subyek dalam
penelitian ini mendapatkan secara acak suplementasi oral yang mengandung 2,2 g
EPA dan antioksidan (vitamin A, vitamin C, vitamin E, dan selenium) atau
suplemen isokalorik isonitrogen selama delapan minggu. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari perubahan berat
badan dan massa bebas lemak pada subyek yang berasal dari grup yang
mendapatkan suplementasi EPA maupun grup kontrol. Hasil yang tidak bermakna
dari studi ini kemungkinan diakibatkan oleh faktor kepatuhan subyek dalam
mengonsumsi suplemen yang diberikan.15
Universitas Indonesia
24
Tabel 2.4 Hasil penelitian mengenai peran asam lemak omega-3 terhadap massa
bebas lemak pada pasien kanker
Peneliti Desain Populasi Perlakuan Pen
ma
lem
Ryan dkk., Uji RCT, 53 pasien kanker esofagus tanpa I: EN yang mengandung 2,2 g EPA BIA
2009 double-blind metastase yang mendapatkan terapi per hari selama 26 hari.
pembedahan. K: EN isokalorik isonitrogen.
28 dalam grup intervensi (I) dan 25
dalam grup kontrol (K).
Murphy dkk., Uji RCT, open- 40 pasien kanker paru tipe non-small I: 4 kapsul gelatin yang mengandung CT
2011 label cell dari berbagai stadium yang 2,2 g EPA per hari atau 7,5 mL cairan
mendapatkan kemoterapi. minyak ikan yang mengandung 2,2 g
16 dalam grup intervensi (I) dan 24 EPA per hari selama 10 minggu.
dalam grup kontrol (K). K: tidak ada intervensi.
Rata-rata asupan: 2,4 g EPA per hari.
Weed dkk., Uji RCT, open- 31 pasien dengan kanker sel 2 kaleng ONS yang mengandung 2,2 BIA
2011 label skuamosa area kepala dan leher yang g EPA per hari.
mengalami penurunan berat badan. Rata-rata asupan: 1,8 kaleng per hari,
dari trial entry sampai hospital
discharge, kira-kira selama 5 minggu.
Fearon dkk., Uji RCT, 110 pasien kanker pankreas yang I: suplemen oral yang mengandung BIA
2003 double-blind mengalami penurunan berat badan. 2,2 g EPA dan antioksidan per hari
50 dalam grup intervensi (I) dan 60 selama 8 minggu.
dalam grup kontrol (K). K: suplemen oral tanpa EPA dan
antioksidan.
Universitas Indonesia
25
Universitas Indonesia
26
BAB 3
KESIMPULAN
Kanker serviks yang terutama disebabkan oleh infeksi virus HPV mempunyai
prevalensi yang tinggi, baik di dunia maupun di Indonesia. Perubahan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein terjadi pada penderita kanker
serviks. Sel kanker juga memproduksi sitokin pro-inflamasi dan faktor pro-
kaheksia. Hal ini berperan dalam terjadinya anoreksia, penurunan berat badan, dan
wasting. Selain itu, radioterapi area pelvis yang merupakan salah satu pengobatan
utama kanker serviks dapat menyebabkan terjadinya enteritis radiasi yang dapat
menurunkan aktivitas fisik dan kualitas hidup pasien.
Asam lemak omega-3 merupakan nutrien spesifik yang mempunyai efek
anti-inflamasi dan berperan dalam meningkatkan massa bebas lemak pada orang
dewasa sehat. Hasil suatu studi menunjukkan bahwa pemberian omega-3 dapat
menurunkan gejala saluran cerna yang dialami oleh pasien IBD, sedangkan
penelitian lain melaporkan hasil yang berbeda. IBD mempunyai karakteristik yang
hampir sama dengan enteritis radiasi. Selanjutnya, beberapa uji RCT melaporkan
bahwa pemberian omega-3 dapat mempertahankan atau meningkatkan massa
bebas lemak pada pasien kanker, sedangkan satu uji RCT menunjukkan hasil yang
sebaliknya.
Universitas Indonesia
27
DAFTAR REFERENSI
Universitas Indonesia
1. Parkin DM, Bray F, Ferlay J, Pisani P. Global cancer statistics, 2002. CA
Cancer J Clin. 2005 Apr;55(2):74108.
4. Hasil Riskesdas 2013.pdf [Internet]. Google Docs. [cited 2015 Sep 22].
Available from:
https://drive.google.com/file/d/0BxMqKGS9XxLqWHN3VFdPdEgtUmc/edi
t?usp=sharing&pli=1&usp=embed_facebook
6. Cairns RA, Harris IS, Mak TW. Regulation of cancer cell metabolism. Nat
Rev Cancer. 2011 Feb;11(2):8595.
7. Donohoe CL, Ryan AM, Reynolds JV, Donohoe CL, Ryan AM, Reynolds JV.
Cancer Cachexia: Mechanisms and Clinical Implications, Cancer Cachexia:
Mechanisms and Clinical Implications. Gastroenterol Res Pract
Gastroenterol Res Pract. 2011 Jun 13;2011, 2011:e601434.
10. Wall R, Ross RP, Fitzgerald GF, Stanton C. Fatty acids from fish: the anti-
inflammatory potential of long-chain omega-3 fatty acids. Nutr Rev. 2010
May 1;68(5):2809.
11. Noreen EE, Sass MJ, Crowe ML, Pabon VA, Brandauer J, Averill LK.
Effects of supplemental fish oil on resting metabolic rate, body composition,
and salivary cortisol in healthy adults. J Int Soc Sports Nutr. 2010 Oct
8;7(1):31.
12. Wiese DM, Lashner BA, Lerner E, DeMichele SJ, Seidner DL. The Effects
of an Oral Supplement Enriched With Fish Oil, Prebiotics, and Antioxidants
on Nutrition Status in Crohns Disease Patients. Nutr Clin Pract Off Publ Am
Soc Parenter Enter Nutr. 2011 Aug;26(4):46373.
14. Ryan AM, Reynolds JV, Healy L, Byrne M, Moore J, Brannelly N, et al.
Enteral nutrition enriched with eicosapentaenoic acid (EPA) preserves lean
body mass following esophageal cancer surgery: results of a double-blinded
randomized controlled trial. Ann Surg. 2009 Mar;249(3):35563.
15. Fearon KCH, Von Meyenfeldt MF, Moses AGW, Van Geenen R, Roy A,
Gouma DJ, et al. Effect of a protein and energy dense N-3 fatty acid enriched
oral supplement on loss of weight and lean tissue in cancer cachexia: a
randomised double blind trial. Gut. 2003 Oct;52(10):147986.
16. Burd EM. Human Papillomavirus and Cervical Cancer. Clin Microbiol Rev.
2003 Jan;16(1):117.
18. Bosch FX, Lorincz A, Muoz N, Meijer CJLM, Shah KV. The causal
relation between human papillomavirus and cervical cancer. J Clin Pathol.
2002 Apr;55(4):24465.
20. Wang SS, Carreon JD, Gomez SL, Devesa SS. Cervical cancer incidence
among 6 asian ethnic groups in the United States, 1996 through 2004.
Cancer. 2010 Feb 15;116(4):94956.
21. Sherman ME, Wang SS, Carreon J, Devesa SS. Mortality trends for cervical
squamous and adenocarcinoma in the United States. Relation to incidence
and survival. Cancer. 2005 Mar 15;103(6):125864.
23. Patel S, Liyanage SH, Sahdev A, Rockall AG, Reznek RH. Imaging of
endometrial and cervical cancer. Insights Imaging. 2010 Sep 28;1(5-6):309
28.
24. Mutch DG. The new FIGO staging system for cancers of the vulva, cervix,
endometrium and sarcomas. Gynecol Oncol - GYNECOL ONCOL.
2009;115(3):3258.
25. Marie SKN, Shinjo SMO. Metabolism and Brain Cancer. Clinics. 2011
Jun;66(Suppl 1):3343.
26. Barber MD, Ross JA, Fearon KC. Cancer cachexia. Surg Oncol. 1999
Nov;8(3):13341.
27. ACOG Practice Bulletin No. 35: Diagnosis and Treatment of Ce...:
Obstetrics & Gynecology [Internet]. LWW. [cited 2015 Sep 22]. Available
from:
http://journals.lww.com/greenjournal/Fulltext/2002/05000/ACOG_Practice_
Bulletin_No__35__Diagnosis_and.35.aspx
28. Monk BJ, Tewari KS, Koh W-J. Multimodality therapy for locally advanced
cervical carcinoma: state of the art and future directions. J Clin Oncol Off J
Am Soc Clin Oncol. 2007 Jul 10;25(20):295265.
30. Holcomb K, Dimaio TM, Nicastri AD, Matthews RP, Lee YC, Buhl A. Cone
biopsy and pathologic findings at radical hysterectomy in stage I cervical
carcinoma. Obstet Gynecol. 2001 Nov;98(5 Pt 1):77982.
31. Shepherd JH, Spencer C, Herod J, Ind TEJ. Radical vaginal trachelectomy as
a fertility-sparing procedure in women with early-stage cervical cancer-
cumulative pregnancy rate in a series of 123 women. BJOG Int J Obstet
Gynaecol. 2006 Jun;113(6):71924.
34. Morris M, Eifel PJ, Lu J, Grigsby PW, Levenback C, Stevens RE, et al.
Pelvic Radiation with Concurrent Chemotherapy Compared with Pelvic and
Para-Aortic Radiation for High-Risk Cervical Cancer. N Engl J Med. 1999
Apr 15;340(15):113743.
36. Theis VS, Sripadam R, Ramani V, Lal S. Chronic radiation enteritis. Clin
Oncol R Coll Radiol G B. 2010 Feb;22(1):7083.
38. Yeoh EK, Horowitz M. Radiation enteritis. Surg Gynecol Obstet. 1987
Oct;165(4):3739.
39. Khalid U, McGough C, Hackett C, Blake P, Harrington KJ, Khoo VS, et al.
A modified inflammatory bowel disease questionnaire and the Vaizey
Incontinence questionnaire are more sensitive measures of acute
gastrointestinal toxicity during pelvic radiotherapy than RTOG grading. Int J
Radiat Oncol Biol Phys. 2006 Apr 1;64(5):143241.
43. Buchi KN, Moore JG, Hrushesky WJ, Sothern RB, Rubin NH. Circadian
rhythm of cellular proliferation in the human rectal mucosa.
Gastroenterology. 1991 Aug;101(2):4105.
44. Wedlake LJ, Silia F, Benton B, Lalji A, Thomas K, Dearnaley DP, et al.
Evaluating the efficacy of statins and ACE-inhibitors in reducing
gastrointestinal toxicity in patients receiving radiotherapy for pelvic
malignancies. Eur J Cancer Oxf Engl 1990. 2012 Sep;48(14):211724.
45. Wedlake LJ, Shaw C, Whelan K, Andreyev HJN. Systematic review: the
efficacy of nutritional interventions to counteract acute gastrointestinal
toxicity during therapeutic pelvic radiotherapy. Aliment Pharmacol Ther.
2013 Jun 1;37(11):104656.
49. Cook, Sellin. Review article: short chain fatty acids in health and disease.
Aliment Pharmacol Ther. 1998 Jun 1;12(6):499507.
50. Suarez FL, Savaiano DA, Levitt MD. A Comparison of Symptoms after the
Consumption of Milk or Lactose-Hydrolyzed Milk by People with Self-
Reported Severe Lactose Intolerance. N Engl J Med. 1995 Jul 6;333(1):14.
51. Gibson GR, Probert HM, Loo JV, Rastall RA, Roberfroid MB. Dietary
modulation of the human colonic microbiota: updating the concept of
prebiotics. Nutr Res Rev. 2004 Dec;17(2):25975.
53. Holub BJ. Clinical nutrition: 4. Omega-3 fatty acids in cardiovascular care.
CMAJ Can Med Assoc J. 2002 Mar 5;166(5):60815.
55. Stark AH, Crawford MA, Reifen R. Update on alpha-linolenic acid. Nutr
Rev. 2008 Jun 1;66(6):32632.
59. Asp ML, Tian M, Wendel AA, Belury MA. Evidence for the contribution of
insulin resistance to the development of cachexia in tumor-bearing mice. Int
J Cancer J Int Cancer. 2010 Feb 1;126(3):75663.
60. Read Dietary Reference Intakes for Energy, Carbohydrate, Fiber, Fat, Fatty
Acids, Cholesterol, Protein, and Amino Acids (Macronutrients) at NAP.edu
[Internet]. [cited 2015 Oct 8]. Available from:
http://www.nap.edu/read/10490/chapter/1
61. Angka Kecukupan Gizi (AKG) [Internet]. Sumber Pengetahuan Sehat. [cited
2015 Oct 5]. Available from: http://kb.123sehat.com/lain/angka-kecukupan-
gizi-akg/
62. EFSA Publishes Scientific Opinion on UL of EPA, DHA, DPA Omega-3s
[Internet]. 2012 [cited 2015 Oct 8]. Available from:
http://www.naturalproductsinsider.com/news/2012/07/efsa-publishes-
scientific-opinion-on-ul-of-epa-dh.aspx
64. Murphy RA, Mourtzakis M, Chu QSC, Baracos VE, Reiman T, Mazurak
VC. Nutritional intervention with fish oil provides a benefit over standard of
care for weight and skeletal muscle mass in patients with nonsmall cell lung
cancer receiving chemotherapy. Cancer. 2011 Apr 15;117(8):177582.
65. Weed HG, Ferguson ML, Gaff RL, Hustead DS, Nelson JL, Voss AC. Lean
body mass gain in patients with head and neck squamous cell cancer treated
perioperatively with a protein- and energy-dense nutritional supplement
containing eicosapentaenoic acid. Head Neck. 2011 Jul;33(7):102733.