Anda di halaman 1dari 5

Nama : Prima Soheti

Nim : 11160960000048

Kelas : Kimia- 1B

Pancasila cita- cita indonesia. Itulah judul tulisan Yonky Karman yang dimuat dalam
koran Kompas tanggal 1 oktober 2016. Tulisan ini dimuat tepat pada hari dimana ketika semua rakyat
Indonesia sedang merayakan hari kesaktian Pancasila. Hari kesaktian Pancasila dirayakan setiap tahun
secara berkala dengan seremonial maupun non seremonial. Dengan demikian, kata Pancasila sudah
menjadi kata yang tak asing bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala usia. Pancasila dikenal
sebagai dasar negara sekaligus ideologi bangsa ini. Namun, apakah rakyat Indonesia telah memahami
dengan sepenuhnya makna Pancasila? Pertanyaan ini belum mendapat jawaban yang komprehensif
meski telah 71 tahun Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Hal inilah yang menjadi
pemicu begitu banyak ahli, dosen, mahasiswa, yang mengungkapkan pendapatnya diberbagai media.
Salah satu yang akan saya soroti adalah tulisan Yonki Karman, seorang pengajar di Sekolah Tinggi
Filsafat Theologia Jakarta.

Mistifikasi Pancasila analog dengan kuasa gaib yang menyelamatkan Indonesia dari
menjadi negara komunis. Petikan kalimat ini terdapat pada alinea pertama tulisan Yongki Karman.
Kalimat ini mengatakan secara tersirat bahwa orde baru mendoktrinisasi Pancasila dengan segala
kesaktiannya lah yang menyelamatkan Indonesia dari ancaman ideologi komunis atau dengan kata
lain Suharto (Presiden Orde Baru) menyelamatkan ideologi Pancasila dari pengaruh dan acaman
ideologi komunis. Padahal sebenarnya menurut saya, menyelamatkan Pancasila hanya dijadikan
tameng oleh Suharto untuk melegalkan seluruh tindakannya yang pada dasarnya bertujuan untuk
menumpas lawan-lawan politiknya guna melanggengkan kekuasannya belaka. Perbuatan terselubung
berselimut tindakan heroik saat Suharto menumpas Gerakan 30 September Partai Komunis
indonesia (G30SPKI) sehingga digulirkanlah idiom kesaktian pancasila. Namun, benarkah pada
tanggal 30 September 1965 ada upaya untuk menggantikan pancasila?. Kenyataannya peristiwa tragis
dini hari tersebut merupakan misteri yang belum terkuak kebenarannya, karena semua saksi, pelaku,
dan dokume telah dilenyapkan bahkan dengan cara yang tidak manusiawi yang mana bertentangan
dengan sila ke-2 Pancasila itu sendiri.

Lalu benarkah Pancasila sakti?. Pancasila sebagai dasar negara yang telah disepakati dan
ditetapkan sejatinya oleh wakil-wakil suku, agama, ras, dan antar-golongan pada tahun 1945 adalah
landasan bagi rakyat Indonesia dalam berprilaku, bertindak, dan berprilaku sosial. Setelah
penetapannya sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945, langkah berikutnya seharusnya
adalah menyusun UUD negara yang memandu setiap perangkat, aparatur, dan warga negara dalam
menjalankan dan menyelenggarakan pemerintahan serta membangun relasi sosial. Setelah UUD
negara selesai disusun dan disahkan, langkah berikutnya seharusnya adalah menyusun UU dan
peraturan-peraturan yang sejalan dengan UUD dan dasar negara. UU dan peraturan-peraturan tersebut
berisi aturan-aturan yang menjadi panduan bagi warga negara dalam menjalani realitas hidup
kesehariannya. Setelah semua itu selesai disusun dan disahkan, maka Kesaktian Pancasila sebagai
dasar negara akan teruji dengan sendirinya. Letak Kesaktian Pancasila sesungguhnya terletak pada
penerapan nilai-nilai Pancasila dalam realitas kehidupan warga negara di semua bidang kehidupan.
Tidak hanya pada tanggal 1 Oktober saja, tetapi sepanjang hari-minggu-bulan-tahun tegak berdirinya
Negara Republik Indonesia.

Jadi menurut saya, Pancasila belum sakti hingga hari ini. Sebab sejak penetapannya sebagai
dasar negara hingga saat ini belum tercermin dalam realitas keseharian hidup warga Negara Republik
Indonesia. Tentu menjadi tugas kita semua sebagai generasi penerus bangsa ini untuk menjadikan
Pancasila sungguh sakti. Pertanyaan yang layak diajukan kepada kita semua adalah: Bersiap-sediakah
kita mengupayakan Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia menjadi sakti?.

Selanjutnya kita tinggalkan dulu Pancasila dengan segala hegemoni kesaktiannya. Pada
alinea kelima tulisan ini terdapat kalimat ...15 negara dengan peringkat tertinggi secara kebetulan
mempraktikan nilai-nilai islami dan semuanya tergolong sekuler. Negara-negara itu juga memiliki
Indeks Persepsi Korupsi tertinggi. Saya kurang setuju dengan pendapat Yongki Karman yang
menyiratkan negara yang mempraktikan nilai islami malah menjadi negara yang korup. Saya
memahami maksud Yongki adalah untuk mengatakan secara tersirat bahwa negara telah mengkhianati
sila pertama Pancasila dengan menjamurnya praktik korupsi. Namun saya tidak setuju dengan
penggunaan kata nilai-nilai islami seolah hanya menjurus ke satu agama yaitu islam, walaupun
Yongki mungkin bermaksud menggambarkan bahwa negara itu salah satunya adalah Indonesia
dengan umat islam sebagai mayoritas.

Ketika kita tahu Indonesia adalah negara multiagama, saya sarankan dalam penggunaan kata
harus lebih umum seperti nilai-nilai agama atau nilai-nilai ketuhanan agar tidak menjurus ke salah
satu umat. Saya tahu yang Yongki maksud adalah negara dengan prinsip berketuhanan yang begitu
kuat ternyata warga negaranya banyak yang melakukan praktik menyimpang dari akidahnya sendiri.
Namun, Saya berpendapat bahwa praktik pelanggaran hukum seperti korupsi yang dilakukan oleh
warga negara harus dipisahkan dengan fakta bahwa negara mempraktikan nilai-nilai islami ataupun
nilai-nilai agama. Memang benar bahwa agama adalah penuntun untuk setiap orang dalam bertindak.
Namun tindakan seseorang tersebut tidak selalu sejalan dengan agama yang dianutnya. Oleh karena
itu embel-embel agama harus terlepas dari apapun tindakan yang dilakukan, karena tindakan tersebut
adalah pertanggungjawaban masing masing pribadi kepada Hukum dan Tuhan Yang Maha Esa
tentunya.

Selanjutnya beralih ke topik lainnya, pada alinea ketiga belas tulisan ini terdapat pendapat
Sukarno yaitu Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalo tidak berakar di dalam buminya
Nasionalisme. Saya setuju dengan pendapat ini bahwa Nasionalisme dan Internasionalisme sejatinya
sangat relevan. Bicara tentang Nasionalisme sebaiknya dimulai dengan memahami tentang arti kata
itu sendiri. Nasionalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pertama paham (ajaran)
untuk mencintai bangsa dan negara sendiri, politik untuk membela pemerintahan sendiri,sifat
kenasionalan. Nasionalisme juga berarti kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang potensial
atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas,
kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu yakni semangat kebangsaan. Jadi Nasionalisme adalah satu
paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris
"nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.

Sedangkan internasionalisme merupakan paham global ( universal ) yang dibentuk oleh


masyarakat dunia yang menginginkan hubungan antar warga Negara atau sesama manusia menjadi
lebih kuat. Internasionalisme juga merupakan suatu emosi jiwa yang membentuk perasaan satu
komunitas dengan tidak melihat suku, agama yang dianutnya. Dengan pengertian ini, kita bisa
menyimpulkan bahwa Nasionalisme dan Internasionalisme pada hakikat definisinya adalah sama.
Yang membedakannya hanya dalam ruang lingkupnya, nasionalisme dibataskan atas teritorial
sedangkan internasionalisme tidak dibatasi oleh teritorial. Menurut saya, Nasionalisme dan
Internasionalisme adalah suatu faham yang harus berjalan bersama sehingga penyakit nasionalisme
yaitu chauvinism (nasionalisme sempit) bisa diobati dengan adanya internasionalisme.

Nasionalisme dan internasionalisme menjadi suatu faham yang masih sangat relevan di
kehidupan dunia saat ini. Ini terlihat dari seluruh hampir Negara menggunakan nasionalisme untuk
sebuah landasan ideologi negaranya dan internasionalisme yang fondasi dasarnya adalah humanisme
menjadi pandangan umum yang dianut oleh kebanyakan manusia saat ini. Ketika suatu musibah
terjadi pada suatu daerah, masyarakat yang hidup di daerah lain merasa perlu untuk memberi
pertolongan atau bantuan untuk meringankan penderitaan korban musibah di daerah itu. Selain itu
dalam masalah konflik di suatu daerah atau Negara, Negara yang tidak terlibat konflik berusaha untuk
memberi bantuan dalam bentuk apapun untuk bisa menyelesaikan permasalahan tersebut dan tidak
menjadi adanya tambahan korban yang terlibat dalam konflik tersebut. Ini menandakan bahwa
nasionalisme dan internasionalisme masih sangat relevan dalam konteks cita cita bangsa manapun
didunia saat ini.
Selanjutnya pada topik terakhir pada tulisan ini tentang kepemimpinan pancasila terdapat
kalimat Krisis Bangsa adalah kegagalan menjadikan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Krisis multi dimensional yang dialami Indonesia kini tak kunjung selesai. Krisis
ekonomi membawa Indonesia terpuruk dalam kehidupan ekonomi, seperti hutang luar negeri yang
memberatkan beban APBN, angka pertumbuhan ekonomi yang belum menggembirakan, pertumbuhan
sektor riil yang masih rendah, angka pengangguran yang terus meningkat, angka kemiskinan yang
terus bertambah dan berbagai persoalan ekonomi lainnya. Krisis politik dalam batas-batas tertentu
juga sering mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertikaian antara elit politik dalam
mempertahankan atau merebut kekuasaan menyebabkan energi dan pikiran terbuang dengan percuma,
di samping bisa menghambat demokratisasi yang dibangun dengan susah payah. Kericuhan di
beberapa partai politik dan lembaga demokrasi, seperti KPU dan DPR bisa menyebabkan
ketidakpercayaan (dis trust) masyarakat kepada pilar-pilar demokrasi dan pada akhirnya demokrasi
sebagai pilihan politik dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara dipertanyakan efektifitas
dan kebermanfaatannya. Krisis moral (KKN) yang merupakan salah satu isu yang dijadikan alasan
untuk menuntut lengsernya Orde Baru (Soeharto) mundur dari kekuasaannya.

Ternyata di era reformasi pun setali tiga uang. Korupsi terjadi di mana-mana, sehingga ada
anekdot yang mengatakan kalau di zaman Orde Baru korupsi dilakukan di bawah meja, maka di era
reformasi korupsi dilakukan di atas meja alias terang-terangan tanpa malu-malu. Hal ini diperparah
lagi dengan adanya bencana baik bencana alam seperti gempa bumi dan sunami yang melanda
beberapa daerah maupun bencana akibat ulah manusia seperti lumpur panas di Sidoarjo dan
kebakaran hutan di Kalimantan. Dalam kehidupan sosial budaya, kini bangsa Indonesia sedang
mengalami krisis identitas. Indonesia yang terkenal dengan budaya ketimuran yang ramah tamah,
religius, dan menjunjung budaya malu, kini telah terjadi pergeseran perilaku sosial budaya di sebagian
masyarakatnya. Kriminalitas (kekerasan fisik, pencurian, perampokan, pemerkosaan, pelecehan
seksual, dan tindakan kriminal lainnya) seakan dengan mudah kita saksikan di masyarakat. Tak heran
perilaku menyimpang (patologi sosial) tersebut menjadi komoditas industri informasi (cetak maupun
elektronik).

Solusi terbaik untuk mengatasi persoalan-persoalan kebangsaan tersebut adalah dengan


kembali ke nilai-nilai Pancasila. Pertanyaannya adalah bagaimana cara kembali ke
Pancasila? Pertama, membumikan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Membumikan Pancasila berarti menjadikan nilai-nilai Pancasila menjadi nilai-nilai yang
hidup dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu Pancasila yang
sesungguhnya berada dalam tataran filsafat harus diturunkan ke dalam hal-hal yang sifatnya
implementatif. Sebagai ilustrasi nilai sila kedua Pancasila harus diimplementatifkan melalui
penegakan hukum yang adil dan tegas. Contoh, aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim)
harus tegas dan tanpa kompromi menindak para pelaku kejahatan, termasuk koruptor. Jadi
membumikan Pancasila salah satunya adalah dengan penegakan hukum secara tegas. Tanpa
penegakkan hukum yang tegas, maka Pancasila hanya rangkaian kata-kata tanpa makna dan nilai serta
tidak mempunyai kekuatan apa-apa.

Kedua, internalisasi nilai-nilai Pancasila, baik melalui pendidikan formal maupun non formal
dalam masyarakat. Pada tataran pendidikan formal perlu revitalisasi mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (dulu Pendidikan Moral Pancasila) di sekolah. Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan selama ini dianggap oleh banyak kalangan gagal sebagai media penanaman nilai-
nilai Pancasila. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan hanya sekedar menyampaikan sejumlah
pengetahuan (ranah kognitif) sedangkan ranah afektif dan psikomotorik masih kurang diperhatikan.
Ini berakibat pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan cenderung menjenuhkan siswa. Hal ini
diperparah dengan adanya anomali antara nilai positif di kelas tidak sesuai dengan apa yang terjadi
dalam realitas sehari-hari. Sungguh dua realitas yang sangat kontras dan kontradiktif. Oleh karena itu
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan harus dikemas sedemikian rupa, sehingga mampu
menjadi alat penanaman nilai-nilai Pancasila bagi generasi muda. Pada tataran masyarakat,
internalisasi Pancasila gagal menjadikan masyarakat Pancasilais. Pola penataran P4 yang dipakai
sebagai pendekatan rezim Orde Baru juga gagal mengantarkan masyarakat Pancasila. Hal ini
disebabkan Pancasila justru dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan. Ketika reformasi seperti saat
ini, Pancasila justru semakin jauh dari perbincangan, baik oleh masyarakat maupun para elit politik.
Pancasila seakan semakin menjauh dari keseharian kita. Sungguh ironis sebagai bangsa pejuang yang
dengan susah payah para pendiri negara (founding father) menggali nilai-nilai Pancasila dari budaya
bangsa, kini semakin pudar dan tersisih oleh hiruk pikuk reformasi yang belum mampu
menyelesaikan krisis multidimensional yang dialami bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu
perlu dicari suatu model (pendekatan) internalisasi nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat yang tepat
dan dapat diterima, seperti melalui pendekatan agama dan budaya.

Ketiga, ketauladanan dari para pemimpin, baik pemimpin formal (pejabat negara) maupun
informal (tokoh masyarakat). Dengan ketauladanan yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, diharapkan
masyarakat luas akan mengikutinya. Hal ini disebabkan masyarakat kita masih kental dengan budaya
paternalistik yang cenderung mengikuti perilaku pemimpinnya. Mari kita kembali ke jati diri bangsa
(Pancasila) dalam menyelesaikan setiap masalah kebangsaan yang kita hadapi.

Anda mungkin juga menyukai