Anda di halaman 1dari 24

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kekebalan Spesies atau Ras

Setiap organisme akan bersentuhan dengan bermacam-macam mikroorganisme dan


berbagai parasit. Banyak mikroorganisme dan parasit dapat merusak tubuh,
menimbulkan penyakit, bahkan membunuh dan mematikan. Secara alami, tubuh telah
mempunyai alat pertahanan yang disebut sistem kekebalan atau imunitas. Ilmu yang
mempelajari sistem imun atau kekebalan tubuh disebut imunologi. Harti (2013)
menjelaskan bahwa imunologi (imun: kebal dan logo: ilmu) adalah ilmu yang
mempelajari kekebalan tubuh. Sedangkan sistem imun adalah sel-sel dan molekul
yang terlibat dalam perlindungan. Imunologi mempunyai relevansi dengan disiplin
ilmu yang lain seperti kedokteran, biokimia atau farmasi. Reaksi imunologis
merupakan mekanisme yang berkaitan dengan pertahanan host terhadap suatu antigen
seluler ataupun non seluler. Test imunologis secara in vitro dapat digunakan sebagai
tes diagnostik yang membantu diagnose suatu penyakit dan imunoprofilaksis secara
luas.
2

Manusia dan hewan multiseluler, mempunyai daya faal untuk mengenal bahan
atau substansi yang dianggap diri sendiri (self) dan membedakan dari yang asing
(non self). Dasar sistem imun dalam tubuh berusaha untuk mengeluarkan atau
memusnahkan bahan asing/antigen yang masuk ke dalam tubuh. Pengenalan self dan
non self dicapai dengan setiap sel menunjukkan suatu penanda berdasarkan pada
Major Histocompability Complex (MHC). Beberapa sel yang tidak menunjukkan
penanda ini diperlakukan sebagai non self dan diserang. Terkadang sistem imun
menyerang sel-selnya sendiri (penyakit autoimun) misalnya multiple sclerosis, system
lupus erythematosus, rheumatoid arthritis, diabetes serta myastheina gravis (Harti,
2013).

Sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu berbeda-beda tergantung


dari spesiesnya. Begitu juga antar individu. Hal ini karena dipengaruhi oleh beberapa
faktor di antaranya adalah usia, stres, pola hidup dan lain sebagainya. Fatmah (2006)
menjelaskan bahwa fungsi sistem imunitas tubuh (immunocompetence) menurun
sesuai umur. Kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi menurun termasuk
kecepatan respons imun dengan peningkatan usia. Hal ini bukan berarti manusia lebih
sering terserang penyakit, tetapi saat menginjak usia tua maka resiko kesakitan
meningkat seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan autoimun, atau penyakit kronik.
Hal ini disebabkan oleh perjalanan alamiah penyakit yang berkembang secara lambat
dan gejala-gejalanya tidak terlihat sampai beberapa tahun kemudian. Di samping itu,
produksi imunoglobulin yang dihasilkan oleh tubuh orang tua juga berkurang
jumlahnya sehingga vaksinasi yang diberikan pada kelompok lansia kurang efektif
melawan penyakit. Masalah lain yang muncul adalah tubuh orang tua kehilangan
kemampuan untuk membedakan benda asing yang masuk ke dalam tubuh atau
memang benda itu bagian dari dalam tubuhnya sendiri.

Selain itu perasaan depresi dan marah dapat melemahkan sistem imun. Stress
menyebabkan perubahan-perubahan fisiologis tubuh yang melemahkan sistem imun,
dan akhirnya mempengaruhi kesehatan sehingga mudah terserang penyakit, serta
timbulnya kelainan sistem imun dengan munculnya psoriasis dan eczema. Saat terjadi
3

stress, maka hormon glukokortikoid dan kortisol memicu reaksi anti-inflammatory


dalam sistem imun (Fatmah, 2006).

Dunhoff (1998) juga menjelaskan bahwa gangguan tidur pada orang tua dapat
melemahkan sistem imun karena darah mengandung penurunan NKC (Natural Killer
Cell). NKC adalah bagian dari sistem imun tubuh, jika kadarnya menurun dapat
melemahkan imunitas sehingga rentan terhadap penyakit. Studi yang dilakukan di
Pittsburgh tahun 1998 menunjukkan pentingnya tidur bagi orang tua untuk
memelihara kesehatan tubuh.

Di sisi lain Kresno (2003) menyatakan bahwa respon imun sangat bergantung
pada kemampuan sistem imun untuk mengenali molekul asing (antigen) yang
terdapat pada patogen potensial dan kemudian membangkitkan reaksi yang tepat
untuk menyingkirkan antigen tersebut. Proses pengenalan antigen dilakukan oleh
unsur utama sistem imun yaitu limfosit, baru kemudian melibatkan berbagai jenis sel
sistem imun. Limfosit dapat dipacu menjadi aktif oleh antigen atau mitogen.
Kemampuan sistem imun untuk melaksanakan fungsi protektif secara optimal antara
lain bergantung juga pada kecepatan sel limfosit spesifik berproliferasi.

Di samping itu nutrisi berperan penting dalam peningkatan respons imun.


Dickinson (2002) memaparkan beberapa nutrisi yang berpengaruh terhadap sistem
imun.

Beta-glucan. Adalah sejenis gula kompleks (polisakarida) yang diperoleh dari


dinding sel ragi roti, gandum, jamur (maitake). Hasil beberapa studi
menunjukkan bahwa beta glucan dapat mengaktifkan sel darah putih
(makrofag dan neutrofil).
Hormon DHEA. Studi menggambarkan hubungan signifikan antara DHEA
dengan aktivasi fungsi imun pada kelompok orang tua yang diberikan DHEA
level tinggi dan rendah. Juga wanita menopause mengalami peningkatan
fungsi imun dalam waktu 3 minggu setelah diberikan DHEA.
4

Protein: arginin dan glutamin. Lebih efektif dalam memelihara fungsi imun
tubuh dan penurunan infeksi pasca-pembedahan. Arginin mempengaruhi
fungsi sel T, penyembuhan luka, pertumbuhan tumor, dans ekresi hormon
prolaktin, insulin, growth hormon. Glutamin, asam amino semi esensial
berfungsi sebagai bahan bakar dalam merangsang limfosit dan makrofag,
meningkatkan fungsi sel T dan neutrofil.
Lemak. Defisiensi asam linoleat (asam lemak omega 6) menekan respons
antibodi, dan kelebihan intake asam linoleat menghilangkan fungsi sel T.
Konsumsi tinggi asam lemak omega 3 dapat menurunkan sel T helper,
produksi cytokine.
Yoghurt yang mengandung Lactobacillus acidophilus dan probiotik lain.
Meningkatkan aktivitas sel darah putih sehingga menurunkan penyakit
kanker, infeksi usus dan lambung, dan beberapa reaksi alergi.
Mikronutrien (vitamin dan mineral). Vitamin yang berperan penting dalam
memelihara sistem imun tubuh orang tua adalah vitamin A, C, D, E, B6, dan
B12. Mineral yang mempengaruhi kekebalan tubuh adalah Zn, Fe, Cu,
asamfolat, dan Se.
Zinc. Menurunkan gejala dan lama penyakit influenza. Secara tidak langsung
mempengaruhi fungsi imun melalui peran sebagai kofaktor dalam
pembentukan DNA, RNA, dan protein sehingga meningkatkan pembelahan
sellular. Defisiensi Zn secara langsung menurunkan produksi limfosit T,
respons limfosit T untuk stimulasi/rangsangan, dan produksi IL-2.
Lycopene. Meningkatkan konsentrasi sel Natural Killer (NK)

Daniels (2002) juga menambahkan bahwa Asam Folat mampu meningkatkan


sistem imun pada kelompok lansia. Studi di Canada pada sekelompok hewan tikus
melalui pemberian asam folate dapat meningkatkan distribusi sel T dan respons
mitogen (pembelahan sel untuk meningkatkan respons imun). Studi terbaru
menunjukkan intake asam folat yang tinggi mungkin meningkatkan memori populasi
lansia. Selain itu Fe (Iron) juga mampu mempengaruhi imunitas humoral dan sellular
dan menurunkan produksi IL-1.
5

Murray (1991) menyatakan bahwa Vitamin E 10 mampu melindungi sel dari


degenerasi yang terjadi pada proses penuaan. Studi yang dilakukan oleh Simin
Meydani, PhD. di Boston menyimpulkan bahwa vitamin E dapat membantu
peningkatan respons imun pada penduduk lanjut usia. Vitamin E adalah antioksidan
yang melindungi sel dan jaringan dari kerusakan secara bertahap akibat oksidasi yang
berlebihan. Akibat penuaan pada respons imun adalah oksidatif secara alamiah
sehingga harus dimodulasi oleh vitamin E. Vitamin C juga berpotensi untuk
meningkatkan level interferon dan aktivitas sel imun pada orang tua, meningkatkan
aktivitas limfosit dan makrofag, serta memperbaiki migrasi dan mobilitas leukosit
dari serangan infeksi virus, contohnya virus influenzae. Vitamin A berperan penting
dalam imunitas non-spesifik melalui proses pematangan sel-sel T dan merangsang
fungsi sel T untuk melawan antigen asing, menolong mukosa membran termasuk
paru-paru dari invasi mikroorganisme, menghasilkan mukus sebagai antibodi tertentu
seperti: leukosit, air, epitel, dan garam organik, serta menurunkan mortalitas campak
dan diare.

2.2 Pertahanan Mekanis dan Kimia


Imunitas bawaan (innate immunity) meliputi pertahanan fisik/mekanis dan
kimia. Pertahanan eksternal terdiri dari kulit dan membran mukosa sedangkan
pertahanan internal terdiri dari zat antimikroba, selalami pembunuh, fagosit,
peradangan, dan demam (Tortora and Derrickson, 2009).

A. PertahananPertama: Kulit Dan Membrane Mukosa


6

Gambar Pertahanan respirasi garis pertama. Bagian penting dari garis pertahanan
pertama tubuh adalah membran mukosa yang melapisi bagian atas sistem respirasi. Pada
lapisan trakea, yang ditunjukkan disini, sel-sel khusus (berwarna gelap) menghasilkan
mukus yang menjerat mikroba sebelum penyerangan itu dapat memasuki paru-paru.
Membran mukosa juga dilengkapi dengan sel-sel bersilia (berwarna terang). Denyutan
silia yang serentak akan mengeluarkan mukus dan mikroba yang terjerat menuju faring
(SEM yang diwarnai) (Campbell, )

Kulit dan membran mukosa tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap


patogen. Struktur ini menyediakan pertahanan fisik dan kimia yang mencegah
patogen dan zat asing menembus tubuh dan menyebabkan penyakit(Tortora and
Derrickson, 2009).
Kulit terdiri dari banyak lapisan seperti sel-sel keratin, epitel lapisan dan kulit-
kulit ari yang menjadi penghalang fisik yang kuat.Selain itu, Pelepasan sel epidermis
secara berkala membantu menghilangkan mikroba yang ada di permukaan kulit.
Bakteri jarang menembus permukaan kulit ari secara utuh. Jika permukaan ini rusak
oleh luka, atau tusukan, patogen dapat menembus epidermis dan menyerang
7

jaringanatau beredar dalam darah ke bagian tubuh yang lain (Tortora and Derrickson,
2009).
Lapisanepitel membran mukosamengeluarkan cairan yang disebut mukus
yang berfungsimelumasi dan membasahi permukaan rongga. Karena mukus sedikit
kental sehinggabanyak mikroba dan zat-zat asing terperangkap. Membran
mukosahidung memiliki rambut mukus berlapis yang berfungsisebagaiperangkap dan
memfilter mikroba, debu, dan polutan dari udara yang dihirup. Membran
mukosasaluran pernapasan bagian atas mengandung silia, mirip rambut mikroskopis
yang berada pada permukaan sel-sel epitel. Batuk dan bersin mempercepat
pergerakan mukus dan patogen yang terperangkap keluar dari tubuh(Tortora and
Derrickson, 2009).
Cairanlainnya yang dihasilkan oleh berbagai organ juga membantu
melindungi permukaan epitel kulit dan membran mukosa. Apparatus lakrimal mata
memproduksi air mata dalam menanggapi iritasi.Air mata juga mengandung lisozim,
enzim yang mampu menghancurkan dinding sel bakteri tertentu. Selain air mata,
lisozim hadir dalam air liur, keringat, sekresi hidung, dan cairan jaringan(Tortora and
Derrickson, 2009).
Bahan kimia tertentu juga berkontribusi terhadap tingkat resistensitinggi
dari kulit dan membran mukosaterhadapinvasi mikroba. Kelenjar kulit sebasea
(minyak) mengeluarkan zat yang berminyak disebut sebum yang membentuk lapisan
pelindung di atas permukaan kulit. Asam lemak tak jenuh dalam sebum menghambat
pertumbuhan
bakteri patogen dan jamur tertentu. Keasaman kulit (pH 3-5) disebabkan oleh sekresi
asam lemak dan asamlaktat. Keringat membantu menghilangkanmikroba dari
permukaankulit. Getah lambung yang dihasilkan oleh kelenjar lambung adalah
campuran asam klorida, enzim, dan mukus. Keasaman getah lambung yang kuat (pH
1,2-3,0) mampumenghancurkan banyak bakteri. Sekresi vagina juga sedikit asam
yang menghambat pertumbuhan bakteri (Tortora and Derrickson, 2009).

B. PertahananKedua: Pertahanan Internal


8

Ketika patogen menembus pertahanan fisik dan kimia kulit dan membran
mukosa, mereka kemudianmenghadapi pertahanankedua yang terdiri dari zat
antimikroba internal, fagosit, sel-sel pembunuh alami, peradangan, dan
demam(Tortora and Derrickson, 2009).

1. Zat Antimikroba internal


Terdapat empat jenis utama dari zat antimikroba yang mencegah
pertumbuhan mikroba, yaitu interferon, pelengkap, besi pengikat protein, dan
protein antimikroba(Tortora and Derrickson, 2009).
a) Limfosit, makrofag, dan fibroblas yang terinfeksi virus memproduksi
protein yang disebut interferon atau IFNs. Setelah dilepaskan oleh sel yang
terinfeksi virus, IFNs berdifusi ke sel tetangga yang tidak terinfeksi, di
mana mereka menginduksi sintesis
protein antivirus yangdapat mengganggu replikasi virus. Meskipun IFNs
tidak mencegah virus menempeldan menembus sel inang, mereka berhenti
bereplikasi. Virus dapat menyebabkan penyakit hanya jika mereka dapat
bereplikasi dalam sel-sel tubuh. IFN sangatpentingdalampertahanan
terhadap infeksi oleh berbagai virus. Terdapat tiga jenis interferon yaitu
IFN alfa, beta, dan gamma.
b) Sekelompok protein biasanya tidak aktif dalam plasma darah dan pada
membran plasma membentuk sistem komplemen. Ketika diaktifkan,
protein ini melengkapi atau meningkatkan reaksi kekebalan tertentu.
Sistem komplemen menyebabkan mikrobamengalamisitolisis (meledak),
meningkatkan fagositosis, dan memberikan kontribusi untuk peradangan.
c) Besi pengikat protein menghambat pertumbuhan bakteri tertentundengan
mengurangi jumlah zat besi yang tersedia. Contohnya termasuk transferin
(ditemukan dalam darah dan cairanjaringan), laktoferin (ditemukan dalam
susu, air liur, dan mukus), ferretin (ditemukan di hati, limpa,dan sumsum
tulang merah), dan hemoglobin (ditemukan dalam darah merah sel).
d) Protein antimikroba (AMP) adalah peptida pendek yang memiliki spektrum
yang luas dari aktivitas antimikroba. Contoh dari AMP yaitu dermicidin
(diproduksi oleh kelenjar keringat), defensin dan cathelicidins (diproduksi
9

oleh neutrofil, makrofag, dan epitel), dan thrombocidin (diproduksi oleh


trombosit). Selain membunuh berbagai macam mikroba, AMP dapat
menarik sel dendritik dan sel mast, yang berpartisipasi dalam respon imun.
2. Fagosit
Sel-sel yang melakukan fagositosis secara kolektif disebut fagosit. Terdiri
dari jenis sel darah putih atau turunan sel darah putih. Ketika infeksi terjadi, baik
granulosit (terutama neutrofil, tetapi juga eosinofil dan sel dendritik) dan monosit,
bermigrasi ke daerah yang terinfeksi. Selama migrasi ini, monosit memperbesar
dan berkembang menjadi makrofag aktif fagositik. Beberapa makrofag disebut
sebagai makrofag tetap. makrofag tetap ditemukan di hati(Sel Kupffer), paru-paru
(makrofag alveolar), sistem saraf (Sel mikroglia), tabung bronkial, limpa
(makrofag limpa),kelenjar getah bening, sumsum tulang merah, dan rongga
peritoneum sekitarnya organ perut (makrofag peritoneal). makrofag lainnya motil
dan disebut sebagai makrofag bebas (mengembara, yang berkeliaran di jaringan
dan berkumpul di situs infeksi atau peradangan. Berbagai makrofag tubuh
merupakan sistem mononuklear
fagosit (retikuloendotelial) (Tortora
and Derrickson, 2009).

Selama infeksi, pergeseran


terjadi di jenis sel darah putih yang
mendominasi dalam aliran darah.
Granulosit, terutama neutrofil,
mendominasi selama awal fase
infeksi bakteri, pada saat mereka
aktif memfagositosis, Dominasi ini
ditunjukkan dengan peningkatan dalam jumlah sel darah putih diferensial.
Namun, karena infeksi berlangsung, makrofag mendominasi, mereka merobek
dan memfagositosis sisa bakteri yang hidup dan mati atau bakteri sekarat bakteri.
Peningkatan jumlah monosit (yang berkembang menjadi makrofag) juga
10

tercermin dalam jumlah sel darah putih diferensial (Tortora and Derrickson,
2009).
3. Sel-sel pembunuh alami
Selain sel fagosit, sel lain yang berperan dalam respon imun adalah sel NK
(Natural Killer Cell). Sel NK adalah limfosit bergranul besar yang dapat
mengenali dan menghancurkan sel-sel abnormal yang ada di jaringan perifer. Sel
NK akan mengeluarkan protein toksik yang dikenal dengan perforin. Perforin
yang dibebaskan oleh badan golgi sel NK akan membentuk pori-pori di dinding
sel abnormal sehingga menyebabkkan lisis sel. Mekanisme lisis sel dengan cara
demikian disebut mekanisme Membran Attack Complex (MAC) (Mulyani, 2013).
4. Peradangan (Inflamatori)
Inflamasi merupakan sebuah reaksi yang kompleks dari sistem imun tubuh pada
jaringan vaskuler yang menyebabkan akumulasi dan aktivasi leukosit serta
protein plasma yang terjadi pada saat infeksi, keracunan maupun kerusakan
sel (Abbas. 2010). Inflamasi diperlukan tubuh untuk mempertahankan diri dari
berbagai bahaya yang mengganggu keseimbangan tetapi juga dapat memperbaiki
kerusakan struktur serta gangguan fungsi jaringan (Baratawidjaja, 2004).
Terjadinya proses inflamasi diinisiasi oleh perubahan di dalam pembuluh
darah yang meningkatkan rekrutmen leukosit dan perpindahan cairan serta
protein plasma di dalam jaringan. Proses tersebut merupakan langkah
pertama untuk menghancurkan benda asing dan mikroorganisme serta
membersihkan jaringan yang rusak (Judarwanto, 2012).
Kerusakan sel terkait dengan inflamasi berpengaruh pada selaput membran sel
yang menyebabkan leukosit mengeluarkan enzim lisosomal yaitu arachidonic
acid kemudian dilepas dari persenyawaan fosfolipid, dan berbagai eicosanoid
akan disintesis (Katzung, 2009). Kerusakan atau perubahan yang terjadi pada sel
dan jaringan akibat noksi akan membebaskan berbagai mediator atau
substansi radang antara lain histamin, bradikinin, kalidin, serotonin,
prostaglandin dan leukotrien (Mansjoer, 1999). Senyawa kimia ini akan
menyebabkan pelebaran pada pembuluh darah di daerah yang terinfeksi. Hal
ini akan menaikkan aliran darah ke daerah yang terkena infeksi. Akibatnya
daerah terinfeksi menjadi berwarna kemerahan dan terasa lebih
11

hangat.Apabila kulit mengalami luka akan terjadi peradangan yang ditandai


dengan memar, nyeri, bengkak, dan meningkatnya suhu tubuh. Jika luka ini
menyebabkan pembuluh darah robek maka mastosit akan menghasilkan
bradikinin dan histamin. Bradikinin dan histamin ini akan merangsang ujung
saraf sehingga pembuluh darah dapat semakin melebar dan bersifat
permeabel. Kenaikan permeabilitas kapiler darah menyebabkan neutrofil
berpindah dari darah ke cairan luar sel. Neutrofil ini akan menyerang bakteri yang
menginfeksi sel. Selanjutnya, neutrofil dan monosit berkumpul di tempat yang
terluka dan mendesak hingga menembus dinding kapiler. Setelah itu,
neutrofil mulai memakan bakteri dan monosit berubah menjadi makrofag
(sel yang berukuran besar). Makrofag berfungsi fagositosis dan merangsang
pembentukan jenis sel darah putih yang lain (Mulyani, 2013).
5. Demam
Sementara peradangan merupakan respon lokal saat tubuh cedera, ada juga
sistemik, atau secara keseluruhan, tanggapan yang lain. Salah satu yang paling
penting adalah demam, sepertiga komponen dari garis pertahanan kedua, dengan
gejala suhu tubuh tinggi yang tidak normal. Yang paling sering menyebabkan
demam adalah infeksi dari bakteri (dan racun) atau virus. hipotalamus kadang-
kadang disebut termostat tubuh, dan biasanya ditetapkan pada suhu 37 C (98,6
F). Hal ini diyakini bahwa zat tertentu mempengaruhi hipotalamus dengan suhu
yang lebih tinggi. ketika fagosit menelan bakteri gram-negatif, lipopolisakarida
(LPS) dari dinding sel dilepaskan, menyebabkan fagosit melepaskan sitokin
interleukin-1 bersama dengan TNF-. Sitokin ini menyebabkan hipotalamus
untuk melepaskan prostaglandin yang mengatur ulang thermostat hipotalamus
pada temperatur yang lebih tinggi sehingga menyebabkan demam(Tortora and
Derrickson, 2009).
Dapat dissumsikan ketika tubuh diserang oleh patogen dan pengaturan
termostat meningkat menjadi 39 C (102,2 F). Untuk menyesuaikan diri dengan
pengaturan termostat baru, tubuh merespon dengan konstriksi pembuluh darah,
meningkatkan laju metabolisme, dan menggigil, yang semuanya meningkatkan
suhu tubuh. Meskipun suhu tubuh naik lebih tinggi dari normal, kulit tetap dingin.
12

Kondisi ini adalah tanda pasti bahwa suhu tubuh meningkat. Ketika suhu tubuh
mencapai pengaturan termostat, dingin menghilang. Tubuh akan terus untuk
mempertahankan temperaturnya pada 39 C sampai sitokin dihilangkan.
thermostat mengembalikan ulang ke suhu 37 C. Sebagai infeksi reda,
mekanisme kehilangan panas seperti vasodilatasi dan berkeringat. Kulit menjadi
hangat, dan orang mulai berkeringat. Ini fase demam, yang disebut krisis,
menunjukkan bahwa suhu tubuh menurun. Sampai titik tertentu, demam dianggap
sebagai pertahanan terhadap penyakit. Interleukin-1 membantu meningkatkan
produksi sel T. suhu tubuh tinggi mengintensifkan efek interferon antivirus dan
meningkatkan produksi transferin yangmenurunkan besi yang tersedia untuk
mikrob. Juga, karena kecepatan suhu tinggi reaksi tubuh, mungkin membantu
jaringan tubuh memperbaiki dirinya sendiri lebih cepat. Di antara komplikasi
demam adalah takikardia (rapid denyut jantung), yang dapat membahayakan
orang yang lebih tua dengan penyakit kardiopulmoner; meningkat tingkat
metabolisme, yang dapat menghasilkan asidosis, dehidrasi, elektrolit
ketidakseimbangan, kejang di anak muda dan delirium dan koma. Sebagai aturan,
hasil kematian jika suhu tubuh naik di atas 44 sampai 46 C (112 sampai 114
F). Seperti dengan rasa sakit yang terkait dengan peradangan, ibuprofen dan
aspirin dapat digunakan untuk mengurangi demam (Tortora and Derrickson,
2009).

2.3 Mekanisme Sistem Kekebalan Tubuh


MEKANISME PERTAHANAN NONSPESIFIK MEKANISME
PERTAHANAN
SPESIFIK (SISTEM
KEKEBALAN)
Garis Pertahanan Garis Pertahanan Kedua Garis Pertahanan Ketiga
13

Pertama
Kulit Sel darah putih Limfosit
Membran mukosa fagositik Antibodi
Sekresi dari kulit Protein
dan membran antimikroba
mukosa Respon
Peradangan

Ada dua kategori respon imun yaitu:

1. Respon imunologis non-spesifik = natural = innate = alamiah


Merupakan respon yang diturunkan secara genetik/ herediter, tidak
tergantung pada kontak antigen sebelumnya atau pengenalan spesifik ().
Mikroba yang masuk ke dalam tubuh harus menembus rintangan eksternal
yang dibentuk oleh kulit dan membran mukosa yang menutupi permukaan
tubuh. Jika berhasil melakukan hal tersebut, patogen itu harus menghadapi
garis pertahanan non spesifik kedua, yaitu mekanisme yang saling berinteraksi
dan meliputi fagositosis, respon peradangan, dan protein antimikroba
(Campbell,)
2. Respon imunologis spesifik = adaptive = acquired = didapat
Merupakan respon yang membutuhkan waktu pengenalan antigen
setelah itu terjadi respon yang diakibatkan oleh kontak antigen dan pemaparan
antigen (). Apabila pertahanan dengan fagositosis, respon peradangan dan
protein mikroba dapat ditembus makan akan menghadapi limfosit yang
merupakan sel kunci dalam sistem kekebalan. Limfosit merespon terhadap
kontak dengan mikroba dengan cara membangkitkan respon kekebalan yang
efisien dan selektif.

A. Respon imunologis non-spesifik = natural = innate = alamiah

Mekanisme pertahanan tubuh melalui proses fagositosis terbagi menjadi 4


fase utama, yakni kemotaksis, kelekatan kekebalan, proses menelan dan mencerna,
(Tortora,2001)
14

1. Kemotaksis dan kelekatan kekebalan

Kemotaksis adalah proses kimia dari fagositosis mikroorganisme. Kemotaksis


ini meliputi mikroba yang bersifat fagosit, komopnen dari sel darah putih dan sel
pada jaringan yang luka. Kelekatan kekebalan adalah menempelnya atau terkaitnya
membran plasma fagosit pada permukaan dari mikroorganisme atau material asing.
Kelekatan kekebalan ini terfasilitasi oleh PAMPs ( Pathogen-Associated Molecular
Patterns) dari reseptor pada mikroba seperti TLRs (Toll-like receptor) pada
permukaan fagosit. Ikatan antara PAMPs dan TLRs tidak hanya menginisiasi
fagositosis namun juga menginduksi fagosit untuk melepaskan sitokin yang spesifik
yang dibutuhkan oleh fagosit tambahan.

Dalam beberapa contoh, kelekatan kekebalan terjadi dengan mudah dan


mikroorganisme telah siap untuk terfagosit. Mikroorganisme dapat lebih siap untuk
terfagosit jika mikroorganisme tersebut terselubungi oleh serum protein tertentu yang
menjadikan mikroorganisme tersebut terkait dengan fagosit. Proses ketika
mikroorganisme terselubungi oleh serum protein tertentu ini disebut dengan
opsonisasi. Protein yang bertindak sebagai opsonin tesebut mencakup beberapa
komponen dari sistem tambahan dan molekul antibodi.

Dalam opsonisasi terdapat sinergisme anata antibodi dan komplemen yang


diperantarai oleh reseptor yang memiliki afinitas kuant untuk imunoglobulin G dan
C3b pada permukaan fagosit, sehingga meningkatkan pengikatan fagosit. Efek
augmentasi dari komplemen yang berasal dari molekul igG yang dapat mengikat
banyak molekul C3b, dapat meningkatkan jumlah hubungan fagosit dengan

makrofag.

Gambar Mekanisme Opsonin (Sherwood, 2004)

2. Proses menelan (Ingestion)


15

Proses menelan ini terjadi setelah proses kelekatan. Membran plasma dari
fagosit memanjang dan menonjol yang disebut dengan pseudopod yang berfungsi
untuk menelan mikrooganisme. Setelah Mikroorganisme terperangkap, pseudopod
akan berfusi dikedua ujungnya, mengelilingi mikroorganisme dengan sebuah kantung
yang disebut dengan fagosom atau vesikel fagosit. Membran dari fagosome memiliki
enzim yang mampu memompa proton (H+) kedalam fagosome.
3. Pencernaan (Digestion)
Selanjutnya fagosome akan masuk kedalam sitoplasma dimana didalam
sitoplasma inilah fagosome akan bertemu dengan lisosom yang mengandung enzim
pencernaan dan zat-zat bakterisida. Ketika terjadi kontak antara fagosome dan
lisosom, membran keduanya akan berfusi membentuk struktur yang besar disebut
dengan fagolisosome.

Enzim lisosom yang menyerang sel mikroba secara langsung adalah lisosime
yan mana berfungsi untuk menghidrolisis peptidoglikan pada dinding bakteri. Lipase,
protease , ribonuklease dan deoksiribonuklease menghidrolisis komponen
makromolekular lain dari mikroorganisme. Lisosom juga mengandung enzim yang
dapat memproduksi oxygen racun seperti superoksida radikal, hidrogen peroksida,
nitrit oksidam oksigen tunggal dan hidroksil radikal. Oxygen beracun ini diproduksi
oleh sebuah ledakan oksidatif. Enzim lainnya dapat menggunakan oksigen beracun
ini untuk menelan mikroorganisme.

Setelah enzim mencerna isi dari fagolisosome yang dibawa saat proses ingesti,
fagolisosome sekarang mengandung material yang sudah tidak dapat dicerna atau
disebut dengan residual body. Residual body ini kemudian pindah menuju perbatasan
sel dan dibuang keluar sel.

Gambar Mekanisme Fagositosis (Tortora,2001).


16

INFLAMASI

Setelah terjadinya proses fagositosis, tubuh akan memberikan respon


fisiologis terhadap suatu injuri dan gangguan oleh faktor eksternal, yakni inflamasi.
Luka atau kerusakaan pada jaringan tubuh mampu memicu adanya sebuah respon
lokal untuk pertahanan yang disebut dengan inflamasi, sebuah komponen lain dari
sistem imun. Kerusakaan dapat disebabkan oleh enfeksi mikroba, agen fisika (seperti
panas, radiasi, atau objek yang tajam), atau agen kimia yakni (asam, basa, dan gas).
Inflamasi memiliki karakteristik dengan 4 gejala: kemerahan, rasa sakit, panas, dan
pembengkakan. (Tortora,2001)

Pada tahap awal dari infalamasi, struktur mikroba, seperti flagel.


Lipoporisakarida (LPS) dan DNA bakteri menstimulasi Toll-like receptor pada
makrogaf untuk memproduksi sitokin, seperti tumor necrosis factor alpha (TNF-) .
Dalam merespon TNF- dalam darah, hati mensintesus sebuah kelompok potein yang
disebut dengan fase protein akut; fase protein akut lainnya terdapat dalam darah
dalam bentuk yang inaktif dan diubah menjadi sebuah bentuk yang aktif selama
proses inflamasi. Fase protein akut ini menginduksi C-reactibe protein, ikatan lektin
mannose, dan beberapa protein khusus seperti fibrinogen untuk pembekuan darah dan
kinin untuk proses vasodilatasi. (Tortora,2001)
17

VASODILATASI dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah

pembuluh darah akan melebar pada area yang luka, dan


permeabilitasnya meningkat. Dilatasi dari pembuluh darah ini disebut dengan
vasodilatasi, yang menyebabkan kemerahan dan rasa panas diikuti dengan proses
inflamasi sebelumnya. Meningkatnya permeabilitas ini memungkinkan zat defensive /
zat pertahanan dipelihata didalam darah untuk melewati dinding dari pembuluh darah
dan memasuki area yang luka. Meningkatnya permabilitas ini, yang mana dapat
memungkinkan cairan berpindah dari darah kedalam ruangan jaringan yang
menyebabkan terjadinya edema (akumulasi cairan) dari proses inflamasi. Rasa sakit
dari proses inflamasi dapat disebabkan oleh lukanya jaringan saraf, iritasi karena
racun, atau tekanan dari edema. (Tortora,2001)

Vasodilatasi dan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah disebabkan oleh


jumlah zat kimia yang dilepaskan oleh sel yang luka sebagai bentuk responnya. Salah
satu contoh zat yang dikeluarkan adalah histamin, sebuah zat kimia yang ada dalam
banyak sel pada tubuh khususnya pada sel mast dalam jaringan ikat, basofil, dan
keping darah. Histamin dikeluarkan sebagai respon langsung untuk stimulasi dari
komponen tertentu dari sistem komplemen. Granulosit akan terkait pada area yang
luka juga mampu memproduksi zat kimia yang menyebabkan keluarnya histamin.
(Tortora,20

Proses migrasi fagosit dan fagositosis

Setelah 1 jam setelah proses inflamasi, aliran darah menurun, dan sel fagosit
( neutrofil dan monosit) akan menempel pada permukaan dalam dari endothelium
pada pembuluh darah. Proses penempelan ini merupakan respon lokal sitokin yang
disebut dengan migrasi. Sitokin mengubah molekul selular adhesi pada sel-sel
endothelium pembuluh darah, sehingga fagosit dapat menempel pada area inflamasi.
Kemudian, sel fagosit akan mulai menyisip diantara sel endothelium dari pembuluh
darah untuk sampai didaderah yang luka. Proses migrasi ini, terjadi dengan gerakan
amoeboid yang disebut dengan diapedesis; yang memakan waktu sekitar 2 menit.
Kemudan sel fagosit mulai melawan mikroorganisme yang menginfeksi dengan
proses yang disebut dengan fagositosis. (Tortora,2001)

Setelah granulosit atau makrofag telah memubunuh mikroorganisme,


keduanya secara bersamaan mati. Hasilnya yakni terbentuk nanah, dan nanah ini akan
ada hingga infeksi reda. Nanah akan keluar dari permukaan tubuh. (Tortora,2001)

Gambar Proses inflamasi. A) terjadi kerusakaan pada jaringan kulit. B) terjadi vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah yang memungkinkan migrasi dari fagositosis.
Fagositosis oleh makrofag dan neutrofil menghilangkan bakteri. Makrofag merupakan
perkembangan dari monosit. C) perbaikan pada jaringan yang luka. (Tortora,2001)
18

B. Respon imunologis spesifik = adaptive = acquired = didapat


Tubuh vertebata mengandung dua jenis utama limfosit yakni limfosit B (Sel
B) dan limfosit T (Sel T). Seperti makrofag, kedua jenis limfosit ini bersirkulasi di
seluruh darah dan limfa, dan terkonsentrasi dalam limpa, nodus limpa, dan jaringan
limfatik lainnya. Karena limfosit mengenali dan merespon terhadap mikroba tertentu
dan molekul asing, maka limfosit dikatakan memperlihatkan spesifisitas. Molekul
asing yang mendatangkan suatu respon spesifik dari limfosit disebut antigen. Antigen
meliputi molekul yang dimiliki virus, bakteri, fungi, protozoa dan cacing parasit. Sel
B dan Sel T terspesialisasi bagi jenis antigen yang berlainan, dan kedua jenis sel itu
melakukan pertahanan yang berbeda tetapi saling melengkapi. Salah satu cara antigen
menimbulkan respon kekebalan adalah dengan cara mengaktifkan sel B untuk
mensekresikan protein yang disebut antibodi.

SISTEM IMUN SPESIFIK HUMORAL


19

Gambar 3 Respon humoral terhadap antigen yang tergantung pada sel T


20

Pada gambar 3 banyak antigen dapat memicu respon kekebalan humoral


(yang diperantarai oleh antibodi) oleh sel B hanya dengan partisipasi sel T helper.

Antigen seperti itu disebut antigen yang bergantung pada sel T. 1) Makrofag menelan
patogen. 2) fragmen antigen dari patogen yang dicerna sebagian lalu membentuk
kompleks dengan protein MHC kelas II. Kompleks ini kemudian diangkut ke
permukaan sel. 3) sel T helper dengan reseptor yang spesifik berinteraksi dengan
makrofag dengan cara berikatan dengan kompleks MHC dan antigen. 4) Sel T helper
yang diktifkan kemudian berinteraksi dengan sel B yang telah menghancurkan
antigen dengan cara endositosis dan memperlihatkan fragmen antigen bersama
dengan protein MHC kelas II. Sel T helper mensekresikan IL-2 dan sitokinin untuk
mengaktifkan sel B. 5) sel B lalu membelah secara berulang-ulang dan berdiferensiasi
menjadi sel B memori dan sek plasma, yang merupakan sel efektor yang mensekresi
antibodi pada kekebalan humoral.

Gambar Seleksi Klonal


21

Pada gambar 2.3 dapat diketahui bahwa sel-sel B dan sel-sel T tubuh
bersama-sama mengenali antigen dengan jumlah yang tidak terbatas, tetapi
masing-masing individu sel hanya mengenali satu jenis antigen. Jika dicermati
pada gambar, akan terlihat adanya variasi bentuk reseptor antigen pada
keenam sel B. Ketika suatu antigen berikatan dengan sel Batau sel T, sel
tersebut akan berpoliferasi atau memperbanyak diri dan membentuk klon sel-
sel efektor dengan spesifitas yang sama. Pada diagram, antigen itu
menyeleksi suatu sel B tertentu dan merangsangnya untuk memperbanyak
diri dan menjadi suatu populasi sel-sel efektor yang identik yang disebut
dengan sel plasma. Sel plasma mensekresi antibodi yang spesifik untuk
antigen tersebut dan terbentuk juga sel memori yang spesifik untuk antigen
tersebut.
SISTEM IMUN SPESIFIK SELULER
Limfosit t sitotoksik yang diaktifkan oleh antigen membunuh sel-sel
kanker dan sel-sel yang terinfeksi oleh virus atau patogen intraseluler lainnya.
Semua sel bernukleus dalam tubuh secara terus-menerus menghasilkan molekul
MHC kelas I. Sementara molekul MHC kelas I yang baru disintesis bergerak
menuju permukaan sel, molekul itu menangkap fragmen kecil dari salah satu
protein lain yang disintesis. Dengan cara ini molekul MHC kelas I memaparkan
protein asing yang disintesis dalam sel terinfeksi atau sel abnormal ke sel T
sitotoksik. Interaksi antara sel penyaji antigen dan sel T sitotoksik sangat
dipengaruhi oleh kehadiran protein permukaan sel T yang disebut CD8.
22

BABIII

PENUTUP

Kesimpulan

Daftar Rujukan

Abbas, A. O. M., 2010, Chitosan for biomedical applications, Disertasi,


Pharmacy, University of Iowa, Iowa.

Baratawidjaja K, Rengganis I. Imunologi Dasar, Edisi Kedelapan. Jakarta: Balai


Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia; 2009.

Daniels S. 2002. Folate Supplements could Improve Immune System in the Elderly.
http://www.nutraingredients.com.
23

Dickinson, A. 2002. Benefits of Nutritional Supplements: Immune Function in the


Elderly. The Benefits of Nutritional Supplements.

Dunhoff, C. 1998. Sleep May Have Negative Impact on Immune System. UPMC
News Bureau.

Fatmah. 2006. Respon Imunitas yang Rendah pada Tubuh Manusia Usia Lanjut.
Makara Kesehatan 10(1):47-53.

Harti, A.S. 2013. Imunologi Dasar dan Imunologi Klinis. Yogyakarta: Graha Ilmu

Judarwanto, W., 2012, Imunologi Dasar : Radang dan Respon Inflamasi (online)
(http://imunologi-dasar-radang-danrespon-inflamasi/) diakses pada 28 Maret
2017

Katzung B.G., 2009, Introduction to autonomic pharmacology, dalam Katzung B.G.,


(Ed.), Basic and Clinical Pharmacology, 9thEd, McGraw-Hill, New
York.Mansjoer, 1999

Kresno, S. B. 2003. Immunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi 4


Jakarta : FKUI. h.7-10. 15-17

Mulyani. 2013. Anfiman 2 Sistem imun. Jakarta: STFB.

Murray F. 1991. Vitamin E can Boost Immune Response in Elderly People. Better
Nutrition 1989-1990. http://www.findarticles.com.

Tortora, G.J., Derrickson, B. 2009. Principles Of Anatomy And Physiology 12th


Edition. USA: John Wiley & Sons, Inc.
24

Anda mungkin juga menyukai