Anda di halaman 1dari 20

Al Ahda Adawiyah

04011381419153
GAMMA

Investigasi KLB atau Wabah


Wabah berdasarkan definisinya adalah peningkatan kejadian kesakitan atau kematian yang
telah meluas secara cepat, baik jumlah kasusnya maupun daerah yang terjangkit (Depkes,
1981). Berdasarkan UU No.4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, wabah adalah
kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat, yang jumlah penderitanya
meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah
tertentu, serta dapat menimbulkan malapetaka. Dan berdasarkan Burgeois dan Ratard dalam
Last (2005:1338), wabah atau epidemik adalah jumlah kasus penyakit melebihi jumlah yang
normal pada suatu wilayah dan periode tertentu. Menurut CDC (2012), epidemik dan wabah
sering memiliki arti yang sama. Akan tetapi istilah wabah biasanya terbatas pada wilayah
geografis tertentu. Wabah berbeda dengan Kejadian Luar Biasa (KLB) sebagaimana PP
No.40 tahun 1991 mendefinisikan KLB sebagai timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan/kematian yang bermakna. secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun
waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.
Sehingga timbulnya wabah didahului dengan timbulnya KLB.
Suatu daerah dapat ditetapkan dalam keadaan KLB apabila memenuhi SALAH SATU kriteria
sebagai berikut:
1. Timbul suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
pada suatu daerah;
2. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 kurun waktu berturutturut (dalam
jam, hari, atau minggu) menurut jenis penyakitnya;
3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, minggu menurut jenis penyakitnya;
4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau
lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya;
5. Rata-rata jumlah kesakitan per bulan selama 1 tahun menunjukkan kenaikan dua kali atau
lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun
sebelumnya;
6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 kurun waktu tertentu
menunjukkan kenaikan 50% atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu
penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama;
7. Angka proporsi penyakit (proporsional rate) penderita baru pada satu periode
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan satu periode sebelumnya dalam
kurun waktu yang sama.
Wabah terdeteksi melalui :
a. Analsisis data surveilans rutin; dan/atau
b. Laporan petugas kesehatan, pamong atau warga yang cukup peduli.
Berbagai alasan menyebabkan dilakukannya investigasi kemungkinan wabah yakni 1)
mengadakan penanggulangan dan pencegahan; 2) kesempatan mengadakan penelitian dan
pelatihan; 3) pertimbangan program; dan 4) kepentingan umum, politik, dan hukum.
Berikut adalah langkah-langkah dalam melakukan investigasi wabah, antara lain sebagai
berikut:
1. Persiapan Investigasi di Lapangan
Dalam melakukan persiapan investigasi ada 5 hal yang harus disiapkan, yakni:
a. Meneliti penyakit yang akan dilaporkan;
b. Menngumpulkan sarana dan prasarana yang akan dibawa;
c. Membuat perjanjian secara administratif atau personal yang diperlukan;
d. Berkonsultasi dengan semua bagian/tim untuk menentukan peranan kita dalam
investigasi wabah tersebut;
e. Mengidentifikasi kontak person lokal, segera setelah tiba pada tempat yang
direncanakan
2. Memastikan adanya Wabah
Pada tahap ini yang dilakukan adalah menentukan apakah jumlah kasus yang ada sudah
melampaui jumlah yang diharapkan. Cara untuk menentukan jumlah kasus adalah
dengan membandingkan jumlah yang ada saat itu dengan jumlahnya beberapa minggu
atau bulan sebelumnya, atau dengan jumlah yang ada pada periode waktu yang sama di
tahun-tahun sebelumnya.
Sumber informasi untuk mengetahui jumlah kasus dapat diperoleh dari:
a. Catatan Hasil Surveilans, untuk penyakit yang rutin harus dilaporkan;
b. Data Penyakit setempat/lokal, untuk penyakit atau kondisi lain;
c. Bila data lokal tidak ada, dapat digunakan rate dari wilayah di dekatnya atau data
nasional;
d. Dilaksanakan survei di masyarakat untuk menentukan kondisi penyakit yang
biasanya ada.
Dalam menghitung jumlah kasus, kadang dihadapkan dengan satu kondisi yang disebut
pseudo endemic. Kondisi ini terjadi bila jumlah kasus yang dilaporkan melebihi jumlah
yang diharapkan, namun kelebihan ini tidak menunjukkan adanya wabah. Hal ini
disebabkan oleh faktor-faktor antara lain: 1) perubahan cara pencatatan dan pelaporan
penderita; 2) adanya cara diagnosis baru; 3) bertambahnya kesadaran penduduk untuk
berobat; 4) adanya penyakit lain dengan gejala yang serupa; dan 5) bertambahnya jumlah
penduduk yang rentan.
Bila wabah sudah dapat dipastikan, bagaimana kita membuktikan bahwa memang benar-
benar telah terjadi wabah? Ada 3 ketentuan untuk mengatasi hal ini yaitu dengan
menghitung jumlah penderita yang diharapkan, dengan:
a. Untuk penyakit endemis yang tidak dipengaruhi oleh musim, jumlah penderita
dihitung dengan:
- Melihat rata-rata penderita penyakit per bulan pada tahun-tahun yang lalu;
- Membandingkan jumlah penderita yang ada dengan jumlah ambang wabah
(epidemic threshold), yaitu rata-rata hitung (mean) jumlah penderita pada
waktu-waktu yang lalu, ditambah dengan dua kali standar error
b. Untuk penyakit epidemis yang bersifat musiman, dengan:
- Melihat jumlah penderita di musim yang sama tahun lalu;
- Melihat jumlah paling tinggi yang pernah terjadi pada musim-musim yang sama
di tahun lalu;
- Membandingkan jumlah penderita yang ada dengan jumlah ambang wabah
mingguan atau bulanan berdasarkan variasi musiman.
c. Untuk penyakit yang tidak epidemis, dengan:
- Membandingkan jumlah penderita yang ada terhadap jumlah penderita pada
saat penyakit tersebut ditemukan.
Untuk menentukan bahwa telah terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) digunakan kriteria
sebagai berikut:
a. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal di
suatu daerah (emerging infectious disease);
b. Adanya peningkatan kejadian kesakitan atau kematian dua kali atau lebih
dibandingkan jumlah kesakitan atau kematian yang biasa terjadi pada kurun waktu
sebelumnya (jam, hari, minggu) bergantung pada jenis penyakitnya; dan/atau
c. Adanya peningkatan kejadian kesakitan secara terus menerus selama 3 kurun waktu
(jam, hari, minggu) berturut-turut menurut jenis penyakitnya
Untuk wabah akibat keracunan makanan, CDC telah menentukan kriteria sebagai
berikut:
a. Ditemukannya dua atau lebih penderita penyakit serupa, yang biasanya berupa gejala
gangguan pencernaan (gastrointestinal), sesudah memakan makanan yang sama;
b. Hasil penyelidikan epidemiologi menunjukkan makanan sebagai sumber penularan.
Perkecualian diadakan untuk keracunan akibat toksin/racun clostridium botulinum atau
akibat bahan-bahan kimia. Maka bila didapatkan 1 orang saja penderita, sudah dianggap
suatu letusan/wabah.
3. Memastikan diagnosis
Tujuan dari tahap ini adalah untuk a) memastikan bahwa masalah tersebut telah
didiagnosis dengan patut; dan b) menyingkirkan kemungkinan kesalahan laboratorium
yang menyebabkan peningkatan kasus yang dilaporkan. Semua temuan klinis harus
disimpulkan dalam distribusi frekuensi, yang berguna untuk menggambarkan spektrum
penyakit, menentukan diagnosis, dan mengembangkan definisi kasus, serta menentukan
kunjungan terhadap satu atau dua penderita. Dalam memastikan diagnosis, langkah
dilakukan meliputi:
a. Membuat definisi kasus
Definisi kasus meliputi kriteria klinis dan terutama dalam penyelidikan wabah
dibatasi oleh waktu, tempat dan orang. Bila penyakitnya belum terdiagnosis,
diagnosis kerja dibuat berdasarkan gejala-gejala yang paling banyak diderita,
sedapat mungkin yang dapat menggambarkan proses penyakit yang pathognomonis,
dan cukup spesifik. Harus dipastikan bahwa seluruh penderita/pasien yang dihitung
sebagai kasus memiliki penyakit yang sama.
Dalam mengembangkan definisi kasus perlu diperhatikan hal-hal berikut: 1)
informasi klinis tentang penyakit; 2) karakteristik populasi yang dipengaruhi oleh
penyakit; 3) karakteristik lokasi atau tempat; dan 4) karakteristik waktu timbulnya
penyakit.
Dalam mendefinisikan kasus terdapat 3 level yang ditentukan:
- Kasus Pasti (Confirmed), bila kasus disertakan dengan hasil pemeriksaan
laboratorium yang positif;
- Kasus Mungkin (Probable), bila kasus memenuhi semua ciri klinis penyakit,
TANPA pemeriksaan laboratorium;
- Kasus Meragukan (Possible), bila kasus hanya memenuhi gejala klinis saja.
Definisi kasus harus dibuat cukup luas agar sebagian besar penyakit dapat
tertangkap. Hal ini dapat dimulai dengan kasus yang longgar. Definisi kasus yang
lemah/sempit dalam investigasi wabah ada kemungkinan akan mengeluarkan kasus-
kasus yang mungkin terjadi (possible).
b. Menemukan dan menghitung kasus
Dalam menentukan dan menghitung kasus, maka dari setiap kasus penyakit harus
dikumpulkan informasi-informasi sebagai berikut:
- Data identifikasi (nama, alamat, nomor telepon, dsb);
- Data demografi (umur, jenis kelamin, ras, dan pekerjaan);
- Data klinis;
- Faktor risiko (harus dibuat khusus untuk tiap penyakit);
- Informasi pelapor, yang berguna untuk mencari informasi tambahan atau
memberikan umpan balik
4. Epidemiologi deskriptif (waktu, tempat, orang)
Epidemiologi deskriptif adalah studi tentang kejadian penyakit atau masalah lain yang
berkaitan dengan kesehatan pada populasi, yang umumnya berkaitan dengan ciri-ciri
dasar seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi, dan lokasi
geografiknya, berdasarkan Orang (People), Tempat (Place), dan Waktu (Time). Dengan
demikian, data pada invetigasi wabah harus informatif dan reliable, dengan berorientasi
pada a) Orang (siapa? Atau populasi yang dipengaruhi); b) Tempat (Dimana? yakni luar
geografiknya); dan c) Waktu (kapan? menunjukkan trend).
Untuk menggambarkan suatu wabah berdasarkan perjalanannya (waktu/time) digunakan
Kurva Epidemi, yaitu grafik berbentuk histogram dari jumlah kasus berdasarkan waktu
timbulnya gejala pertama. Kurva ini berguna untuk:
- Mendapatkan informasi tentang perjalanan wabah dan kemungkinan kelanjutan
penyakit;
- Bila penyakit dan masa inkubasi diketahui, dapat memperkirakan kapan pemaparan
terjadi, sehingga dapat memusatkan penyelidikan pada periode tersebut;
- Menyimpulkan pola kejadian penyakit, apakah bersumber tunggal, ditularkan dari
orang ke orang, atau campuran keduanya.
Dari kurva epidemi, dapat diiterpretasikan dua hal yaitu a) cara penularan; b) perjalanan
wabah; dan c) periode pemaparan penyakit. Interpretasi cara penularan penyakit
berdasarkan Kurva Epidemi, menunjukkan bahwa menurut sifatnya, wabah dapat dibagi
menjadi dua bentuk utama yaitu : 1) common source epidemic; dan 2) propagated atau
progressive epidemic.
5. Membuat hipotesis
Hipotesis diformulasikan berdasarkan parameter:
a. Sumber agen penyakit;
b. Cara penularan (serta alat penularan/vektor);
c. Pemaparan yang mengakibatkan sakit.
Untuk menghasilkan hipotesis digunakan cara-cara antara lain:
a. Mempertimbangkan apa yang diketahui tentang penyakit tersebut: apa reservoir
utama agen penyakitnya? Bagaimana cara penularannya? Bahan apa yang biasanya
menjadi alat penularanannya? Apa saja faktor yang meningkatkan risiko tertular?
Dan sebagainya;
b. Melakukan wawancara dengan beberapa penderita;
c. Mengumpulkan beberapa penderita untuk mencari kesamaan pemaparan;
d. Melakukan kunjungan rumah penderita;
e. Melakukan wawancara dengan petugas kesehatan setempat;
f. Menggunakan epidemiologi deskriptif.
6. Menilai hipotesis (penggunaan penelitian kohort dan penelitian kasuskontrol)
Hipotesis yang telah diformulasikan, dapat dinilai dengan salah satu cara sebagai berikut:
a. Membandingkan hipotesis dengan fakta yang ada;
b. Menganalisis hubungan dan peran kebetulan (disebut epidemiologic analysis)
Investigasi wabah pada populasi yang kecil dan jelas batas-batasnya, analisis yang cocok
adalah dengan penelitian kohort. Studi kofort dimulai dengan memberikan
paparan/pajanan kepada obyek, kemudian dilakukan penilaian terhadap penyakit.
Beberapa ukuran frekuensi penyakit diukur dalam studi kohort ini, antara lain attack
rates (AR), relative riks (RR), risk difference (RD).
Investigasi wabah pada populasi yang tidak jelas batasannya, analisis yang cocok adalah
dengan penelitian Kasus-Kontrol (case-control study). Berlawanan dengan kohort, pada
Kasus-Kontrol, studi dimulai dengan mempelajari penyakit, kemudian mundur ke
belakangan untuk mengetahui pajanan/paparan. Ukuran frekuensi penyakit yang
biasanya dihitung adalajh Odds Ratio. Uji kemaknaan secara statistik diukur dengan
menggunakan metode Chi-square.
7. Memperbaiki hipotesis dan mengadakan penelitian tambahan.
Kadangkala hipotesis yang diajukan tidak cocok atau tidak menggambarkan kejadian
penyakit yang sebenarnya. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan atau perumusan kembali
dengan studi epidemiologi analitik. Beberapa alasan perlu dilakukan perumusan ulang
hipotesis adalah:
a. Studi analitik awal gagal mengkonfirmasi hipotesis;
b. Menyempurnakan hipotesis meskipun data inisial mendukung;
c. Sebagai supplement temuan epidemiologi dengan bukti laboratorium dan bukti
lingkungan misalnya pemeriksaan serum, pemeriksaan tempat pembuangan tinja,
dan sebagainya

8. Melaksanakan pengendalian dan pencegahan


Upaya pengendalian dan pencegahan harus dilakukan sesegera mungkin, dan biasanya
dapat diterapkan bila sumber wabah sudah diketahui. Upaya tersebut umumnya
diarahkan pada mata rantai penularan penyakit yang paling lemah. Mungkin pula
diarahkan pada agen penyakit, sumber penyakit, atau reservoir.
9. Menyampaikan hasil penyelidikan
Terdapat dua cara dalam menyampaikan hasil investigasi wabah, antara lain:
a. Secara lisan kepada pejabat kesehatan setempat, dalam rangka pengendalian dan
pencegahan
b. Secara tertulis dengan membuat Laporan Investigasi Wabah
Dalam menyampaikan hasil investigasi wabah, perlu diperhatikan aspek-aspek sebagai
berikut:
a. Laporan harus jelas, meyakinkan, disertai rekomendasi yang tepat dan beralasan;
b. Sampaikan hal-hal yang sudah dikerjakan secara ilmiah, serta kesimpulan dan
saran harus dapat dipertahankan secara ilmiah;
c. Laporan lisan harus dilengkapi dengan laporan tertulis, bentuknya sesuai dengan
tulisan ilmiah (pendahuluan, latar belakang, metodologi, hasil, diskusi,
kesimpulan, dan saran);
d. Laporan merupakan cetak biru untuk mengambil tindakan;
e. Laporan merupakan catatan dari pekerjaan, dokumen dari isu legal, dan merupakan
bahan rujukan apabila terjadi hal yang sama di masa datang.
Upaya Penanggulangan Wabah
Upaya penanggulangan wabah merupakan salah satu langkah salam investigasi wabah.
Dalam PP No.40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular, upaya
penanggulangan wabah meliputi penyelidikan epidemiologis, pemeriksaan, pengobatan,
perawatan dan isolasi penderita termasuk tindakan karantina, pencegahan dan pengebalan,
pemusnahan penyebab penyakit, penanganan jenazah akibat wabah, penyuluhan kepada
masyarakat dan upaya penanggulangan lainnya.
Tindakan penyelidikan epidemiologis bertujuan antara lain:
1. Mengetahui sebab-sebab penyakit wabah;
2. Menentukan faktor penyebab timbulnya wabah;
3. Mengetahui kelompok masyarakat yang terancam terkena wabah;
4. Menentukan cara penanggulangan.
Penyelidikan epidemiologis dijalankan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1)
pengumpulan data kesakitan dan kematian penduduk; 2) pemeriksaan klinis, fisik,
laboratorium dan penegakan diagnosis; dan 3) pengamatan terhadap penduduk, pemeriksaan
terhadap makhluk hidup lain dan benda-benda yang ada di suatu wilayah yang diduga
mengandung penyebab penyakit wabah.
Surveilans
Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan dan analisis data secara terus menerus
dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang
bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya (DCP2, 2008).
Surveilans memantau terus-menerus kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan
memprediksi outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan reservoir. Selanjutnya
surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat keputusan agar dapat
dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit (Last, 2001). Kadang
digunakan istilah surveilans epidemiologi. Baik surveilans kesehatan masyarakat maupun
surveilans epidemiologi hakikatnya sama saja, sebab menggunakan metode yang sama, dan
tujuan epidemiologi adalah untuk mengendalikan masalah kesehatan masyarakat, sehingga
epidemiologi dikenal sebagai sains inti kesehatan masyarakat (core science of public health).
Surveilans memungkinkan pengambil keeputusan untuk memimpin dan mengelola dengan
efektif. Surveilans kesehatan masyarakat memberikan informasi kewaspadaan dini bagi
pengambil keputusan dan manajer tentang masalah-masalah kesehatan yang perlu
diperhatikan pada suatu populasi. Surveilans kesehatan masyarakat merupakan instrumen
penting untuk mencegah outbreak penyakit dan mengembangkan respons segera ketika
penyakit mulai menyebar. Informasi dari surveilans juga penting bagi kementerian kesehatan,
kementerian keuangan, dan donor, untuk memonitor sejauh mana populasi telah terlayani
dengan baik (DCP2, 2008).
Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans dilakukan secara terus
menerus tanpa terputus (kontinu), sedang pemantauan dilakukan intermiten atau episodik.
Dengan mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka perubahan-perubahan
kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya dapat diamati atau diantisipasi,
sehingga dapat dilakukan langkah-langkah investigasi dan pengendalian penyakit dengan
tepat.
Tujuan Surveilans
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi,
sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons
pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Tujuan khusus surveilans: (1) Memonitor
kecenderungan (trends) penyakit; (2) Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit,
untuk mendeteksi dini outbreak; (3) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban
penyakit (disease burden) pada populasi; (4) Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas,
membantu perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan; (5)
Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan; (6) Mengidentifikasi kebutuhan
riset (Last, 2001; Giesecke, 2002; JHU, 2002).
Jenis Surveilans
Dikenal beberapa jenis surveilans: (1) Surveilans individu; (2) Surveilans penyakit; (3)
Surveilans sindromik; (4) Surveilans Berbasis Laboratorium; (5) Surveilans terpadu; (6)
Surveilans kesehatan masyarakat global.
1. Surveilans Individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor individu-
individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar,
tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu memungkinkan
dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang
dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi institusional
yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah
terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode menular. Tujuan karantina
adalah mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi
(Last, 2001).

2. Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus
terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan
sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta
data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan
individu.
Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung melalui program
vertikal (pusat-daerah). Contoh, program surveilans tuberkulosis, program surveilans
malaria. Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak
sedikit yang tidak terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah
kekurangan biaya. Banyak program surveilans penyakit vertikal yang berlangsung
paralel antara satu penyakit dengan penyakit lainnya, menggunakan fungsi penunjang
masing-masing, mengeluarkan biaya untuk sumberdaya masingmasing, dan memberikan
informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan inefisiensi.
3. Surveilans Sindromik
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan terus-
menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing penyakit.
Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan individual
maupun populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik
mengamati indikator-indikator individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda,
atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh
konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional.
Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan
kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip
influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam
surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi melakukan skrining pasien
berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan batuk atau sakit tenggorok) dan
membuat laporan mingguan tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok
umur dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati. Surveilans tersebut
berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza, termasuk flu
burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan dini dan dapat digunakan
sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung (Mandl et al., 2004;
Sloan et al., 2006).
4. Surveilans Berbasis Laboratorium
Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan menonitor penyakit
infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti
salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk mendeteksi strain bakteri
tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera dan lengkap
daripada sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-klinik (DCP2,
2008).
5. Surveilans Terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua kegiatan
surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota) sebagai sebuah
pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan
personalia yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan
untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap
memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus penyakitpenyakit tertentu (WHO,
2001, 2002; Sloan et al., 2006).
Karakteristik pendekatan surveilans terpadu: (1) Memandang surveilans sebagai
pelayanan bersama (common services); (2) Menggunakan pendekatan solusi majemuk;
(3) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural; (4) Melakukan sinergi antara
fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan, pelaporan, analisis data, tanggapan) dan
fungsi pendukung surveilans (yakni, pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium,
komunikasi, manajemen sumber daya); (5) Mendekatkan fungsi surveilans dengan
pengendalian penyakit. Meskipun menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu
tetap memandang penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang berbeda
(WHO, 2002).
6. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global
Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia dan binatang
serta organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya,
masalah-masalah yang dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di dunia
makin serupa dan bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut
dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi
kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional untuk memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi batas-batas negara. Ancaman aneka
penyakit menular merebak pada skala global, baik penyakit-penyakit lama yang muncul
kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit yang baru muncul
(newemerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu burung, dan SARS. Agenda surveilans
global yang komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk pemangku kepentingan
pertahanan keamanan dan ekonomi (Calain, 2006; DCP2, 2008).
Manajemen Surveilans
Surveilans mencakup dua fungsi manajemen: (1) fungsi inti; dan (2) fungsi pendukung.
Fungsi inti (core activities) mencakup kegiatan surveilans dan langkah-langkah intervensi
kesehatan masyarakat. Kegiatan surveilans mencakup deteksi, pencatatan, pelaporan data,
analisis data, konfirmasi epidemiologis maupun laboratoris, umpan-balik (feedback).
Langkah intervensi kesehatan masyarakat mencakup respons segera (epidemic type response)
dan respons terencana (management type response). Fungsi pendukung (support activities)
mencakup pelatihan, supervisi, penyediaan sumber daya manusia dan laboratorium,
manajemen sumber daya, dan komunikasi (WHO, 2001; McNabb et al., 2002).
Hakikatnya tujuan surveilans adalah memandu intervensi kesehatan. Karena itu sifat dari
masalah kesehatan masyarakat menentukan desain dan implementasi sistem surveilans.
Sebagai contoh, jika tujuannya mencegah penyebaran penyakit infeksi akut, misalnya SARS,
maka manajer program kesehatan perlu melakukan intervensi kesehatan dengan segera.
Karena itu dibutuhkan suatu sistem surveilans yang dapat memberikan informasi peringatan
dini dari klinik dan laboratorium.
Sebaliknya penyakit kronis dan perilaku terkait kesehatan, seperti kebiasaan merokok,
berubah dengan lebih lambat. Para manajer program kesehatan hanya perlu memonitor
perubahanperubahan sekali setahun atau lebih jarang dari itu. Sebagai contoh, sistem
surveilans yang menilai dampak program pengendalian tuberkulosis mungkin hanya perlu
memberikan informasi sekali setahun atau lima tahun, tergantung prevalensi. Informasi yang
diperlukan bisa diperoleh dari survei rumah tangga.
Pendekatan Surveilans
Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis: (1) Surveilans pasif; (2) Surveilans
aktif (Gordis, 2000).Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan
data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan
kesehatan.
Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk dilakukan. Negara-negara anggota
WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga
dengan surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional.
Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan
penyakit. Data yang dihasilkan cenderung under-reported, karena tidak semua kasus datang
ke fasilitas pelayanan kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan
laporan biasanya rendah, karena waktu petugas terbagi dengan tanggungjawab utama
memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi
problem tersebut, instrumen pelaporan perlu dibuat sederhana dan ringkas
Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan berkala ke
lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas,
klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian,
disebut penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks.
Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh
petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu,
surveilans aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih
mahal dan lebih sulit untuk dilakukan daripada surveilans pasif.
Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut community surveilance.
Dalam community surveilance, informasi dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader
kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi
kasus yang sensitif dapat membantu para kader kesehatan mengenali dan merujuk kasus
mungkin (probable cases) ke fasilitas kesehatan tingkat pertama. Petugas kesehatan di tingkat
lebih tinggi dilatih menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan konfirmasi
laboratorium. Community surveilans mengurangi kemungkinan negatif palsu (JHU, 2006).

Surveilans Efektif
Karakteristik surveilans yang efektif: cepat, akurat, reliabel, representatif, sederhana,
fleksibel, akseptabel, digunakan (Wuhib et al., 2002; McNabb et al., 2002; Giesecke, 2002;
JHU, 2006).
Kecepatan. Informasi yang diperoleh dengan cepat (rapid) dan tepat waktu (timely)
memungkinkan tindakan segera untuk mengatasi masalah yang diidentifikasi. Investigasi
lanjut hanya dilakukan jika diperlukan informasi tertentu dengan lebih mendalam. Kecepatan
surveilans dapat ditingkatkan melalui sejumlah cara: (1) Melakukan analisis sedekat mungkin
dengan pelapor data primer, untuk mengurangi lag (beda waktu) yang terlalu panjang
antara laporan dan tanggapan; (2) Melembagakan pelaporan wajib untuk sejumlah penyakit
tertentu (notifiable diseases); (3) Mengikutsertakan sektor swasta melalui peraturan
perundangan; (4) Melakukan fasilitasi agar keputusan diambil dengan cepat menggunakan
hasil surveilans; (5) Mengimplementasikan sistem umpan balik tunggal, teratur, dua-arah dan
segera.
Akurasi. Surveilans yang efektif memiliki sensitivitas tinggi, yakni sekecil mungkin terjadi
hasil negatif palsu. Aspek akurasi lainnya adalah spesifisitas, yakni sejauh mana terjadi hasil
positif palsu. Pada umumnya laporan kasus dari masyarakat awam menghasilkan false
alarm (peringatan palsu). Karena itu sistem surveilans perlu mengecek kebenaran laporan
awam ke lapangan, untuk mengkonfirmasi apakah memang tengah terjadi peningkatan kasus/
outbreak. Akurasi surveilans dipengaruhi beberapa faktor: (1) kemampuan petugas; (2)
infrastruktur laboratorium. Surveilans membutuhkan pelatihan petugas. Contoh, para ahli
madya epidemiologi perlu dilatih tentang dasar laboratorium, sedang teknisi laboratorium
dilatih tentang prinsip epidemiologi, sehingga kedua pihak memahami kebutuhan surveilans.
Surveilans memerlukan peralatan laboratorium standar di setiap tingkat operasi untuk
meningkatkan kemampuan konfirmasi kasus.
Standar, seragam, reliabel, kontinu. Definisi kasus, alat ukur, maupun prosedur yang
standar penting dalam sistem surveilans agar diperoleh informasi yang konsisten. Sistem
surveilans yang efektif mengukur secara kontinu sepanjang waktu, bukannya intermiten atau
sporadis, tentang insidensi kasus penyakit untuk mendeteksi kecenderungan. Pelaporan rutin
data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) dilakukan seminggu sekali.
Representatif dan lengkap. Sistem surveilans diharapkan memonitor situasi yang
sesungguhnya terjadi pada populasi. Konsekuensinya, data yang dikumpulkan perlu
representatif dan lengkap. Keterwakilan, cakupan, dan kelengkapan data surveilans dapat
menemui kendala jika penggunaan kapasitas tenaga petugas telah melampaui batas,
khususnya ketika waktu petugas surveilans terbagi antara tugas surveilans dan tugas
pemberian pelayanan kesehatan lainnya.
Sederhana, fleksibel, dan akseptabel. Sistem surveilans yang efektif perlu sederhana dan
praktis, baik dalam organisasi, struktur, maupun operasi. Data yang dikumpulkan harus
relevan dan terfokus. Format pelaporan fleksibel, bagian yang sudah tidak berguna dibuang.
Sistem surveilans yang buruk biasanya terjebak untuk menambah sasaran baru tanpa
membuang sasaran lama yang sudah tidak berguna, dengan akibat membebani pengumpul
data. Sistem surveilans harus dapat diterima oleh petugas surveilans, sumber data, otoritas
terkait surveilans, maupun pemangku surveilans lainnya. Untuk memelihara komitmen perlu
pembaruan kesepakatan para pemangku secara berkala pada setiap level operasi.
Penggunaan (uptake). Manfaat sistem surveilans ditentukan oleh sejauh mana informasi
surveilans digunakan oleh pembuat kebijakan, pengambil keputusan, maupun pemangku
surveilans pada berbagai level. Rendahnya penggunaan data surveilans merupakan masalah
di banyak negara berkembang dan beberapa negara maju. Salah satu cara mengatasi problem
ini adalah membangun network dan komunikasi yang baik antara peneliti, pembuat
kebijakan, dan pengambil keputusan.

Sumber:
Morton RF,Hebel JR,Mc Carter RJ, Panduan Studi Epidemiologi dan Biostatistika, ed 5,
Alih Bahasa : Apriningsih, 2009, Jakarta : EGC
Dahlan S, Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan
Kesehatan,2010, Jakarta: Salemba Medika
Dahlan S, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehata.,2011, Jakarta: Salemba Medika
Giesecke J (2002). Modern infectious disease epidemiology. London: Arnold.
Gordis, L (2000). Epidemiology. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.
Center for Disease Control and Prevention (CDC), Principle of Epidemiology in Public
Health Practice. diunduh dari http://www.cdc.gov/training/products/ss1000/ss1000-ol.pdf.
Diakses 25 April 2016
Erme MA, Quade TC (2010). Epidemiologic surveillance. Enote. www.enotes.com/public-
health.../ epidemiologic-surveillance. Diakses 25 April 2016.

Pertanyaan:
1. Apa saja jenis penyajian data dan kegunaannya?
a. Penyajian Data dalam Bentuk Tabel
Penyajian dalam bentuk tabel merupakan suatu bentuk penyajian data berupa angka
yang disusun secara teratur dalam kolom dan baris. Penyajian data dalam bentuk
tabel banyak digunakan pada penulisan laporan hasil penelitian dengan maksud agar
pembaca lebih mudah memahami hasil dari penelitian yang telah dilakukan.
Penyajian data tipe ini terbagi lagi menjadi beberapa bentuk tabel yaitu tabel baris
kolom, tabel kontingensi dan tabel silang.
b. Penyajian Data dalam Bentuk Diagram
Selain dapat disajikan ke dalam bentuk tabel, data-data angka juga dapat disajikan
ke dalam bentuk frekuensi. Pembuatan grafik frekuensi merupakan kelanjutan dari
pembuatan tabel distribusi frekuensi karena pembuatan grafik didasarkan pada tabel
distribusi frekuensi. Penyajian data angka ke dalam grafik biasanya dipandang lebih
menarik karena data tersebut tersaji dalam bentuk visual. Gambar grafik frekuensi
yang banyak digunakan dalam metode statistik adalah histogram, poligon, kurva dan
garis.

2. Apa saja jenis-jenis epidemiologi?


Rancangan penelitian epidemiologi terbagi menjadi 2 bagian besar yaitu observasional dan
eksperimental. Penelitian epidemiologi observasional terbagi lagi menjadi 2 kategori yaitu
deskriptif dan analitik dimana analitik dapat dibagi lagi menjadi 3 kategori yaitu cohort, case-
control dan cross sectional. Pada penelitian epidemiologi eksperimental juga terbagi menjadi
2 kategoti yaitu quasi eksperimental dan true eksperimental atau RCT.
3. Bagaimana cara penularan DBD?
Virus Dengue penyebab DBD tidak dapat menular melalui udara, cairan tubuh, makanan,
maupun minuman. Hal ini karena virus Dengue tidak mampu bertahan hidup jika berada di
luar sel atau jaringan yang hidup. Virus Dengue hidup dan menular dengan bantuan
nyamuk Aedes aegypti, Aedes albopictus, atau Aedes polynesiensis. Dari ketiga jenis nyamuk
ini, Aedes aegypti merupakan host (tempat hidup) dan vektor utama virus Dengue. Nyamuk
ini berasal dari Brazil dan Ethiophia.

4. Mengapa DBD pada skenario ini hanya terjadi pada anak dan remaja saja?
Karena faktor perilaku dan imunitas.
Apasajajenispenyajiandata?

Penyajiandata

Agardatayangtidakberaturan/skorkasardapatmemilikimakna,makadiperlukan
penyajiandatayangsisitematis.Beberapamodelpenyajiandataantaralain:distribusi
frekuensi,tabelsilang,Grafikfrekuensi.

1.Pembuatandistribusifrekuensi

Disribusifrekuensiadalahpenyajiandatadalambentuktabeldaritinggikerendahatau
sebaliknyasecaraurutdandihitungintervalskorskornyaataufrenkuensisetiapskor.Jenis
distribusifrekuensiantralain:Distribusitunggal,distribusibergolong,distribusisilang.

2.TabelSilang
Penyajiandatadalambentuktabelumumnyadaridatanominal.Dalampenyusunntabeldata
silangbisamenggunakansatuvariabelatauduavaribel.Biasanyakolomuntukvariable
bebas,sedangkanbaris(row)untukvariabeltergantung(dependent).

3.Penyajiandatadalambentukgrafikfrekuensi

Grafikataugrafikfrekuensimemilikibeberapajenis,denganpenggunakangrafikfrekuensi,
dataakanlebihmenarikkarenadapatdisajikandalambentukvisual
Historgram:deretankolompersegipanjang
Poligon:berdasarkanhistogramlalumenghubungkantitiktitiktengahkolomdengan
menarikgarisatautitiktitik
Kurve:berdasarkanpolygondenganmelalukanperataan/penghalusangarispoligon.

5.BagaimanarantaipenularanDBD?

Mekanismepenularan

Demamberdarahdenguetidakmenularmelaluikontakmanusiadenganmanusia.Virus
denguesebagaipenyebabdemamberdarahhanyadapatditularkanmelaluinyamuk.Oleh
karenaitu,penyakitinitermasukkedalamkelompokarthropodbornediseases.Virusdengue
berukuran3545nm.Virusinidapatterustumbuhdanberkembangdalamtubuhmanusiadan
nyamuk.

Terdapattigafaktoryangmemegangperanpadapenularaninfeksidengue,yaitumanusia,
virus,danvektorperantara.Virusdenguemasukkedalamtubuhnyamukpadasaatmenggigit
manusiayangsedangmengalamiviremia,kemudianvirusdengueditularkankepadamanusia
melaluigigitannyamukAedesaegyptidanAedesalbopictusyanginfeksius.

Seseorangyangdidalamdarahnyamemilikivirusdengue(infektif)merupakansumber
penularDBD.Virusdengueberadadalamdarahselama47harimulai12harisebelum
demam(masainkubasiinstrinsik).BilapenderitaDBDdigigitnyamukpenular,makavirus
dalamdarahakanikutterhisapmasukkedalamlambungnyamuk.Selanjutnyavirusakan
berkembangbiakdanmenyebarkeseluruhbagiantubuhnyamuk,danjugadalamkelenjar
saliva.Kirakirasatuminggusetelahmenghisapdarahpenderita(masainkubasiekstrinsik),
nyamuktersebutsiapuntukmenularkankepadaoranglain.Virusiniakantetapberadadalam
tubuhnyamuksepanjanghidupnya.OlehkarenaitunyamukAedesaegyptiyangtelah
menghisapvirusdenguemenjadipenular(infektif)sepanjanghidupnya.

Penularaniniterjadikarenasetiapkalinyamukmenggigit(menusuk),sebelummenghisap
darahakanmengeluarkanairliurmelaluisaluranalattusuknya(probosis),agardarahyang
dihisaptidakmembeku.Bersamaairliurinilahvirusdenguedipindahkandarinyamukke
oranglain.13HanyanyamukAedesaegyptibetinayangdapatmenularkanvirusdengue.

Nyamukbetinasangatmenyukaidarahmanusia(anthropophilic)daripadadarahbinatang.
Kebiasaanmenghisapdarahterutamapadapagiharijam08.0010.00dansoreharijam
16.0018.00.Nyamukbetinamempunyaikebiasaanmenghisapdarahberpindahpindah
berkalikalidarisatuindividukeindividulain(multiplebiter).Halinidisebabkankarena
padasiangharimanusiayangmenjadisumbermakanandarahutamanyadalamkeadaanaktif
bekerja/bergeraksehingganyamuktidakbisamenghisapdarahdengantenangsampai
kenyangpadasatuindividu.KeadaaninilahyangmenyebabkanpenularanpenyakitDBD
menjadilebihmudahterjadi.

Apapenyebab100orangmengalamikejadiangastroenteritissetelahmengunjungipesta?

Gktau:(

6.Apasajadistribusifrekuensipenyakit?
Jawab :
JenisJenisDistribusiFrekuensi
Distribusi frekuensi memiliki jenisjenis yang berbeda untuk setiap kriterianya.
Berdasarkankriteriatersebut,distribusifrekuensidapatdibedakantigajenis(Hasan,
2001):

1.Distribusifrekuensibiasa
Distribusi frekuensi yang berisikan jumlah frekuensi dari setiap kelompok data.
Distribusifrekuensiadaduajenisyaitudistribusifrekuensinumerikdandistribusi
frekuensiperistiwaataukategori.
2.Distribusifrekuensirelatif
Distribusifrekuensiyangberisikannilainilaihasilbagiantarafrekuensikelasdan
jumlahpengamatan.Distribusifrekuensirelatifmenyatakanproporsidatayangberada
pada suatu kelas interval, distribusi frekuensi relatif pada suatu kelas didapatkan
dengancaramembagifrekuensidengantotaldatayangadadaripengamatanatau
observasi.
3.Distribusifrekuensikumulatif
Distribusifrekuensiyangberisikanfrekuensikumulatif(frekuensiyangdijumlahkan).
Distribusifrekuensikumulatifmemilikikurvayangdisebutogif.Adaduamacam
distribusifrekuensikumulatifyaitudistribusifrekuensikumulatihkurangdaridan
distribusifrekuensilebihdari.

PenyusunanDistribusiFrekuensi
Penyusunan suatu distribusi frekuensi perlu dilakukan tahapan penyusunan data.
Pertamamelakukanpengurutandatadataterlebihdahulusesuaiurutanbesarnyanilai
yangadapadadata,selanjutnyadiakukantahapanberikutini(Hasan,2001).
1. Menentukanjangkauan(range)daridata.Jangkauan=dataterbesardataterkecil.
2. Menentukanbanyaknyakelas(k).Banyaknyakelasditentukandenganrumussturgess
K=1+3.3logn;k(Keterangan:k=banyaknyakelas,n=banyaknyadata)
3. Menentukanpanjangintervalkelas.Panjangintervalkelas(i)=JumlahKelas(k)/
Jangkauan(R)
4. Menentukanbatasbawahkelaspertama.Tepibawahkelaspertamabiasanyadipilih
daridataterkecilataudatayangberasaldaripelebaranjangkauan(datayanglebih
kecil dari data data terkecil) dan selisihnya harus kurang dari panjang interval
kelasnya.
5. Menuliskan frekuensi kelas didalam kolom turus atau tally (sistem turus) sesuai
banyaknyadata.

7.BagaimanacaramenentukanpenyakityangberpotensiKLB?

Jawab:
KejadianLuarBiasa(KLB)merupakantimbulnya/meningkatnyakejadiankesakitan/
kematianyangbermaknasecaraepidemiologis,padasuatudaerahdalamkurunwaktu
tertentu.
SuatudaerahdapatditetapkandalamkeadaanKLB,apabilamemenuhisalahsatu
kriteriasbb(BerdasarkanPermenkesRINomor1501tahun2010):
1. Timbulnyasuatupenyakitmenulartertentuyangsebelumnyatidakadaatautidak
dikenalpadasuatudaerah
2. Peningkatankejadiankesakitanterusmenerusselama3kurunwaktudalamjam,
hari,ataumingguberturutturutmenurutjenispenyakitnya
3. Peningkatankejadiankesakitanduakaliataulebihdibandingkandenganperiode
sebelumnyadalamkurunwaktujam,hari,atauminggumenurutjenispenyakitnya
4. Jumlahpenderitabarudalamperiode1bulanmenunjukkankenaikan2kaliatau
lebihdibandingkandenganangkaratarataperbulandalamtahunsebelumnya
5. Ratarata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 tahun menunjukkan
kenaikan 2 kali atau lebih dibandingkan dengan ratarata jumlah kejadian
kesakitanperbulandalamtahunsebelumnya
6. Angkakematiankasussuatupenyakit(CaseFatalityRate)dalam1kurunwaktu
tertentu menunjukkan kenaikan 50% atau lebih dibandingkan dengan angka
kematiankasussuatupenyakitperiodesebelumnyadalamkurunwaktuyangsama
7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode
menunjukkankenaikan2kaliataulebihdibandingsatuperiodesebelumnyadalam
kurunwaktuyangsama.

8.Datastatistikapayangdapatdigunakanuntukmenentukanhubungansebabakibat
antaraDBDdenganABJ?

Jawab:
Analisiskorelasimerupakanistilahstatistikyangmenyatakanderajathubunganlinier
antaraduavariabelataulebih.Korelasiadalahsalahsatuteknikanalisisstatistikyang
palingbanyakdigunakanolehparapeneliti.
Terdapatbeberapametodepemilihanteknikanalisis:

9.Apasajajenisjenispenelitianepidemiologi?
Jawab:
Terdapatbeberapapendekatandalampenelitianepidemiologiyaitu
1. EpidemiologiDeskriptif
Biasanyamelibatkanpenentuaninsidensi,prevalensi,danangkakematiandalam
kelompok populasi yang berbedabeda, diklasifikasikan oleh karakteristik
kelompoksepertiusia,jeniskelamin,ras,pekerjaan,pendidikan,tingkatsosial,
tempattinggaldanwaktu.Dengancarainidistribusimasalahmasalahkesehatan
dalam suatu komunitas digambarkan dibawah 4 garis besar : What (jenis
penyakit),Who(orang),Where(Tempat),danWhen(waktu).
2. EpidemiologiAnalitik/Etiologik
Epidemiologi analitik menggunakan studi tambahan untuk menguji suatu
hipotesis. Melibatkan evaluasi dari determinan determinan distribusi penyakit
dalammencarifaktorfaktorkausayangmungkin.Terdapat2pendekatan:
- Casecontrol
- Cohortstudy
3. EpidemiologiOperasional
Kegiatankegiatanlapanganyangterdapatpadaepidemiologioperasionaladalah:
- Penelitianterhadapledakanpenyakit
- Penatalaksanaanpencegahandankontrolpenyakitpenyakit
Fungsi utamanya adalah mendukung pekerjaan praktis dari agenagen
kesehatanmasyarakat
4. EpidemiologiEksperimental
Termasukstudistudiyangmencaribuktiuntukefikasidanefektifitasdariukuran
kontrol, metode pengobatan baru, ukuran profilaktif/ preventif. Epidemiologi
eksperimentaldapatdiklasifikasikansbb:
- Clinicaltrial
- Fieldtrial
- Communitytrial

8. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode
menunjukkan kenaikan 2 kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam
kurun waktu yang sama.

10. Data statistik apa yang dapat digunakan untuk menentukan hubungan sebab akibat
antara DBD dengan ABJ?

Jawab :
Analisis korelasi merupakan istilah statistik yang menyatakan derajat hubungan linier
antara dua variabel atau lebih. Korelasi adalah salah satu teknik analisis statistik yang
paling banyak digunakan oleh para peneliti.
Terdapat beberapa metode pemilihan teknik analisis :

Anda mungkin juga menyukai