Anda di halaman 1dari 10

Laporan Kasus

Aritenoidektomi intralaring pada paralisis abduktor bilateral

Sutji Pratiwi Rahardjo


Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo
Makassar - Indonesia

ABSTRAK
Latar belakang: Paralisis abduktor bilateral adalah keadaan yang ditimbulkan oleh
cedera nervus laringis rekuren, sehingga otot-otot abduktor yang dipersarafinya tidak dapat
berkontraksi dan rima glotis menyempit. Kelainan ini jarang dijumpai, namun dapat
menimbulkan akibat yang fatal berupa asfiksia. Gejala yang sering timbul pada paralisis
abduktor bilateral adalah keluhan sesak napas disertai dengan stridor inspiratoir dan suara
serak. Diagnosis paralisis abduktor bilateral ini dapat ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, laringoskopi indirek maupun laringoskopi direk, pemeriksaan neurologi,
serologi, dan pemeriksaan radiologi. Tujuan: Untuk mempresentasikan penatalaksanaan
yang baik pada paralisis abduktor bilateral untuk mendapatkan jalan napas yang baik dan
juga tidak terlalu mengganggu fungsi bicara. Kasus: Pasien datang dengan keluhan sesak
napas sejak tiga bulan setelah dilakukan operasi strumektomi dan ablasi tiroid pada tahun
2006. Pada pemeriksaan endoskopi fleksibel didapatkan hasil paralisis abduktor bilateral.
Penatalaksanaan: Dilakukan trakeostomi dan aritenoidektomi dekstra dan kordektomi
posterior dekstra intralaring dengan pendekatan bedah laring mikroskopik. Kesimpulan:
Dengan penatalaksanaan yang baik didapatkan hasil fungsi pernapasan adekuat dan fungsi
bicara cukup baik.

Kata kunci: paralisis abduktor bilateral, saraf laringeal rekuren, aritenoidektomi

ABSTRACT
Background: Bilateral abductor paralysis is a condition caused by recurrent laryngeal
nerve injury so that the abductor muscles innervated by the nerve are paralyzed and
narrowing the rima glottis. This condition is very rare, but could be fatal from asphyxia.
Clinical features included dyspnoea, inspiratory stridor and hoarseness. The diagnosis is
based on anamnesis, physical examinations, indirect and direct laryngoscopy, neurology,
serology examinations, and radiological imaging. Purpose: To show that bilateral abductor
paralysis needs a management which provides good airway passage without phonation
dysfunction. Case: A patient complained of dyspnea since three month after undergoing
strumectomy and thyroid ablation in 2006. Flexible endoscopy revealed bilateral abductor
paralysis. Case management: The patient underwent tracheostomy with right
arytenoidectomy and right posterior intralaryngeal cordectomy by microlaryngeal surgery
approach. Conclusion: Optimal treatment will provide adequate function of the airway and
restore the function of voice.

Key words: bilateral abductor paralysis, recurrens laryngeal nerve, arytenoidectomy

Alamat korespondensi: Sutji Pratiwi Rahardjo, Bagian THT-KL FK Unhas, Jl. Perintis kemerdekaan
km. 11 Tamalanrea Makassar 90245. E-mail: orlunhas@indosat.net.id atau tht_fkunhas@yahoo.com

PENDAHULUAN dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik


yang lengkap, pemeriksaan neurologi,
Paralisis abduktor bilateral adalah
serologi, pemeriksaan radiologi seperti
keadaan yang ditimbulkan oleh cedera
foto Rontgen dan lain-lain.2
nervus laringis rekuren, sehingga otot-otot
Prinsip penanganan paralisis abduktor
abduktor yang dipersarafinya tidak dapat
bilateral adalah untuk menghilangkan
berkontraksi dan rima glotis menyempit.
sumbatan jalan napas atas dengan
Kelainan ini jarang dijumpai, namun dapat
trakeostomi kemudian dapat dilanjutkan
menimbulkan akibat yang fatal berupa
dengan tindakan operasi untuk melebarkan
asfiksia yang memerlukan tindakan segera.
rima glotis, yaitu aritenoidektomi atau
Keadaan ini disebut juga sebagai abductor
kordektomi dengan atau tanpa
paralysis, recurrent paralysis, posticus
aritenoidektomi.5
paralysis dan separators paralysis.1-5
Aritenoidektomi adalah salah satu
Gejala yang sering timbul pada
tindakan terapi pada paralisis abduktor
paralisis abduktor bilateral adalah keluhan
bilateral yang bertujuan sebagai koreksi
sesak napas disertai dengan stridor, suara
fungsi pernapasan, yaitu untuk
serak dan melemah.5 Diagnosis paralisis
mendapatkan saluran udara yang cukup
abduktor bilateral ini dapat ditegakkan
adekuat bagi aktivitas fisik sehari-hari dan
dengan pemeriksaan laringoskopi indirek
juga masih memiliki suara untuk
maupun laringoskopi direk. Untuk mencari
berkomunikasi.5,6
etiologi dari paralisis ini bisa didapat
Kasus ini dilaporkan agar para ahli rekurens laring bilateral menurut Jackson
THT dan dokter umum dapat mengetahui (1959) dan Holinger (1976) antara lain
gejala paralisis abduktor bilateral dan faktor neurologis, yaitu poliomielitis,
penatalaksanaannya agar didapat jalan penyakit Parkinson, sindrom Guillian
napas dan fungsi bicara yang baik. Barre, meningitis; faktor penekanan nervus
akibat proses tumor pada tiroid, esofagus
TINJAUAN PUSTAKA pars servikal, laring, dan proses keganasan
Insidens mediastinum atas; faktor trauma non-
Paralisis abduktor bilateral dapat bedah karena kecelakaan; faktor infeksi di
terjadi pada golongan umur dewasa muda daerah kepala leher dan mediastinum dan
dan usia lanjut dengan frekuensi terbanyak kelainan yang tidak diketahui
pada golongan usia dekade 4-5. Lebih penyebabnya.2,3,6
sering dijumpai pada wanita dengan
perbandingan 2:1.2 Anatomi laring
Kerangka laring terdiri dari kartilago
Etiologi yang tunggal, yaitu tiroid, krikoid dan
Kelumpuhan n. rekurens bilateral epiglotis; dan yang berpasangan, yaitu
dapat terjadi karena saraf terpotong atau aritenoid, kornikulata dan kuneiforme.
tertekan adanya proses inflamasi ataupun Membran pada laring terdiri dari
penyebab yang tidak jelas diketahui. membran ekstrinsik, yaitu membran
Biasanya tersering adalah akibat cedera tirohioid, membran krikotiroid dan
saraf rekurens pada operasi tiroidektomi. membran krikotrakea; dan membran
Ballenger3 melaporkan 40% paralisis intrinsik, yaitu membran krikovokal dan
abduktor bilateral akibat tindakan membran kuadrangularis.
tiroidektomi. Penyebab lain kelumpuhan n.
Gambar 1. Anatomi laring14 Gambar 2. Laring potongan sagital4

Otot-otot laring ada dua tipe, yaitu aditus laring yang bekerja membuka aditus
otot intrinsik yang melekat di antara laring, yaitu m. tiroepiglotik dan yang
kartilago laring dan otot ekstrinsik yang bekerja menutup aditus laring, yaitu m.
melekatkan laring dengan struktur interaritenoid dan m. ariepiglotik. Otot-
sekitarnya. Otot-otot intrinsik bekerja pada otot ekstrinsik laring terdiri dari otot
pita suara atau aditus laringis. Yang elevator dan otot depresor. Yang termasuk
bekerja pada pita suara sebagai otot otot elevator primer, yaitu m.
abduktor, yaitu m. krikoaritenoid posterior stilofaringeus, m. salpingofaringeus, m.
dan sebagai adduktor, yaitu m. palatofaringeus dan m. Tirohioid,
krikoaritenoid lateral, m. interaritenoid sedangkan otot elevator sekunder, yaitu m.
(aritenoid transversal), dan m. tiroaritenoid milohioid, m. digastrikus, m. Stilohioid
bagian eksterna. Sebagai otot tensor yaitu dan m.geniohioid. Yang termsuk otot
m. krikotiroid dan m. vokalis (tiroaritenoid depresor ialah m. sternohioid, m.
bagian interna). Otot yang bekerja pada Sternotiroid dan m. Omohioid.7,8

Gambar 3. Otot-otot intrinsik laring8

Laring yang berupa pipa terbagi kavum laring. Glotis, mulai dari plika
menjadi aditus laring, vestibulum, glotis ventrikularis sampai tepi bebas plika
dan rima glotis. Aditus laring dibatasi di vokalis, sedangkan rima glotis adalah
depan oleh tepi atas epiglotis, di lateral celah yang dibatasi oleh komisura anterior,
oleh plika ariepiglotika dengan tuberkulum kedua plika vokalis dan komisura
kuneiforme dan di belakang oleh posterior.
tuberkulum kurnikulatum dan insisura Laring dipersarafi oleh n. laringeus
interaritenoidea. Vestibulum laring, mulai superior yang merupakan cabang dari
dari aditus laring sampai plika nervus vagus, ramus eksternus bersifat
ventrikularis merupakan bagian atas dari motoris untuk m. krikotiroideus dan n.
laringeus inferior yang merupakan lanjutan laring. Kontraksi otot interaritenoid dapat
dari n. rekuren laringis yang bersifat menyebabkan kartilago aritenoid bergerak
motoris untuk inervasi semua otot-otot ke tengah dan menyebabkan adduksi plika
intrinsik laring lainnya. vokalis. Pergerakan otot krikoaritenoid
Vaskularisasi laring berasal dari a. posterior dapat memutar aritenoid ke arah
laringeus superior yang berasal dari a. luar yang akan menyebabkan abduksi plika
tiroidea superior cabang dari a. karotis vokalis. Hal ini berlawanan dengan m.
eksterna dan a. laringeus inferior yang krikoaritenoid lateralis yang akan memutar
berasal dari a. tiroidea inferior, yang plika vokalis ke arah dalam dan
merupakan cabang trunkus tireoservikalis menyebabkan adduksi plika vokalis. Otot-
yang berasal dari a. subklavia. Pembuluh otot yang memberikan tegangan pada plika
balik dari laring ialah v. laringeus superior vokalis adalah m. tiroaritenoid, m. vokalis
bermuara di v. jugularis interna dan v. dan m. krikotiroid. M. krikotiroid juga
laringeus inferior yang bermuara di v. berfungsi secara pasif untuk memutar
anonima sinistra.7-10 aritenoid ke arah medial, sehingga m.
krikotiroid juga dapat menyebabkan
Pergerakan plika vokalis adduksi plika vokalis.7,11
Pergerakan plika vokalis disebabkan
oleh adanya kontraksi otot-otot intrinsik

Gambar 4. Otot-otot intrinsik laring8 Gambar 5. Posisi plika vokalis8

Paralisis pita suara gejala disfonia. Setelah periode waktu


Ballenger menyebutkan bahwa plika tertentu secara perlahan-lahan bergerak ke
vokalis yang paralisis dapat berubah posisi posisi median, sehingga suara bertambah
setelah beberapa lama. Pada mulanya plika baik tetapi sesak napas dan stidor
vokalis terletak pada posisi paramedian inspiratoir akan bertambah berat pada
atau intermediate yang menyebabkan
waktu beraktivitas atau stres dan bila Tujuan terapi yang ideal adalah selain
terjadi infeksi saluran napas atas.2,3 membebaskan jalan napas juga
Diagnosis kelumpuhan abduktor pita mempertahankan fungsi bicara. Indikasi
suara bilateral ditegakkan berdasarkan pengobatan dari gejala tersebut sangat
pemeriksaan laringoskopi langsung atau individual tergantung pada lamanya gejala,
tidak langsung dengan menilai posisi dan umur pasien, derajat keluhan, status sosial
gerakan pita suara. Setelah diagnosis pasien dan keinginan pasien.
ditegakkan perlu diketahui faktor Gejala utama pada paralisis abduktor
penyebab sesuai pemeriksaan anamnesis, bilateral adalah sesak napas dengan
fisis, neurologis, radiologis dan fungsi kemungkinan terjadinya asfiksia. Oleh
menelan.2,12 karena itu, tindakan yang pertama adalah
menghilangkan sesak napas dengan
Bedah laring mikroskopik melakukan trakeostomi. Trakeostomi
Bedah laring mikroskopik (BLM) atau dapat merupakan tindakan permanen
sering disebut microlaryngeal surgery dengan menggunakan kanul yang
(MLS) atau endolaryngeal microsurgery berkatup,sehingga pasien dapat bersuara.
merupakan tindakan bedah mikroskopik Selain trakeostomi permanen tindakan
untuk lesi benigna pada laring. Prosedur yang lain adalah melebarkan rima glotis,
ini diperkenalkan dan disebar-luaskan tetapi akibatnya suara dapat bertambah
pada akhir tahun 1960an, di mana pada jelek, oleh karena itu sebaiknya ditunggu
operasi mikro ini memungkinkan operasi 6-12 bulan dengan harapan kelumpuhan
dengan kedua mata melalui pembesaran yang bukan karena terpotongnya saraf
(mikroskop), serta menggunakan kedua rekurens akan pulih kembali fungsinya.
tangan untuk tindakan bedahnya. Ada beberapa macam teknik operasi
Pada perkembangannya penggunaan yang dikemukakan para ahli, antara lain:
BLM bertambah luas, dan dengan 1) aritenoidopeksi, yaitu mobilisasi tulang
teknologi yang semakin canggih sehingga rawan aritenoid dan memfiksasinya ke tepi
bukan hanya untuk lesi jinak saja, tetapi dorsal lamina tiroid. Pertama kali
juga memungkinkan untuk lesi ganas, serta dikemukakan oleh King (1940); 2)
tujuan lain misalnya untuk mengatasi aritenoidektomi: tulang aritenoid diangkat
paralisis vokalis, stenosis laring dan dan plika vokalis difiksasi ke tepi dorsal
lainnya.13 lamina tiroid. Pertama kali dikemukakan
oleh Woodman (1941); 3) aritenoidektomi
Penatalaksanaan dan kordektomi atau kordopeksi dengan
cara laringofisur/tirotomi yang 2006 karena tumor ganas tiroid. Riwayat
dikembangkan oleh Sher (1953); 4) operasi trakeostomi dan eksternal
aritenoidektomi secara bedah mikro laring aritenoidopeksi Oktober 2006, kemudian
dikembangkan oleh Thornell (1948). pada tanggal 14 Februari 2009, penderita
Kleinsasser (1968) dengan menggunakan sesak lagi dan pada pemeriksaan
mikroskop. Melalui laringoskop dengan endoskopi fleksibel didapati paralisis
bantuan mikroskop dilakukan abduktor bilateral.
aritenoidektomi dan hemikordektomi Pada pemeriksaan fisis kesan keadaan
submukosa 2/3 posterior dengan tujuan umum penderita lemah, kompos mentis
memperbaiki fungsi pernapasan dan dan gizi cukup. Inspeksi pada daerah leher
mempertahankan fungsi bicara. Wicker tampak sikatrik bekas operasi sebelumnya.
dan Devine (1972) melaporkan dengan Tampak cekungan di fosa suprasternal,
teknik yang digunakan Kleinsasser supraklavikula, interkostal dan
melakukan operasi pada 144 kasus dan epigastrium. Pada palpasi tidak teraba
menyimpulkan bahwa teknik ini sangat massa tumor dan tidak ada nyeri tekan.
baik. Teknik intralaring kemudian
berkembang sesuai dengan meningkatnya
perangkat kedokteran antara lain
digunakannya laser CO2 oleh Ossof.
Teknik ini mempunyai kelebihan, yaitu Gambar 6. Sikatriks pada leher pasien
lebih teliti dan tepat, hemostasis lebih
baik, edema intraoperatif/pascaoperatif Pada pemeriksaan THT tidak didapati
kurang dan hanya sedikit mempengaruhi adanya kelainan pada telinga, hidung dan
fungsi fonasi.2,4,5,10 faring. Pada pemeriksaan laringoskopi
indirek terlihat mukosa epiglotis merah
LAPORAN KASUS muda dan tidak udem, kedua plika vokalis

Dilaporkan seorang wanita, umur 59 tampak tidak bergerak dengan celah

tahun, datang ke RS Mitra Husada tanggal kurang lebih 1 mm pada posisi median.

1 Maret 2009 dengan keluhan sesak napas Dengan pemeriksaan endoskopi serat optik

yang dialami sejak tahun 2007, disertai tampak paralisis abduktor bilateral. Pada

suara serak dan batuk. Kalau menarik pemeriksaan radiologi dan laboratorium,

napas berbunyi. Riwayat operasi tidak didapati kelainan. Diagnosis pasien

strumektomi dan ablasi tiroid awal tahun


ini ialah paralisis abduktor bilateral dengan Gambar 7. Gambaran laring pada endoskopi serat optik

dispnea Jackson grade II-III.


Penatalaksanaan yang dilakukan ialah
trakeostomi dan aritenoidektomi dekstra,
serta kordektomi posterior dekstra
intralaring dengan pendekatan bedah
laring mikroskopi (BLM).

Gambar 8. Aritenoidektomi dekstra dan kordektomi posterior intralaring

Pada hari ke-5 pascaoperasi dilakukan pascaoperasi. Sesak napas mulai dirasakan
dekanulasi dan pada pemeriksaan di hari setelah operasi dan makin lama bertambah
ke-10 penderita tidak sesak napas dan berat disebabkan oleh karena pada
kualitas suaranya cukup baik. awalnya plika vokalis yang berada pada
posisi paramedian berubah menjadi posisi
DISKUSI median. Pascaoperasi tiroidektomi dapat
timbul jaringan parut yang menekan n.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan
laringeus rekuren. Penekanan n. laringeus
fisik dan pemeriksaan endoskopi serat
rekuren lama-kelamaan menimbulkan
optik dapat ditegakkan diagnosis paralisis
atrofi, fibrosis dan degenerasi hialin pada
abduktor bilateral. Sebagai tindakan
serat otot-otot intrinsik.
emergensi untuk penanganan obstruksi
Pada penderita ini pernah dilakukan
jalan napas tersebut dilakukan trakeostomi.
operasi trakeostomi emergensi dan
Keluhan sesak yang dialami oleh
aritenoidopeksi eksternal pada tahun 2006,
pasien tiga bulan sejak dilakukan operasi
tetapi sejak tahun 2007 penderita
strumektomi dan ablasi tiroid pada tahun
mengeluh sering sesak terutama saat
2006 mengarahkan kita kemungkinan
beraktivitas. Pada kasus ini telah dilakukan
adanya cedera n. laringis rekuren pada saat
operasi trakeostomi, aritenoidektomi
operasi atau terjadi penekanan
dekstra dan kordektomi posterior dekstra
pascaoperasi atau akibat ablasi tiroid
secara BLM dengan hasil fungsi
pernapasan adekuat dan fungsi bicara bilateral abduktor paralisis (BAP) di
cukup baik. Perlu diwaspadai timbulnya RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun

komplikasi pascapembedahan dan 1984-1986. Kumpulan naskah Ilmiah


Konas Perhati. h. 656-62.
dibutuhkan penanganan yang tepat dalam
5. Tucker HM. Neurologic disorders. In:
mengatasi komplikasi tersebut.
Fliss DM, Heffner DK, Hicks DM,
Dapat disimpulkan bahwa tujuan
(eds).The larynx. 2nd ed. New York:
pengobatan operatif pada kasus paralisis
Thieme Medical Publishers; 1993. p.
abduktor bilateral ialah memperbaiki 245-65.
fungsi pernapasan sekaligus fonasi. Pada 6. Permata Sari D, Wiratno.
kasus ini dapat dicapai dengan tindakan Aritenoidektomi dan parsial
bedah mikrolaring berupa aritenoidektomi hemikordektomi intralaring pada
dan kordektomi posterior. kelumpuhan abduktor bilateral plika
vokalis. Dalam: Kumpulan Naskah
DAFTAR PUSTAKA Konas Perhati V. Semarang, 1999. h.
276-82.
1. Hermani B, Kartosoediro S. Suara
7. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR.
parau. Dalam: Soepardi EA, Iskandar
Larynx, hypopharynx and trachea. In:
N, eds. Buku ajar ilmu kesehatan
Buckingham RA, ed. Ear, nose and
telinga hidung tenggorok kepala
throat diseases. Stuttgart: George
leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
Thieme Verlag; 1994. p. 388-409.
2001. h. 190-4. 8. Dhingra PL. Anatomy and physiology of
2. Rahmawati, Kuhuwael FG. larynx: laryngeal paralysis. In: Dhingra
Aritenoidektomi-aritenoidopeksi PL, ed. Disease of ear, nose and throat.
pada bilateral abduktor paralisis pita 3rd ed. New Delhi: A division of Reed
suara. Naskah lengkap Indonesian Elsevier India Private Limited (ed);

ORL-HNS Society Annual Meeting. 2004. p. 335-41; 358-64.


9. Howard D. Neurological affections of
Bali, 2005.
the pharynx and larynx. In: Kerr AG,
3. Ballenger JJ. Penyakit neurologik laring.
Hibbert J, eds. Scott-Browns
Dalam: Iskandar N, Mangunkusumo E,
otolaryngology. Oxford: Butterworth-
Roezin A. eds. Penyakit telinga hidung
Heinemann; 1997. p. 5/9/1-19.
tenggorok kepala dan leher edisi 13, jilid
10. Lore JM. The Larynx. In: Lore JM,
I. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994. h.
Medina JE, eds. An atlas of head and
579-617
neck surgery. 4th ed. Philadelphia:
4. Siswantoro, Soejak S, Herawati S.
Elsevier-Saunders; 2005. p. 1084-8.
Aritenoidektomi cara Kleinsasser pada
11. Cohen JI. Anatomi dan fisiologi laring. http://www.emedicine.com/ent/topic 348
Dalam: Effendi H, Santoso RAK eds. htm.
Boies, Buku Ajar Penyakit THT. 13. Siswantoro. Microlaryngeal surgery.
Jakarta: EGC; 1997. h. 375-6 Media Perhati; 1 Januari-Maret 2005.
12. Ernster AJ. Vocal fold paralysis
bilateral. Available from:

Anda mungkin juga menyukai