TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.1. Lokasi sinus paranasal pada rongga hidung (Greene, 2006)
berhubungan
dengan
prosesus
zigomatikus
dan
spasium
pterigomaksila. Atap sinus berbatasan dengan orbita. Semua dinding ini dapat
diinvasi dan dihancurkan oleh tumor (Mangunkusumo, 1989).
Sinus etmoid terdiri dari beberapa rongga udara yang terletak di antara
dinding lateral rongga hidung dengan dinding medial orbita, berupa tulang yang
sangat tipis dan disebut lamina papirasea. Dinding medialnya juga berupa tulang
tipis yang membentuk konka superior dan konka media, dan dinding lateral sel-sel
etmoid anterior adalah os lakrimalis, sehingga tumor etmoid akan terlihat sebagai
massa subkutan di kantus medius. Sinus etmoid kanan dan kiri dipisahkan oleh
tulang yang sangat tipis sehingga proses keganasan pada satu sisi sinus etmoid
harus dianggap sebagai suatu proses bilateral (Mangunkusumo, 1989).
Sinus frontal berupa dua rongga yang tidak simetris dan biasanya
dipisahkan oleh tulang tipis. Sinus ini mempunyai hubungan dengan rongga
hidung melalui duktus nasofrontal. Dinding posteriornya berupa tulang yang agak
tebal dan berbatasan dengan fossa kranii anterior, sedangkan di bagian bawah
terpisah dengan sel-sel etmoid anterior oleh dinding tulang tipis (Mangunkusumo,
1989).
Sinus sfenoid terletak di dalam korpus os sfenoid, bagian kanan dan kiri
dipisahkan oleh septum yang tipis dan kadang-kadang pemisahannya kurang
sempurna. Di atasnya terdapat fossa kranii media dan kelenjar hipofisa, di
lateralnya terdapat sinus kavernosa, di anterior terdapat rongga hidung dan sinus
etmoid, di posterior terdapat fossa kranii posterior tempat pons serebri dan klivus
serta di bagian inferior ialah atap nasofaring (Mangunkusumo, 1989).
2.3. Epidemiologi
Keganasan hidung dan sinus paranasal (sinonasal) merupakan tumor yang
jarang ditemukan, hanya merupakan 1% dari seluruh tumor ganas pada tubuh dan
3 % dari keganasan di kepala dan leher. Secara tipikal ditemukan pada usia mulai
dekade ke lima dan ketujuh kehidupan dan rasio perbandingan antara pria dan
wanita adalah sebesar 2:1. Keganasan ini sering terdiagnosis pada usia 50 sampai
70 tahun (Francis, 2004; Mangunkusumo, 1989; Roezin, 2007; Sukri, 2012).
Insiden tertinggi tumor ganas hidung dan sinus ditemukan di Jepang yaitu 23,6 per 100.000 penduduk pertahun. Di bagian THT FKUI-RSCM, keganasan ini
ditemukan pada 10,1% dari seluruh tumor ganas THT dan berada di peringkat
kedua sesudah tumor ganas nasofaring. Keganasan jenis ini tertinggi ditemukan di
Jepang, China dan India. Kebanyakan pederita berasal dari golongan sosioekonomi rendah (Humayun, 2010; Mangunkusumo, 1989; Roezin, 2007; Sukri,
2012).
Rifki pada tahun 1985 mengumpulkan data dari 10 kota besar dari Indonesia
dan mendapatkan frekuensi relatif tumor ganas sinonasal sebanyak 9,3-25,3% dari
seluruh keganasan THT. Amat disayangkan hingga saat ini di Indonesia belum
ada registrasi kanker yang terpadu (Nasional) untuk mendapatkan data mengenai
insidens yang sebenarnya. Data dari beberapa kota besar yang dikumpulkan oleh
bagian Patologi Anatomi didapatkan frekuensi tumor ganas sinonasal sebanyak
1,3-2,7% dari keseluruhan keganasan (Mangunkusumo, 1989).
Menurut Francis (2004) sinus maksilaris adalah lokasi yang paling sering
terlibat (70%), dengan sinus etmoid sebagai kedua yang paling umum (20%).
Sinus sfenoid (3%) dan sinus frontalis (1%) adalah yang paling umum untuk
lokasi tumor primer.
2.4. Etiologi
Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga
beberapa zat kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara lain nikel,
debu kayu, kulit, formaldehid, kromium, minyak isopropl dan lain-lain. Pekerja di
bidang ini mengalami peningkatan risiko untuk terjadinya keganasan sinonasal.
Alkohol, asap rokok, makanan yang diasinkan atau diasap diduga meningkatkan
kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran mengurangi
kemungkinan terjadi keganasan. Jenis histologis yang paling umum adalah
karsinoma sel skuamosa, mewakili sekitar 70% kasus. Gejala klinis yang paling
sering adalah obstruksi hidung dan epistaksis (Goel, 2012; Sukri, 2012; Roezin,
2007).
Selain akibat pekerjaan, ada yang menganggap bahwa sinusitis kronis dapat
menyebabkan metaplasia yang kemudian menjadi karsinoma sel skuamosa pada
sinonasal (Mangunkusumo, 1989).
2.5. Gejala klinis
Menurut Roezin (2007) gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah
dan perluasannya. Tumor di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala
timbul setelah tumor besar, sehingga mendesak atau menembus dinding tulang
meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi, orbita atau intrakranial.
Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya sering
bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang
hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya
berbau karena mengandung jaringan nekrotik (Roezin, 2007).
Pada gejala orbital ada perluasan tumor ke arah orbita menimbulkan gejala
diplopia, proptosis (penonjolan bola mata), oftalmoplegia, gangguan visus, dan
epifora (Roezin, 2007).
perubahan keperibadian, gangguan penciuman atau keluarnya air mata terusmenerus (Mangunkusumo, 1989).
2.6.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara seksama, dengan penekanan pada
regio sinonasal, orbita dan syaraf-syaraf kranial, dan juga harus dilakukan
endoskopi nasal. Meskipun bukan patognomonik, mati rasa (kebas) atau
hiperestesia syaraf infraorbital (V2) atau supraorbital (V3) secara kuat merupakan
dugaan invasi keganasan. Temuan-temuan lain seperti proptosis, kemosis,
kelemahan otot ekstraokular, dan adanya massa di pipi, gingival atau sulkus
ginggivo-bukal juga sangkaan adanya tumor sinonasal (Bailey, 2006).
2.6.3. Radiologic Imaging
Menurut Bailey (2006), pencitraan radiologi penting untuk menentukan
staging. Foto X-Ray (Plain film) dapat menunjukkan destruksi tulang. Meskipun
demikian pada beberapa kasus dapat menunjukkan keadaan normal.
Computerized Tomography Screening (CT scan) lebih akurat daripada foto
sinar-X untuk menilai struktur tulang sinus paranasal dan lebih murah daripada
foto sinar-X. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen, nyeri
persisten yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal
dan dengan gejala persisten setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya
dilakukan pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan kontras atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI). CT scan merupakan pemeriksaan superior
untuk menilai batas tulang traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak.
Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi, dan
hubungannya dengan arteri karotid (Bailey, 2006).
MRI dipergunakan untuk membedakan tumor dengan jaringan lunak
sekitarnya, membedakan sekresi di dalam nasal yang tersumbat dari space
occupying lesion (SOL), menunjukkan penyebaran perineural, membuktikan
keunggulan imaging pada sagital plane, dan tidak melibatkan paparan terhadap
terkait dengan karsinoma sel skuamosa 10-15% dari kasus tumor ini. Terapinya
dengan eksisi bedah luas rhinotomi lateral atau maksilektomi medial dan en bloc
ethmoidectomy (Dhingra, 2010).
3. Pleomorphic adenoma
Tumor yang biasa terjadi, biasanya timbul dari septum hidung.
Terapinya dengan bedah eksisi yang luas (Dhingra, 2010).
4. Schwannoma dan Meningioma
Tumor ini sangat jarang ditemukan pada intranasal. Terapinya adalah
dengan eksisi bedah dengan rhinotomi lateral (Dhingra, 2010).
5. Haemangioma
B. haemangioma kavernosum.
Ini berasal dari perbatasan pada dinding lateral hidung. Terapinya adalah
eksisi bedah dengan cryotherapy awal. Lesi yang luas mungkin memerlukan
radioterapi dan eksisi bedah (Dhingra, 2010).
6. Kondroma
Tumor ini dapat timbul di sinus etmoid, rongga hidung atau septum
hidung. Kondroma ini biasanya halus, tegas dan berlobul. Ada juga yang
bercampur dengan tipe lain seperti fibro, osteo, atau angiokondromas. Tumor ini
diterapi dengan eksisi bedah. Untuk tumor yang berulang atau besar, eksisi luas
harus dilakukan karena kecenderungan untuk berubah menjadi ganas setelah
kejadian tumor yang berulang (Dhingra, 2010).
7. Angiofibroma
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak
diajukan. Salah satu di antaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa
tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap
rongga hidung. Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi
sebagai massa yang mengisi rongga hidung bahkan juga mengisi seluruh rongga
sinus patanasal dan mendorong bola mata ke anterior (Roezin, 2007).
8. Glioma
Dari semua glioma, 30% adalah intranasal dan 10% terdiri dari intra dan
extranasal. Biasanya terlihat pada bayi dan anak-anak. Glioma intranasal muncul
sebagai polip yang tegas, kadang-kadang menonjol pada nares anterior (Dhingra,
2010).
9. Dermoid Nasal
Tumor ini tampak seperti perluasan septum pada atas bagian superior
hidung dengan penyebaran pada tulang nasal dan hypertelorism. Sinus bisa
terlihat di tengah dorsum nasal dengan rambut yang menonjol dari permukaannya
(Dhingra, 2010).
2.7.2. Tumor Ganas Sinonasal
1. Karsinoma Sel Skuamosa
Menurut Barnes (2005) karsinoma sel skuamosa merupakan neoplasma
epitelial maligna yang berasal dari epitelium mukosa kavum nasi atau sinus
paranasal termasuk tipe keratinizing dan non keratinizing.
Karsinoma sel skuamosa sinonasal terutama ditemukan di dalam sinus
maksilaris (sekitar 60-70%), diikuti oleh kavum nasi (sekitar 10-15%) dan sinus
sfenoid dan frontal (sekitar 1%) (Barnes, 2005).
Secara makroskopik, karsinoma sel skuamosa kemungkinan berupa
exophytic, fungating atau papiler. Biasanya rapuh, berdarah, terutama berupa
nekrotik, atau indurated, demarcated atau infiltratif (Barnes, 2005).
A. Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel skuamosa dari
lokasi mukosa lain pada daerah kepala dan leher. Ditemukan diferensiasi
skuamosa, di dalam bentuk keratin ekstraseluler atau keratin intraseluler
(sitoplasma merah muda, sel-sel diskeratotik) dan/atau intercellular bridges.
Tumor tersusun di dalam sarang-sarang, massa atau sebagai kelompok kecil selsel atau sel-sel individual. Invasi ditemukan tidak beraturan. Sering terlihat reaksi
stromal desmoplastik. Karsinoma ini terbagi atas diferensiansi baik, sedang atau
buruk (Barnes, 2005).
B. Mikroskopik Non-Keratinizing (Cylindrical Cell, transitional) Carcinoma
Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus sinonasal yang
dikarakteristikkan dengan pola plexiform atau ribbon-like growth pattern. Tumor
dapat menginvasi ke dalam jaringan dibawahnya dengan batas yang jelas. Tumor
ini berdiferensiasi sedang ataupun buruk. Diferensiasi buruk sulit dikenal sebagai
carcinoma
merupakan
karsinoma
yang
jarang
melalui aliran darah atau limfatik. Metastasis nodul servikal dapat ditemukan pada
pemeriksaan awal (Dhingra, 2010).
4. Olfaktori Melanoma
Tumor ini dijumpai pada semua usia, tidak ada perbedaan insidens pada
pria ataupun wanita. Tumor ini berwarna merah disertai massa polipoidal di
superior rongga hidung, merupakan tumor vaskular dan tampak berdarah pada
biopsi. Tumor ini mempunyai radiosensitif sedang dan dapat terapi dengan radiasi
saja (Dhingra, 2010).
5. Haemangiopericytoma
Tumor ini jarang dijumpai, berasal dari sel pericyte-a yang dikelilingi
kapiler. Tumor ini bisa tampak pada lingkungan umur 60-70 tahun dan biasa
disertai dengan epitaksis. Tumor ini juga bisa jinak ataupun ganas tetapi tidak
dapat dibedakan secara histologis. Terapinya adalah eksisi bedah. Radioterapi
digunakan untuk lesi yang bisa dioperasi atau kambuh (Dhingra, 2010).
6. Plasmacytoma
Plasmacytoma ini biasanya mempengaruhi pria pada lingkungan usia lebih
dari 40 tahun. Terapinya adalah dengan radioterapi dikuti operasi tiga bulan
kemudian, jika penyembuhan total tidak terjadi. Follow-up jangka waktu panjang
adalah penting untuk menghindari perkembangan myeloma multiple (Dhingra,
2010).
7. Sarcoma
Sarkoma
osteogenik,
chondrosarcoma,
rhabdomyosarcoma,
T0
Tis
Karsinoma in situ
T1
Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan destruksi
tulang (Gambar 2.3.)
T2
Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau
meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan
fossa pterigoid (Gambar 2.4.)
T3
T4a
Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid, fossa
infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoidalis atau frontal (Gambar
2.6. A,B)
T4b
Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa
kranial medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus
trigeminal V2, nasofaring atau klivus (Gambar 2.7.)
Gambar 2.4. T2 menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau
meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan fossa
pterigoid (Greene, 2006).
Gambar 2.5.
jaringan subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus
etmoidalis (Greene, 2006).
Gambar 2.7.
orbita dan atau dura, otak atau fossa kranial medial (Greene, 2006).
T0
Tis
Karsinoma in situ
T1
Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa invasi tulang
(Gambar 2.8.)
T2
Tumor berada di dua bagian dalam satu regio atau tumor meluas dan
Melibatkan daerah nasoetmoidal kompleks, dengan atau tanpa invasi
tulang (Gambar 2.9.)
T3
T4a
Tumor menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita, kulit hidung atau
Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura, otak, fossa kranial
medial, nervus kranialis selain dari V2, nasofaring atau klivus (Gambar
2.12.)
Gambar 2.8. Pada kavum nasi dan sinus etmoidalis, T1 didefinisikan sebagai
tumor yang terbatas pada salah satu bagian, dengan atau tanpa invasi tulang
(Greene, 2006).
Gambar 2.11. T4a menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita, kulit hidung
atau pipi, meluas minimal ke fossa kranialis anterior, fossa pterigoid, sinus
sfenoidalis atau frontal (Greene, 2006).
Gambar 2.12. Dua pandangan dari T4b. Pandangan koronal kiri menunjukkan
invasi di dalam apeks orbita dan otak. Kanan, tumor menginvasi klivus (Greene,
2006).
2.9. Penatalaksanaan
Pembedahan
2.9.1. Drainage/Debridement
Drainage adekuat (seperti nasoantral window) seharusnya dilakukan pada
pasien dengan sinusitis sekunder dan pada pasien yang mendapat terapi radiasi
sebagai pengobatan primer (Bailey, 2006).
2.9.2. Resection
Menurut Bailey (2006) surgical resection selalu direkomendasikan dengan
tujuan kuratif. Palliative excision dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri yang
parah, untuk dekompresi cepat dari struktur-struktur vital, atau untuk memperkecil
lesi massif, atau estetika. Pembedahan merupakan penatalaksanaan tunggal untuk
tumor maligna traktus sinonasal dengan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar
19% hingga 86%.
Dengan
kemajuan-kemajuan
terbaru
dalam
preoperative
imaging,