Anda di halaman 1dari 22

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tumor Sinonasal


Pasien dengan tumor sinonasal biasanya datang dengan stadium tumor yang
sudah lanjut dan umumnya sudah meluas ke jaringan sekitarnya. Sinus paranasal
merupakan rongga yang tersembunyi dalam tulang, yang tidak akan dapat
dideteksi dengan pemeriksaan fisik rutin dan sering asimptomatik pada stadium
dini. Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya
(Roezin, 2007; Sukri, 2012).
2.2. Anatomi Sinus Paranasal

Gambar 2.1. Lokasi sinus paranasal pada rongga hidung (Greene, 2006)

Universitas Sumatera Utara

Menurut Mangunkusumo (1989) sinus paranasal merupakan rongga-rongga


yang terdapat di dalam tulang dan semua bermuara ke dalam hidung.
Sinus maksila adalah sinus yang terbesar, terletak didalam tulang maksila,
dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung yang terbentuk dari tulang
tipis dan muara sinus ini terdapat di bawah konka media. Dasar sinus ialah
palatum durum dan berhubungan dengan akar-akar gigi rahang atas. Dinding
posterolateral

berhubungan

dengan

prosesus

zigomatikus

dan

spasium

pterigomaksila. Atap sinus berbatasan dengan orbita. Semua dinding ini dapat
diinvasi dan dihancurkan oleh tumor (Mangunkusumo, 1989).
Sinus etmoid terdiri dari beberapa rongga udara yang terletak di antara
dinding lateral rongga hidung dengan dinding medial orbita, berupa tulang yang
sangat tipis dan disebut lamina papirasea. Dinding medialnya juga berupa tulang
tipis yang membentuk konka superior dan konka media, dan dinding lateral sel-sel
etmoid anterior adalah os lakrimalis, sehingga tumor etmoid akan terlihat sebagai
massa subkutan di kantus medius. Sinus etmoid kanan dan kiri dipisahkan oleh
tulang yang sangat tipis sehingga proses keganasan pada satu sisi sinus etmoid
harus dianggap sebagai suatu proses bilateral (Mangunkusumo, 1989).
Sinus frontal berupa dua rongga yang tidak simetris dan biasanya
dipisahkan oleh tulang tipis. Sinus ini mempunyai hubungan dengan rongga
hidung melalui duktus nasofrontal. Dinding posteriornya berupa tulang yang agak
tebal dan berbatasan dengan fossa kranii anterior, sedangkan di bagian bawah
terpisah dengan sel-sel etmoid anterior oleh dinding tulang tipis (Mangunkusumo,
1989).
Sinus sfenoid terletak di dalam korpus os sfenoid, bagian kanan dan kiri
dipisahkan oleh septum yang tipis dan kadang-kadang pemisahannya kurang
sempurna. Di atasnya terdapat fossa kranii media dan kelenjar hipofisa, di
lateralnya terdapat sinus kavernosa, di anterior terdapat rongga hidung dan sinus
etmoid, di posterior terdapat fossa kranii posterior tempat pons serebri dan klivus
serta di bagian inferior ialah atap nasofaring (Mangunkusumo, 1989).

Universitas Sumatera Utara

2.3. Epidemiologi
Keganasan hidung dan sinus paranasal (sinonasal) merupakan tumor yang
jarang ditemukan, hanya merupakan 1% dari seluruh tumor ganas pada tubuh dan
3 % dari keganasan di kepala dan leher. Secara tipikal ditemukan pada usia mulai
dekade ke lima dan ketujuh kehidupan dan rasio perbandingan antara pria dan
wanita adalah sebesar 2:1. Keganasan ini sering terdiagnosis pada usia 50 sampai
70 tahun (Francis, 2004; Mangunkusumo, 1989; Roezin, 2007; Sukri, 2012).
Insiden tertinggi tumor ganas hidung dan sinus ditemukan di Jepang yaitu 23,6 per 100.000 penduduk pertahun. Di bagian THT FKUI-RSCM, keganasan ini
ditemukan pada 10,1% dari seluruh tumor ganas THT dan berada di peringkat
kedua sesudah tumor ganas nasofaring. Keganasan jenis ini tertinggi ditemukan di
Jepang, China dan India. Kebanyakan pederita berasal dari golongan sosioekonomi rendah (Humayun, 2010; Mangunkusumo, 1989; Roezin, 2007; Sukri,
2012).
Rifki pada tahun 1985 mengumpulkan data dari 10 kota besar dari Indonesia
dan mendapatkan frekuensi relatif tumor ganas sinonasal sebanyak 9,3-25,3% dari
seluruh keganasan THT. Amat disayangkan hingga saat ini di Indonesia belum
ada registrasi kanker yang terpadu (Nasional) untuk mendapatkan data mengenai
insidens yang sebenarnya. Data dari beberapa kota besar yang dikumpulkan oleh
bagian Patologi Anatomi didapatkan frekuensi tumor ganas sinonasal sebanyak
1,3-2,7% dari keseluruhan keganasan (Mangunkusumo, 1989).
Menurut Francis (2004) sinus maksilaris adalah lokasi yang paling sering
terlibat (70%), dengan sinus etmoid sebagai kedua yang paling umum (20%).
Sinus sfenoid (3%) dan sinus frontalis (1%) adalah yang paling umum untuk
lokasi tumor primer.

Universitas Sumatera Utara

2.4. Etiologi
Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga
beberapa zat kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara lain nikel,
debu kayu, kulit, formaldehid, kromium, minyak isopropl dan lain-lain. Pekerja di
bidang ini mengalami peningkatan risiko untuk terjadinya keganasan sinonasal.
Alkohol, asap rokok, makanan yang diasinkan atau diasap diduga meningkatkan
kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran mengurangi
kemungkinan terjadi keganasan. Jenis histologis yang paling umum adalah
karsinoma sel skuamosa, mewakili sekitar 70% kasus. Gejala klinis yang paling
sering adalah obstruksi hidung dan epistaksis (Goel, 2012; Sukri, 2012; Roezin,
2007).
Selain akibat pekerjaan, ada yang menganggap bahwa sinusitis kronis dapat
menyebabkan metaplasia yang kemudian menjadi karsinoma sel skuamosa pada
sinonasal (Mangunkusumo, 1989).
2.5. Gejala klinis
Menurut Roezin (2007) gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah
dan perluasannya. Tumor di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala
timbul setelah tumor besar, sehingga mendesak atau menembus dinding tulang
meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi, orbita atau intrakranial.
Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya sering
bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang
hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya
berbau karena mengandung jaringan nekrotik (Roezin, 2007).
Pada gejala orbital ada perluasan tumor ke arah orbita menimbulkan gejala
diplopia, proptosis (penonjolan bola mata), oftalmoplegia, gangguan visus, dan
epifora (Roezin, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Pada gejala oral dapat disertai perluasan tumor ke rongga mulut


menyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien
mengeluh gigi palsunya tidak tepat melekat atau gigi geligi goyang. Sering kali
pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun
gigi yang sakit telah dicabut (Roezin, 2007).
Pada pasien dengan gejala fasial adanya perluasan tumor ke area wajah
dimana akan menyebabkan penonjolan pipi. Gejala dapat disertai nyeri, hilang
sensasi (anesthesia atau parastesia) jika mengenai nervus trigeminus (Roezin,
2007).
Sementara perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala
hebat, oftalmoplegia, dan gangguan visus, yang dapat disertai likuorea, yaitu
cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii
media maka saraf otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang,
terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan
parestesia daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis (Roezin,
2007).
2.6. Diagnosis
Pemeriksaan
Menurut Mangunkusumo (1989) tujuan utama pemeriksaan adalah untuk
mengetahui seberapa jauh perluasan tumor, sehingga dapat merencanakan
pengobatan dan mengevaluasi prognosisnya.
2.6.1. Anamnesis
Sangat penting untuk melakukan anamnesis yang teliti. Perlu ditanyakan
adalah hiperestesia atau anestesia di daerah pipi, adanya massa atau radang di
daerah muka, rasa kebas atau keluhan gigi goyang, adakah gigi palsu yang tidak
terfiksasi dengan baik lagi, penglihatan ganda, kesulitan membuka mulut, keluhan
hidung tersumbat, sekret atau mengeluarkan darah, keluhan nyeri kepala,

Universitas Sumatera Utara

perubahan keperibadian, gangguan penciuman atau keluarnya air mata terusmenerus (Mangunkusumo, 1989).
2.6.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara seksama, dengan penekanan pada
regio sinonasal, orbita dan syaraf-syaraf kranial, dan juga harus dilakukan
endoskopi nasal. Meskipun bukan patognomonik, mati rasa (kebas) atau
hiperestesia syaraf infraorbital (V2) atau supraorbital (V3) secara kuat merupakan
dugaan invasi keganasan. Temuan-temuan lain seperti proptosis, kemosis,
kelemahan otot ekstraokular, dan adanya massa di pipi, gingival atau sulkus
ginggivo-bukal juga sangkaan adanya tumor sinonasal (Bailey, 2006).
2.6.3. Radiologic Imaging
Menurut Bailey (2006), pencitraan radiologi penting untuk menentukan
staging. Foto X-Ray (Plain film) dapat menunjukkan destruksi tulang. Meskipun
demikian pada beberapa kasus dapat menunjukkan keadaan normal.
Computerized Tomography Screening (CT scan) lebih akurat daripada foto
sinar-X untuk menilai struktur tulang sinus paranasal dan lebih murah daripada
foto sinar-X. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen, nyeri
persisten yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal
dan dengan gejala persisten setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya
dilakukan pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan kontras atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI). CT scan merupakan pemeriksaan superior
untuk menilai batas tulang traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak.
Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi, dan
hubungannya dengan arteri karotid (Bailey, 2006).
MRI dipergunakan untuk membedakan tumor dengan jaringan lunak
sekitarnya, membedakan sekresi di dalam nasal yang tersumbat dari space
occupying lesion (SOL), menunjukkan penyebaran perineural, membuktikan
keunggulan imaging pada sagital plane, dan tidak melibatkan paparan terhadap

Universitas Sumatera Utara

radiasi ionisasi. Coronal MRI image terdepan untuk mengevaluai foramen


rotundum, vidian canal, foramen ovale dan kanal optik. Sagital image berguna
untuk menunjukkan replacement signal berintensitas rendah yang normal dari
Meckel cave signal berintensitas tinggi dari lemak di dalam fossa pterygopalatine
oleh signal tumor yang mirip dengan otak (Bailey, 2006).
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika
tumor tampak di kavum nasi atau rongga mulut, maka biopsy harus segera
dilakukan melalui tindakan rinoskopi atau melalui operasi Caldwell-Luc yang
insisinya melalui sulkus ginggivo-bukkal (Roezin, 2007).
2.6.4 Biopsi
Diagnosis suatu tumor berdasarkan hasil histopatologi biopsi tumor. Untuk
mengambil biopsi dari tumor hidung tidaklah sulit. Jaringan langsung diambil
sedikit dengan tang biopsi dan perdarahan yang timbul biasanya cukup diatasi
dengan tampon anterior (Mangunkusumo, 1989).
Biopsi tumor sinus maksila biasanya dilakukan melalui pendekatan
Caldwell-Luc, yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal (Mangunkusumo,
1989).
Biopsi tumor sinus etmoid biasanya diambil dari perluasan tumor di rongga
hidung atau di kantus medius. Biopsi tumor sinus sfenoid dilakukan melalui
pendekatn transnasal, tetapi sering kali biopsy didapat dari perluasan tumor ke
nasofaring atau rongga hidung. Biopsi tumor sinus frontal dilakukan dengan insisi
supraorbital dan osteotomi (Mangunkusumo, 1989).
2.7. Gambaran Histopatologi
Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa diikuti oleh inverted
papilloma dimana ini bersifat sangat invasif, dapat merusak jaringan di sekitarnya
serta sangat cenderung untuk menetap dan dapat berubah menjadi ganas.
Karsinoma sel skuamosa merupakan gambaran histopatologi yang paling sering
pada keganasan sinonasal (70%), dimana sinus maksila adalah yang tersering

Universitas Sumatera Utara

terkena (65%-80%), disusul sinus etmoid (15%-25%), sedangkan sinus sfenoid


dan frontal jarang terkena (Roezin, 2007; Sukri, 2012).

Tabel 2.1. Klasifikasi jenis tumor sinonasal (Dhingra, 2010)

2.7.1. Tumor Jinak Sinonasal


1. Papiloma Skuamosa
Lesi verrucous mirip dengan kutil kulit yang berasal dari nasal vestibule
atau bagian bawah dari septum hidung, dapat tunggal atau multiple, pedunkulata
atau sessile. Pengobatan eksisi lokal dengan kateterisasi dari dasar untuk
mencegah rekurensi (kekambuhan). Tumor ini juga dapat diterapi dengan
cryosurgery atau laser (Dhingra, 2010).
2. Inverted Papilloma
Kebanyakan tumor terlihat pada usia antara 40-70 tahun dan lebih sering
pada laki-laki dibanding wanita (5:1). Tumor ini juga bersifat sangat invasif, dapat
merusak jaringan di sekitarnya serta sangat cenderung untuk menetap dan dapat
berubah menjadi ganas. Tumor ini berasal dari dinding lateral hidung dan
seringnya pada unilateral. Ditandai dengan massa merah atau keabu-abuan, dapat
menyebabkan edema, seperti polip nasal. Inverted papilloma memiliki
kecenderungan untuk timbul lagi setelah operasi pengangkatan dan mungkin

Universitas Sumatera Utara

terkait dengan karsinoma sel skuamosa 10-15% dari kasus tumor ini. Terapinya
dengan eksisi bedah luas rhinotomi lateral atau maksilektomi medial dan en bloc
ethmoidectomy (Dhingra, 2010).
3. Pleomorphic adenoma
Tumor yang biasa terjadi, biasanya timbul dari septum hidung.
Terapinya dengan bedah eksisi yang luas (Dhingra, 2010).
4. Schwannoma dan Meningioma
Tumor ini sangat jarang ditemukan pada intranasal. Terapinya adalah
dengan eksisi bedah dengan rhinotomi lateral (Dhingra, 2010).
5. Haemangioma

Gambar 2.2. Haemangioma (Dhingra, 2010)


Menurut Sukardja (2000) tumor jinak yang berasal dari pembuluh darah.
Tumor ini berwarna merah atau merah kebiru-biruan.
A. haemangioma kapiler (Pendarahan polip pada septum).
Ini adalah lembut, merah tua, tumor pedunkulata atau sessile berasal dari
bagian anterior septum hidung. Biasanya dapat menjadi ulserasi dan hadir dengan
epistaksis berulang dan obtruksi pada hidung (Gambar 2.3.). Terapi dengan local
excision dengan mengunakan cuff sekitarnya mucoperichondrium (Dhingra,
2010).

Universitas Sumatera Utara

B. haemangioma kavernosum.
Ini berasal dari perbatasan pada dinding lateral hidung. Terapinya adalah
eksisi bedah dengan cryotherapy awal. Lesi yang luas mungkin memerlukan
radioterapi dan eksisi bedah (Dhingra, 2010).
6. Kondroma
Tumor ini dapat timbul di sinus etmoid, rongga hidung atau septum
hidung. Kondroma ini biasanya halus, tegas dan berlobul. Ada juga yang
bercampur dengan tipe lain seperti fibro, osteo, atau angiokondromas. Tumor ini
diterapi dengan eksisi bedah. Untuk tumor yang berulang atau besar, eksisi luas
harus dilakukan karena kecenderungan untuk berubah menjadi ganas setelah
kejadian tumor yang berulang (Dhingra, 2010).
7. Angiofibroma
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak
diajukan. Salah satu di antaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa
tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap
rongga hidung. Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi
sebagai massa yang mengisi rongga hidung bahkan juga mengisi seluruh rongga
sinus patanasal dan mendorong bola mata ke anterior (Roezin, 2007).
8. Glioma
Dari semua glioma, 30% adalah intranasal dan 10% terdiri dari intra dan
extranasal. Biasanya terlihat pada bayi dan anak-anak. Glioma intranasal muncul
sebagai polip yang tegas, kadang-kadang menonjol pada nares anterior (Dhingra,
2010).
9. Dermoid Nasal
Tumor ini tampak seperti perluasan septum pada atas bagian superior
hidung dengan penyebaran pada tulang nasal dan hypertelorism. Sinus bisa

Universitas Sumatera Utara

terlihat di tengah dorsum nasal dengan rambut yang menonjol dari permukaannya
(Dhingra, 2010).
2.7.2. Tumor Ganas Sinonasal
1. Karsinoma Sel Skuamosa
Menurut Barnes (2005) karsinoma sel skuamosa merupakan neoplasma
epitelial maligna yang berasal dari epitelium mukosa kavum nasi atau sinus
paranasal termasuk tipe keratinizing dan non keratinizing.
Karsinoma sel skuamosa sinonasal terutama ditemukan di dalam sinus
maksilaris (sekitar 60-70%), diikuti oleh kavum nasi (sekitar 10-15%) dan sinus
sfenoid dan frontal (sekitar 1%) (Barnes, 2005).
Secara makroskopik, karsinoma sel skuamosa kemungkinan berupa
exophytic, fungating atau papiler. Biasanya rapuh, berdarah, terutama berupa
nekrotik, atau indurated, demarcated atau infiltratif (Barnes, 2005).
A. Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel skuamosa dari
lokasi mukosa lain pada daerah kepala dan leher. Ditemukan diferensiasi
skuamosa, di dalam bentuk keratin ekstraseluler atau keratin intraseluler
(sitoplasma merah muda, sel-sel diskeratotik) dan/atau intercellular bridges.
Tumor tersusun di dalam sarang-sarang, massa atau sebagai kelompok kecil selsel atau sel-sel individual. Invasi ditemukan tidak beraturan. Sering terlihat reaksi
stromal desmoplastik. Karsinoma ini terbagi atas diferensiansi baik, sedang atau
buruk (Barnes, 2005).
B. Mikroskopik Non-Keratinizing (Cylindrical Cell, transitional) Carcinoma
Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus sinonasal yang
dikarakteristikkan dengan pola plexiform atau ribbon-like growth pattern. Tumor
dapat menginvasi ke dalam jaringan dibawahnya dengan batas yang jelas. Tumor
ini berdiferensiasi sedang ataupun buruk. Diferensiasi buruk sulit dikenal sebagai

Universitas Sumatera Utara

skuamosa dan harus dibedakan dari olfactory neuroblastoma atau karsinoma


neuroendokrin (Barnes, 2005).
C. Undifferentiated Carcinoma
Undifferentiated

carcinoma

merupakan

karsinoma

yang

jarang

ditemukan, sangat agresif dan histogenesisnya tidak pasti. Undifferentiated


carcinoma berupa massa yang cepat memperbesar sering melibatkan beberapa
tempat (saluran sinonasal) dan melampaui batas-batas anatomi dari saluran
sinonasal. Gambaran mikroskopik berupa proliferasi hiperselular dengan pola
pertumbuhan yang bervariasi, termasuk trabekular, pola seperti lembaran, pita,
lobular, dan organoid. Sel-sel tumor berukuran sedang hingga besar dan bentuk
bulat hingga oval dan memiliki inti sel pleomorfik dan hiperkromatik, anak inti
menonjol, sitoplasma eosinofilik, rasio inti dan sitoplasma tinggi, aktivitas mitosis
meningkat dengan gambaran mitosis atipikal, nekrosis tumor dan apoptosis.
Pemeriksaan tambahan seperti imunohistokimia, mikroskop elektron dan biologi
molekuler seringkali diperlukan dalam diagnosis undifferentiated carcinoma dan
dapat membedakan keganasan ini dari neoplasma ganas lainnya (Barnes, 2005).
2. Adenokarsinoma
Adenokarsinoma mempunyai asosiasi epidemiologi pada tukang kayu,
pembuat perabut dan tukang pengrajin kulit. Biasanya tampak pada bagian atas
rongga hidung serta pada sinus etmoid. Adenokarsinoma lebih cenderung
terhadap progresif lokal yang ganas dan diobati dengan en bloc recsection bila
diperlukan (Cummings, 1998).
3. Melanoma Maligna
Biasanya ditemukan pada usia 50 tahun. Tidak ada perbedaan yang
signifikan antara pria dan wanita. Secara makroskopik, massa polipoid berwarna
keabu-abuan atau hitam kebiru-biruan ditemui pada 45% kasus. Di dalam kavum
nasi, lokasi yang sering ditemukan melanoma maligna ini adalah daerah posterior
septum nasal diikuti dengan turbinate medial dan inferior. Tumor menyebar

Universitas Sumatera Utara

melalui aliran darah atau limfatik. Metastasis nodul servikal dapat ditemukan pada
pemeriksaan awal (Dhingra, 2010).
4. Olfaktori Melanoma
Tumor ini dijumpai pada semua usia, tidak ada perbedaan insidens pada
pria ataupun wanita. Tumor ini berwarna merah disertai massa polipoidal di
superior rongga hidung, merupakan tumor vaskular dan tampak berdarah pada
biopsi. Tumor ini mempunyai radiosensitif sedang dan dapat terapi dengan radiasi
saja (Dhingra, 2010).
5. Haemangiopericytoma
Tumor ini jarang dijumpai, berasal dari sel pericyte-a yang dikelilingi
kapiler. Tumor ini bisa tampak pada lingkungan umur 60-70 tahun dan biasa
disertai dengan epitaksis. Tumor ini juga bisa jinak ataupun ganas tetapi tidak
dapat dibedakan secara histologis. Terapinya adalah eksisi bedah. Radioterapi
digunakan untuk lesi yang bisa dioperasi atau kambuh (Dhingra, 2010).
6. Plasmacytoma
Plasmacytoma ini biasanya mempengaruhi pria pada lingkungan usia lebih
dari 40 tahun. Terapinya adalah dengan radioterapi dikuti operasi tiga bulan
kemudian, jika penyembuhan total tidak terjadi. Follow-up jangka waktu panjang
adalah penting untuk menghindari perkembangan myeloma multiple (Dhingra,
2010).
7. Sarcoma
Sarkoma

osteogenik,

chondrosarcoma,

rhabdomyosarcoma,

angiosarcoma, histiocytoma ganas adalah tumor yang jarang mempengaruhi


rongga hidung (Dhingra, 2010).

Universitas Sumatera Utara

2.8. Klasifikasi TNM dan Sistem Staging


Cara penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal yang
terbaru adalah menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2006 yaitu:
Tumor Primer (T)
Sinus maksilaris
TX

Tumor primer tidak dapat ditentukan

T0

Tidak tampak tumor primer

Tis

Karsinoma in situ

T1

Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan destruksi
tulang (Gambar 2.3.)

T2

Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau
meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan
fossa pterigoid (Gambar 2.4.)

T3

Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, jaringan


subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus
etmoidal (Gambar 2.5.)

T4a

Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid, fossa
infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoidalis atau frontal (Gambar
2.6. A,B)

T4b

Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa
kranial medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus
trigeminal V2, nasofaring atau klivus (Gambar 2.7.)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3. T1 terbatas pada mukosa sinus maksilaris (Greene, 2006).

Gambar 2.4. T2 menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau
meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan fossa
pterigoid (Greene, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.5.

Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris,

jaringan subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus
etmoidalis (Greene, 2006).

Gambar 2.6. A. T4a menunjukkan invasi tumor pada anterior orbita.


B. T4a menunjukkan invasi tumor pada sinus sfenoidalis dan fossa kribriformis
(Greene, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.7.

Pandangan koronal T4b menunjukkan tumor menginvasi apeks

orbita dan atau dura, otak atau fossa kranial medial (Greene, 2006).

Kavum Nasi dan Sinus Etmoidalis


TX

Tumor primer tidak dapat ditentukan

T0

Tidak tampak tumor primer

Tis

Karsinoma in situ

T1

Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa invasi tulang
(Gambar 2.8.)

T2

Tumor berada di dua bagian dalam satu regio atau tumor meluas dan
Melibatkan daerah nasoetmoidal kompleks, dengan atau tanpa invasi
tulang (Gambar 2.9.)

T3

Tumor menginvasi dinding medial atau dasar orbita, sinus maksilaris,


palatum atau fossa kribriformis (Gambar 2.10.)

T4a

Tumor menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita, kulit hidung atau

Universitas Sumatera Utara

pipi, meluas minimal ke fossa kranialis anterior, fossa pterigoid, sinus


sfenoid atau frontal (Gambar 2.11.)
T4b

Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura, otak, fossa kranial
medial, nervus kranialis selain dari V2, nasofaring atau klivus (Gambar
2.12.)

Gambar 2.8. Pada kavum nasi dan sinus etmoidalis, T1 didefinisikan sebagai
tumor yang terbatas pada salah satu bagian, dengan atau tanpa invasi tulang
(Greene, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.9. T2 didefinisikan sebagai tumor yang menginvasi dua bagian di


dalam satu regio atau meluas hingga melibatkan regio yang berdekatan di dalam
daerah nasoetmoidalis kompleks (kavum nasi dan etmoid) dengan atau tanpa
invasi tulang (Greene, 2006).

Gambar 2.10. Dua pandangan dari T3 menunjukkan tumor menginvasi sinus


maksilaris dan palatum (kiri) dan meluas ke dasar orbita dan fossa kribriformis
(kanan) (Greene, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.11. T4a menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita, kulit hidung
atau pipi, meluas minimal ke fossa kranialis anterior, fossa pterigoid, sinus
sfenoidalis atau frontal (Greene, 2006).

Gambar 2.12. Dua pandangan dari T4b. Pandangan koronal kiri menunjukkan
invasi di dalam apeks orbita dan otak. Kanan, tumor menginvasi klivus (Greene,
2006).

Universitas Sumatera Utara

2.9. Penatalaksanaan
Pembedahan
2.9.1. Drainage/Debridement
Drainage adekuat (seperti nasoantral window) seharusnya dilakukan pada
pasien dengan sinusitis sekunder dan pada pasien yang mendapat terapi radiasi
sebagai pengobatan primer (Bailey, 2006).
2.9.2. Resection
Menurut Bailey (2006) surgical resection selalu direkomendasikan dengan
tujuan kuratif. Palliative excision dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri yang
parah, untuk dekompresi cepat dari struktur-struktur vital, atau untuk memperkecil
lesi massif, atau estetika. Pembedahan merupakan penatalaksanaan tunggal untuk
tumor maligna traktus sinonasal dengan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar
19% hingga 86%.
Dengan

kemajuan-kemajuan

terbaru

dalam

preoperative

imaging,

intraoperative image-guidance system, endoscopic instrumentation dan material


untuk hemostasis, teknik sinonasal untuk mengangkat tumor nasal dan sinus
paranasal mungkin merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk traditional
open technique. Pendekatan endoskopik dapat dipakai untuk melihat tumor dalam
rongga nasal, etmoid, sfenoid, medial frontal dan sinus maksilaris medial. Frozen
section harus digunakan untuk melihat batas bebas tumor (Bailey, 2006).
2.9.3. Rehabilitasi
Tujuan utama rehabilitasi pasca operasi adalah penyembuhan luka primer,
memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan oronasal yang terpisah
kemudian memperlancar proses bicara dan menelan. Rehabilitasi setelah reseksi
pembedahan dapat dicapai dengan dental prosthesis atau reconstructive flap
seperti flap otot temporalis dengan atau tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau
microvascular free myocutaneous dan cutaneous flap (Bailey, 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.9.4. Terapi Radiasi


Radiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk membantu pembedahan
atau sebagai terapi paliatif. Radiasi pasca operasi dapat mengontrol secara lokal
tetapi tidak mempengaruhi kelangsungan hidup spesifik atau absolut. Sel-sel
tumor yang sedikit dapat dibunuh, pinggir tumor non radiasi dapat dibatasi
sepanjang pembedahan dan penyembuhan luka pasca operasi lebih dapat
diperkirakan (Bailey, 2006).
2.9.5. Kemoterapi
Peran kemoterapi untuk pengobatan tumor traktus sinonasal biasanya
paliatif, penggunaan efek cytoreductive untuk mengurangi rasa nyeri dan
penyumbatan, atau untuk mengecilkan lesi eksternal massif. Penggunaan cisplatin
intrarterial dosis tinggi dapat digunakan secara bersamaan dengan radiasi pada
pasien dengan karsinoma sinus paranasal. Angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar
53%. Pasien yang menunjukkan resiko pembedahan yang buruk dan yang
menolak untuk dilakukan operasi dipertimbangkan untuk mendapatkan kombinasi
radiasi dan kemoterapi (Bailey, 2006).
2.10. Prognosis
Menurut Roezin (2007) pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak
sekali faktor yang mempengaruhi prognosis keganasan nasal dan sinus paranasal.
Faktor-faktor tersebut seperti perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer,
perluasan tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, batas sayatan, terapi
adjuvan yang diberikan, status imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi
faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap agresivitas penyakit dan hasil
pengobatan yang tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini.
Walaupun demikian, pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan
memberikan hasil yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan
meningkatkan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium
tumor.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai