Anda di halaman 1dari 16

PROSPEK KRL EKONOMI JABODETABEK TERHADAP RENCANA

PENGHAPUSANNYA
Arief Setiawan (arief_setiawan7@ymail.com)
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Universitas Gunadarma
2012

Abstrak

Kebutuhan akan angkutan masal yang handal, murah dan cepat sangatlah
penting, seperti kereta rel listrik (KRL). KRL menjadi kebutuhan transportasi utama
bagi masyarakat perkotaan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi
(Jabodetabek). Hal ini terlihat dari angkutan kereta rel listrik (KRL) yang hampir
setiap gerbong dipenuhi oleh penumpang terutama pada jam-jam sibuk.

Dalam perkembangannya, KRL Ekonomi merupakan sarana transportasi


publik di daerah Joabodetabek yang cepat dan merakyat. Namun, dewasa ini KRL
ekonomi sering menjadi buah bibir karena berbagai masalah. Mulai dari sering
mogok di jalan, penumpang yang menumpang di atap (Atapers) yang tidak
manusiawi, pengurangan jumlah armada bahkan adanya wacana penghapusan KRL
Ekonomi tersebut.

Berdasarkan amanat UU 23/2007, KRL ekonomi hendaknya tetap diadakan


dengan menggunakan nama KRL AC Ekonomi. Selanjutnya Pasal 153 ayat 1
pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan angkutan KA kepada
masyarakat dengan tarif terjangkau dan diwujudkan dalam public service obligation
(PSO), Jadi sudah selayaknya PT KAI dan Kemenhub memperbaiki fasilitas dan
pelayanan KRL ekonomi agar lebih manusiawi. Bukan malah menghapusnya.

Kata Kunci : Jabodetabek, Kemenhub, KRL, PT KAI, transportasi


I. Latar Belakang

Pengembangan angkutan massal di Jabodetabek dengan menggunakan


angkutan kereta rel listrik (KRL) tidak dapat ditunda lagi. Selain sebagai solusi
masalah kemacetan yang begitu komplek, KRL merupakan salah satu kebutuhan
pokok angkutan masyarakat kota yang cepat dan murah. Keberadaan angkutan kota
seperti KRL sangat dibutuhkan seiring mobilitas penduduk yang tinggi. Namun, bila
tidak ditangani secara baik dan benar merupakan masalah bagi kota tersebut, seperti
yang terjadi pada KRL Ekonomi yang sering kali menjadi buah bibir. Selain tiket
yang murah, membludaknya penumpang saat jam-jam sibuk seperti pagi dan sore hari
diduga akibat masih terbatasnya gerbong KRL Ekonomi. Padahal, setiap tahun terjadi
peningkatan jumlah penumpang yang signifikan sehingga membuat pelayanannya
jauh dari standar.

Masalah yang sering muncul adalah adanya penumpang bergelantungan di


pintu gerbong, di sambungan antar gerbong, dan di atas gerbong (Atapers).
Fenomena ini sempat menarik perhatian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS HAM) atas kebijakan PT.KAI yang tidak manusiawi dalam mengatasi
fenomena atapers. Penyemprotan Warna, Kawat berduri, Pintu Koboi (Palang
Penampar) dan Bola beton dinilai terlalu berlebihan, lantas bagaimana cara yang
bijak mengatasi sekelompok manusia agar turun dari kebiasaan naik diatap kereta?

Masalah yang kedua adalah ketidakefektifan dana PSO. Ketidaksesuaian


perhitungan dana PSO dengan load factor yang ada pada kenyataan di lapangan
membuat dirasa tidak efektif dan perlu ditinjau ulang. Belum lagi masalah dana PSO
yang disubsidi untuk KRL Ekonomi semakin berkurang tiap tahunnya akibat kian
berkurangnya armada KRL Ekonomi yang ada. Padahal jumlah penumpang KRL
Ekonomi yang notabenya pelajar, kaum buruh, pedagang, dan golongan menengah
kebawah lainnya kian meningkat tiap tahunnya. Pada akhirnya dana PSO hanya
sebatas dana untuk mengoprasikan KRL ekonomi agar tetap ada, dan tidak untuk
memperbaiki kualitas pelayanannya bagi pengguna yang mayoritas kaum menengah
kebawah.

Masalah yang ketiga adalah tumpang tindihnya antara biaya infrastructure


manitance operation yang harus pemerintah keluarkan dengan biaya yang harus
dikeluarkan (charge) PT.KAI atas penggunaan BMN. Hal ini menjadi salah satu
faktor terjadinya perbedaan harga tiket antara KRL Ekonomi dengan KRL AC yang
begitu jauh, sehingga kualitas pelayanan KRL Ekonomi yang rendah semakin
memburuk dan memperihatikan.

Masalah yang terakhir adalah adanya issue penghapusan KRL Ekonomi.


Kebijakan PT KAI terhadap rencana penghapusan KRL Ekonomi tidak hanya
menjadi sorotan masyarakat, juga sering menjadi perhatian anggota DPR yang
memang perlu ditinjau ulang. Ada banyak faktor yang membuat pelayanan KRL
Ekonomi begitu memperihatinkan. Mulai dari infrastruktur KRL itu sendiri yang
sudah tua dan sering mogok serta jadwal keberangkatannya yang semakin dikurangi.
Lantas yang menjadi pertanyaan bagaimana memperbaiki pelayanan KRL Ekonomi
dari segi infrastruktur dan manejemen jadwal keberangkatannya agar menjadi
transportasi yang layak, nyaman dan merakyat?

II. Atapers
Tidak dapat dipungkiri saat ini angkutan Kereta Rangkaian Listrik Kelas
Ekonomi menjadi angkutan paling murah. Tarifnya hanya Rp.2.000 dari Stasiun
Bogor sampai Stasiun Jakarta Kota. Karena murahnya KRL ini membuat penuhnya
bukan main, hingga bergelantungan di pintu, di persambungan kereta, hingga ruang
kabin berukuran 2 x 4 meter yang khusus masinis pun tak luput dari sesak
penumpang. Dan yang lebih parah sebagian penumpang nekat memilih naik ke atap
KRL atau biasa disebut atapers.
Atapers merupakan salah satu fenomena sosial sebagai akibat buruknya
transportasi massal di Indonesia. Tidak hanya meresahkan Pemerintah, akibat kurang
sadarnya masyarakat itu sendiri mengakibat timbulnya korban jiwa tiap tahunnya. PT
Kereta Api Indonesia mencatat jumlah kasus penumpang yang jatuh dari atap kereta
dalam kurun waktu 2010 hingga 2011 sebanyak 80 kasus dan 15 di antaranya
dinyatakan meninggal dunia. Sementara data 2011, jumlah berkurang menjadi 37
orang, enam di antaranya meninggal, sisanya luka parah. Menyikapi hal tersebut PT
KAI sebagai pihak yang paling bertanggung jawab memang tidak tinggal diam,
beberapa upaya telah dilakukan oleh PT KAI diantaranya:

1. Penyemprotan Warna
Langkah pertama yang dilakukan PT KAI adalah dengan melakukan
penyemprotan menggunakan cairan berwarna kepada penumpang di atap
kereta (atapers). Hal ini dilakukan PT Kereta Api (KA) mulai 13 Mei 2011
2. Kawat Berduri
Langkah lain yang dilakukan PT KAI adalah pemasangan kawat berduri di
sekitar peron, pemasangan itu dilakukan di salah satu sisi peron, dan dipasang
disetiap stasiun. Pemasangan ini diharapkan dapat membuat penumpang
enggan naik ke atap KRL karena takut tersangkut kawat.
3. Pintu Koboi atau palang penampar
Sebuah alat perintang dengan cara kerja mirip pintu koboi terbuat dari fiber
glass dengan tebal 1 cm, panjang 1,5-2 m, dan lebar 10 cm dipantek pada
tiang listrik sekitar perlintasan Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek.
4. Bola-Bola Beton
Bola beton itu beratnya kira-kira 3 kg per biji dengan diameter 10 cm.
Sedangkan bentang gawang di dua ruas rel kereta yakni 12,5 meter, tinggi
gawang 4,5 meter, jarak dari gawang ke atap kereta 1 meter, dan jarak dari
bola beton ke kereta 25 centimeter.

5. Cara-cara lainnya
Selain cara-cara di atas PT KAI juga melakukan cara-cara lain seperti
menggunakan Anjing Pelacak, melumuri Oli, bahkan hingga mengundang
Ustadz dan marawis untuk merayu atapers turun dari atap kereta.
Dari upaya yang telah dilakukan oleh PT KAI, hingga saat ini belum ada
perubahan. Ketidakefektifan ini juga disebabkan karena kebijakan PT KAI yang
dinilai berlebihan, seperti memasang bola-bola beton seberat 3kg. Cara yang satu ini
paling banyak pendapat respon masyarakat bahkan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) yang memperingati PT KAI untuk melepas bola-bola beton
ini karena dianggap membahayakan keselamatan para atapers.
Hal ini menjelaskan, bahwa kebijakan yang dilakukan oleh PT KAI terlalu
berlebihan, dan tidak manusiawi. Penyemprotan Warna, Kawat berduri, Pintu Koboi
(Palang Penampar) dan Bola beton adalah alat untuk memeberantas hama yang ada di
atap kereta saja, bukanlah sebagai solusi menertibkan sekelompok manusia untuk
turun dari atap kereta.
Hingga saat ini, melalui bantuan anggota Polsuska, Brimob, dan Marinir
melakukan penertiban atapers secara langsung di lapangan. Namun, hal tersebut tidak
dilakukan dengan tegas, hanya sekedar formalitas saja. Dari sekian banyak yang
ditertibkan dan ditangkap, hanya diberi peringatan semata, kemudian dilepaskan
kembali tanpa adanya proses hukum yang berlaku.
Sesuai dengan pasal 183 ayat 1 dan 207 Undang-undang Nomor 23 Tahun
2007 tentang Perkeretaapian. Sebagaimana diketahui, pasal 183 ayat 1 UU tersebut
disebutkan bahwa setiap orang dilarang berada di atap kereta, di lokomotif, di dalam
kabin masinis, di gerbong atau di bagian kereta yang peruntukannya bukan untuk
penumpang. Jika melanggar, dalam pasal 207 disebutkan bahwa setiap orang yang
tanpa hak berada di dalam kabin masinis, di atap kereta, di lokomotif, di gerbong,
atau di bagian kereta yang peruntukannya bukan untuk penumpang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 183 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga
bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp.15.000.000. Sudah sewajibnya PT
KAI menegaskan kebjikan hukum yang ada, atau melakukan tilang di tempat agar
para pelaku jera.

III. Public Service Obligation (PSO)


Pasal 153 ayat 1 pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan
angkutan KA kepada msyarakat dengan tarif terjangkau dan diwujudkan dalam
Public Service Obligation (PSO). Sesuai yang ditunjukan peraturan yang ada, dalam
perekembangannya KRL Ekonomi disubsidi oleh pemerintah mengguanakan dana
PSO.
PSO (DJA, Kemenkeu, 2007) adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh negara
akibat disparitas/perbedaan harga pokok penjualan BUMN/swasta dengan harga atas
produk/jasa tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah agar pelayanan produk/jasa
tetap terjamin dan terjangkau oleh sebagian besar masyarakat (publik). Sedangkan
subsidi adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh negara akibat perbedaan harga pasar
(disparitas) dengan harga atas produk/jasa tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin. Kesamaan dari PSO dan subsidi
adalah adalah bertujuan meringankan beban masyarakat terutama masyarakat miskin.
Pemerintah melalui APBN memberikan subsidi dengan menggunakan tingkat
okupansi (load factor) sebesar 70 persen. Contoh, perhitungan subsidi (PSO) kelas
ekonomi untuk KRL di Jabodetabek dengan cara selisih tarif yang ditentukan oleh
Pemerintah dikurangi dengan tarif yang diusulkan oleh PT KAI. Selanjutnya selisih
tariff tersebut dikali dengan jumlah kapasitas penumpang gerbong KRL dengan
tingkat okupansi sebesar 70 persen. Dalam kenyataannya, penumpang KRL kelas
ekonomi terutama pada saat jam sibuk (pagi dan sore) melebihi kapasitas yang
tersedia dan sebagian penumpang diluar gerbong (atap). Dalam pemberian subsidi
(PSO), tidak dapat diketahui siapa penumpang yang berhak memperoleh bantuan.
Dengan demikian, penumpang yang mampu juga ikut menikmati subsidi KRL kelas
ekonomi. Selain itu, hampir setiap stasiun kecuali stasiun Gambir tidak memiliki alat
untuk memeriksa tiket penumpang. Jadi, siapapun bebas keluar masuk stasiun (peron)
terutama stasiun-stasiun yang tidak memiliki pintu monitoring dan pengawasan.

IV. Track Access Charge (TAC) dan Infrastructure Maintance Operation


(IMO)
Perhitungan TAC merupakan pengembangan konsep yang disampaikan dalam
laporan Bank Dunia yaitu review and prioritization of the performance improvement
and investment plan for the Indonesia state railways (September 1995). Tujuan TAC
adalah agar Pemerintah memiliki dana untuk membiayai pemeliharaan dan perawatan
prasarana kereta api serta melakukan investasi. Konsep formula TAC yang dibangun
oleh Bank Dunia menjadi dasar pijakan perhitungan TAC dalam SKB 1999. Adapun
perhitungan TAC berdasarkan SKB 1999 adalah TAC = (IMO + depresiasi) x
koefisien f.
Biaya IMO merupakan biaya atas pemeliharaan, perawatan dan pengoperasian
prasarana kereta api yang dimiliki Pemerintah (BMN). Penyusutan prasarana dihitung
secara tahunan sesuai dengan umur ekonomis standar prasarana kereta api dan nilai
perolehan pada tahun berjalan. Adapun nilai prasarana yang digunakan sebagai acuan
depresiasi adalah nilai proyek yang diserahterimakan ke PT KAI sejak 1 April 1990.
Koefisen f merupakan faktor pembebanan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Nilai
koefisien pembebanan merupakan menjadi justifikasi Pemerintah dengan menetapkan
nilai 0,7 1.
Perhitungan TAC belum pernah dirumuskan dengan baik sebagai salah satu
penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Permasalahan ini menjadi semakin rumit
saat perhitungan TAC ditetapkan hampir selalu lebih besar atau sama dengan biaya
pemeliharaan dan pengoperasian fasilitas prasarana milik negara. Padahal, frekwensi
penggunaan trayek atau relasi tidak sama antar tujuan. Dengan demikian, pakai tidak
pakai fasilitas prasarana milik Pemerintah, PT KAI wajib membayar TAC.
Sampai dengan tahun 2010, IMO dilakukan kontrak antara Ditjen
Perkeretaapian dengan PT KAI. Sejak tahun 2005, IMO diperhitungkan sama dengan
TAC walaupun dalam kenyataannya tidak ada transaksi keuangan dalam perawatan
dan pengoperasian.
Tabel. Perkembangan TAC dan IMO PT KAI Tahun 2000 - 2010

Berlarut-larutnya penyelesaian masalah IMO mengakibatkan PT KAI tidak


menandatangani kontrak IMO tahun 2011. Akibat tidak disepakatinya kontrak IMO
maka akan terjadi kondisi backlog. Backlog adalah penundaaan investasi baru untuk
sarana dan prasarana perkeretaapian serta fasilitas pemeliharaan dengan teknologi
yang sudah tertinggal. Jadi semakin lama kondisi backlog akan mengakibatkan
semakin buruknya perawatan dan pengoperasian prasarana BMN.
Tumpang tindihnya masalah TAC dan IMO juga membuat PT KAI
melaksanakan perawatan dan pemeliharaan berdasarkan prioritas dan sesuai
kemampuan anggarannya, yang pada akhirnya beban anggaran tersebut dilimpahkan
pada pihak konsumen. Hal ini jelas berdampak pada pihak KCJ yang menaikan harga
tiket KRL AC dengan dalih meningkatkan pelayanan dan kenyamanan. Perebedaan
Tiket antara KRL Commuter Line AC dengan KRL Ekonomi yang begitu jauh hingga
terpaut Rp.7000 membuat makin buruknya pelayanan KRL Ekonomi. Kian
berkurangnya jadwal keberangkatan KRL Ekonomi, dinilai kuat sebagai salah satu
langkah mentupi anggaran. Kondisi seperti ini yang selanjutnya membuat persepsi
bahwa KRL Ekonomi adalah KRL yang bersubisi, harga tiket yang murah jadi
begitulah kondisinya. Sungguh disayangkan.

V. Infrastruktur KRL

KRL Ekonomi yang sering mogok karena masalah mesin dan kelebihan
muatan, serta PT KAI sendiri yang mengeluh jika terjadi kerusakan suku cadangnya
yang sulit didapatkan, jelas ini menandakan KRL Ekonomi sudah selayaknya diganti
dengan KRL yang lebih nyaman. Tidak hanya keluhan yang terjadi pada KRL
Ekonomi, kenyataannya KRL Commuter Line AC yang kebanyakan bekas dari
Jepang ini juga sering mengalami keluhan karena panas akibat tidak berfungsinya AC
dan hanya perpendingin kipas angin biasa.

Sebagian besar rangkaian KRL Ekonomi yang digunakan adalah buatan Jepang
dari tahun 1976 sampai tahun 1987 dengan teknologi rheostat. Rangkaian KRL
Ekonomi tersebut sudah berumur 30 tahun dan dulunya melayani rangkaian Pakuan
Ekspres tahun 90-an. Setelah KRL Hibah (KRL AC Commturline tertua dikelasnya,
Tei seri 6000) datang, KRL Ekonomi ini mulai terlupakan dan dijadikan rangkaian
KRL Ekonomi Jabodetabek.

Khusus untuk KRL Rheostat yang datang pada tahun 1986-1987, bodinya sudah
stainless steel dan merupakan KRL AC pertama di Indonesia. Untuk KRL buatan
Nippon Sharyo tahun 1976, kereta ini sudah dicat ulang beberapa kali dari warna
lamanya. Semula berwarna merah polos dengan 'wajah' kuning terang, Mulai 2010,
KRL ini menggunakan skema warna putih dengan garis oranye di tengah dan juga
telah dioperasikan KRL dengan modifikasi kabin, yang bernama "Djoko Lelono"
pada tahun 2009. Kedua KRL ini mulanya seperti KRL Ekonomi AC atau Ekspres,
yakni pintunya dapat tertutup secara otomatis, dan cukup nyaman. Namun, seiring
berjalannya waktu kedua KRL ini menurun kondisinya menjadi seperti sekarang ini.

Sedangkan KRL AC yang sekarang ini merupakan KRL yang diimpor dari
operator Kereta Bawah Tanah (Subway) milik Biro Transportasi Pemerintah Daerah
Tky (Tei), dalam rangka kerjasama strategis Indonesia-Jepang. KRL AC yang
tertua dikelasnya mulai meramaikan jalur Jabotabek tahun 2000, dioperasikan di
sebagian besar rute untuk layanan ekspres dengan tambahan pendingin udara (AC).
Karena berstatus hibah dari Pemerintah Daerah Kota Tky, KRL ini sering disebut
sebagai KRL hibah.

Pada mulanya, didatangkan 72 unit kereta dari Jepang dengan masing-masing


rangkaian terdiri dari 8 kereta. Namun, pada akhirnya hanya sebanyak 3 rangkaianlah
yang memiliki 8 kereta (set 6121F, 6161F, 6171F), sedangkan sisanya dijadikan enam
kereta per rangkaiannya. Khusus KRL AC dengan jenis 6100F ini merupakan KRL
AC tertua dikelasnya dan sering mengalami masalah pendingin (AC). Sebagai
peningkatan kualitas kenyamanan, sudah seharusnya KRL Ekonomi yang sudah tua
digantikan KRL AC yang memang tidak layak untuk dijadikan KRL AC dengan harga
tiket 8000-9000 rupiah. Karena yang terjadi saat ini pihak KCJ berusaha memonopoli
dengan menghapus KRL Ekonomi, yang seakan-akan berupaya menaikan harga tiket
dari 1500-2000 rupiah menjadi 8000-9000 rupiah. KRL Ekonomi yang sudah tidak
layak, sebaiknya digantikan dengan yang layak, bukan dimanfaatkan sebagai bahan
bisnis dengan mengadakan KRL AC sebanyak-banyaknya. Penggantian KRL
Ekonomi yang sudah tidak layak pakai dengan KRL AC tertua yang mengalami
masalah pendingin ruangan, juga bertujuan menyelesaikan fenomena sosial yaitu
atapers. Selain menegaskan aturan dan hukum yang berlaku, salah satu solusi
menertibkan atapers dengan cara memperbaiki infrastruktur itu sendiri. Dalam hal ini,
atapers tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena tidak dapat dipungkiri, atapers tidak
akan membahayakan keselamatan mereka sendiri apabila kondisi angkutanya yang
nyaman dan layak. Jika diperhatikan dari segi infrastruktur, KRL Ekonomi yang
sekarang sangat mendukung adanya atapers. Atapers memulai aksinya pada jam sibuk
naik keatap dengan berpijak kejendela KRL kemudian naik keatap. Sedangkan ,tinggi
jendela KRL Ekonomi yang hanya berjarak 90 cm dari peron dan atapnya berjarak
180 cm dari peron. Tidak hanya itu, bagian atap KRL Ekonomi yang melengkung
semakin memudahkan mereka naik keatap. Perhatikan gambar berikut:

Gambar. Tinggi atap KRL Ekonomi Gambar. Tinggi atap KRL AC tertua
Gambar. KRL Ekonomi pada jam sibuk
Gambar. KRL AC pada jam sibuk

Jadi, atapers akan sulit naik keatap apabila dari segi infrastruktur mendukung
seperti KRL AC yang tinggi atapnya 220 cm. Faktanya pada jam-jam sibuk dan
ketika mulai sedikitnya jadwal perjalanan KRL Ekonomi, membuat KRL AC tidak
jauh beda dengan KRL Ekonomi. Namun, sepadat-padatnya penumpang KRL AC
tidak ada penumpang yang naik keatap dan sambungan, meskipun kepadatan yang
luar biasa hingga pintu tidak bisa ditutup.

VI. Menejemen Keberangkatan


Bagi sebagian orang, munculnya Kereta Ekonomi ber-AC (Commuter Line)
hanya menyelesaikan sebagian masalah yang ada. Kian dipadatkannya jadwal
keberangkatan KRL Commuter Line pada jam sibuk, menambah padat penumpang
pada KRL Ekonomi yang ada. Karena tidak bisa dipungkiri, harga tiket Rp.9000
dirasa masih memberatkan kaum menengah kebawah. Tidak hanya itu, tidak
seimbangnya antara penumpang KRL Ekonomi dengan jadwal KRL Ekonomi yang
ada membuat kebiasaan penumpang KRL Ekonomi dilampiaskan ketika menumpang
KRL AC. Pada kenyataannya, pengguna KRL dengan tiket ekonomi memaksa naik
KRL AC walaupun pintu sudah tidak bisa tertutup, hingga menumpang di gerbong
wanita. Kebanyakan mereka melakukan hal tersebut karena memanfaatkan kondisi
yang ada. Tidak bisa dipungkiri ketika jadwal KRL Ekonomi sudah tidak bisa
diandalkan, KRL AC pun menjadi berjubel sehingga luput dari penagihan tiket dalam
gerbong. Pada akhirnya pihak KCJ-lah yang merugi.
Hingga saat ini pada tahun 2013 tercatat jumlah penumpang KRL jabodetabek
mencapai 450.000/hari dan 145.550 diantaranya adalah penumpang KRL Ekonomi
atau sekitar 32.34% dari jumlah total penumpang perhari. Dari jumlah penumpang
tersebut kapasitas satu rangkaian atau 8 gerbong adalah 1440 orang. Semantara itu,
berdasarkan jadwal terbaru yang dibuat oleh KAI pertanggal 1 april 2013 terdapat
575 perjalanan KRL AC dan menyisahkan 64 perjalanan KRL Ekonomi perhari dari
berbagai relasi. Dari data tersebut, jika dihitung dengan kapasitas yang hanya 1440
orang dan 64 perjalanan/hari dan dari jumlah penumpang mencapai 145.550
orang/hari akan menyisahkan sekitar 53.390 penumpang KRL ekonomi tiap harinya
atau bisa dikatakan melebihi kapasitas yang ada baik itu pada jam keberangkatan
maupun jam pulang. Jadi, tidaklah heran jika kondisi KRL Ekonomi sungguh tidak
manusiawi dengan fenomena atapersnya.
Ada baiknya tingginya pengguna KRL Ekonomi harus diiringi dengan
kelayakan armada dan jadwalnya. Dari segi infrastruktur, penggantian KRL ekonomi
dengan KRL AC yang ada dapat memberi solusi mengenai fenomena atapers. Sudah
seharusnya PT.KAI membuat jadwal yang layak jika memang benar-benar serius
meningkatkan pelayanannya bagi para konsumen, baik itu kaum menengah keatas
maupun yang tidak mampu. Dengan mengadopsi sistem yang ada pada KRL jarak
jauh yakni adanya gerbong AC eksekutif maupun bisnis dan non AC untuk ekonomi
dalam satu rangkaian perlu diaplikasikan pada KRL jabodetabek. Artinya, ada KRL
ekonomi disetiap jadwal KRL AC tetapi tetap dengan tariff ekonomi.
Jika dihitung berdasarkan data yang ada, dengan menjadikan 2 gerbong KRL
Ekonomi pada setiap rangkaian KRL AC yang mempunyai jadwal perjalanan hingga
575 perjalan/hari akan bisa memuat 207.000 penumpang ekonomi tiap harinya
(penumpang menengah kebawah). Dengan adanya gerbong ekonomi disetiap
rangkainan KRL AC Commuterline Jabodetabek ini jelas akan mengurai kepadatan
penumpang menengah kebawah pada jam sibuk serta meningkatkan pengawasan
terhadap pemeriksaan tiket. Karena berdasarkan data sekunder sepanjang Januari
hingga Maret 2013, ditemukan 1.257 penumpang KRL Jabodetabek tidak memiliki
tiket dan dari jumlah tersebut didominasi pengguna KRL Ekonomi.

VII. Kesimpulan dan Saran


Penanganan fenomena sosial yang ada pada transportasi kereta api di Indonesia
seperti KRL Ekonomi Jabodetabek dengan Atapersnya tidak cukup hanya dengan
sosialisasi saja, perlu ada ketegasan secara hukum. Tidak hanya itu apabila
penanganannya kurang tepat bahkan berlebihan seperti pemasangan bola-bola beton
tentunya akan membahayakan atapers itu sendiri dan terlihat tidak manusiawi serta
menimbulkan banyak perhatian dari berbagai kalangan. Jadi, perlu ditinjau ulang
mengapa para atapers melakukan hal nekat seperti itu. Selain menindak tegas sesuai
hukum yang berlaku, perbaikan infrastruktur seperti penggantian KRL AC yang telah
berumur dan sering mengalami masalah, bisa dijadikan KRL Ekonomi yang akan
menjadi solusi mengatasi masalah atapers.
Kian berkurangnya dana PSO akibat makin menyusutnya armada KRL
Ekonomi Jabodetabek dan penggunanya kian meningkat, membuat perhitungannya
perlu ditinjau ulang apakah dana PSO sudah cukup atau tidak. Tercatat jumlah
penumpang KRL Ekonomi Jabodetabek pada tahun 2012 mencapai 120.000/hari dan
mengalami peningkatan pada tahun 2013 menjadi 145.550/hari sedangkan armadanya
mengalami penyusutan, dan hingga saat ini tinggal 7 armada tersisa. Hal ini membuat
KRL ekonomi dengan penumpangnya terutama pada saat jam sibuk (pagi dan sore)
melebihi kapasitas yang tersedia sehingga membuat load factor dari perhitungan
subsidi dana PSO tidak sesuai dan perlu ditinjau ulang.
Sudah sewajibnya pemerintah memperhatikan tumpang tindihnya masalah
TAC dan IMO. Tumpang tindihnya masalah TAC dan IMO ini membuat PT KAI
melaksanakan perawatan dan pemeliharaan berdasarkan prioritas dan sesuai
kemampuan anggarannya, yang pada akhirnya beban anggaran tersebut dilimpahkan
pada pihak konsumen. Hal ini jelas berdampak pada pihak KCJ sebagai pihak swasta
pengelola KRL Jabodetabek menaikan harga tiket KRL AC dengan dalih
meningkatkan pelayanan dan kenyamanan.

Bagi sebagian orang, munculnya KRL AC (Commuter Line) hanya


menyelesaikan sebagian masalah yang ada. Nyatanya dengan adanya KRL Commuter
Line yang bertarif Rp.9000 dari stasiun Bogor - Jakarta Kota masih terlalu tinggi bagi
masyarakat berekonomi menengah kebawah. Ditambah lagi dengan adanya KRL
Commuter Line ini dinilai mengurangi frekuensi KRL Ekonomi sehingga menambah
padat penumpang saat keberangkatan KRL Ekonomi pada jam sibuk. Hal ini
membuat kebijakan penghapusan KRL Ekonomi perlu ditinjau ulang. Kebijakan
penghapusan KRL Ekonomi akan memicu banyak hal, seperti penggunaan kendaraan
pribadi khususnya sepeda motor, yang dinilai bisa menghemat pengeluaran biaya
transportasi kaum menengah kebawah. Pemakaian sepeda motor ini pun makin
membebani jalan raya, menambah kesemrawutan, dan menimbulkan kemacetan.
Dengan membuat 2 gerbong KRL ekonomi pada setiap rangkaian KRL AC akan
mengurai kepadatan yang ada pada KRL Ekonomi saat ini di jam-jam sibuk, selain itu
sistem ini juga dapat mengatasi masalah fenomena sosial yaitu atapers yang hingga
saat ini tidak kunjung usai. Sistem ini patut dicoba agar pemerintah bisa mewujudkan
transportasi kereta yang lebih adil, yaitu transportasi yang memberikan kenyamanan
tempat dan waktu untuk semua kalangan serta pelayanan yang lebih manusiawi. Yang
wajib dihapus bukanlah KRL Ekonomi, melainkan infrastruktur dan jadwal
keberangkatan KRL ekonomi-lah yang perlu dihapus karena dinilai kurang
memuaskan dikalangan menengah kebawah.
Daftar Pustaka

Agunan Samosir, 2012, Prospek Perkeretaapian: PSO-IMO-TAC-BMN-PSL, Policy


Paper

Musnaini, 2011, Analisis Kualitas Layanan Konsumen Terhadap Keunggulan


Bersaing Jasa Transportasi Darat Pada PT. Kereta Api Indonesia (Persero)
Kelas Argo, Jurnal Manajemen Teori dan Terapan, Universitas Jambi

Pradono, Miming Miharja, dan Awang Meindra, 2011, SegmentasiI Pasar Pengguna
Jasa Angkutan Kereta Api Perkotaan Tanah Abang-Serpong, Jurnal Transportasi
Vol. 11 No. 2

http://www.lembaga.us/2012/02/inilah-data-atapers-tewas-sepanjang.html

http://www.nonstop-online.com/2013/03/junikrl-ekonomi-dihapus/

http://www.neraca.co.id/harian/article/19123/Kapasitas.vs.Pelayanan.KRL

http://nasional.kompas.com/read/2013/03/25/04033398/KRL.Ekonomi.Masih.Diperlu
kan

http://id.wikipedia.org/wiki/KA_Commuter_Jabodetabek

Anda mungkin juga menyukai