PENGHAPUSANNYA
Arief Setiawan (arief_setiawan7@ymail.com)
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Universitas Gunadarma
2012
Abstrak
Kebutuhan akan angkutan masal yang handal, murah dan cepat sangatlah
penting, seperti kereta rel listrik (KRL). KRL menjadi kebutuhan transportasi utama
bagi masyarakat perkotaan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi
(Jabodetabek). Hal ini terlihat dari angkutan kereta rel listrik (KRL) yang hampir
setiap gerbong dipenuhi oleh penumpang terutama pada jam-jam sibuk.
II. Atapers
Tidak dapat dipungkiri saat ini angkutan Kereta Rangkaian Listrik Kelas
Ekonomi menjadi angkutan paling murah. Tarifnya hanya Rp.2.000 dari Stasiun
Bogor sampai Stasiun Jakarta Kota. Karena murahnya KRL ini membuat penuhnya
bukan main, hingga bergelantungan di pintu, di persambungan kereta, hingga ruang
kabin berukuran 2 x 4 meter yang khusus masinis pun tak luput dari sesak
penumpang. Dan yang lebih parah sebagian penumpang nekat memilih naik ke atap
KRL atau biasa disebut atapers.
Atapers merupakan salah satu fenomena sosial sebagai akibat buruknya
transportasi massal di Indonesia. Tidak hanya meresahkan Pemerintah, akibat kurang
sadarnya masyarakat itu sendiri mengakibat timbulnya korban jiwa tiap tahunnya. PT
Kereta Api Indonesia mencatat jumlah kasus penumpang yang jatuh dari atap kereta
dalam kurun waktu 2010 hingga 2011 sebanyak 80 kasus dan 15 di antaranya
dinyatakan meninggal dunia. Sementara data 2011, jumlah berkurang menjadi 37
orang, enam di antaranya meninggal, sisanya luka parah. Menyikapi hal tersebut PT
KAI sebagai pihak yang paling bertanggung jawab memang tidak tinggal diam,
beberapa upaya telah dilakukan oleh PT KAI diantaranya:
1. Penyemprotan Warna
Langkah pertama yang dilakukan PT KAI adalah dengan melakukan
penyemprotan menggunakan cairan berwarna kepada penumpang di atap
kereta (atapers). Hal ini dilakukan PT Kereta Api (KA) mulai 13 Mei 2011
2. Kawat Berduri
Langkah lain yang dilakukan PT KAI adalah pemasangan kawat berduri di
sekitar peron, pemasangan itu dilakukan di salah satu sisi peron, dan dipasang
disetiap stasiun. Pemasangan ini diharapkan dapat membuat penumpang
enggan naik ke atap KRL karena takut tersangkut kawat.
3. Pintu Koboi atau palang penampar
Sebuah alat perintang dengan cara kerja mirip pintu koboi terbuat dari fiber
glass dengan tebal 1 cm, panjang 1,5-2 m, dan lebar 10 cm dipantek pada
tiang listrik sekitar perlintasan Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek.
4. Bola-Bola Beton
Bola beton itu beratnya kira-kira 3 kg per biji dengan diameter 10 cm.
Sedangkan bentang gawang di dua ruas rel kereta yakni 12,5 meter, tinggi
gawang 4,5 meter, jarak dari gawang ke atap kereta 1 meter, dan jarak dari
bola beton ke kereta 25 centimeter.
5. Cara-cara lainnya
Selain cara-cara di atas PT KAI juga melakukan cara-cara lain seperti
menggunakan Anjing Pelacak, melumuri Oli, bahkan hingga mengundang
Ustadz dan marawis untuk merayu atapers turun dari atap kereta.
Dari upaya yang telah dilakukan oleh PT KAI, hingga saat ini belum ada
perubahan. Ketidakefektifan ini juga disebabkan karena kebijakan PT KAI yang
dinilai berlebihan, seperti memasang bola-bola beton seberat 3kg. Cara yang satu ini
paling banyak pendapat respon masyarakat bahkan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) yang memperingati PT KAI untuk melepas bola-bola beton
ini karena dianggap membahayakan keselamatan para atapers.
Hal ini menjelaskan, bahwa kebijakan yang dilakukan oleh PT KAI terlalu
berlebihan, dan tidak manusiawi. Penyemprotan Warna, Kawat berduri, Pintu Koboi
(Palang Penampar) dan Bola beton adalah alat untuk memeberantas hama yang ada di
atap kereta saja, bukanlah sebagai solusi menertibkan sekelompok manusia untuk
turun dari atap kereta.
Hingga saat ini, melalui bantuan anggota Polsuska, Brimob, dan Marinir
melakukan penertiban atapers secara langsung di lapangan. Namun, hal tersebut tidak
dilakukan dengan tegas, hanya sekedar formalitas saja. Dari sekian banyak yang
ditertibkan dan ditangkap, hanya diberi peringatan semata, kemudian dilepaskan
kembali tanpa adanya proses hukum yang berlaku.
Sesuai dengan pasal 183 ayat 1 dan 207 Undang-undang Nomor 23 Tahun
2007 tentang Perkeretaapian. Sebagaimana diketahui, pasal 183 ayat 1 UU tersebut
disebutkan bahwa setiap orang dilarang berada di atap kereta, di lokomotif, di dalam
kabin masinis, di gerbong atau di bagian kereta yang peruntukannya bukan untuk
penumpang. Jika melanggar, dalam pasal 207 disebutkan bahwa setiap orang yang
tanpa hak berada di dalam kabin masinis, di atap kereta, di lokomotif, di gerbong,
atau di bagian kereta yang peruntukannya bukan untuk penumpang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 183 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga
bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp.15.000.000. Sudah sewajibnya PT
KAI menegaskan kebjikan hukum yang ada, atau melakukan tilang di tempat agar
para pelaku jera.
V. Infrastruktur KRL
KRL Ekonomi yang sering mogok karena masalah mesin dan kelebihan
muatan, serta PT KAI sendiri yang mengeluh jika terjadi kerusakan suku cadangnya
yang sulit didapatkan, jelas ini menandakan KRL Ekonomi sudah selayaknya diganti
dengan KRL yang lebih nyaman. Tidak hanya keluhan yang terjadi pada KRL
Ekonomi, kenyataannya KRL Commuter Line AC yang kebanyakan bekas dari
Jepang ini juga sering mengalami keluhan karena panas akibat tidak berfungsinya AC
dan hanya perpendingin kipas angin biasa.
Sebagian besar rangkaian KRL Ekonomi yang digunakan adalah buatan Jepang
dari tahun 1976 sampai tahun 1987 dengan teknologi rheostat. Rangkaian KRL
Ekonomi tersebut sudah berumur 30 tahun dan dulunya melayani rangkaian Pakuan
Ekspres tahun 90-an. Setelah KRL Hibah (KRL AC Commturline tertua dikelasnya,
Tei seri 6000) datang, KRL Ekonomi ini mulai terlupakan dan dijadikan rangkaian
KRL Ekonomi Jabodetabek.
Khusus untuk KRL Rheostat yang datang pada tahun 1986-1987, bodinya sudah
stainless steel dan merupakan KRL AC pertama di Indonesia. Untuk KRL buatan
Nippon Sharyo tahun 1976, kereta ini sudah dicat ulang beberapa kali dari warna
lamanya. Semula berwarna merah polos dengan 'wajah' kuning terang, Mulai 2010,
KRL ini menggunakan skema warna putih dengan garis oranye di tengah dan juga
telah dioperasikan KRL dengan modifikasi kabin, yang bernama "Djoko Lelono"
pada tahun 2009. Kedua KRL ini mulanya seperti KRL Ekonomi AC atau Ekspres,
yakni pintunya dapat tertutup secara otomatis, dan cukup nyaman. Namun, seiring
berjalannya waktu kedua KRL ini menurun kondisinya menjadi seperti sekarang ini.
Sedangkan KRL AC yang sekarang ini merupakan KRL yang diimpor dari
operator Kereta Bawah Tanah (Subway) milik Biro Transportasi Pemerintah Daerah
Tky (Tei), dalam rangka kerjasama strategis Indonesia-Jepang. KRL AC yang
tertua dikelasnya mulai meramaikan jalur Jabotabek tahun 2000, dioperasikan di
sebagian besar rute untuk layanan ekspres dengan tambahan pendingin udara (AC).
Karena berstatus hibah dari Pemerintah Daerah Kota Tky, KRL ini sering disebut
sebagai KRL hibah.
Gambar. Tinggi atap KRL Ekonomi Gambar. Tinggi atap KRL AC tertua
Gambar. KRL Ekonomi pada jam sibuk
Gambar. KRL AC pada jam sibuk
Jadi, atapers akan sulit naik keatap apabila dari segi infrastruktur mendukung
seperti KRL AC yang tinggi atapnya 220 cm. Faktanya pada jam-jam sibuk dan
ketika mulai sedikitnya jadwal perjalanan KRL Ekonomi, membuat KRL AC tidak
jauh beda dengan KRL Ekonomi. Namun, sepadat-padatnya penumpang KRL AC
tidak ada penumpang yang naik keatap dan sambungan, meskipun kepadatan yang
luar biasa hingga pintu tidak bisa ditutup.
Pradono, Miming Miharja, dan Awang Meindra, 2011, SegmentasiI Pasar Pengguna
Jasa Angkutan Kereta Api Perkotaan Tanah Abang-Serpong, Jurnal Transportasi
Vol. 11 No. 2
http://www.lembaga.us/2012/02/inilah-data-atapers-tewas-sepanjang.html
http://www.nonstop-online.com/2013/03/junikrl-ekonomi-dihapus/
http://www.neraca.co.id/harian/article/19123/Kapasitas.vs.Pelayanan.KRL
http://nasional.kompas.com/read/2013/03/25/04033398/KRL.Ekonomi.Masih.Diperlu
kan
http://id.wikipedia.org/wiki/KA_Commuter_Jabodetabek