Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan Jiwa masyarakat ( community mental health ) telah menjadi bagian masalah

kesehatan masyarakat (public health) yang dihadapi semua negara. Salah satu pemicu

terjadinya berbagai masalah dalam kesehatan jiwa adalah dampak modernisasi dimana tidak

semua orang siap untuk menghadapi cepatnya perubahan dan kemajuan teknologi baru.

Gangguan jiwa tidak menyebabkan kematian secara langsung namun akan menyebabkan

penderitanya menjadi tidak produktif dan menimbulkan beban bagi keluarga penderita dan

lingkungan masyarakat sekitarnya, Dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, pasal (4)

disebutkan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan

yang optimal. ( hasanudin : 2010 ).

Menurut data World Health Organization ( WHO ) masalah gangguan kesehatan jiwa

diseluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius. Pada tahun 2001, WHO

menyatakan paling tidak ada satu dari empat orang didunia mengalami masalah mental.

WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang didunia yang mengalami gangguan

kesehatan jiwa. Sementara itu, menurut Uton Muchtar Rafei, Direktur WHO wilayah Asia

Tenggara hampir satu pertiga dari penduduk diwilayah ini pernah mengalami gangguan

kesehatan jiwa. ( Yosep, I : 2007 : hal 30 )


Skizoprenia merupakan gangguan atau penyakit yang disebabkan oleh hal hal yang tidak

rasional ataupun supranatural. Sebagai contoh misalnya ada anggapan bahwa orang yang

mengidap Skizoprenia ini dianggap sebagai orang gila yang disebabkan karena guna

guna atau diteluh dan lain lainnya. ( Dadang, H : 2001 : hal 2 )

Halusinasi dapat didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang dimana tidak

terdapat stimulus, tipe halusinasi yang paling sering adalah pendengaran, penglihatan,

penciuman, pengecapan diperkirakan 90 % klien dengan skizoprenia mengalami halusinasi.

Meskipun bentuk halusinasinya bervariasi tetapi sebagian besar klien skizoprenia di rumah

sakit jiwa mengalami halusinasi dengar. ( Yosep, I. 2009 : hal 217 )

Berdasarkan data tersebut penulis tertarik untuk membahas study kasus dengan judul

Asuhan Keperawatan pada klien dengan masalah utama gangguan persepsi sensosi halusinasi

diruang kresna laki laki Rumah Sakit Jiwa marzoeki mahdi BOGOR.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penulis mampu menggambarkan asuhan keperawatan secara komprehensif pada klien

yang mengalami halusinasi pendengaran dengan pendekatan proses keperawatan secara

biopsikososio dan spiritual serta penulis dapat meningkatkan pengalaman dan

keterampilan dalam melaksanakan asuhan keperawatan diruang kresna laki - laki Rumah

Sakit Jiwa marzoeki mahdi BOGOR..


2. Tujuan Khusus

Penulis mampu menggambarkan :

a. Pengkajian status kesehatan pada klien Tn K dengan halusinasi pendengaran secara

komprehensif

b. Konsep teori penyakit dan asuhan keperawatan pada klien Tn. K dengan halusisani

pendengaran

c. Analisa data hasil pengkajian pada klien Tn. K dengan halusisani pendengaran

d. Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien Tn. K dengan halusisani pendengaran

e. Rencana asuhan keperawatan sesuai dengan diagnosa yang muncul pada klien Tn. K

dengan halusisani pendengaran

f. Tindakan mandiri, kolaboratif pada klien Tn. K dengan halusisani pendengaran

g. Evaluasi asuhan keperawatan pada klien Tn. K dengan halusisani pendengaran

h. Dokumentasikan asuhan keperawatan yang telah diberikan dengan menggunakan

pendekatan proses keperawatan

C. Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup dalam pembuatan makalah ini membahas Asuhan Keperawatan pada

Tn.K dengan keluhan utama halusinasi di ruang kresna laki laki Rumah Sakit Jiwa

Marzoeki Mahdi yang dilaksanakan pada tanggal 06 - 14 April 2015.


D. Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan study kasus ini adalah deskriptif, yaitu

menggambarkan tentang pelaksanaan asuhan keperawatan pada masalah Halusinasi dan

membandingkan dengan konsep teori asuhan keperawatan Halusinasi

Teknik pengambilan data pada kasus yaitu :

a. Wawancara

adalah suatu jenis pengumpulan data dilakukan dengan cara komunikasi secara langsung

dengan klien maupun keluarga klien, sebagai alat pencatatan data digunakan format

pengkajian dengan tujuan agar pencatatan lebih sistematis dan objektif.

b. Pemeriksaan fisik

adalah pengumpulan dengan cara memeriksa keadaan fisik klien.

Observasi

adalah suatu cara pengumpulan data dengan pengamatan langsung.

d. Data Sekunder / List Pasien

adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mempelajari catatan medis dan

perawat pada buku status klien di ruang kresna Rumah Sakit Jiwa Marzoeki mahdi

BOGOR
E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan study kasus ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pendahuluan terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, ruang lingkup,

metode penulisan dan sistematika penulisan

BAB II : TINJAUAN TEORI

Tinjauan teori terdiri dari konsep dasar penyakit dan konsep dasar

penyakit

BAB III : TINJAUAN KASUS

Tinjauan kasus terdiri dari pengkajian keperawatan, diagnosa

keperawatan, perencanaan keperawatan, pelaksanaan keperawatan,

evaluasi keperawatan dan catatan perkembangan

BAB IV : PEMBAHASAN

Berisikan kesenjangan antara teori dan kasus dengan tinjauan kasus

mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi

dan evaluasi

BAB V : PENUTUP

Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pengertian
Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses diterimanya rangsang sampai rangsang itu
disadari dan dimengerti oleh penginderaan atau sensasi: proses penerimaan rangsang (Stuart,
2007).
Persepsi merupakan tanggapan indera terhadap rangsangan yang datang dari luar, dimana
rangsangan tersebut dapat berupa rangsangan penglihatan, penciuman, pendengaran, pengecapan
dan perabaan. Interpretasi (tafsir) terhadap rangsangan yang datang dari luar itu dapat mengalami
gangguan sehingga terjadilah salah tafsir (missinterpretation). Salah tafsir tersebut terjadi antara
lain karena adanya keadaan afek yang luar biasa, seperti marah, takut, excited (tercengang),
sedih dan nafsu yang memuncak sehingga terjadi gangguan atau perubahan persepsi (Triwahono,
2004).
Perubahan persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam membedakan antara rangsang
yang timbul dari sumber internal seperti pikiran, perasaan, sensasi somatik dengan impuls dan
stimulus eksternal. Dengan maksud bahwa manusia masih mempunyai kemampuan dalam
membandingkan dan mengenal mana yang merupakan respon dari luar dirinya. Manusia yang
mempunyai ego yang sehat dapat membedakan antara fantasi dan kenyataaan. Mereka dalam
menggunakan proses pikir yang logis, membedakan dengan pengalaman dan dapat
memvalidasikan serta mengevaluasinya secara akurat (Nasution, 2003).
Perubahan persepsi sensori ditandai oleh adanya halusinasi. Beberapa pengertian
mengenai halusinasi di bawah ini dikemukakan oleh beberapa ahli:
Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) misalnya
penderita mendengar suara-suara, bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara
bisikan itu (Hawari, 2001).
Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan
dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran
individu itu penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat
menerima rangsangan dari luar dan dari dalam diri individu. Dengan kata lain klien berespon
terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat
dibuktikan (Nasution, 2003).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien mempersepsikan
sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari
luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren:
persepsi palsu (Maramis, 2005).
Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa adanya rangsangan. Klien merasa melihat,
mendengar, membau, ada rasa raba dan rasa kecap meskipun tidak ada sesuatu rangsang yang
tertuju pada kelima indera tersebut (Izzudin, 2005).
Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) panca indera tanpa adanya rangsangan
dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran
individu itu penuh / baik (Stuart & Sundenn, 1998).
Varcarolis mendefinisikan halusinasi sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang,
dimana tidak terdapat simulus (Yosep, 2009). Menurut Stuart dan Sundeen's (2004)
mendefinisikan halusinasi sebagai hallucinations are defined as false sensory impressions or
experiences. Arti dari kalimat di atas, Stuart dan Sundeens mendefinisikan halusinasi sebagai
bayangan palsu atau pengalaman indera.
Halusinasi ialah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca indera seorang
pasien, yang terjadi dalam kehidupan sadar atau bangun, dasarnya mungkin organik, fungsional,
psikopatik ataupun histerik (Maramis, 2005). Kemudian Sunaryo (2004) menjelaskan bahwa
halusinasi merupakan bentuk kesalahan pengamatan tanpa pengamatan objektivitas penginderaan
dan tidak disertai stimulus fisik yang adekuat.

B. Klasifikasi
Klasifikasi halusinasi sebagai berikut :

1. Halusinasi dengar (akustik, auditorik), pasien itu mendengar suara yang membicarakan,
mengejek, menertawakan, atau mengancam padahal tidak ada suara di sekitarnya.

2. Halusinasi lihat (visual), pasien itu melihat pemandangan orang, binatang atau sesuatu
yang tidak ada.
3. Halusinasi bau/hirup (olfaktori). Halusinasi ini jarang di dapatkan. Pasien yang
mengalami mengatakan mencium bau-bauan seperti bau bunga, bau kemenyan, bau
mayat, yang tidak ada sumbernya.

4. Halusinasi kecap (gustatorik). Biasanya terjadi bersamaan dengan halusinasi bau/hirup.


Pasien itu merasa (mengecap) suatu rasa di mulutnya.

5. Halusinasi singgungan (taktil, kinaestatik). Individu yang bersangkutan merasa ada


seseorang yang meraba atau memukul. Bila rabaan ini merupakan rangsangan seksual
halusinasi ini disebut halusinasi heptik.

C. Etiologi
Menurut Mary Durant Thomas (1991), Halusinasi dapat terjadi pada klien dengan
gangguan jiwa seperti skizoprenia, depresi atau keadaan delirium, demensia dan kondisi yang
berhubungan dengan penggunaan alkohol dan substansi lainnya. Halusinasi adapat juga terjadi
dengan epilepsi, kondisi infeksi sistemik dengan gangguan metabolik. Halusinasi juga dapat
dialami sebagai efek samping dari berbagai pengobatan yang meliputi anti depresi, anti
kolinergik, anti inflamasi dan antibiotik, sedangkan obat-obatan halusinogenik dapat membuat
terjadinya halusinasi sama seperti pemberian obat diatas. Halusinasi dapat juga terjadi pada saat
keadaan individu normal yaitu pada individu yang mengalami isolasi, perubahan sensorik seperti
kebutaan, kurangnya pendengaran atau adanya permasalahan pada pembicaraan. Penyebab
halusinasi pendengaran secara spesifik tidak diketahui namun banyak faktor yang
mempengaruhinya seperti faktor biologis , psikologis , sosial budaya,dan stressor pencetusnya
adalah stress lingkungan , biologis , pemicu masalah sumber-sumber koping dan mekanisme
koping.
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
1. Faktor predisposisi
a. Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang
maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut:
o Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam
perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan
perilaku psikotik.
o Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-
masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
o Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi yang
signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan
pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum).
Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
b. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis
klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas
adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
c. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik
sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.

d. Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu, maka
induvidu akan megalami stres dan kecemasan.
e. Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika seseorang mengalami stres yang
berlebihan, maka di dalam tubuhnya akan di hasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik
neurokimia seperti buffofenon dan dimethytranferase (DMP).
f. Genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi hasil studi menunjukkan bahwa
faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2. Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang
bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian
individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan
kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta
abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan
untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk
menentukan terjadinya gangguan perilaku
c. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

D. Psikopatologi
Psikopatologi dari halusinasi yang pasti belum diketahui. Banyak teori yang diajukan
yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik, fisiologik dan lain-lain. Ada yang
mengatakan bahwa dalam keadaan terjaga yang normal otak dibombardir oleh aliran stimulus
yang yang datang dari dalam tubuh ataupun dari luar tubuh. Input ini akan menginhibisi persepsi
yang lebih dari munculnya ke alam sadar. Bila input ini dilemahkan atau tidak ada sama sekali
seperti yang kita jumpai pada keadaan normal atau patologis, maka materi-materi yang ada
dalam unconsicisus atau preconscious bisa dilepaskan dalam bentuk halusinasi.
Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan adanya keinginan yang
direpresi ke unconsicious dan kemudian karena sudah retaknya kepribadian dan rusaknya daya
menilai realitas maka keinginan tadi diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus eksterna.

E. Tanda dan Gejala


1. Merasa tidak mampu (HDR).
2. Putus asa (tidak percaya diri).
3. Merasa gagal (kehilangan motivasi menggunakan ketrampilan diri).
4. Kehilangan kendali diri (demoralisasi).
5. Merasa mempunyai kekuatan berlebihan dengan gejala tersebut.
6. Merasa malang (tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritual).
7. Bertindak tidak seperti orang lain dari segi usia maupun kebudayaan.
8. Rendahnya kemampuan sosialisasi diri.
9. Perilaku agresif.
10. Perilaku kekerasan.
11. Ketidakadekuatan pengobatan.
12. Menarik diri.
13. Sering di dapatkan duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu.
14. Tersenyum atau bicara sendiri.
15. Secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang
menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri tentang halusinasi yang di alaminya (apa
yang di lihat, di dengar atau di rasakan).

F. Tahapan halusinasi
Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase menurut Stuart dan Laraia (2001) dan
setiap fase memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu:
Fase I : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah dan
takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas.
Di sini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara,
pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.
Fase II : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan
mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Disini
terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-
tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori
dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.
Fase III : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada
halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak
mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan
terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.
Fase IV : Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi.
Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah
yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. Kondisi klien sangat
membahayakan.

G. Rentang respon halusinasi.


Menurut Stuart dan Laraia (2001), halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif
individu yang berada dalam rentang respon neurobiologi. Rentang respon neurobiologi dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Pikiran logis yaitu ide yang berjalan secara logis dan koheren.
2. Persepsi akurat yaitu proses diterimanya rangsang melalui panca indra yang didahului oleh
perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang sesuatu yang ada di dalam maupun di luar
dirinya.
3. Emosi konsisten yaitu manifestasi perasaan yang konsisten atau afek keluar disertai banyak
komponen fisiologik dan biasanya berlangsung tidak lama.
4. Perilaku sesuai yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata dalam penyelesaian masalah masih
dapat diterima oleh norma-norma social dan budaya umum yang berlaku.
5. Hubungan sosial harmonis yaitu hubungan yang dinamis menyangkut hubungan antar individu
dan individu, individu dan kelompok dalam bentuk kerjasama.
6. Proses pikir kadang terganggu (ilusi) yaitu menifestasi dari persepsi impuls eksternal melalui
alat panca indra yang memproduksi gambaran sensorik pada area tertentu di otak kemudian
diinterpretasi sesuai dengan kejadian yang telah dialami sebelumnya.
7. Emosi berlebihan atau kurang yaitu menifestasi perasaan atau afek keluar berlebihan atau
kurang.
8. Perilaku tidak sesuai atau biasa yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata dalam
penyelesaian masalahnya tidak diterima oleh normanorma sosial atau budaya umum yang
berlaku.
9. Perilaku aneh atau tidak biasa yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata dalam
menyelesaikan masalahnya tidak diterima oleh norma-norma sosial atau budaya umum yang
berlaku.
10. Menarik diri yaitu percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari
hubungan dengan orang lain.
11. Isolasi sosial yaitu menghindari dan dihindari oleh lingkungan sosial dalam berinteraksi.
Halusinasi merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika klien sehat, persepsinya
akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang
diterima melalui panca indra (pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan),
sedangkan klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indra walaupun
sebenarnya stimulus itu tidak ada.

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :

1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik

Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat halusinasi,
sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara individual dan usahakan agar terjadi
kontak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik
atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien.
Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu
tindakan yang akan di lakukan. Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat
merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam
dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan.

2. Melaksanakan program terapi dokter

Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan rangsangan halusinasi yang
di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara 4persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati
agar obat yang di berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan.

3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada


Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah pasien
yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang
ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain
yang dekat dengan pasien.

4. Memberi aktivitas pada pasien


Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah raga, bermain
atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata
dan memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan
memilih kegiatan yang sesuai.

5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan


Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien agar ada
kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalny dari
percakapan dengan pasien di ketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki
yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas.
Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam
permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada
keluarga pasien dan petugaslain agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran yang
di berikan tidak bertentangan.

Anda mungkin juga menyukai